No Mercy 4

Tubuh Elodie menegang. Xavier membantingnya ke atas tempat tidur, lalu melucuti pakaian mereka berdua.

Napas terengah. Keringat memercik. Rasa dingin hadir.

Elodie meneguk ludah dan berusaha untuk tetap sadar ketika Xavier menghampirinya dengan wajah keras. Dagunya diraih dan kembali ciuman mendarat di bibirnya.

Ketegangan semakin menjalar. Tubuh Elodie kaku tak ubah sepotong kayu. Sekarang ia tak lagi peduli dengan udara dan satu-satunya yang ia lakukan adalah memejamkan mata.

Jari-jari besar di dagu Elodie meremas. Xavier mengerjap dan mengamati sekilas, dahinya mengerut.

Bulir-bulir keringat sebesar jagung memenuhi wajah Elodie. Tubuhnya menggigil hingga siapa pun akan mengira kalau ia tengah terserang demam.

"Kau baik-baik saja?"

Elodie tertegun, kemudian matanya membuka perlahan. Ditatapnya Xavier dengan sorot yang membuat pria itu menyipitkan mata.

"Aku baik-baik saja."

Xavier mengulurkan tangan. Diraihnya sebungkus kondom seraya berkata. "Baguslah. Aku tak ingin kau tewas sebelum menuntaskan tugasmu."

Demikian pula Elodie. Ia tak ingin tewas malam itu walau dirasanya nyawa seolah berontak ingin meninggalkan tubuhnya.

Elodie meremas seprai. Udara terkumpul di dada, tak bisa beranjak ke mana-mana. Digigitnya bibir bawah sekuat mungkin dan lalu bentakan garang Xavier menggelegar.

"Sialan!"

Xavier menarik diri. Ia bangkit dan segera turun dari tempat tidur dengan wajah berang. Mata memelotot, kemarahannya meledak.

"Kau berani menipuku?!"

Elodie tak sempat menjawab. Ketika ia bangkit, Xavier menyambar pakaiannya dan beranjak. Jadilah ia putuskan untuk kembali merebahkan tubuh dalam ketelanjangan.

Perawan?

Seuntai sinis menunjukkan diri dalam bentuk dengkusan. Elodie memutar bola mata dan membuang napas panjang yang sedari tadi ditahannya.

*

Xavier tak pernah ditipu seperti ini, terlebih lagi oleh seorang wanita. Jadi wajar saja bila ia berang sejadi-jadinya.

Dikenakannya pakaian dengan cepat. Xavier segera meninggalkan kamar itu tanpa memedulikan Elodie.

Walau demikian bukan berarti Xavier akan membiarkan masalah itu berlalu begitu saja. Madam D harus bertanggungjawab dan semoga saja Tuhan menolongnya.

Suasana hati Xavier sedang dalam keadaan buruk. Emosinya tak terkendali dan itulah alasan mengapa ia menyempatkan waktu untuk menyinggahi Electric Eden di sela-sela kesibukannya. Ia butuh sesuatu untuk melampiaskan emosi dan bila ia tak bisa melakukannya dengan cara menyenangkan maka ia akan dengan senang hati melakukannya dengan cara lain.

Kaki melangkah cepat di sepanjang lorong. Xavier melewati para petugas keamanan dan penerangan temaram tak menjadi penghalang bagi mereka untuk mengenalinya. Mereka menyapa, tetapi ia abaikan.

Xavier tiba di ruangan Madam D. Ia langsung masuk dan membanting pintu, tetapi Madam D tak ada di sana.

"Tu-Tuan."

Amos menghampiri Xavier dengan penuh kehati-hatian. Tak perlu bertanya, ia bisa menangkap sinyal kemarahan Xavier.

"Di mana Dorothy sialan itu?!" tanya Xavier membentak. Ia berpaling dan ditatapnya Amos dengan garang. "Di mana dia?"

"Madam D sedang pergi, Tuan. Dia sedang—"

"Suruh dia menemuiku sekarang juga atau dia akan menyesal karena telah mempermainkanku!"

"Baik, Tuan."

Amos mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi Madam D. Xavier menggeram dan menyadari bahwa emosinya benar-benar telah menggelegak.

Xavier putuskan keluar dari ruangan Madam D. Kembali disusurinya lorong sunyi dan tiba-tiba seseorang mengadang jalannya.

"Tuan."

Langkah Xavier terhenti. Gale Williams—asisten pribadinya—menghampiri seraya melirik cepat ke sekeliling.

Xavier menangkap gelagat tersebut. Emosinya terjeda dan ia bertanya. "Ada apa?"

Gale semakin mendekat dan berbisik tepat di telinga Xavier. "Aku sudah menemukan Caleb."

Sepertinya Tuhan sedang berpihak pada Madam D. Nama Caleb Johnson berhasil merebut prioritas Xavier.

Kemarahan Xavier pergi, tergantikan oleh seringai. Mungkin malam itu tak seburuk dugaannya dan bisa saja ada kabar baik yang dapat menjadi penghibur untuk rentetan masalah belakangan ini.

