No Mercy 7

Hanya orang bodoh yang akan melakukan penawaran sepenting itu pada Xavier Ordego tanpa melakukan persiapan. Untungnya, Elodie bukanlah wanita bodoh. Ia sudah memikirkan beberapa kemungkinan dan dicurangi oleh Xavier adalah kemungkinan paling masuk akal yang bisa terjadi padanya.

Jadilah Elodie menyiapkan semua. Dipindahkannya rekaman video itu pada sebuah kartu memori dan disimpannya kartu memori itu pada satu tempat yang ia yakini tidak akan terpikirkan oleh Xavier.

Tak cukup sampai di sana. Elodie pun dengan cerdik mengunggah video tersebut ke salah satu situs daring. Ia aktifkan perintah otomatis yang harus diperbaharui enam bulan ke depan dan bila dalam kurun waktu selama itu tak ada perbaharuan yang terjadi maka situs akan mengunggahnya secara otomatis.

Silakan lakukan apa pun padaku, Xavier, tetapi aku pastikan kau akan menyesalinya.

Bahkan tanpa disuarakan pun sepertinya Xavier bisa mengetahui ejekan yang Elodie layangkan di dalam benaknya. Jadilah ia menarik napas dalam-dalam dan jari tangannya kian terkepal kuat.

"Apa jaminan bahwa kau tidak akan menipuku?"

Elodie mengerutkan dahi. "Aku menipumu?"

"Tentu saja. Kau bisa melakukannya dengan mudah. Kau melakukan penawaran terhadapku dan setelahnya kau melakukan penawaran serupa dengan Zayn."

Kebingungan Elodie berubah menjadi kekehan.

"Masuk akal bukan?"

"Ya, itu masuk akal, tetapi ..." Elodie membuang napas panjang dan tawanya berubah menjadi senyum. "... aku bukanlah tipe orang tak tahu balas budi. Aku tidak akan melakukannya."

Xavier tersenyum miring. "Menurutmu, aku akan mempercayai perkataanmu?"

"Tentu saja tidak," jawab Elodie masuk akal. "Jadi?"

"Aku tidak bisa mengambil risiko."

Xavier tidak mempercayai Elodie. Berbekal sekali penipuan yang telah didapatkannya semalam maka apa jaminan bahwa Elodie tidak akan kembali membodohinya? Ia tak akan masuk ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Dicurangi sekali oleh seorang wanita saja sudah memalukan untuknya, apalagi kalau sampai terjadi kembali?

"Kalau begitu, artinya kau tidak berniat untuk menyelamatkan video ini?"

Xavier tak menjawab. Dipandanginya api yang sesekali masih terlihat menjilat-jilat. Ponsel Elodie sudah berubah hitam terbakar. Keadaannya tak bisa diselamatkan lagi.

Otak Xavier terus berputar, tetapi Elodie tak bisa menunggu selama itu. Waktu terus berjalan dan ia pun memiliki kepentingan sendiri.

"Kalau begitu, kuanggap kau tak tertarik dengan penawaran ini, Xavier," tandas Elodie sesaat kemudian. Diraihnya cangkir teh dan dihabiskannya minuman tersebut. Ia menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi. "Jadi jangan salahkan aku kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Kau akan menemui Zayn?"

Elodie mengangguk kecil. "Tentu saja. Aku yakin dia akan tertarik dengan video ini. Jadi, bayangkan saja apa yang akan terjadi bila video ini berakhir di tangan Zayn. Ehm. Kau pasti akan kelabakan."

Lebih dari kelabakan. Dengan situasi sekarang saja Xavier jamin Zayn telah bersiap untuk melakukan banyak hal demi keuntungannya sendiri. Pastilah Zayn akan mulai menyusun rencana untuk memanfaatkan keadaan.

