No Mercy 22

Elodie sempat mengira Xavier telah pergi walau ia tak tahu pastinya kapan. Sebabnya adalah ia tak melihat Xavier seharian itu. Memang, ia hanya di kamar. Namun, terkadang Xavier selalu datang untuk mengoceh dan hal itulah yang tak didapatkannya.

Malam telah datang. Elodie pun telah menikmati makan malam sekitar satu jam yang lalu. Sekarang ia duduk bersantai dengan menonton televisi dan pada saat itulah, ia menyadari bahwa tebakannya keliru.

Pintu kamar terbuka tanpa ketukan sama sekali, itu adalah tanda jelas bahwa yang datang adalah Xavier. Jadilah Elodie berdiri dengan serta merta dan spontan saja ia berseru.

"Aku perlu memastikan satu hal. Kau berencana untuk tinggal beberapa hari di sini atau di kamar ini?"

Xavier mengernyit sembari menutup pintu, lalu melangkah. "Apa maksudmu?"

"Tak ada," jawab Elodie santai sambil duduk kembali dan Xavier turut bergabung dengannya. "Aku hanya penasaran saja. Soalnya kau selalu saja datang ke sini, ke kamar ini. Jadilah, sempat kupikir kalau ada harta berharga di sini."

"Untuk sekarang, kau bisa berbesar kepala dengan menganggap bahwa kaulah hal paling berharga untukku, Elodie."

Elodie mendengkus geli. "Aku senang kau mengakuinya, Xavier. Jadi, bagaimana? Apa kau sudah menyelidiki kejadian kemarin? Apakah kau menemukan satu petunjuk pun bahwa aku mengkhianatimu?"

"Untuk sekarang, tidak ada petunjuk apa pun."

"Well." Elodie manggut-manggut, tentu saja ia merasa di atas angin. "Aku yakin tak ada yang bisa mengelabui Gale bukan? Apalagi selama di sini, Rory selalu menjagaku dengan sangat baik."

"Tentu saja."

Lama-lama diperhatikan, Xavier bisa muak juga dengan ekspresi Elodie yang penuh percaya diri. Terlebih lagi sorot mata Elodie sekarang tampak menyiratkan cemoohan, seakan tengah mengolok-olok dirinya yang bersikeras dengan tuduhannya.

Namun, benar kata Elodie. Gale dan Rory bukanlah orang sembarangan. Jadi, sangat mustahil bila ada sedikit kecurigaan pun lolos dari mereka.

Xavier menyipitkan mata dengan tangan kanan yang naik ke sandaran tangan sofa. Jemarinya mulai meremas. "Anggap saja ini napas tambahan untukmu, Elodie."

"Tidak ada napas tambahan apa pun, Xavier. Pada kenyataannya, aku memang tidak berbohong."

Xavier akan membuktikan hal tersebut. Nanti, sekembalinya mereka ke Solstice Ridge. Sementara untuk sekarang ia akan memastikan bahwa memang tak ada hal mencurigakan di sekitaran vilanya.

Ini adalah hari kedua. Sejauh ini, semua terlihat aman dan terkendali. Bahkan Gale sudah memeriksa berkali-kali demi memastikan keamanan di sana.

"Baguslah kalau kau memang tidak melakukannya karena kupastikan kalau aku tak mengenal kata ampun, Elodie."

Elodie tersenyum, lalu mengangguk sekali. "Aku senang kita memiliki prinsip yang sama, Xavier."

Rasa percaya diri Elodie semakin menjadi-jadi dan itu membuat Xavier semakin yakin bahwa tinggal beberapa hari di Solstice Ridge bukanlah hal buruk. Paling tidak ia memang harus memastikan keadaan di sana benar-benar aman mengingat peluang Elodie tidak berkhianat masih ada.

Xavier memindahkan topik pembicaraan. Ada satu hal yang mengusik dirinya berkat tinggal bersama Elodie di sana selama dua hari. "Kuperhatikan, kau selalu berias." Dilihat olehnya palet mekap di atas meja rias walau hanya sedetik. "Apakah itu memang kebiasaan wanita untuk tetap mengenakan riasan walau tak pergi ke mana-mana?"