Tiga orang pria muncul dari belokan lorong yang remang-remang. Dua diantaranya memegang seorang pria berperut buncit dan berkepala botak.

"T-Tuan Xavier."

Xavier mendekatinya. "Kita berjumpa lagi, Caleb."

"T-Tuan—"

Mata Xavier berkedip sekali dan Caleb menelan kata-katanya kembali. Ditangkapnya peringatan Xavier, lalu ia hanya bisa berdoa di dalam hati.

"Gale."

"Ya, Tuan?"

"Bawa dia ke ruangan," perintah Xavier dan wajah Caleb memucat. "Aku ingin bicara dengannya."

Xavier beranjak sementara Gale menghampiri Caleb. Dilihatnya wajah Caleb yang telah penuh keringat, lalu ia memberi peringatan.

"Kuberi saran, Caleb. Jangan buat kekacauan kalau kau ingin hidup lebih lama. Sudah cukup kau menguji kesabaran Tuan Xavier."

Caleb meneguk ludah. Peringatan Gale membuat ketakutannya semakin menjadi-jadi, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya. Ia hanya bisa merutuki kebodohan diri sendiri, seharusnya ia tak mencoba untuk bermain-main dengan Xavier.

Gale membawa Caleb ke ruang pribadi milik Xavier. Tempatnya di lantai tertinggi bangunan Electric Eden, terhindar dari keramaian, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa menginjakkan kaki di sana.

Mereka masuk dan Xavier telah menunggu dengan duduk santai di meja kerja. Caleb dilepaskan dan ia segera berlutut di hadapan Xavier.

"Maafkan aku, Tuan. Aku mohon."

Xavier menatap Caleb tanpa kedip. "Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, tetapi sepertinya kau ingin bermain-main denganku, Caleb."

"Ti-tidak sama sekali, Tuan," ujar Caleb terbata. Keringat mengalir di dahi dan sempat masuk ke mata, ia meringis perih. "Aku mohon, maafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk—"

Satu tangan Xavier naik dan ucapan Caleb berhenti.

"Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun darimu. Kau tentu tahu bukan? Aku bukanlah orang yang bisa menunggu. Jadi kapan kau akan melakukan tugasmu?"

Caleb mengangguk kaku. Sekelumit lega menyusup berkat makna tersirat di pertanyaan Xavier. Nyawanya selamat, Xavier masih memberinya kesempatan.

"Bulan ini, Tuan."

"Bulan ini?"

"Ya, bulan ini," ulang Caleb dengan semangat. Tubuhnya yang semula membungkuk sontak menegap kembali. "Besok aku akan mengurus berkas-berkasnya dan dalam bulan ini pembebasan lahan akan dilakukan."

Xavier membuang napas sekali, ekspresi wajahnya tampak datar ketika berkata. "Ini kesempatan terakhirmu, Caleb. Lakukan semua dengan baik atau kau tidak akan melihat matahari terbit lagi."

Kelegaan Caleb terjeda oleh ancaman Xavier. Ia tertegun dan mengangguk.

"Te-tentu saja, Tuan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."

Xavier tak mengatakan apa-apa lagi. Disandarkannya punggung pada kursi seraya meraih segelas alkohol yang tersaji di meja sedari tadi. Ia biarkan Caleb yang buru-buru bangkit dan keluar dari sana.

"Awasi Caleb, Gale. Aku tidak ingin rencana ini mundur lebih lama lagi."

Gale mengangguk paham. "Baik, Tuan."

*

Sesaat berlalu dan Elodie putuskan untuk kembali berpakaian tanpa lupa untuk berdandan. Ia pandangi pantulan wajah cantiknya di cermin seraya mengingat kemarahan Xavier tadi, lalu geleng-geleng.

"Dasar pria."

Elodie memastikan lipstik merah terangnya terpulas dengan sempurna sebelum keluar dari kamar itu. Dilihatnya sekeliling seraya menyugar rambut bergelombangnya dan sesaat matanya menyipit. Ada satu pemandangan asing yang menarik perhatiannya.

Xavier? Ehm. Kupikir dia sudah pergi.

Sekelumit geli tersungging di senyum miring Elodie. Ia kembali teringat akan kegusaran Xavier tadi ketika mendapati dirinya yang tak lagi perawan. Namun, sesuatu membuat ingatan tersebut pergi dari benaknya.

Ada seorang pria mendapati Xavier. Diikuti oleh tiga orang pria lainnya. Mereka menunjukkan gelagat tak biasa dan Elodie bisa melihat salah seorang di antaranya mendapatkan intimidasi.

Siapa pria berkepala botak itu?

Rasa penasaran menggelitik. Benak Elodie bertanya-tanya. Namun, ia justru memutar bola mata sedetik kemudian.

"Bukan urusanku."

