No Mercy 9
"Sepertinya untuk beberapa saat ke depan, transaksi kita perlu dijeda dulu, Xavier. Situasi sedang buruk dan aku tidak ingin mengambil risiko."
Xavier tak mengatakan apa-apa. Ia diam saja dengan kedua tangan yang masuk ke saku celana dan dipandanginya orang-orang itu pergi, berikut dengan sederetan van hitam yang mengikutinya. Tak lama kemudian, keadaan gudang tua itu pun kembali sunyi seperti semula. Sekarang yang tersisa di sana hanyalah ia, Gale, dan beberapa pengawal.
Transaksi telah selesai. Xavier baru saja melepaskan barang-barangnya berupa senapan AR-15 semiotomatis, pistol, dan juga beberapa jenis obat-obatan terlarang. Sebagai ganti, sejumlah uang pun didapatkannya.
Sejatinya Xavier tak pernah lagi melakukan hal semacam ini setelah beberapa tahun. Ia tak lagi turun tangan secara langsung. Kebanyakan, ia akan mengutus orang lain untuk menjalankan setiap transaksi dan ia tinggal menunggu laporan dari Gale. Namun, pengecualian untuk kali ini.
Lagi dan lagi, semua karena berita kematian Caleb. Jadilah Xavier mendapat semacam tuntutan tak biasa untuk transaksi malam itu. Ia harus hadir untuk meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Mereka tidak ingin mengambil risiko, terjebak, dan terkena imbas kasus tersebut.
Sayangnya walau Xavier memenuhi tuntutan tersebut bukan berarti semua baik-baik saja. Salah seorang klien tetapnya telah memberikan sikap, yaitu ingin menahan semua transaksi rutin untuk beberapa saat, setidaknya sampai situasi kembali terkendali.
Xavier mengangkat tangan kanan, lalu jari-jarinya meremas perlahan. Decakan samar tak mampu ditahannya.
"Gale."
Gale mengikuti langkah Xavier. "Ya, Tuan?"
"Sekarang juga kita pergi ke Larkspur Hollow. Aku harus bertemu dengan Elodie."
Gale mengangguk. "Baik, Tuan."
Jadilah itu hari yang panjang untuk Xavier. Bahkan setelah hari berganti dan jam menunjukkan pukul satu dini hari, ia tak bisa beristirahat. Pun sepanjang perjalanan ada banyak hal yang dibahasnya dengan Gale.
"Kau tidak menemukan apa pun di rekaman kamera pengawas?"
Gale menggeleng dengan fokus yang tertuju lurus pada jalanan di depan. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi yang stabil. "Tidak ada apa pun, Tuan. Kejadian tepat terjadi di sekitaran titik buta. Tidak ada yang bisa diharapkan."
Xavier merenung sembari mengusap dagu. Walaupun penjelasan Gale terkesan tidak memberikan informasi apa pun, tetapi sebaliknya. Ia justru bisa menangkap kesimpulan penting.
"Dia adalah orang di sekitarku. Dia tahu seluk beluk Electric Eden dengan baik dan terlepas dari kemungkinan kalau dia mengetahui urusanku dan Caleb, dia jelas tengah memanfaatkan spekulasi yang terus beredar antara aku, Caleb, dan Zayn."
Gale melirik cepat pada spion dalam. Dilihatnya wajah Xavier yang mengeras dengan jari tangan kanan yang saling meremas. "Maksudmu, ada yang mencoba memfitnahmu?"
Jari tangan berhenti meremas. Xavier terdiam untuk sesaat. Lalu diangkatnya wajah dan dilihatnya pemandangan malam di sepanjang perjalanan. Ia berkata lirih.
"Lagi pula tak akan ada yang percaya bila kukatakan kalau bukan aku pelakunya."
*
Tak perlu ditanya betapa leganya Elodie saat melihat pintu terbuka, terlebih ketika Xavier pun muncul. Kelegaan segera menyeruak di dada walau tak urung kekesalannya langsung meluap dan menunjukkan diri.
"Xavier! Kau pikir apa yang kau lakukan? Apa ini balasanmu? Kau mengurungku di tempat antah-berantah?!"
Xavier mendengkus. Diabaikannya kekesalan Elodie. Ia masuk sembari mengangkat satu tangan dan memberi isyarat pada Gale, lalu pintu pun tertutup kembali. Sekarang hanya ada mereka berdua di sana.
"Xavier!"
Xavier duduk di sofa. Sejenak ia menyesuaikan posisi jam tangan sebelum melirik pada Elodie. "Duduklah."
Kekesalan Elodie masih menggumpal di kepala. Wajahnya masih memerah dan sikap Xavier yang terkesan santai justru semakin menyulut dirinya. Namun, pada akhirnya ia tetap melakukan yang dikatakan Xavier.