Elodie tertawa. "Aku tak tahu dengan wanita lain karena aku tak memiliki teman. Unttukku sendiri, ini adalah kebiasaan dan bisa dikatakan terapi untuk menenangkan diri."

"Tampaknya terapimu agak berbeda dengan orang kebanyakan."

"Berias membuatku terlihat cantik," ujar Elodie di sela-sela tawa yang perlahan memudar. Lalu ia tersenyum dan sedikit memasang pose. "Lihat. Bukankah aku cantik?"

Xavier mendengkus dan Elodie kembali terbahak.

"Kau mungkin tak percaya, Xavier, tetapi kau bisa memeriksanya sendiri di instagram. Nama akunku adalah @elodieford. Pengikutku lumayan banyak dan aku adalah selebritis instagram."

Xavier hanya manggut-manggut. "Oh."

Sekarang Elodie membuang napas panjang. Pembahasan perihal instagram dan pengikutnya yang sudah mencapai ratusan ribu itu membuatnya jadi merenung. Jadilah ia berkata pada diri sendiri dengan suara rendah. "Entah apa yang sekarang terjadi pada para pengikutku. Mereka pasti merindukanku karena aku telah lama tidak melakukan aliran langsung."

"Jika kau memang memedulikan mereka, bagaimana kalau kau menyerahkan video itu sekarang juga? Dengan begitu, kau bisa langsung meninggalkan Larkspur Hollow. Bagaimana? Ide yang bagus bukan?"

Elodie tersenyum miring. "Tak perlu mencoba untuk merayuku, Xavier. Aku tak akan goyah."

"Baiklah. Kalau begitu artinya kau memang senang tinggal di sini."

"Ini bukanlah tempat tinggal yang buruk. Jadi, ya. Bisa dikatakan kalau aku cukup senang tinggal di sini."

Rasa-rasanya Xavier agak menyesal juga sudah menyekap Elodie di Larkspur Hollow. Dulu, ketika ia memerintahkan Gale untuk membawa Elodie ke sana, tujuannya hanya satu, yaitu itu adalah tempatnya yang teraman. Sekaligus, nyaman.

Xavier tidak suka berlama-lama berada di tempat yang kumuh atau tak terawat. Jadilah dipikirnya ia tak akan bertahan bila harus menginterogasi Elodie di tempat semacam itu. Sayangnya, hal tersebut mungkin justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Kekesalan Xavier terdeteksi oleh Elodie. Jadilah ia kembali terbahak sembari geleng-geleng. "Tenanglah, Xavier. Lagi pula semua tak akan selamanya. Aku hanya perlu tinggal di sini, ehm." Ia mengerutkan dahi sambil berusaha berpikir. "Mungkin sekitar 80 hari lagi."

"Kuharap waktu akan segera berlalu."

"Kuharap juga begitu," ujar Elodie mengangguk, sependapat dengan harapan Xavier. "Jadi, kalau boleh aku tahu, berapa lama kau tinggal di sini? Seminggu? Atau lebih?"

Xavier menggeleng samar. "Tak pasti. Kapan aku mau maka aku bisa pergi dari sini kapan pun juga."

"Aku tahu itu, tapi kupikir kau punya banyak kerjaan."

"Semua bisa diatur. Lagi pula aku tak mau mengambil risiko." Xavier menyandarkan punggung. Tangan kanan yang semula berdiri di sandaran tangan sofa pun turun perlahan, mengambil posisi santai. "Sejujurnya aku juga memerhatikanmu dari kemarin. Siapa yang ingin mengambil risiko bila kau mendadak benar-benar terguncang dan trauma?"

"Sudah kubilang tadi, aku punya terapi sendiri, yaitu berias. Perlu kau ketahui Xavier, wajah cantik membuatku yakin bahwa semua baik-baik saja."

Sebenarnya, cukup masuk akal. Xavier mengakuinya, tapi tak urung juga ia menukas. "Baguslah. Dengan begitu, kuyakin tidurku tak akan terganggu oleh jeritan histerismu di tengah malam."