Elodie memilih lorong berbeda dan meninggalkan lantai tersebut. Ia menuruni anak tangga dan tak lama kemudian keriuhan kelab menyambutnya.

Lampu sorot bewarna-warni memancarkan cahaya yang membelah kegelapan. Musik berdentum keras dengan irama yang menghentak, diciptakannya getaran yang terasa merambat di sekujur tubuh. Lantai dansa berkilau dan memancarkan daya tariknya, mengundang para pengunjung untuk menari di tengah kerumunan.

Elodie berjalan dengan susah payah. Keramaian kelab malam memang bukan main-main dan semakin malam maka keadaannya akan semakin padat.

Wangi parfum bercampur dengan aroma rokok. Baunya menyatu di udara dan membuat Elodie mengernyit. Ia memang tak pernah bisa membiasakan diri dengan hal tersebut. Perutnya seperti diaduk-aduk dan buru-buru ia menuju meja bar.

Kursi yang didudukinya telah diisi orang lain. Bella pun sudah tak terlihat batang hidungnya. Elodie putuskan untuk mencari tempat lain yang sedikit terhindar dari keramaian.

Segelas alkohol dan tak ada orang yang mengajak bicara. Elodie dapati bahwa itulah yang dibutuhkannya. Ia bisa bernapas dengan lebih lapang seraya menikmati pemandangan orang-orang yang berteriak dan tertawa-tawa.

Mereka seperti tak ada masalah. Semuanya seolah tak memiliki beban hidup. Orang-orang bersuka cita seakan-akan hanya hal baik yang terjadi.

Keheningan membuat Elodie terisap oleh lubang gelap. Ketika sadar maka ia sudah terjerumus pada ingatan akan masa lalu, lantas bertanya.

Rasanya tak mungkin ada orang yang hidup tanpa hal buruk bukan?

Kenangan semakin berputar-putar di dalam kepala Elodie dan kedatangan Eloise tadi memperparah semua. Memori yang selama ini diusahakannya untuk hilang jadi muncul kembali dengan lebih jelas.

Elodie ingat betul bagaimana Paula meninggalkan dirinya. Paula tetap pergi bersama Eloise sekalipun dirinya meronta sekuat tenaga. Paula tak punya hati, jadi untuk apa ia berbelas kasih?

Perih meremas jantung Elodie. Perasaan semakin berkecamuk dan ia harus mengalihkan pikirannya sesegera mungkin. Ia tak ingin hanyut dalam nuansa melankolis sehingga diputuskannya untuk mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi Instagram.

Selang beberapa detik kemudian, Elodie telah bergabung dengan para penggemarnya di aliran langsung. Ia menyapa dan komentar yang masuk berhasil mengusir muram yang sempat menggelayuti perasaannya.

"Tidak. Aku tidak menemui siapa-siapa di sini," ujar Elodie menjawab salah satu pertanyaan yang menyinggung keberadaannya di Electirc Eden. Ia mengangkat gelasnya yang nyaris kosong. "Aku hanya ingin minum saja. Lagi pula—"

Satu komentar membuat ucapan Elodie terhenti. Sejenak, ia menyimak dan komentar serupa terus berdatangan.

'Wah! Elodie, sepertinya kau akan mendapatkan tontonan mengasyikkan.'

'Tidak, Elodie. Sebaiknya kau pergi sekarang juga.'

'Benar. Perkelahian di kelab malam adalah hal paling buruk.'

'Selamatkan dirimu selagi bisa, Elodie.'

Perkelahian?

Elodie memutar tubuh. Matanya mengitari sekitar dan mendapatkan sumber komentar-komentar tersebut.

Pria itu?

Kedua alis Elodie nyaris bertemu ketika si empunya berpikir. Ia mencoba mengingat dan rasanya ia tak akan salah menebak.

Bukankah itu pria botak tadi?

Elodie ingat betul. Ia adalah pria botak yang dilihatnya dengan Xavier tadi. Ia tampak diseret oleh seseorang dan seketika saja rasa penasaran Elodie bangkit.

Elodie buru-buru kembali pada aliran langsungnya, berkata. "Sepertinya aku harus mengakhiri aliran langsung malam ini. Selamat bersenang-senang semuanya."

Aliran langsung berakhir. Elodie segera menandaskan alkohol terakhirnya sebelum menyambar tas tangannya, lalu beranjak.

Elodie berjalan cepat dengan penuh kehati-hatian. Ia melihat sekeliling berulang kali dan menyadari bahwa semua orang hanyut dalam dunia masing-masing. Di sini, agaknya hanya ia yang terusik dengan pemandangan sekilas itu.

Terus mengikuti. Semakin dekat. Elodie sempat mengumpati diri sendiri karena rasa penasarannya yang muncul tak kenal situasi dan kondisi.

Seandainya saja Elodie tak melihat kejadian janggal antara 'pria botak' itu dan Xavier, yakinlah ia tak akan melakukan ini. Ia tak akan mengendap-endap dan mengikuti mereka, lalu menyalakan kamera ponsel.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top