No Mercy 20
Kemungkinan yang paling dihindari oleh Xavier, tetapi menjadi satu-satunya hal yang paling masuk akal. Agaknya bukan hanya dirinya yang mengetahui perihal video tersebut. Ada pihak lain yang mengetahuinya dan berencana untuk mendapatkannya.
Xavier tak bisa mengambil risiko. Ia segera memutar otak untuk menyusun rencana antisipasi. Keadaannya sekarang sudah terdesak dan ia tak membutuhkan masalah tambahan.
"Sepertinya aku harus tinggal di sini selama beberapa hari," ujar Xavier sambil membuang napas. Ia memutar tubuh dan beranjak ke luar. Gale mengikutinya. "Aku perlu menilai situasi yang tengah terjadi."
Gale paham dan ia pun segera bertindak. Ketika mereka tiba di ruang kerja Xavier, ia segera menghubungi Amara. Panggilannya diangkat dan ia berkata.
"Segera atur ulang jadwal Tuan Xavier. Dalam beberapa hari ini dia tidak bisa berada di kantor. Rapat dan pertemuan penting yang tak bisa ditunda akan diadakan secara virtual."
Sementara itu Xavier telah duduk di meja kerja. Satu tangan terangkat di atas meja dan jemarinya terus meremas tanpa henti. Ia tengah berpikir, diingat-ingatnya lagi kejadian belakangan ini.
Nihil. Xavier yakin seratus persen bahwa memang tidak ada orang lain yang mengetahui keberadaan Elodie dan itu membuatnya berpindah pada skenario lain, yaitu Elodie pernah membicarakan perihal video itu pada orang lain sebelum padanya.
Wajah Xavier berubah. Rahang berubah kaku dan giginya bergemeletuk. Ia menyumpah habis-habisa di dalam hati. Sialan kau, Elodie. Kalau dugaanku benar maka kau benar-benar dalam masalah.
Xavier menarik napas dalam-dalam. Disisihkannya kemungkinan Elodie mencuranginya. Sekarang ia fokus pada kemungkinan pertama. Bila ada orang lain yang ingin menangkap Elodie karena video itu maka yang harus dilakukannya adalah memastikan keamanan Elodie.
Semua hal bisa terjadi. Xavier tak ingin mengambil risiko apa pun. Jadilah ia perintahkan Gale untuk memanggil Rory.
Lima menit berselang, Rory datang ke ruang kreja Xavier. "Ada apa, Tuan?"
"Aku ingin kau memperketat penjagaan di sini," jawab Xavier tanpa tedeng aling-aling. Jemarinya terus meremas dan wajahnya tampak serius. "Pastikan tidak ada orang luar yang mendekati vila. Paling tidak aku ingin semua bersih dalam radius sepuluh kilometer. Segera tangkap bila ada orang yang mencurigakan."
Sebagai daerah terlupakan, nyaris tak ada lagi orang yang menginjakkan kaki di Larkspur Hollow. Keberadaan Larkspur Hollow seolah benar-benar telah menghilang dari muka bumi, terkecuali bagi mereka yang memiliki hobi berburu. Sebagian masih menganggap Larkspur Hollow sebagai surga indah untuk mereka yang suka memacu adrenalin dengan senapan dan binatang liar.
Selama ini Xavier masih mendapati satu atau dua orang pemburu yang melintas di sekitaran vilanya dan ia tak masalah sama sekali. Namun, sepertinya sekarang ia tak ingin mengambil risiko. Vila dan sekitar Larkspur Hollow harus benar-benar bersih dari orang tak dikenal.
Rory mengangguk. "Aku akan segera mengatur penjagaan. Tidak akan ada orang luar yang memasuki kawasan Larkspur Hollow."
"Selanjutnya kau bisa membereskan mayat-mayat itu. Aku sudah tak membutuhkannya lagi dan lakukan dengan berhati-hati. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal."
Rory kembali mengangguk. "Baik, Tuan."
Xavier menyuruh Rory keluar setelah semua dirasanya cukup. Ia beralih pada Gale yang masih sibuk dengan ponsel dan tablet. Jadilah ia menunggu sejenak.
Sesaat berlalu. Semua telah dikondisikan dengan sebaik mungkin. Gale telah mengatur ulang semua hal berkenaan dengan pekerjaan Xavier.
"Lalu bagaimana dengan peluncuran pistol V-5001, Tuan? Apakah perlu ditunda?"
Xavier menggeleng. "Tidak perlu. Kasus Caleb sudah membuat banyak rencanaku harus tertunda. Jadi, aku tidak ingin menunda apa pun lagi."