"Apa?" Elodie melongo, lalu mendengkus geli. "Kau pikir aku akan trauma dan menjerit histeris di tengah malam?"

"Siapa yang tahu? Bisa saja bukan?"

"Kukatakan padamu, dibutuhkan penyerangan yang lebih berbahaya untuk bisa membuatku trauma. Bahkan kalaupun aku trauma, kupastikan aku tak akan menjerit histeris di tengah malam."

Xavier menyipitkan mata. Mimiknya tampak ragu. "Benarkah?"

"Tentu saja."

Xavier mengangguk sekali.

Jadilah sekarang Elodie yang menyipitkan mata. "Mengapa? Apa kau kecewa?"

"Tidak sama sekali."

"Kau bukannya berharap bisa mendengar jeritanku di tengah malam bukan?"

Ada sesuatu yang aneh dari pertanyaan itu. Jadilah Xavier kembali menatap Elodie. "Apa maksudmu?"

"Aku tak bermaksud apa-apa." Elodie menjawab santai sembari menarik udara dalam-dalam. "Aku hanya sekadar memberi tahu bahwa setrauma apa pun, aku tak akan menjerit."

Elodie bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasakan ketakutan dan berakhir dengan jeritan. Seingatnya, dulu, ia memang pernah menjerit kesakitan. Namun, itu sudah sangat lama dan sekarang dirasanya tak ada lagi hal di dunia ini yang bisa menakutkannya. Titik paling mengerikan telah ia lalui.

"Mengapa? Apa kau ingin membuktikan kebenaran perkataanku? Apa kau ingin mencoba membuatku menjerit?"

Xavier tak menjawab, melainkan terus ditatapnya Elodie dengan tajam. Ia tak berkedip sama sekali.

Elodie membalas tatapan Xavier dengan tak kalah tegasnya. Ia pun tak berkedip dan jadilah mereka terus menatap satu sama lain dalam kurun waktu yang tak sebentar.

Intensitas meningkat. Xavier dan Elodie sama-sama tak ingin mengalah. Mereka seperti tengah menyerang tanpa benar-benar melakukan serangan. Keduanya juga bertahan, kompak penasaran akan siapakah yang menjadi pemenang nantinya.

Pada akhirnya, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Xavier dan Elodie mengakhiri tantangan itu dengan sama-sama bangkit dari duduk. Sedetik kemudian, Elodie mendapati dirinya ditubruk Xavier dan jadilah mereka jatuh di tempat tidur.

Elodie mengerjap berulang kali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan fokus mata, tetapi semua sungguh tampak bergoyang-goyang dalam penglihatannya.

Elodie mengerjap berulang kali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan fokus mata, tetapi semua sungguh tampak bergoyang-goyang dalam penglihatannya. Jadilah satu kekhawatiran timbul di benaknya, jangan saja lampu kristal di langit-langit akan jatuh sebentar lagi.

"Xavier."

Di sela-sela usaha untuk tetap bernapas, Elodie bicara dengan suara putus-putus, nyaris tak terdengar. Pikirnya, mungkin dengan menyebut nama Xavier bisa membuatnya tersadar akan situasi yang tengah terjadi. Sayangnya, tidak.

Bola mata Elodie berputar, lalu ia memejam. Ia mengerang panjang dan tubuhnya menggeliat. Ciuman dan rabaan yang menghujani tubuhnya, membuat ia lupa akan dunia.

Elodie merasakan ada basah dan kehangatan yang tertinggal di leher ketika Xavier tuntas memberikan kecupan dalam di sana. Lantas dirasakan pula olehnya bibir Xavier melata dan berpindah tempat.

Tiba-tiba saja Elodie tak bisa bernapas. Xavier merenggut udaranya. Jadilah ia membuka mulut lebar-lebar dan lantas Xavier justru memagut bibirnya.

Xavier benar-benar tak memberi jeda pada Elodie untuk sekadar beradaptasi pada tindakannya. Ia terus mendesak sehingga Elodie tersudut. Lalu dilihat olehnya kedua tangan Elodie naik dan meremas pundaknya.

