No Mercy 27
Elodie masuk kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak tenang sama sekali. Pintu telah tertutup dan terkunci, tetapi dia bergeming untuk sejenak. Dari tempatnya berdiri, dilihatnya keadaan sekeliling kamar, seolah dia butuh meyakinkan diri bahwa tak ada yang dilewatkan oleh Rory ketika melakukan pemeriksaan tadi.
Hening dan sunyi. Bahkan tarikan napas Elodie pun tak terdengar. Diredamnya semua bunyi yang bisa memecah fokusnya kala itu.
Elodie melangkah perlahan sesaat kemudian. Tujuannya adalah jendela balkon. Keadaannya sekarang telah tertutup dan terkunci sehingga angin tak akan bisa masuk dan hordeng pun tak lagi beterbangan ke mana-mana.
Walau begitu Elodie belum merasa tenang. Jadilah dia menyibak hordeng, lalu melihat dengan mata kepala sendiri bahwa jendela balkon benar-benar telah terkunci.
Tak cukup sampai di sana, Elodie pun melemparkan tatapannya keluar jendela. Dilihatnya balkon secara menyeluruh dan tampaknya memang tak ada keanehan sama sekali, tak ada tanda-tanda sedikit pun yang bisa menjadi indikasi bahwa ada penyusup yang mencoba masuk ke kamarnya.
Elodie tertegun. Wajahnya menunjukkan keseriusan ketika berpikir. Tidak, aku tak mungkin salah mendengar. Aku yakin, ada penyusup di sini.
Jadilah Elodie menarik napas dalam-dalam, lalu dijauhinya jendela balkon sembari memeluk diri sendiri. Dia mengusap kedua lengannya berulang kali sembari memutar otak. Diputuskannya untuk mengambil gunting di laci meja rias dan menaruhnya di bawah bantal.
Bola mata Elodie berputar, kemudian dia malah geleng-geleng sembari berdecak. Tatkala dia merebahkan tubuh di tempat tidur, gerutuan meluncur dari bibirnya. "Awas saja kau, Xavier. Kalau sampai sesuatu terjadi padaku maka kau yang akan kuhantui pertama kali."
Elodie memejamkan tidur dan membiarkan kesadarannya menghilang secara perlahan. Dia tidur, tetapi dengan indra yang menyala sepenuhnya. Tubuhnya seolah bersiaga untuk setiap kejutan buruk yang bisa terjadi. Bahkan sedikit gemerisik dedaunan di luar sana sukses membuatnya terjaga kapan saja.
Anehnya, Elodie justru bergeming ketika pintu terbuka keesokan harinya dan Xavier masuk, begitu juga ketika pelayan datang menyajikan sarapan. Hanya ketika terdengar suara peralatan makan yang beradu secara samar-samarlah sehingga tidurnya terusik.
*
Setibanya di Larkspur Hollow dan setelah Xavier menuju ke lantai atas maka Gale pun segera bergerak. Agaknya malam itu tak ada istirahat untuknya. Dia harus segera memeriksa keadaan di sekitar vila.
Gale segera memanggil Rory. Bersama-sama dengan Nicco, mereka berkumpul di ruang pengawas.
Hal pertama yang diperiksa oleh Gale adalah rekaman kamera pengawas. Diperiksa olehnya semua video dengan teliti dan bisa dipastikan tak ada seorang penyusup pun yang tertangkap kamera.
"Bagaimana dengan penyebab aliran listrik yang putus?" tanya Gale di tengah-tengah pemeriksaan yang dilakukan. "Apakah kau sudah menemukan masalahnya, Nicco?"
Nicco mengangguk. "Ada kabel yang putus."
Jemari Gale yang sedari tadi aktif menekan-nekan tetikus sontak saja berhenti bergerak. Dia melirik melalui sudut mata. "Kabel putus?"
"Sepertinya memang ada penyusup di sini, Gale. Itu bukanlah ulah binatang liar. Potongannya sangat rapi."
Gale menegang. "Bagaimana denganmu, Rory? Apakah kau menemukan sesuatu?"
"Tidak ada, Gale," jawab Rory tegas dan pasti. "Aku sudah memeriksa balkon kamar Nona Ford dan tak menemukan sedikit pun tanda-tanda kedatangan penyusup. Jejak langkah pun tidak ada."
"Kau sudah menyisir sekeliling vila?"
Rory mengangguk. "Sudah, tetapi aku tetap tak menemukan apa pun."
"Baiklah." Gale mengakhiri pemeriksaan pada rekaman kamera pengawas. Dia bangkit. "Kalian terus perketat penjagaan."
Setelahnya, Gale keluar dari ruang pengawas. Dia memutuskan untuk turut memeriksa keadaan sekeliling, bisa saja ada hal yang terlewatkan oleh Rory walau itu memang terdengar mustahil.