"Jadi, bisa kau jelaskan padaku apa yang sebenarnya kau lakukan, Xavier?" tanya Elodie langsung membuka percakapan tanpa tedeng aling-aling sama sekali. Kedua tangannya terangkat dan membentang dengan dramatis. "Aku berada di mana sekarang? Lalu apa maksudmu melakukan ini semua? Kupikir, kita sudah sepakat untuk melakukan penawaran soal rekaman video itu."
Xavier mengangguk sekali. "Benar. Memang begitu. Kita sepakat untuk melakukan transaksi di sini, tetapi tentunya aku tak ingin mengambil risiko."
Elodie diam sejenak, lalu ia melongo. Decakannya meluncur seiring dengan gelengan berulang kali yang tak mampu ditahannya.
"Apa kau masih mengira kalau aku akan menipumu?"
"Tentu saja," jawab Xavier enteng dengan menyandarkan punggung di kursi. Dinikmatinya sikap berang Elodie. "Kau punya peluang untuk mendapatkan keuntungan dari dua pihak yang berbeda. Secara logika, mustahil sekali kau melewatkan kesempatan sebesar itu."
Elodie mengerang frustrasi. "Oh, Tuhan, Xavier. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku tidak mungkin melakukan penawaran padamu dan Zayn sekaligus. Aku tidak sebodoh itu untuk mengambil risiko."
"Terserah apa pun katamu, Elodie. Aku sama sekali tidak peduli. Lagi pula sekarang sudah terlanjur untuk menyesalinya. Kau berada di tempatku dan kau tidak akan bisa kabur dari sini. Orang-orangku akan menjagamu selama 24 jam tanpa henti dan kalaupun kau bisa mengecoh mereka maka kupastikan kau tak akan bisa melakukan hal serupa dengan hewan-hewan liar di sekitar sini."
Elodie memang yakin dirinya tak akan mampu mengecoh para pengawal Xavier dan kabur, tetapi tak urung juga rasa penasarannya terusik. Ditatapnya Xavier dengan sorot khawatir. "He-hewan liar?"
"Beberapa beruang dan harimau, kurasa. Ehm. Mereka pasti sudah lama tak menikmati daging manusia."
"Kau bajingan, Xavier."
Xavier mendengkus. "Jadi, intinya adalah semakin cepat kita bertransaksi maka semakin cepat pula kau pergi dari tempat ini. Bagaimana?"
"Tentu saja," jawab Elodie dengan mata mendelik dan bersedekap. "Semua tergantung padamu, semakin cepat kau mengurus operasi ibuku dan memberi pekerjaan untuk adikku maka semakin cepat pula kau mendapatkan video tersebut."
"Aku akan menyuruh Gale mengurus semua keinginanmu. Jadi, sekarang berikan video itu."
"Kau tidak mungkin mengira kalau aku sepolos itu bukan?"
Mulut Xavier menutup. Rahangnya bergerak samar. Ia diam sementara Elodie lanjut bicara dengan ekspresi mengejek.
"Aku tidak sepolos dan sebodoh itu, Xavier. Kalau kau memang mau mendapatkan video tersebut maka satu-satunya yang harus kau lakukan adalah memberikan keinginanku. Aku tak butuh janjimu 'aku akan menyuruh Gale mengurus semua keinginanmu'. Cih! Aku mau melihat buktinya."
Xavier mencoba untuk menahan diri. "Baiklah. Aku akan memerintahkan Gale untuk langsung mengurus ibu dan adikmu besok. Setelahnya pastikan untuk memberikan video tersebut."
"Tentu saja."
"Selain itu, kuharap kau benar-benar memastikan bahwa video tersebut berguna untukku. Kalau tidak maka tanggung saja akibatnya."
"Ancamlah aku sesuka hatimu, Xavier, tetapi aku tidak akan gentar sama sekali. Karena apa?" tanya Elodie tanpa menunggu jawaban Xavier, alih-alih dijawabnya sendiri pertanyaan tersebut. "Karena aku tahu berharganya video yang kumiliki. Sedikit banyak, video tersebut pasti akan berdampak padamu di situasi sekarang. Bisa dikatakan kalau nasibmu bergantung pada video ini dan siapa yang memilikinya."
"Kuharap harga yang kubayar setimpal dengan nilainya."
"Tentu saja, Xavier. Video itu benar-benar berharga, tetapi kalaupun kau masih ragu setelah semua bukti yang kuberikan maka aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Lepaskan saja aku dan lihat apa yang akan terjadi ke depannya. Jangan salahkan siapa-siapa kalau Zayn yang akan memanfaatkan keadaan."