Kuku-kuku Elodie menusuk dan Xavier menggeram. Darahnya berdesir deras. Jantung terpacu dan suhu tubuhnya meningkat dengan cepat.

Xavier menindih tubuh Elodie. Jadilah ia meremang. Dirasakan olehnya sesuatu yang keras menekan perutnya—kejantanan.

Mata Elodie mendadak kembali mendapatkan fokusnya. Mata membuka lebar dan udara tertahan di dada. Tiba-tiba saja tubuhnya menegang.

Xavier melepaskan bibir Elodie. Sekarang disusurinya kulit wajah Elodie hingga mencapai telinga. Lalu ia mengulum daun telinga Elodie dengan lumatan yang basah, hangat, dan penuh irama.

Ketegangan Elodie berubah menjadi gemuruh di dada. Ia membuang napas dan buru-buru dihirupnya lagi udara. Remasannya di pundak Xavier yang sempat terjeda pun lanjut menusuk kembali.

Xavier bermain-main sejenak di telinga Elodie. Ia memberi gigitan-gigitan kecil sementara satu tangannya mulai bergerilya. Dirabanya tubuh Elodie dengan sentuhan seringan bulu, lalu ia menyusup melalui tepian bajunya.

Elodie merenang. Jari Xavier mengusap perutnya dan ia merasakan bahwa aneka kupu-kupu mulai beterbangan di dalam sana.

Xavier tak berhenti. Ia terus menjelajah hingga tiba di pelabuhan pertama. Ditangkup olehnya payudara Elodie dan mulailah ia meremas dengan irama yang memabukkan.

Elodie merasa pusing. Napasnya mulai susah. Sentuhan Xavier membuatnya merasa terombang-ambing. Jadilah ketegangan yang sempat datang langsung enyah seketika. Kehadirannya tergantikan oleh ketegangan yang lain.

Tubuh Elodie bergetar hingga ke ujung kaki ketika Xavier membelai puting payudaranya. Ia menggigit bibir dan memejamkan mata ketika Xavier menurunkan pundak bajunya.

Mata Xavier menggelap ketika ia berhasil mengenyahkan atasan Elodie. Pakaian dan bra Elodie telah melayang entah ke mana. Jadilah keindahan feminin itu terpampang nyata di depan matanya.

Xavier meneguk ludah, lalu langsung menundukkan wajah. Lidahnya meluncur, diberinya sapaan pada puting payudara Elodie. Ia membelai dan juga mengusap. Diciptakannya sensasi yang tak pernah Elodie bayangkan selama ini.

Jari-jari kaki Elodie melengkung. Ia mencoba untuk tetap sadar, tetapi cumbuan Xavier membuatnya jadi memedulikan apa-apa. Semua menghilang dari dalam kepala dan hanya satu yang ia tahu, Xavier.

Xavier mengakhiri cumbuan pada payudara Elodie. Ia buru-buru mengenyahkan semua pakaian yang masih melekat di tubuh mereka dan kembali menaungi Elodie.

Hasrat naluriah yang sempat menjalari sekujur tubuh Elodie sontak membeku. Dingin perlahan muncul dan berusaha untuk menguasainya secara keseluruhan, fisik dan psikis.

Xavier meraba lekuk pinggang Elodie. Jadilah ia mengerjap. Dahi mengerut dan ia berusaha mengingat, tetapi yang muncul hanyalah warna hitam.

Elodie menyadari bahwa entah kapan, sosok menakutkan itu tak ada lagi di dalam benaknya. Mungkin, di hari ia membenci dengan setengah mati, sosok itu telah tertolak secara alamiah oleh alam bawah sadarnya.

Lagi pula Elodie telah membalas dendam dan sakit hatinya. Ia tak lagi tersakiti selama bertahun-tahun. Selain itu, tak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa menakutinya, mungkin termasuk Xavier.

Elodie telah lama menjadi manusia yang bebas. Ia tak ubah burung yang bisa terbang sejauh yang diinginkannya. Batasan dan hambatan, tak pernah menjadi penghalangnya.

