No Mercy 5
Suara bel berdering tak putus-putus. Keheningan yang damai terusik. Elodie berusaha untuk mengabaikannya dengan cara menarik selimut hingga ke kepala, tetapi tak berguna. Kebisingan itu terus terdengar dan membuatnya menggerutu.
"Sialan! Siapa yang datang sepagi ini?!"
Hari baru saja menginjak pukul setengah tujuh pagi, memang bukan waktu normal untuk bertamu. Jadi wajar saja bila Elodie uring-uringan ketika tidurnya harus terganggu.
Elodie menyambar jubah gaun tidur dan mengenakannya sembari keluar dari kamar. Tak ia pedulikan keadaannya yang berantakan ketika menuju pintu, lalu berseru.
"Sebentar."
Setidaknya Elodie ingin si tamu berhenti menekan bel. Ia tak ingin kepalanya meledak.
Bel berhenti berbunyi. Elodie membuka pintu dan rasa kesalnya seketika menghilang. Sepertinya ia maklum mengapa si tamu datang sepagi itu.
"Selamat pagi, Eloise."
Eloise berdiri dengan wajah merah. Ditatapnya Elodie dengan sorot berapi-api, lalu membalas. "Selamat pagi, Elodie? Oh, Tuhan. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?"
Senyum mengembang. Kedua tangan bersedekap di depan dada. Elodie bersandar di kusen pintu dengan sikap santai.
"Apa maksudmu, Eloise? Aku melakukan apa padamu? Aku tak mengerti."
"Jangan bersikap seolah kau tak tahu, Elodie," ujar Eloise seraya mengepalkan kedua tangan. "Kau tahu kalau itu adalah satu-satunya harapanku untuk bisa mengobati Mama, tetapi kau mengacaukannya!"
"Aku mengacaukannya? Tunggu, Eloise. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Apa yang aku kacaukan di sini?"
Eloise murka melihat sandiwara Elodie yang tampak sekali dibuat-buat. Elodie tengah mempermainkannya, tetapi ia tak masalah bila harus menjelaskan semua.
"Kau ingin tahu apa yang kau kacaukan?" tanya Eloise tanpa menunggu jawaban Elodie. Ia mengangguk berulang kali. "Baiklah, aku akan mengatakannya."
Elodie mengulum senyum geli. Kemarahan Eloise tak ubah lelucon di matanya.
"Pagi ini Madam D menghubungiku."
Pembuka yang sempurna. Elodie tak lagi mampu menyembunyikan geli ketika imajinasinya dengan cepat membayangkan kemungkinan yang terjadi. Bisa ditebak, Madam D menghubungi Eloise karena kejadian semalam.
"Dia marah dan menudingku telah menipunya. Tuan Xavier marah besar, Elodie. Sekarang orang-orang Madam D pasti akan mencariku untuk meminta pertanggunjawabanku."
Tawa Elodie berderai. Mungkin pagi itu tak seburuk dugaannya. Tidur yang terusik cukup sebanding dengan hiburan gratis yang didapatnya sekarang.
"Kau keterlaluan, Elodie! Aku mempercayaimu dan membiarkanmu menggantikanku, tetapi malah ini yang kau lakukan padaku?"
Elodie terus tertawa dan membuat Eloise semakin marah.
"Kau benar-benar tega, Elodie."
Barulah tawa Elodie berhenti. Diusapnya setetes basah yang timbul di sudut mata karena tertawa sedari tadi, lalu berkata.
"Oh, maafkan aku, Elosie. Aku tidak mengira kalau kau benar-benar ingin mengobati Mama," ujar Elodie seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Bola mata membesar dan mimiknya menyiratkan ejekan. "Jadi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Eloise diam dalam ketidakpercayaan akan sikap Elodie. Dipandanginya Elodie yang tampak seolah tak merasa bersalah. Elodie menyadari itu dan lanjut berpura-pura sok bersimpatik.
"Apa aku harus menemui Madam D dan meminta maaf? Setelahnya aku mungkin bisa mengemis di jalanan untuk mengumpulkan recehan walau mungkin akan butuh waktu lama. Apa Mama bisa menunggu?"
Tubuh Eloise bergetar. Sepertinya ia tak bisa bertahan lebih lama lagi. Ia menggeleng. "Cukup, Elodie."
"Cukup? Cukup untuk apa?" tanya Elodie berdecak sekilas. Didekatinya Eloise dalam satu langkah tak seberapa. "Aku hanya bertanya, Eloise. Apa sekiranya Mama bisa menunggu? Setidaknya aku harus yakin Mama tidak akan mati sementara aku masih mengumpulkan koin-koin recehan."