Namun, bukan hanya itu yang mengganggu pikiran Xavier. Nama Lee turut memenuhi benaknya. Tak cukup dengan membuatnya kesal dengan kenyataan bahwa Lee akan menangani kasus kematian Caleb, ia pun bisa meraba apa yang akan terjadi kalau video tersebut tak segera diamankan. Tentulah Lee akan menggunakan video itu untuk benar-benar menekannya dan bila itu benar-benar sampai terjadi maka semua yang telah dibangunnya sejak dulu akan hancur berantakan.

Tak pelak, ada dua pihak yang akan diuntungkan bila video tersebut bocor. Pun tak menutup kemungkinan bahwa Zayn dan Lee akan bekerjasama untuk menjatuhkannya.

Keadaannya benar-benar terdesak, tetapi Xavier kembali mengingatkan diri untuk tidak gegabah. Jadilah jari-jari tangannya kembali meremas satu sama lain, ia berpikir.

"Kau hanya menginginkan dua hal tadi? Operasi ibumu dan pekerjaan untuk adikmu?"

Elodie mengangguk. "Ya, hanya itu."

"Tidak ada tambahan uang?"

Elodie menggeleng. "Aku tak butuh uangmu. Aku bisa mencari uang sendiri."

Xavier manggut-manggut, lalu akhirnya ia mengangguk. "Baiklah," ujarnya sambil bangkit dari duduk. Ia mengulurkan tangan pada Elodie, menawarkan jabat tangan. "Aku terima penawaranmu."

"Bagus, Xavier. Itu adalah keputusan yang bijaksana."

Elodie turut bangkit. Disambutnya tangan Xavier dengan tersenyum lebar. Mereka berjabatan untuk sesaat dan kemudian sesuatu terjadi.

Bola mata Elodie membesar. Xavier menarik tangannya dan dengan cepat memukul lehernya. Dalam sekejap, Elodie pun hilang kesabaran.

Elodie pingsan. Xavier membaringkannya di sofa, lalu berseru.

"Gale!"

Gale masuk. Sekilas, dilihatnya Elodie yang berbaring di sofa dan puing-puing ponsel yang sesekali masih mengepulkan asap.

"Ada apa, Tuan?"

Xavier merapikan sejenak jas, lalu beranjak menuju meja kerja sambil menunjuk Elodie.

"Urus wanita itu. Amankan dia dan selidiki semua hal tentang dia. Aku ingin kau menggeledah tempat tinggalnya dan mencari sesuatu," ujar Xavier seraya duduk di balik meja kerja. Ditatapnya Gale. "Dia memiliki rekaman peristiwa semalam, sesaat sebelum Caleb dibunuh dan namaku disebutkannya dengan jelas."

Gale mengangguk. "Baik, Tuan."

Setelahnya Gale pun langsung bergerak. Dipanggilnya beberapa orang untuk membawa pergi Elodie dengan hati-hati, tentunya tanpa diketahui oleh khayalak ramai. Ia perintahkan mereka untuk membawa Elodie ke salah satu rumah persembunyian Xavier yang terletak di luar kota Ashford City sementara ia melakukan hal lain.

Gale segera mencari informasi mengenai Elodie. Semua data didapat dan ia bergegas menuju rumah Elodie. Digeledahnya rumah Elodie bersama dengan orang-orangnya. Semua diperiksa dengan amat teliti, tetapi ia tak menemukan apa pun.

Xavier mengangkat wajah dengan remasan tangannya yang terjeda. Ditatapnya Gale demi memastikan. "Kau tak menemukan apa pun?"

"Maafkan aku, Tuan," ujar Gale sambil menunduk. "Kami sudah menggeledah rumahnya, tetapi kami tak menemukan apa pun."

Xavier membuang napas panjang. Tangannya jatuh di meja. "Berikan padaku informasi mengenainya."

Gale memberikan sebuah map dan Xavier menyambutnya. Ia segera membuka map tersebut dan membaca dokumen di dalamnya.

