No Mercy 3

"Burger basi di toilet. Pisang busuk di kamar. Botal vodka yang pecah setengah di ruang menonton. Belum lagi dengan tumpahan saus dan pecahan kaca di mana-mana. Keadaan yang benar-benar kacau."

"Menurut beberapa saksi, dia memang orang yang temperamental. Ehm jadi ini benar-benar kecelakaan?"

"Dia mabuk. Alkoholnya tinggi dan dia sedang tidak beruntung."

"Cara mati yang benar-benar buruk, tetapi mungkin itu yang terbaik. Kau lihat putrinya? Selama ini dia disiksa. Banyak luka dan memar di tubuhnya. Dia sungguh ayah yang tak memiliki hati nurani."

Petugas kepolisian kompak memandang ke satu titik. Tepatnya pada seorang bocah perempuan yang sedang menangis dalam pelukan seorang petugas lainnya.

"Sabar, Sayang. Semua akan baik-baik saja."

"P-Papa, tetapi Papa—"

Tangis Elodie pecah. Petugas kepolisian pun memeluknya semakin dalam seraya membelai dan pada saat itu tak ada seorang pun yang menyadarinya, ia tersenyum.

*

Satu, tak ada seorang pun yang benar-benar peduli.

Dua, pasrah dan diam bukanlah pilihan untuk hidup.

Tiga ....

Aku masih hidup.

Bertahun-tahun telah berlalu. Elodie bukan lagi bocah kecil berusia delapan tahun. Sekarang ia telah menjelma menjadi seorang wanita dewasa berusia tiga puluh tahun.

Elodie masih tinggal di rumah dulu. Ia tak punya tempat lain dan lagi pula rumah itu terlalu bagus untuk ditinggal begitu saja.

Hidup sebatang kara. Elodie melakukan banyak pekerjaan demi bertahan hidup sedari dulu.

Terdengar berat, tetapi sekarang tidak lagi. Bermodalkan paras cantiknya, Elodie bisa mendapatkan uang dengan lebih mudah. Zaman sudah canggih dan ia menjadi salah satu selebriti instagram yang memiliki nilai jual terlepas dari kenyataan bahwa ia tak terlalu terkenal.

Persaingan yang ketat mau tak mau membuat Elodie mencukupkan diri dengan semua yang dimilikinya sekarang. Ia tak kaya, tetapi setidaknya ia bisa bertahan hidup. Pun termasuk sesekali menikmati hidup.

Bagi Elodie, itu lebih dari yang diharapkan. Sejujurnya ia tak pernah mengira bisa menjalani hidup normal kembali. Bisa merasakan tidur nyenyak, makan yang enak, dan bangun dengan kelegaan adalah hal menyenangkan.

Elodie tak butuh apa-apa lagi. Ia sudah merasa cukup dengan kehidupannya saat ini. Harapannya hanya satu. Yaitu, ia ingin merasakan ketenangan itu selamanya.

Namun, perjalanan hidup memang telah mengajarkan satu hal penting untuk Elodie. Terkadang takdir memang tidak selalu berpihak. Persis yang terjadi pagi itu. Ketika ia akan pergi dan kehadiran seseorang di depan pintu membuat tubuhnya membeku.

Tepat di hadapan Elodie ada seorang wanita berparas persis seperti dirinya. Tangannya terangkat, menyiratkan akan menekan bel.

"E-Elodie."

Elodie mengerjap. Tak perlu perkenalan diri, ia tahu siapa yang sekarang berada di hadapannya.

"Eloise."

Eloise tersenyum. Persis seperti ingatan terakhir Elodie, ia tampak ayu dan teduh. Matanya hangat, begitu pula dengan senyumnya.

"Ada apa kau datang ke sini?" tanya Elodie tanpa tedeng aling-aling. Sekelumit nyeri di dalam dada, ia tekan sekuat tenaga. "Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, kau datang kembali."

Senyum Eloise menghilang. Ia meremas kedua tangannya dan ekspresinya terlihat tak yakin.

"A-aku datang ke sini karena Mama."

Ada getir muncul di pangkal tenggorokan Elodie. Tak ingin, tetapi nyatanya bayang kejadian malam itu langsung mengisi benaknya.

"Mama sakit."

Bayang mengerikan menghilang. Semua tergantikan oleh pemikiran picik muncul.

Elodie memiliki penghasilannya sendiri. Ia termasuk dalam jajaran selebriti instagram. Uangnya pasti berlimpah.

Alhasil inilah yang terjadi. Eloise yang tak pernah mendatangi ataupun menghubungi Elodie pun datang. Ia membutuhkan uang untuk pengobatan Paula.