Elosie menarik napas sedalam mungkin. Ia mencoba untuk mengendalikan diri ketika Elodie terus bicara dengan merendahkan Paula, tetapi sulit. Apalagi karena Elodie justru dengan sengaja mengusiknya.
Seringai mengembang di wajah, Elodie kembali berkata. "Sudahlah, Eloise. Untuk apa kau bersusah payah mencari uang untuk mengobati Mama? Mungkin memang sudah takdir untuk Mama segera meninggalkan dunia ini. Lagi pula Mama sudah tua."
"Jangan ucapanmu, Elodie!"
Eloise tak lagi mampu menahan diri. Dibentaknya Elodie ketika rasa tak terima bergejolak di dalam dada. Elodie tak seharusnya mengatakan hal semacam itu. Paula adalah ibu mereka.
"Kau membentakku, Eloise?"
Eloise tertegun. Ia memang tak terima dengan perkataan Elodie, tetapi sama sekali tak berniat untuk membentaknya. Rasa bersalah hadir di hati dan ia berniat untuk meminta maaf.
Tangan naik. Eloise ingin meraih Elodie, tetapi sorot dan ekspresi Elodie membuatnya membeku.
Ada yang berbeda. Ada yang aneh dari cara Elodie melihat. Ekspresi Elodie pun tampak tak biasa. Eloise menatap Elodie dan lantas satu tanya timbul di benak, siapakah yang sekarang berada di hadapannya?
"Elodie?"
Tak berkedip. Tak menyiratkan emosi. Elodie tak sama dengan ingatan terakhir Eloise.
Mata Elodie tampak dingin. Tak ada goyah atau kelembutan di sana, seolah-olah memantulkan hampa yang tak terjamah. Kilat yang berpendar membiaskan ketidakpedulian yang mendalam, seakan tak ada yang bisa mempengaruhinya.
Eloise menggeleng samar. Itu bukanlah Elodie yang dikenalnya. Ia berbeda dengan Elodie yang selama ini mengisi benaknya.
"Elodie, kau—"
"Seharusnya kau sadar dari awal kalau mendatangiku adalah kesalahan terbesarmu, Eloise."
Ucapan Elodie memutus perkataan Eloise. Lidah mendadak kelu dan semua kata menghilang dari benaknya.
"Kau tak seharusnya mendatangiku karena Mama. Apa kau tak bisa berpikir, Eloise? Bukankah memalukan kalau kau meminta bantuanku setelah semua yang telah kau dan Mama lakukan padaku?"
Sepertinya ini adalah minggu sial Elodie. Ketenangan yang menjadi harta sejatinya selama ini terusik. Sialnya, adalah masa lalu yang menjadi biang keroknya.
"Kalian meninggalkanku, Eloise. Kalian pergi dan sama sekali tidak memedulikanku. Jadi bagaimana mungkin bisa sekarang kau mendatangiku seolah tak terjadi apa-apa?" tanya Elodie seraya meneguk getir yang tiba-tiba muncul di pangkal tenggorokan. Rasanya pahit, tetapi tak lebih pahit dari masa kelam itu. "Aku sempat membesarkan hati dengan menganggap kalian lupa alamat rumah ini, tetapi nyatanya tidak begitu bukan? Kau bisa datang ke sini sekarang, Eloise. Seharusnya kau mendatangiku dari dulu."
"Elodie, maafkan aku. Maafkan kami."
Elodie menggeleng. "Bukan aku yang tega, Eloise. Kau dan Mama yang tega padaku. Kalian tidak pernah memikirkanku selama ini."
"Kami memikirkanmu, Elodie. Kami—"
"Aku mohon, Eloise. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku bisa hidup dengan tenang. Jadi jangan sampai kau dan Mama merusaknya."
Eloise tak bisa bicara apa-apa lagi. Tanpa ada intonasi tinggi atau ekspresi merendahkan, ucapan Elodie menyiratkan luka yang tak mampu ia bayangkan.
"Maafkan aku, Elodie."
Pada akhirnya hanya satu kalimat itu yang mampu Eloise ucapkan. Ia mendekat dan dipeluknya Elodie.
Elodie memejamkan mata dengan kedua tangan terkepal kuat di sisi tubuh. Ia bergeming dan berharap agar waktu cepat berlalu, setidaknya sampai ia yakin bahwa Eloise telah pergi dari situ.
*
Kepala Elodie sedikit berdenyut. Mungkin karena ia minum terlalu banyak semalam atau kurang tidur. Jadilah ia meminum sebutir paracetamol dan memutuskan untuk merebahkan tubuh di sofa sembari menyalakan televisi.