"Jadi, dia tidak berbohong ketika mengatakan memiliki seorang adik? Eloise Ford." Xavier berdecak kesal walau samar. Diingatnya bahwa itulah nama yang ia pilih untuk menemaninya semalam dan dirasanya perkataan Elodie masuk akal. Elodie menggantikan Eloise. "Dia jujur."

Bukan hanya berkenaan dengan Eloise, tetapi juga mengenai Paula. Berdasarkan informasi yang telah didapatkan oleh Gale, ternyata Paula telah lama mengidap penyakit jantung. Selain itu, keadaannya pun semakin menyedihkan karena tak bisa lepas dari bantuan kursi roda.

"Paula mengalami kecelakaan sekitar dua puluh dua tahun yang lalu. Kakinya patah dan tak bisa diselamatkan."

Xavier membuang napas dan ditaruhnya kembali map tersebut di atas meja. Sejenak, ia tak bersuara dan Gale menunggu perintah selanjutnya.

"Sepertinya aku tak punya pilihan lain," lirih Xavier dengan tangan yang kembali terangkat dan bertumpu pada siku. Jemarinya bermain-main dalam remasan samar di depan dagu. "Aku akan menerima penawarannya."

*

Elodie mengerang dan dalam hitungan detik yang amat singkat, masa peralihan antara ketidaksadaran menuju kesadaran, disadarinya satu hal yang amat penting dan menjengkelkan, yaitu Xavier berhasil mencuranginya.

Sialan kau, Xavier.

Kesal Elodie semakin menjadi-jadi ketika dirasanya sakit masih tertinggal di leher. Jadilah ia bangun sembari meringis menahan sakit. Dirabanya tengkuk dan umpatan pun meluncur bertubi-tubi.

Adalah keadaan sekitar yang berhasil menjeda kekesalan Elodie. Diedarkannya pandangan ke sekeliling dan dahinya mengerut. Satu kamar asing nan luas membuat ia jadi bertanya-tanya, di manakah aku sekarang berada?

Kamar itu terlihat elegan dengan warna putih bersih yang mendominasi. Beberapa furnitur kayu bewarna lembut mengisi kekosongan di sana dengan sentuhan yang hangat, termasuk di dalamnya adalah tempat tidur yang sempat menjadi tempat berbaring Elodie tadi.

Elodie turun dari tempat tidur dengan hati-hati. Kakinya menapak di lantai kayu dengan perlahan, lalu beranjak. Ia tak akan berlama-lama menghabiskan waktu untuk memuji desainer yang telah menghasilkan karya cipta secantik itu. Perpaduan sentuhan modern dan klasik yang diberikannya telah menghadirkan keharmonisan hakiki.

Jendelalah yang menjadi tujuan Elodie. Disibaknya tirai tebal yang menutupi, lalu satu pemandangan asri dengan kesan asing menjajah retina matanya.

Di balik kaca jendela dan terpisah jarak tak seberapa, barisan pohon-pohon menjulang ke langit malam seperti penunggu gelap yang mengintai. Ranting-rantingnya menyatu dengan bayangan kelam yang mendominasi pemandangan. Dipupuskannya setiap harapan yang mencoba untuk melihat lebih jauh.

Elodie terdiam dalam hantaman kebingungan dan ketidaktahuan. Malam dan pemandangan itu telah menyentil perasaan tak enaknya. Ia tak tahu di mana dirinya berada sekarang dan tak peduli betapa indahnya langit malam yang membentang, rasa cemasnya tak mampu untuk ditenangkan.

Suara binatang malam terdengar. Tubuh Elodie seketika menegang dengan satu kemungkinan paling masuk akal yang bisa terjadi. Pastilah ia telah meninggalkan Solstice Ridge dan orang yang melakukannya adalah Xavier.

Seketika saja kedua tangan Elodie naik dan mendarat di jendela dalam bentuk kepalan geram. Wajah tertunduk dan matanya memejam dramatis. Tidak bisa tidak, Xavier mengurungnya!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top