Gale mengitari vila dengan penuh ketelitian. Setiap hal diperhatikan olehnya dengan saksama. Dipastikannya tak ada hal yang luput dari pandangan matanya.
Sesuatu menarik perhatian Gale. Asalnya dari pot tanaman hias yang ada di teras samping vila. Maka dilihatnya pot bunga itu dari dekat dan bisa dipastikan olehnya, pot bunga itu sedikit bergeser, sedikit goresan di lantai menjadi buktinya.
Gale yakin, pembantu di vila tidak akan bertindak tanpa kehati-hatian. Pastilah mereka akan memastikan semua berada di tempatnya dengan penuh kerapian. Jelas saja goresan bukanlah hal yang patut dimaklumi.
Ujung jari Gale mengusap goresan di lantai. Dirasakan olehnya goresan itu memiliki ketajaman yang masih segar. Sepertinya memang ada penyusup di sini.
Gale bangkit. Kemudian wajahnya terangkat. Sekarang fokusnya berpindah pada ruangan yang tepat berada di atas teras tersebut, yaitu kamar Elodie.
*
Sekarang Elodie tengah duduk bersama dengan Xavier di meja makan yang penuh dengan menu sarapan penggugah selera. Sayangnya dia belum cukup tergugah untuk langsung menikmati sarapan pagi itu, melainkan diungkapkan olehnya kekhawatiran yang terus dirasakannya sedari semalam.
"Aku merasa sedang diperhatikan seseorang saat ini."
Xavier membalas tatapan Elodie tanpa mengatakan apa pun untuk sesaat. Dia diam saja seolah tengah menimbang berapa besar kemungkinan ucapan Elodie itu benar. Setelahnya, dia menarik napas dalam-dalam. Disandarkannya punggung di kursi. "Apa kau yakin itu bukan perasaanmu saja?"
"Perasaanku saja?" tanya Elodie mengulang perkataan Xavier. Lalu dia malah melongo. "Perasaanku tak mungkin bisa membuka jendela balkon, Xavier."
"Mungkin saja kau lupa menutupnya."
Mata Elodie membesar. "Mustahil. Lagi pula perlu kau ketahui kalau perasaanku benar-benar tidak enak semalam. Aku yakin memang ada penyusup di sini."
"Penyusup." Xavier membuang napas panjang. Ekspresinya tampak sangsi. "Selama ini tak ada seorang penyusup pun yang bisa menjejakkan kaki di sini. Perlu kau ketahui kalau tim Rory tidak hanya berjaga di vila ini, tetapi penjagaannya juga mencakup wilayah dalam radius sepuluh kilometer."
Elodie terdiam. Tak dikira olehnya penjagaan di sana seketat itu. Jadilah dia sedikit cemberut. Pikirnya, Xavier memang telah melakukan upaya terbaik untuk memusnahkan harapan kaburnya.
Fokus Elodie tidak berlama-lama pecah. Kembali, direnunginya kejadian semalam. "Kalau penjagaan Rory seketat itu maka bisa dipastikan penyusup itu adalah orang yang sangat berbahaya. Dia bisa mengecoh Rory dengan semudah itu."
"Kemungkinan itu masih belum pasti."
Xavier memang tidak akan mengabaikan laporan Elodie. Namun, kemungkinan bahwa ada seorang penyusup bisa mengecoh Rory dan timnya justru terdengar lebih tak masuk akal dibandingkan dengan kemungkinan bahwa Elodie sedang berhalusinasi. Sebabnya adalah orang-orang yang bekerja padanya bukanlah orang sembarang dan berkenaan dengan penjagaan, mereka adalah orang-orang yang dipilih langsung oleh Gale.
Gale telah mengantongi kepercayaan Xavier secara penuh. Untuk itu dia pun membalas dengan penuh tanggung jawab. Dipastikannya untuk menyediakan semua keinginan Xavier secara sempurna. Buktinya adalah selama ini tak ada sedikit keluhan pun yang disuarakan oleh Xavier.
"Aku tahu, kau pasti tak akan mudah mempercayai ucapanku."
Xavier mengerjap. Fokus matanya yang sempat memudar lantaran perenungan singkat yang menyita pikirannya kembali lagi. "Aku tidak mengatakan kalau aku tak mempercayai ucapanmu."
"Memang, tetapi respons dan sikapmu telah mengatakannya," ujar Elodie sembari meraih segelas air putih. Bangun tidur dan langsung terlibat pembicaraan serius dengan Xavier membuat tubuhnya menjerit dehidrasi. Dinikmatinya air sejuk itu beberapa tegukan. "Jadi, terserah padamu saja. Setidaknya aku sudah mengatakan semua dengan sejujurnya."