"Baik, Tuan."
"Walau begitu aku tidak ingin mengambil risiko. Jadi, kau hubungi Manuel," perintah Xavier sembari meremas jemari tangan. "Suruh dia untuk menyiapkan penjagaan khusus. Aku tidak ingin peluncuran pistol V-5001 mengalami masalah sedikit pun."
Gale mengangguk. "Baik, Tuan. Aku akan segera menghubungi Manuel."
Tak ada yang terlewatkan. Xavier telah memastikannya. Namun, perasaannya tetap tak bisa ditenangkan.
*
Kelegaan Elodie tidak bertahan lama. Setelah Xavier pergi dan ia menuntaskan sarapan, ia beranjak ke kamar mandi. Niatannya adalah ingin bersantai di dalam bak mandi, tetapi ia malah melihat luka dan memar di tubuhnya. Jadilah ia tertegun dan meremang seketika.
Elodie tak mengira bahwa serangan semalam separah itu. Ia memang merasakan pegal di sekujur tubuh, tetapi ia tak mengantisipasi luka dan memar yang ternyata juga ada. Betis dan pahanya penuh dengan lebam, diduganya karena ia sempat bergulingan di hutan. Selain itu tangannya pun penuh dengan lecet dan goresan, penyebabnya pastilah ranting-ranting dan semak belukar yang diterabasnya.
Alhasil bukan kelegaan yang Elodie dapatkan ketika berendam, melainkan sebaliknya. Rasa perih menyentak di sekujur tubuh dan ia mati-matian menggigit bibir agar tidak menjerit. Dibutuhkan waktu beberapa saat untuknya beradaptasi dengan rasa perih itu, setelahnya barulah ia bisa bersantai seperti harapan semula.
Elodie menghabiskan hari itu tak seperti biasa. Ia yang kerap menikmati waktu dengan camilan dan telenovela memilih untuk tidur saja. Dibaringkannya tubuh yang terasa remuk itu di atas tempat tidur dan ia pun beristirahat.
Kesadaran Elodie kembali datang sesaat sebelum makan malam datang. Jadilah ia putuskan untuk sekadar merapikan penampilan. Ia mengganti pakaian dan menyempatkan diri untuk berdandan.
Pintu diketuk. Elodie melirik dan makan malamnya telah datang. Dibiarkannya pelayan menyajikan makan malam di meja sementara ia lanjut memulas lisptik di bibir.
"Apa kau ada acara malam ini? Mengapa kau berdandan?"
Suara berat itu membuat Elodie melirik melalui pantulan cermin dan dilihatnya Xavier masuk. Jadilah ia benar-benar berpaling dengan kuas lipstik yang masih tertahan beberapa sentimeter di depan bibir. "Xavier, kupikir kau sudah pergi."
Xavier duduk di meja makan. "Sepertinya aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari."
"Tinggal di sini untuk beberapa hari?" tanya Elodie memastikan dan Xavier mengangguk. Kepastian itu membuatnya jadi buru-buru menuntaskan sapuan lipstik terakhir di bibir, lalu dirapikannya palet mekap sebelum bangkit. "Mengapa? Apa ada sesuatu yang akan terjadi?"
Xavier tak mengatakan apa-apa hingga pelayan selesai menyajikan makanan dan keluar. Pintu kembali tertutup dan tinggallah mereka berdua di kamar.
"Tidak ada."
Elodie menyipitkan mata. "Bohong. Kau tidak mungkin tidak di sini kalau tidak ada apa-apa. Kau kan sibuk."
"Aku senang kau menyadari kalau aku adalah orang yang sibuk," ujar Xavier sembari menarik napas. Kedua tangan naik ke atas meja dan jari-jarinya saling bertautan. "Dengan begitu, semua akan jadi lebih gampang untukku."
Perasaan Elodie jadi tak enak. Ekspresi dan kata-kata Xavier membuat alarm peringatannya sontak berdering. "Apa maksudmu, Xavier?"
"Aku langsung ke intinya saja, Elodie. Jadi, sebenarnya siapa saja yang mengetahui soal video tersebut?"
Elodie tak langsung menjawab seolah butuh waktu untuk mencerna pertanyaan Xavier. Matanya mengerjap berulang kali. "Hanya kau, Xavier. Selain aku, hanya kau yang mengetahui soal video itu."
Tatapan Xavier menajam. "Apakah kau yakin?"
"Aku yakin," jawab Elodie seraya meneguk ludah. Dirasanya sikap Xavier agak berbeda malam itu. Tatapan Xavier terasa lebih tajam dari biasanya. "Aku yakin seratus persen, Xavier. Hanya kau yang mengetahui video itu. Tidak ada yang lain."
