Love Sick (ending)
A/n: italic adalah flashback. Sedangkan italic tapi pov 1 adalah surat Jaemin. Ngerti kan?
Mereka sepasang kekasih baru. Keduanya sedang berada dalam fase di mana rasa cinta yang menggebu. Terhitung sudah hampir 2 bulan Jeno dan Renjun menjalani hubungan ini tanpa sepengetahuan Jaemin. Sempat ada rasa sesal di dalam diri keduanya. Namun semua sirna saat mereka menikmati waktu bersama.
"Apa ini, Jen?"
Renjun menatap bingung pada sebuah kotak kado berukuran cukup kecil di tangan Jeno. Tangannya meraih kotak itu, hatinya sempat meragu saat ingin membukanya. Namun Jeno meyakinkan kekasihnya untuk segera melihat isi dari kotak itu.
"Buka saja, Love. Aku jamin kau akan bahagia," pinta Jeno lembut seraya memamerkan senyumnya.
Dengan jantung yang bergetar, pria manis itu membuka kotak kado itu. Matanya terbelalak saat melihat sepasang cincin perak yang begitu cantik. Kedua mata Renjun berkaca-kaca, merasa sangat terharu mendapat kejutan manis dari Jeno.
"Huang Renjun ... aku tahu ini memang terlalu cepat. Tapi hatiku ini sudah yakin bahwa kau memang yang terbaik untukku. Tuhan mempertemukan kita, dan aku yakin kita memang ditakdirkan untuk bersama. Jadi ... maukah kau menikah denganku?"
Ucapan Jeno terdengar lantang dan sepenuh hati. Siapa pun pasti akan semakin jatuh hati pada pria itu. Tak terkecuali pria manis di hadapannya. Hati Renjun menghangat dengan perlakuan dan keseriusan Jeno untuknya. Jeno meraih jemari Renjun, lalu menyematkan cincin itu di jari manis pria Huang itu.
"T-Tapi Nana, Jen ...."
Renjun baru menyadari, ada sosok lain yang seharusnya menerima perlakuan manis dari Jeno. Secuil rasa bersalah kembali hinggap di hatinya saat mengingat semua kebaikan dan ketulusan Jaemin untuknya.
"A-Aku...," Jeno menjeda hanya untuk memilah kata yang tepat, "aku akan mencari waktu yang tepat untuk memutuskan hubunganku dengan Nana. Kau tenang saja."
Tetap saja hati Renjun tak tenang. Wajahnya menampakkan raut sesal dan kekhawatiran. Jeno yang melihatnya pun merasa tak tega. Dengan lembut, ia meraih tubuh Renjun ke dalam pelukannya.
"Aku akan pastikan Nana tak akan terluka terlalu lama, Love."
***
Apa kau bahagia, Jeno? Aku harap kau telah bahagia. Tanpa ada beban yang harus kau tanggung karena kini aku telah pergi. Tentang aku yang masih begitu mencintaimu, kau tak perlu memikirkannya. Karena aku akan membawa rasa tulus ini hingga akhir kehidupanku di dunia.
***
"Es krimmu meleleh, Jen!"
Jeno tertarik kembali ke dunia nyata. Kejadian saat ia melamar Renjun entah kenapa membuat napas pria itu seolah tercekat. Sesak dan menyakitkan. Otaknya mengingat kejadian yang sama satu tahun yang lalu, tapi dengan Renjun.
Dua minggu berlalu semenjak kepulangan Jaemin ke Korea, Jeno kerap kali tak pernah fokus beraktifitas. Bahkan pria itu sering mengabaikan atensi Renjun. Nama sang mantan kekasih terus menghantui pikirannya. Mengoyak hati yang dulunya menghangat berkat kehadiran Renjun. Namun saat Jaemin meninggalkannya, semua terasa hambar.
"Aku tahu kau memikirkan Nana, Jen," lirih Renjun.
Renjun bukanlah sosok yang tak peka dengan perubahan sikap Jeno. Dan Renjun merasa tak berhak menuntut perhatian pria itu. Karena pada kenyataannya, dirinyalah yang telah menghancurkan kehidupan Jeno.
"Jen ... aku ingin kita mengakhiri hubungan ini."