Elodie mengeryit ketika tayangan berita muncul. Ia menarik napas dan merutuk, memangnya apa lagi ia harapkan di pukul tujuh pagi?
Sedikit bangkit, Elodie mengulurkan tangan dan meraih remot televisi. Ibu jari siap menekan tombol demi menukar saluran televisi, tetapi narasi penyiar berita membuatnya mengurungkan niat tersebut.
"Sesosok mayat ditemukan dalam keadaan mengenaskan dengan luka bakar di kelab malam ternama Solstice Ridge kota Ashford City, Electric Eden. Penemuan jasad tersebut bermula ketika karyawan membersihkan kelab pagi hari ini."
Elodie tak lagi fokus pada narasi penyiar berita ketika penampakan jasad mulai dimunculkan. Rekaman itu diblur, tentu saja. Namun, bukan berarti ia tak merasakan kejanggalan ketika melihatnya.
Pakaian itu.
Elodie diam sejenak ketika mengingat. Dilihatnya lekat-lekat secabik pakaian yang tersisa dan masih melekat di tubuh jasad itu. Keadaannya memang sama mengenaskan dengan si empunya, telah ternoda asap, dan hitam nyaris menutupi warna yang sesungguhnya.
Bukankah dia pria botak semalam?
Bisa ya, bisa juga tidak. Kemungkinan itu belum tentu benar, tetapi anehnya denyut di kepala Elodie sontak menghilang hanya dengan memikirkannya.
Pria botak. Electric Eden. Xavier.
Tiga hal itu berputar di kepala dan Elodie termenung sejenak sebelum akhirnya ia beranjak demi mengambil ponsel. Ia membuka beberapa aplikasi sosial media dan tak sulit untuknya menemukan berita lengkap mengenai penemuan mayat tersebut.
"Caleb Johnson."
Diketiknya nama itu di laman pencarian Google dan Elodie mendengkus. Bahkan belum tuntas ia mengetik, tetapi nama itu sudah muncul. Hal tersebut membuat dugaannya menguat.
Caleb Johnson, seorang pria berusia 52 tahun dan merupakan orang kepemerintahan yang bertugas mengevaluasi pembebasan dan penjualan tanah, serta perizinan bangun. Banyak orang-orang penting memiliki hubungan erat dengannya. Terakhir dan yang paling panas, ia diduga berhubungan pula dengan Xavier.
Nama lainnya terseret. Ada Zayn di antara Caleb dan Xavier. Beberapa spekulasi mengatakan bahwa terjadi kerenggangan antara Caleb dan Xavier terkait rencana pembebasan lahan yang akan dilakukan oleh Zayn di pinggiran Ashford City, tepatnya di distrik The Fyrox—distrik terluar Ashford City di bagian utara. Kabarnya, Zayn akan mendirikan kelab malam yang digadang-gadang akan menjadi pesaing Electric Eden.
Tak butuh waktu lama untuk Elodie menyimpulkan situasi yang tengah terjadi. Ia menemukan benang merah dan sebuah rekaman video di ponsel membuatnya tersenyum penuh arti.
Elodie membuka galeri. Diputarnya rekaman tersebut hanya sekadar untuk memeriksa.
"Kau. Apa yang kau lakukan?"
"Ssst."
"Apa lagi yang diinginkan oleh Tuan Xavier?"
Senyum Elodie kian mengembang tak kira-kira. Ditebaknya kejadian itu pasti akan merepotkan Xavier. Electric Eden akan sepi pengunjung dan pasarnya bisa direbut oleh Zayn. Paling parah adalah Xavier bisa saja menjadi tersangka.
Kau sial sekali Xavier.
Kepala kembali ringan. Elodie merasa tubuhnya bersemangat hanya dalam hitungan menit yang tak seberapa. Ia bersiap dan sekitar satu jam kemudian tiba di kantor megah bernama Lumos Global.
Elodie menghampiri resepsionis. Penuh percaya diri, ia berkata. "Aku ingin bertemu dengan Xavier Ordego."
Resepsionis bengong untuk sesaat. Agaknya ia perlu meyakinkan diri bahwa ia tak salah mendengar.
"Aku ulangi," kata Elodie tanpa merasa keberatan sama sekali. "Aku ingin bertemu dengan Xavier Ordego. Katakan padanya Elodie Ford ingin menemuinya dan ini adalah hal penting."
Resepsionis mencoba untuk tetap sopan. Ia tetap tersenyum walau dalam rangka akan menolak permintaan Elodie.
Namun, Elodie bisa menerka hal tersebut. Jadilah ia mencondongkan tubuh dan memastikan tak akan ada yang bisa mendengar perkataannya, selain si resepsionis.
"Caleb Johnson."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top