Xavier diam. Ia tak mengatakan apa-apa dan terus menatap Elodie tanpa kedip.
Elodie mendeham. "Memangnya mengapa kau sampai menanyakan itu? Kau meragukan kejujuranku?"
"Kaulah yang paling mengerti kalau kejujuranmu memang patut untuk diragukan."
Dahi Elodie mengerut. "Apa maksudmu?"
"Maksudku sederhana, Elodie. Penyerangan semalam ditujukan untukmu. Target mereka adalah kau."
Wajah Elodie berubah seketika. Pundaknya terjatuh dan ia bengong untuk sesaat.
"A-apa?" tanya Elodie terbata. Ia menarik napas dalam-dalam. "Target mereka adalah aku?"
Xavier mengangguk sekali. "Kau pasti menyadarinya bukan? Dari awal mereka mengincar dirimu, bukan Gale, apalagi aku."
"Apa mak—"
Ucapan Elodie terhenti di tengah jalan. Otaknya bekerja dan semua ingatan kejadian semalam berputar dengan cepat di dalam kepala.
Elodie tertegun ketika ingatannya mengonfirmasikan kebenaran perkataan Xavier. Jelas sekali diingatnya bahwa sedari awal si penyerang langsung menuju pada dirinya. Bahkan setelah ia berhasil melumpuhkan seorang penyerang dengan hak sepatu maka ada penyerang kedua yang kembali mencoba untuk menangkapnya.
Sikap mereka sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa target mereka adalah Xavier. Mereka sama sekali tidak terkejut melihat aku yang duduk di kursi penumpang, alih-alih Xavier.
Mata Elodie sontak terpejam. Ia menggeleng berulang kali. "Tidak. Itu mustahil. Lagi pula untuk apa mereka menargetkanku? Aku tidak mengenal mereka."
"Persisnya itulah yang sekarang menjadi pertanyaanku, Elodie."
Elodie membuka mata. "Aku tidak tahu, Xavier."
"Apa yang tidak kau ketahui? Siapa mereka atau tujuan mereka menargetkanmu?"
"Semuanya," jawab Elodie geram. Bola matanya membesar dan ia mendelik. "Aku tidak tahu mereka dan aku juga tidak tahu mengapa mereka menargetkanku."
"Mustahil."
Elodie mencoba untuk tidak menggeram. "Aku tidak berbohong padamu, Xavier. Aku berani bersumpah. Aku benar-benar tidak mengenal mereka dan kalau kau tidak mengatakannya tadi maka aku pun tidak akan kepikiran kalau sebenarnya aku yang menjadi target mereka."
"Ehm."
Hanya dehaman singkat yang Elodie dapatkan sebagai respons untuk pembelaan dirinya. Jadilah ia mengatupkan mulut rapat-rapat sementara Xavier hanya menatapnya.
"Sesukamu saja, Xavier. Kalaupun aku berbohong, aku tetap tidak mendapatkan keuntungan apa-apa."
"Benarkah begitu?" tanya Xavier dengan tangan kiri yang meninggalkan meja makan. Tertinggal tangan kanan di atas meja makan dan jarinya mulai meremas. "Jujur saja, Elodie. Aku tiba-tiba terpikirkan satu keuntungan yang bisa kau dapatkan."
Elodie mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Kau bisa memanfaatkan penjagaanku untuk melindungimu dari mereka. Jadi, aku bertanya-tanya. Apakah dari awal kau memang sengaja mendatangiku agar selamat dari mereka."
"Kau gila, Xavier." Elodie melongo. Lalu ia malah berdecak dan menggerutu. "Kau tahu sesuatu? Seharusnya kau bukan menjadi mafia, tetapi menjadi penulis naskah telenovela. Imajinasimu sungguh di luar logika."
Xavier mendengkus. "Benarkah begitu?"
"Tentu saja benar. Sudah kukatakan. Aku tidak mengenal mereka."
"Sayangnya, aku meragukan itu, Elodie," ujar Xavier dengan jari yang meremas semakin cepat. "Jadi, lebih baik kutanyakan langsung padamu. Apakah ini ada hubungannya dengan video Caleb?"
"Video Caleb? Maksudmu ...." Elodie memelotot. "Kau menuduh aku menawarkan video itu pada mereka juga?"
Remasan tangan Xavier berhenti dan sekarang jemarinya mengepal. Ditatapnya Elodie tanpa kedip. "Apakah itu hanya sekadar tuduhan atau memang kenyataan?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top