"Aku pun tidak akan mengabaikan kejujuranmu. Aku sudah menyuruh Gale untuk memeriksa semua. Jadi, kita hanya perlu duduk menunggu dengan tenang." Sorot mata Xavier tampak berubah, seolah menantang Elodie. "Kita akan melihatnya nanti. Apakah memang ada penyusup atau kau hanya sedang berhalusinasi. Mungkin saja bukan? Kau stres karena sudah tinggal di sini dalam kurun waktu lama, lalu akhirnya kau pun membayangkan yang tidak-tidak."
Elodie berdecak sembari mengisi piringnya dengan salad quinoa dengan alpokat dan telur, lalu mulai dinikmatinya sarapan. "Kupikir banyak hal lain yang lebih menyenangkan ketimbang aku mengkhayalkan kedatangan penyusup di malam hari. Lagi pula kutegaskan padamu, Xavier. Terserah apa kata Rory atau pendapatmu, nyatanya aku lebih mempercayai firasatku dan firasatku mengatakan memang ada penyusup di sini. Dia sedang mengawasiku."
"Firasat yang bagus."
Sekali, Elodie mengangguk. "Aku selalu percaya dengan firasatku. Kalau tidak maka bisa dipastikan kita tidak akan pernah bertemu, Xavier. Perlu kau ketahui, aku tak akan bisa hidup sampai detik ini tanpa mempercayai firasatku."
Sesuatu pada ucapan Elodie membuat Xavier menyipitkan mata. Sejenak, ditatapnya Elodie yang tampak santai saja menikmati sarapan, berbanding terbalik dengan makna tersirat yang ditangkapnya.
Elodie menjeda sarapannya. Xavier yang diam saja membuatnya jadi mengerutkan dahi. Lalu wajahnya pun terangkat. "Mengapa? Kau tidak percaya?" tanyanya sebelum mendeham untuk sejenak. "Baiklah, aku akan memberimu satu bukti."
"Bukti?"
Satu anggukan diberikan oleh Elodie sebelum dia menaruh garpu di piring. Sikapnya tampak tak main-main ketika memberi bukti yang dimaksud. "Firasatku pernah menyelamatkanku dari ayahku. Aku membunuhnya."
Xavier tidak terkejut sama sekali untuk pengakuan Elodie. Sebaliknya, dia malah menyeringai tipis. Satu sudut bibirnya naik walau samar. Semua persis dugaannya dulu. Tepatnya adalah ketika Gale menceritakan perihal kehidupan Elodie di masa lalu dan dia sempat mencurigai Elodie-lah dalang dari kematian Landry. Sekarang, kecurigaannya mendapatkan validasi.
Di lain pihak, reaksi Xavier yang terkesan santai justru membuat Elodie jadi mengerutkan dahi. Maka ditanyanya. "Apa kau mengira aku berbohong?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab Xavier sambil meraih cangkir kopi. Disesapnya kopi pahit itu, lalu lanjut bicara. "Sebaliknya, aku percaya padamu."
Kali ini malah Elodie yang diam. Ditatapnya Xavier dengan lekat, lalu dia menunggu. Bisa saja sesaat kemudian Xavier tertawa atau menunjukkan ekspresi lain yang mengindikasikan pengejekan atau semacamnya. Namun, sepertinya tidak ada. Semenit telah berlalu dan mimik wajah Xavier tak berubah sama sekali.
Elodie membuang napas. Pikirnya, sesuka Xavier saja. Jadilah dia berniat untuk melanjutkan sarapan, tetapi terdengar Xavier bertanya.
"Ceritakan padaku, bagaimana caramu membunuhnya?"
Elodie terdiam sejenak. Lalu disadari olehnya bahwa mata Xavier menyiratkan ketertarikan dengan ceritanya barusan. Jadilah dia menarik napas sekilas sebelum menjawab. "Aku memanfaatkan kebiasaan buruknya."
Kejadian masa lalu diuraikan oleh Elodie dalam sepenggal cerita hanya dalam waktu lima menit. Dia menceritakannya dengan nada suara ringan dan ekspresi biasa-biasa saja. Sesekali, dia pun bercerita sambil kembali melanjutkan sarapan.
Kisah tragis itu berakhir bertepatan dengan habisnya sarapan di piring Elodie. Lalu diraihnya serbet makan dan dilapnya bibir.
Rasa kenyang menghadirkan kenyamanan. Mungkin karena itulah mengapa Elodie tersenyum lebar sembari menatap Xavier. "Bagaimana? Apa ada yang ingin kau tanyakan?"
"Ada," jawab Xavier dengan rasa penasaran yang berpijar di sepasang matanya. "Satu hal yang ingin kutahu, bagaimana perasaanmu setelah membunuhnya?"
"Perasaan? Perasaanku setelah membunuhnya?" Elodie mengulang pertanyaan Xavier sembari menyesap rasa kata-kata itu di lidahnya. Ingatan tertarik ke belakang dan dia tak akan salah mengingat perasaannya kala itu. Jadilah dia menjawab. "Tentu saja aku senang."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top