"Oh."

Lirih Elodie terdengar berbeda. Begitu pula dengan senyum sinis yang tersungging di wajahnya.

"Jadi Mama masih mengingatku? Setelah bertahun-tahun?"

*

Suasana hati Elodie hari itu sangat buruk. Kedatangan Eloise menjadi penyebabnya. Tak bisa dipungkiri, sang saudar kembar ibarat membuka lagi luka lama yang telah berhasil ia tutup selama ini.

Ke mana kalian selama ini? Mengapa kau baru datang sekarang, Eloise? Apa selama ini kalian tidak pernah memikirkanku?

Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala Elodie. Beruntung ia tetap profesional dalam bekerja dan semua jadwalnya hari itu terlewati juga.

Elodie menarik napas dalam-dalam. Ia tak akan bisa pulang ke rumah sekarang. Pikirannya kacau dan seorang diri di rumah adalah pilihan buruk.

Electric Eden.

Sebuah kelab malam ternama di Ashford City. Itulah tempat yang menjadi tujuan Elodie malam itu. Ia duduk di bar dan memesan minuman, tepat dengan kedatangan seorang wanita.

"Halo, Elodie. Sepertinya sedang dalam keadaan yang kurang baik malam ini."

Elodie menoleh dan hanya membuang napas panjang. Kehadiran wanita bernama Arabella Moon adalah hal yang paling dihindari Elodie. Sudah menjadi rahasia umum, ia adalah biang gosip di mana-mana. Mengeruk informasi dari ucapan yang terselip adalah keahliannya.

"Percayalah. Aku pernah mengalami malam yang lebih buruk dari ini."

Bella tertawa dan duduk di sebelah Elodie. "Ingin menceritakannya?"

"Denganmu?" tanya Elodie seraya mendengkus mencemooh. "Terima kasih, tetapi tidak. Aku lebih baik menceritakannya dengan kucing."

Tawa Bella semakin keras. Ia geleng-geleng kepala. "Kau benar-benar sulit untuk didekati, Elodie. Ehm apa kau ada dekat dengan selebriti instagram lain?"

"Tidak. Memangnya untuk apa?"

"Kau tidak bisa bertahan di dunia ini selamanya kalau mengandalkan diri sendiri. Setidaknya kau harus punya satu atau dua orang yang dekat denganmu. Mereka bisa menjadi penolongmu di saat-saat tak terduga. Selain itu, lihatlah dirimu. Kau tidak bisa dikatakan terkenal walau sudah bertahun-tahun menjadi selebriti instagram."

Kali ini Elodie yang tertawa. Bibir gelas berhenti beberapa milimeter di depan mulutnya dan ia berpaling pada Bella yang mengerutkan dahi.

"Percayalah. Aku pernah mengalami masa di mana tidak ada yang menolongku. Kau terlalu naif, Bella. Tidak ada manusia yang ingin menolong manusia lainnya. Siapa pun itu."

Bella terdiam sejenak. Lalu ketika ia akan bicara lagi, Elodie justru lanjut berkata.

"Satu dua orang yang kau bilang bisa menjadi penolong itu pun melakukan semuanya demi keuntungan semata. Tidak ada orang yang ingin terjun bersama orang lain. Ah! Lagi pula aku sudah merasa cukup untuk ini semua. Aku memang tidak pernah bercita-cita ingin jadi terkenal. Jadi aku memang tidak butuh orang lain."

Pembicaraan berhenti sampai di sana. Suasana sedikit merasa canggung dan Bella sempat memutuskan untuk pergi. Namun, sesuatu membuat ia terkesiap.

"Oh, Tuhan."

Kesiap Bella menarik perhatian Elodie. Ia menoleh ke arah mata Bella memandang. Pada segerombolan pria yang terlihat mencolok di lantai dua.

Mereka pasti masuk dari pintu khusus. Jadi mereka adalah tamu naratetama.

"Siapa mereka?"

Acuh tak acuh, Elodie bertanya. Kesiap Bella dan aura pria-pria itu membuatnya sedikit penasaran.

"Siapa mereka?" ulang Bella dengan mata membesar, syok. "Kau tidak tahu mereka, Elodie?"

Elodie mengerutkan dahi. "Haruskah aku mengetahui mereka?"

Bella mendeham dan membuang napas. Lalu ia menunjuk pada seorang pria yang terlihat mendominasi gerombolan itu.

"Kau lihat pria yang tampan itu? Ehm dari sini tidak akan terlihat, tetapi percaya padaku. Dia adalah pria dengan dagu terbelah paling seksi yang kulihat. Namanya adalah Xavier Ordego."