"Njun ... kau--"
"Hubungan ini sudah salah sejak awal, Jen. Dan setiap hari aku selalu dikejar rasa bersalah."
Keputusan ini memang berat. Cintanya pada Jeno besar. Namun rasa bersalahnya kini telah sepenuhnya mendominasi hatinya. Ia membutuhkan Jaemin sebagai sahabat yang tulus menyayanginya. Ia ingin memperbaiki segalanya.
"T-Tapi, Njun ...."
Renjun menggeleng. "Cintamu yang sesungguhnya itu hanya pada Nana, Jen. Bodohnya aku yang malah menikmati kebosananmu pada Nana."
Pria manis itu terisak. Teringat kembali wajah sendu Jaemin yang rela melepaskan Jeno untuknya. Sahabat mana yang sebaik itu jika bukan Jaemin?
"Kita susul Nana, Jen. Aku ingin minta maaf padanya."
Jeno diam. Namun hatinya mengiyakan ucapan Renjun. Kini, di saat Jaemin tak di sampingnya, rasa kehilangan baru muncul. Bahkan kerinduannya pada Jaemin semakin menggebu.
"Jadi ... kita resmi putus, 'kan?"
***
Jika suatu saat nanti kau menemuiku karena kesadaran hatimu, aku mohon, jangan ada air mata. Aku benci setiap kali orang memperlihatkan rasa ibanya di hadapanku.
Satu pesanku untukmu, Jen ....
Jika suatu saat nanti kau merasa bosan padanya, tolong kuatkan hatimu. Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Jangan gunakan rasa bosanmu sebagai alasan untuk mencari cinta yang baru.
***
Tuhan memang mempunyai cara tersendiri untuk menyadarkan hamba-Nya dari kekhilafan. Sang Pencipta pun memiliki kuasa untuk memberi hukuman pada siapa pun yang berbuat salah.
Jeno terduduk di atas dinginnya lantai, begitupun dengan Renjun yang memilih menelungkupkan kepalanya di atas lutut. Ruangan sunyi itu kini didominasi oleh isakan pilu dari keduanya setelah mendengar sebuah kabar. Hari ini, sebuah kenyataan semakin menenggelamkan mereka ke dalam jurang penyesalan.
"Nana pulang ke rumah kami dalam keadaan berantakan. Wajahnya pucat. Bahkan saat baru beberapa langkah masuk rumah, Nana ambruk. Bahkan hingga malam, Nana tak mau beranjak dari ranjangnya."
Sepasang suami istri berusia paruh baya saling menatap datar Renjun dan Jeno. Mereka --orang tua Jaemin-- sama sekali tak merasa iba dengan keadaan keduanya. Kejadian dua minggu yang lalu, saat mendengar jerit tangis Jaemin menjadi pukulan tersendiri.
"Aku dan Jeno putus, Ayah ... Ibu ...."
Jaemin menenggelamkan seluruu tubuhnya ke dalam selimut hangatnya. Sama sekali tak memedulikan kedua orang tuanya yang terus menatapnya khawatir.
"Dia lebih memilih Renjun dibanding aku. Mereka mengkhianati kepercayaanku!"
Sontak saja ucapan Jaemin membuat ayah dan ibunya kaget. Jeno di mata keduanya adalah sosok hangat dan tak pernah berani menyakiti Jaemin. Namun melihat betapa hancurnya hati sang anak, mereka menyadari jika hati seseorang bisa saja berubah.
"Kalau Jeno meninggalkanku, untuk apa aku hidup? Untuk apa aku berjuang? Lebih baik aku membawa penyakit ini hingga mati!"
"Nak, Ibu mohon, jangan berpikir seperti itu," pinta sang ibu.
Wanita paruh baya itu mencoba membuka selimut yang menutupi tubuh Jaemin. Namun pria manis itu semakin mengeratkan cengkeraman tangannya pada selimut. Menyembunyikan sesuatu yang kini mengalir dari dalam hidungnya. Cairan kental merah yang telah membasahi bantal.
"Nak ... ada banyak pria lain yang jauh lebih baik dari Jeno. Kau ingat Mark? Dia masih mencintaimu, Nak," bujuk ayahnya.
"Aku ingin sendiri. Tinggalkan aku."