Keteguhan dan percaya diri Elodie membuat Xavier menyipitkan mata. Terlepas dari foto-foto dan sekilas cuplikan yang telah dilihatnya, ia harus akui bahwa Elodie cukup handal dalam bertransaksi. Elodie tunjukkan sikap tak gentar walau ia telah mengintimidasi berulang kali.
"Satu hal yang ingin kuketahui. Mengapa kau sampai memiliki rekaman tersebut?"
Elodie mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan untuk menjawab. "Aku sempat melihat kalian di lorong. Sepertinya kalian punya masalah serius sampai-sampai kulihat Caleb nyaris menangis karenamu." Ia terkekeh samar walau hanya sekilas. "Well, bisa kau anggap aku tergerak oleh intuisi dan firasat. Selain itu, aku pun penasaran apa yang akan dilakukan oleh orangmu pada Caleb. Jadilah aku merekamnya."
Xavier mendaratkan siku di sandaran tangan sofa, jemarinya langsung meremas-remas. Diresapinya satu poin itu dengan saksama. "Orangku. Ehm."
Elodie menangkap sesuatu yang janggal dari respons Xavier. Ia ingin bertanya, tetapi Xavier keburu lanjut bicara.
"Baiklah kalau begitu. Kupikir semua sudah selesai. Kau tinggal menunggu kabar dari Gale besok."
Xavier bangkit. Ia sudah menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi dari sana, tetapi Elodie mencegahnya.
"Tunggu, Xavier."
Langkah Xavier berhenti. Ia berpaling. "Apa lagi?"
"Ada hal penting lainnya yang harus kau lakukan."
"Hal penting lainnya?" tanya Xavier meyakinkan dengan bola mata membesar. "Kau ingin memerasku?"
Elodie menggeleng. "Tidak sama sekali. Lagi pula ini tidak akan menghabiskan uangmu."
"Jadi, apa? Katakan dengan cepat. Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu."
"Madam D."
Xavier mengerutkan dahi. "Madam D? Ada apa dengan Dorothy sialan itu?"
"Karena kejadian semalam, Madam D mendatangi adikku dan mengancamnya. Itu adalah salahku, bukan salah Eloise. Jadi, aku ingin kau menyelesaikan urusan itu. Katakan pada Madam D untuk tidak mengganggu Eloise sampai kapan pun juga."
Permintaan Elodie di luar dugaan Xavier. Jadilah tak aneh bila mendapati ia yang lantas melihat Elodie dengan sorot aneh. Ditatapnya Elodie lekat dan fokusnya mengintai dari atas hingga bawah seolah Elodie adalah alien.
"Bagaimana? Permintaanku tak sulit bukan?"
Xavier tak memberikan jawaban, tetapi Elodie tentu paham. Senyum mengembang di wajah Elodie, lalu ia kembali berkata.
"Ah, selain itu aku ..."
Mata Xavier memejam dramatis. Elodie jadi tergelak dan menyadari bahwa pastilah Xavier telah habis kesabaran karena berlama-lama bicara padanya. Namun, sejujurnya ia tak berniat sama sekali untuk membuat Xavier emosi dan yang ingin dikatakannya adalah hal penting.
"... lapar."
Xavier membuka mata. "Lapar?"
"Ya, aku lapar. Aku pingsan seharian dan aku belum makan sampai sekarang, Xavier. Jadi, aku ingin makan."
Xavier tak menanggapi perkataan Elodie, melainkan kembali lanjut melangkah. Ia keluar dan Elodie memelotot. Sayangnya pintu keburu terkunci sehingga Elodie tak bisa melakukan apa pun selain berteriak.
"Xavier! Aku ingin makan. Aku lapar! Xavier! Xavier!"
Xavier menggeleng sekali sambil terus berjalan. Di belakang, Gale mengikutinya. Mereka menuju ruang kerja Xavier.
"Aku ingin kau melakukan beberapa hal penting besok, Gale."
Gale berdiri dengan sikap sopan dan siaga, lalu mengangguk. "Baik, Tuan."
"Kau urus Paula dan Eloise. Bawa Paula ke rumah sakit terbaik di Ashford City. Siapkan dokter paling handal dan jadwalkan operasinya secepat mungkin. Selanjutnya, kau siapkan pekerjaan terbaik yang bisa didapatkan oleh orang seperti Eloise."
Gale mengangguk dan mencatat semua perintah itu di dalam benaknya.
"Berikutnya, kau hubungi Dorothy. Katakan padanya untuk tidak mengusik Eloise. Kalau sampai aku mendengar sesuatu maka dia yang akan menanggung akibatnya."
Kembali, Gale mengangguk.
"Terakhir, aku ingin kau melakukan sesuatu malam ini."
Gale bertanya. "Apa, Tuan?"
"Masakkan Elodie makan malam."
Gale pun tercengang.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top