Xavier Ordego?

Elodie merasa sedikit familier. "Xavier?"

"Benar!" ujar Bella seolah mengetahui maksud Elodie. "Xavier yang itu. Pengusaha terkenal, CEO Lumos Global, dan pemilik kelab ini. Kau bisa memperkirakan kekayaan dan kekuasaannya bukan? Selain itu dia pun sangat memikat dengan paras tampannya."

Elodie hanya mengangguk sekali. Cukup sampai di sana dan ia bisa meraba secara keseluruhan mengenai Xavier.

Firasat Elodie mengatakan demikian. Tentu saja Xavier bukan sekadar pengusaha biasa. Terbaru, seingatnya sekarang Xavier sedang dibicarakan mengenai masalah pembebasan lahan yang menyeret nama pengusaha lainnya—Zayn De Lorando.

Sama sekali tak ada urusannya dengan Elodie. Jadi ia pun kembali berkutat dengan minumannya.

Seteguk. Dua teguk. Tiga teguk.

Elodie mengerjap. Matanya menangkap pemandangan ganjil di seberang ruangan. Tak yakin, tetapi refleks bibirnya berucap.

"Eloise?"

Bella mendengarnya. "A-apa? Siapa? Eloise?"

Elodie mengabaikan Bella. Ia meninggalkan minumannya dan bangkit berdiri.

"Elodie! Kau mau ke mana?"

Elodie tak menjawab dan terus melangkah. Ia belah lautan manusia yang sibuk dimabuk alkohol dan musik.

Semakin cepat. Nyaris berlari. Elodie harus memastikan bahwa lima sloki alkohol belum cukup untuk membuatnya mabuk.

"Eloise."

Di waktu tepat, Elodie menahan tangan wanita yang ditujunya. Ia berpaling dan ternyata benar saja. Itu adalah Eloise.

Eloise sama kagetnya dengan Elodie. "E-Elodie, apa yang kau lakukan di sini?"

"Seharusnya aku yang bertanya itu padamu. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Elodie sembari melihat barisan wanita-wanita yang diikuti Eloise dari tadi. Perasaan tak enak mendadak hadir. "Kau tidak berususan dengan Madam D bukan?"

Dorothy Fox atau lebih dikenal dengan nama Madam D. Tak ada seorang pun di Electric Eden yang tidak mengenalnya, termasuk Elodie. Dari berita yang berembus—tentunya berasal dari Bella, ia mengetahui bahwa Madam D adalah mucikari yang memiliki jaringan luas. Pelanggannya bukan orang biasa dan ia hanya melayani orang-orang kelas atas.

Memiliki sifat yang ambisius, sudah menjadi rahasia umum bahwa Madam D selalu mengupayakan banyak hal untuk memuaskan hasrat para pelanggan. Salah satunya dengan cara menyediakan wanita-wanita baru dalam jangka waktu tertentu. Alhasil tak aneh bila sewaktu-waktu para pengunjung Electric Eden mendapati gerombolan wanita yang dikawal oleh orang-orang Madam D. Persis seperti yang terjadi malam itu.

Para wanita baru datang. Madam D akan memperkenalkannya pada para pelanggan. Ironisnya, Eloise menjadi salah satu di antara para wanita baru itu.

"Eloise?"

Eloise tak menjawab, tetapi Elodie tak bodoh. Elodie tahu bahwa tebakannya benar. Setidaknya ia bisa melihat dari kilat kaget yang kembali memercik di mata Eloise. Ia pun mengumpat.

"Sialan kau, Eloise," geram Elodie. Ia meremas pergelangan tangan Elodie sehingga sang adik meringis. "Apa kau sudah gila? Kau ingin menjadi pelacur di sini?"

Eloise menggigit bibir. Tubuhnya gemetar, tetapi ia berhasil mengumpulkan tenaga untuk membalas perkataan Elodie.

"Mereka berjanji akan memberikanku dua kali lipat untuk keperawanan. Kau tahu? Itu satu-satunya cara yang tersisa. Aku harus menyelamatkan Mama."

Jawaban Eloise membuat Elodie tertegun. Operasi jantung bukanlah hal remeh. Namun, ia tak pernah mengira kalau Eloise akan seputusasa itu.

"Aku meminta bantuanmu, tetapi kau tak bisa menolongku. Jadi lepaskan aku dan biarkan aku mendapatkan uang dengan caraku sendiri."

Eloise berusaha melepaskan tangan dari genggaman Elodie, tetapi tak bisa.

"Kau pikir aku sekaya itu, Eloise? Aku tidak punya uang untuk operasi Mama."