"Tapi--"
"Aku mohon, Ayah ... Ibu...," suara Jaemin semakin lirih,"aku ingin sendiri."
Mengingat kejadian itu, membuat Siwon dan Yoona kembali dipaksa menggenggam pecahan kaca. Apalagi, saat itu adalah awal dari duka berkepanjangan yang membelenggu mereka.
"Kami pikir Nana hanya ingin sendiri agar hatinya merasa jauh lebih baik. Tapi...," Yoona semakin tak kuasa menahan tangis, "yang kami dapatkan adalah kehilangan."
Pagi itu, Yoona membuka kamar sang putra dengan pelan. Takut jika Jaemin masih terlelap. Pandangannya tertuju pada gundukan selimut yang masih tak berubah sejak semalam. Wanita itu menepuk pelan tubuh terbalut selimut Jaemin sembari memanggil namanya.
Satu dua kali tak ada sahutan dari Jaemin, hal itu belum mampu membuat Yoona curiga. Namun hingga beberapa kali ia menyerukan nama Jaemin, anak itu tetap bergeming dalam posisinya.
"Nak! Bangunlah!"
Tak tahan melihat keterdiaman Jaemin, wanita itu menarik paksa selimut tebal itu. Namun begitu usahanya berhasil, oksigen seolah berhenti memasok paru-parunya. Jantungnya berpacu kian cepat mendapati wajah pucat pasi sang putra. Aroma anyir yang berasal dari hidung dan bantal milik Jaemin menusuk indra pendengaran Yoona.
"Oppa! Tolong aku!"
Yoona menarik tubuh yang sudah sangat dingin itu ke dalam pelukannya. Tak ada pergerakan sama sekali dari Jaemin. Putranya enggan membuka mata, bahkan tersenyum.
"Yoona ada ap-- astaga! Nana!"
Siwon berlari, lalu melepas paksa pelukan sang istri pada Jaemin. Ia meraba denyut nadi di pergelangan tangan dan hidung Jaemin. Namun ia tak merasakan embusan napas dan denyum nadi sang putra. Tak putus asa, Siwon menyentuh dada Jaemin. Hasilnya pun nihil. Tak ada pergerakan apa pun di sana.
"S-Sayang ... putra kita...," Siwon menatap nanar tubuh sang putra yang berada dalam rengkuhannya, "Nana kita telah menyusul kakaknya. Dia menyerah untuk berjuang melawan kanker itu."
Na Jaemin, putra satu-satunya yang tersisa milik Siwon dan Yoona telah pergi. Tak ada seorang pun yang tahu penyebab malam Jaemin pergi untuk selama-lamanya, kecuali Tuhan dan dirinya sendiri. Apakah pria itu memang berniat mengakhiri hidupnya sendiri atau memang itu atas kehendak Sang Pencipta. Saat itu yang mereka lihat hanya tubuh tak bernyawa Jaemin dan puluhan obat yang berceceran di lantai.
"P-Paman ... Bibi, aku--"
"Kami harus pulang. Kami akan mengganggap kita tak pernah saling mengenal. Dan hiduplah sesuai pilihan kalian."
Sepasang suami istri itu pergi meninggalkan Jeno dan Renjun. Tak peduli dengan hancurnya perasaan kedua remaja itu.
"Aku menyesal, Na. Maafkan aku. Aku tak tahu lagi bagaimana menghadapi dunia ini tanpamu."
Jeno bangkit. Tangannya menggenggam erat sepucuk surat yang sejak tadi ia baca. Tatapannya tertuju pada sebuah bingkai foto milik Jaemin. Di belakangnya ada guci berisi abu yang sudah pasti milik pria Na kesayangannya.
"Tuhan memberi hukuman yang berat, Na. Aku bahkan tak sempat mendapat maaf darimu. Na, maafkanlah sahabatmu yang tak tahu diri ini."
***
Suratku kepanjangan ya, Jen? Maaf membuatmu harus membuang waktu hanya untuk membaca isi hatiku. Dan maaf juga kalau kau merasa jijik melihat tetesan darah pada suratku ini. Aku janji, aku tak akan lagi mengganggumu. Inilah yang terakhir.
Selamat tinggal, Lee Jeno.
FIN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top