Dingin berangsur lenyap dan hadirlah hangat yang membara. Detak jantung Elodie semakin meningkat ketika dirasakan olehnya ujung jari Xavier bermain-main di sekitar pusar. Ia bertanya-tanya akan apa yang dilakukan oleh Xavier kemudian dan jawaban datang dalam waktu yang singkat.

Xavier mengusap kelembaban yang mengalir di kewanitaan Elodie. Ujung jarinya menggoda dan jadilah Elodie melengkungkan tubuh.

Elodie telah siap secara fisik, entah secara psikis. Xavier sedikit ragu. Walau begitu, ia tak akan bertanya. Ia tak ingin Elodie tahu bahwa dirinya mengetahui masa lalunya yang kelam. Selain itu, bertanya akan membuatnya terlihat melankolis dan itu membuatnya jadi muak.

Xavier memutuskan untuk terus maju. Pikirnya, Elodie bukanlah wanita yang bisa diintimidasi. Melihat dari karakternya, ia yakin Elodie tak segan mendorongnya bila merasa terdesak.

Namun, tak ada dorongan. Sebaliknya, Elodie malah memutar bola mata dan memejam sembari menggigit bibir bawah.

Xavier memasuki Elodie. Mata menyipit dan ia sempat merasakan ketegangan yang tak seharusnya tengah terjadi di bawah sana. Jadilah ia menundukkan wajah, lalu melumat daun telinga Elodie.

Dada Elodie naik turun dalam terjangan gairah. Perlahan, tubuhnya melunak dan Xavier mulai bergerak.

Xavier menciptakan irama yang tepat. Ia memulai dengan ketukan yang lamban, lalu mulai meningkat seiring waktu. Jadilah ia mulai menikmati waktu yang berlalu walau disadarinya ia tak ubah tengah berhubungan badan dengan seonggok kayu.

Elodie memang tidak menjadi patung. Sejatinya, ia masih bergerak. Namun, ia memang benar-benar buta.

"Xa-Xavier."

Xavier mengerjap. Ada keringat melintas dan masuk ke mata. Sedikit perih, tetapi bisa diatasi dengan muda. Dilihatnya Elodie yang saat itu berpipi merah dengan bibir yang merona.

Elodie tampak alami dan itu membuat Xavier tak mampu mengendalikan diri. Ia pun melupakan irama yang sempat dibangun dan sekarang bergerak dengan membabi buta.

Bola mata Elodie sontak membesar. Ia menarik udara dan menahan di dada. Dicobanya untuk bertahan, tetapi Xavier merenggut bibirnya dengan tiba-tiba.

Elodie merasakan ketegangan Xavier. Insting alamiahnya bangkit dan kedua tangannya naik, berusaha mendorong pundak Xavier. Namun, Xavier dengan cepat menangkap kedua tangannya dan lantas menggenggam jemarinya di masing-masing sisi kepala.

Xavier mendorong tanpa ampun. Ia terus menghujam dan diredamnya rengekan Elodie dalam ciumannya. Lalu, ia pun meledak di waktu yang tepat.

Semua pergerakan berhenti sampai di sana. Xavier ambruk di tubuh Elodie dengan ciuman yang masih terus melumat.

*

bersambung ....

adegan ini ga sepanjang tulisan aku biasanya ya? hahaha. soalnya, aku pikir kalau ditulis kayak biasa, itu bakal mempengaruhi alur cerita. dari awal alur cerita ini lebih sat set sat set ketimbang aku biasanya, jadi ya adegan ini juga harus penyesuaian.

btw. aku sekarang lagi bertanya-tanya, apa lagi ya yang harus aku masukin di cerita ini? Xavier hukum anak buahnya yang berkhianat dan dibunuh dengan cara mengiris nadi di leher udah. Adegan perkelahian Gale udah. Adegan Elodie bunuh orang sampe muka itu orang hancur udah. Transaksi senjata dan obat; pemeriksaan kepolisian; dan adegan soal kerjaan Xavier yang CEO dan mafia juga udah. Ehm. Ada masukan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top