Elosie mengangguk. "Bagus. Jadi itu menambah alasanku untuk melakukan ini."

"Tidak."

Perperangan terjadi di benak Elodie. Ah! Seharusnya ia biarkan saja Eloise menjual dirinya. Lagi pula selama ini mereka bisa dikatakan telah putus hubungan. Ia selalu mengutuk Eloise dan Paula, lalu mengapa?

Elodie memang mengusir Eloise. Tadi pagi ia mengusir Eloise yang berurai air mata tanpa rasa kasihan sama sekali. Pun ia sudah bertekad untuk tidak akan pernah menolong orang yang pernah mencampakkannya.

Namun, tidak. Tidak dengan cara ini.

"Kau tidak tahu dunia yang ingin kau masuki, Eloise. Percaya padaku. Dunia malam adalah dunia yang benar-benar buruk."

"Tidak ada yang lebih buruk ketimbang tak bisa menyelamatkan Mama."

Elodie terdiam. Ia tatap Eloise dan menemukan keteguhan di mata teduhnya.

Sialan!

Elodie menyerah. Ternyata ia tak setega itu. Ia tidak bisa membayangkan Eloise harus merasakan kesakitan seperti yang pernah ia rasakan dahulu.

Tidak. Itu sangat mengerikan. Eloise tak akan sanggup.

"Kau pulanglah," ujar Elodie menggeram. "Biar aku yang menggantikanmu."

"Elodie, ka—"

"Dengar perkataanku, Eloise! Kau pulang dan tunggulah uangmu besok."

Tuntas mengatakan itu, Elodie menghempaskan tangan Eloise. Ia bergegas menuju toilet dan mengubah dandanan tebalnya.

Eloise selalu menjadi putri yang lemah lembut. Untuk itu Elodie memulas mekap natural untuk menyerupainya.

Ini yang pertama dan terakhir.

*

Para wanita berbaris di satu ruangan. Penampilan seksi dengan dandanan menggoda. Tak ayal lagi, mereka adalah para wanita baru yang telah dipersiapkan Madam D untuk menjamu para pelanggannya.

Madam D melangkah dan mengitari mereka. Tatapan lekat dan mengamati dari atas hingga bawah. Penampilan mereka harus sempurna. Ia tak ingin mengecewakan para pelanggan yang telah menunggu.

"Bagus."

Madam D mengangguk berulang kali seraya menyambut tablet yang diberikan oleh asisten pribadinya—Amos Mercer.

"Semuanya sudah memesan?"

Amos mengangguk. "Sudah, Madam. Selain itu ..."

Suara Amos merendah. Ia pun beringsut demi bisa berbisik pada Madam D.

"... Tuan Xavier juga turut hadir."

Madam D tak mengatakan apa-apa, tetapi bola matanya membesar. Ekspresinya yang sedari tadi tampak datar langsung terlihat semringah.

"Siapa yang dia pilih?"

"Eloise."

Tatapan Madam D langsung beralih pada Elodie. Ia menyeringai tipis dan memberi perintah pada Amos.

"Persiapkan semuanya. Jangan sampai membuat Tuan Xavier kecewa."

"Siap, Madam."

Tak membuang-buang waktu, Amos bergegas. Ia harus mempersiapkan semua dan memastikan tidak ada satu pun yang terlewat.

Begitu pula dengan Madam D. Ia langsung menghampiri Elodie dengan senyum penuh arti. Lantas berkata.

"Selamat. Tuan Xavier memilihmu."

Elodie mengerutkan dahi. "Tuan Xavier?"

"Aku harap kau tidak mengecewakannya," ujar Madam D penuh arti. "Lakukan apa pun yang diperintahkannya. Buat dia senang. Kau mengerti?"

"Aku mengerti."

Selang tiga puluh menit kemudian Elodie sudah berada di satu kamar besar nan mewah. Tentunya sebagai kelab malam elite, Electric Eden menyediakan beragam fasilitas yang siap untuk memanjakan para pengunjung naratetama mereka. Pun termasuk di dalamnya adalah ruangan pribadi bagi mereka yang ingin menghabiskan malam dengan lebih privasi.

Elodie memutar pandangan. Ia mengamati keadaan di kamar itu hingga pandangannya membentur seorang pria yang berdiri di seberang ruangan.

Xavier.

Tatapan Elodie langsung jatuh pada dagu yang terbelah. Seketika saja perkataan Bella mengiang di benaknya.

Benar. Dia adalah Xavier Ordego.

Elodie bergeming. Xavier berjalan menuju padanya. Mereka bertatapan dan kemudian Xavier menciumnya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top