No Mercy 2
Trigger Warning! Nanti kalau dirasa hawa-hawanya ga enak, langsung buru-buru scroll sampe pindah adegan.
*
"Lepaskan aku, Landry! Biarkan aku pergi dengan anak-anakku!"
Landry menggeram. Ia menarik Elodie dan menghempaskannya. Tubuh kecil Elodie tak berdaya dan terbanting di lantai.
"Elodie!"
Paula menjerit. Elodie mengerang kesakitan dan mengulurkan tangan.
"Mama."
Kaki bergerak, tetapi langkah Paula tertahan ketika Landry mengadang jalannya. Ia benar-benar murka.
"Jangan harap kau bisa pergi dari rumah ini, Paula. Jangan harap!"
Landry membentak garang. Ia maju dan berusaha untuk meraih tangan Eloise.
Paula menepis tangan Landry dan segera menarik Eloise ke belakang tubuhnya. Menggeleng berulang kali, air mata telah jatuh di pipinya.
"Aku mohon, Landry. Biarkan kami pergi. Biarkan kami hidup tanpa rasa takut."
Bentakan Landry kembali pecah. Kali ini diiringi oleh vas yang terangkat tinggi dan kemudian dibantingnya dengan sekuat tenaga di lantai.
"Ah!"
Eloise menjerit dan memeluk kaki Paula. Tubuhnya gemetaran dan ia mulai terisak.
"Mama, aku takut."
Demikian pula dengan Paula. Ia bisa melihat kemarahan yang berkobar di mata Landry. Pria itu benar-benar di ambang batas kesadaran.
"Kau ingin hidup tanpa rasa takut?" tanya Landry mengulang perkataan Paula. Lalu ia mendengkus. "Kalau begitu, jadilah wanita penurut. Jangan macam-macam dan tetap tinggal di rumah ini."
Paula menggeleng. Ia tahu, tetap tinggal di rumah itu adalah cari mati. Hanya tinggal menunggu waktu saja hingga Landry benar-benar gelap mata dan kehilangan akal sehat. Landry bisa melakukan apa saja.
Keadaan mendesak. Kesempatan tak akan pernah datang dua kali.
Paula tidak ingin mengambil risiko untuk mengalah kali ini demi mendapatkan kesempatan lain. Siapa yang bisa menjamin? Bisa saja esok pagi Landry sudah mengurung dan merantai kaki mereka.
Ini satu-satunya kesempatan yang aku miliki, tetapi ....
Tatapan Paula jatuh pada Elodie. Bocah kecil itu merayap di lantai seraya terus mengulurkan tangan. Air mata menggenang bersamaan dengan lelehan darah di kepalanya. Ia merintih sakit.
"M-Mama."
Paula menggigit bibir bawah. Ia tak akan bisa menyelamatkan Elodie. Pertaruhannya sangat besar dan ia malah bisa kehilangan kedua putrinya.
"Maafkan Mama, Elodie."
Paula mengangkat tubuh Eloise, menggendongnya. Di seberang sana, Elodie menggeleng.
"Jangan tinggalkan aku, Ma."
Berat, tetapi Paula menguatkan hati. Ia berjanji akan menjemput Elodie suatu saat nanti. Sekarang ia perlu menyelamatkan diri bersama Eloise terlebih dahulu.
"Hahaha."
Tawa Landry pecah. Ejekan terasa nyata dan ia menghampiri Elodie.
Landry menjambak rambut Elodie. Rintihan Elodie pecah dan ia semakin kesakitan.
"Papa!"
Landry menyeringai dengan keringat yang memenuhi wajah. "Ayo! Kabur. Silakan kau kabur, Paula. Kaburlah dan putri kecilmu ini yang akan menanggung semua penderitaanmu."
"Mama, jangan tinggalkan aku."
Bukan hanya Elodie yang meminta, melainkan Eloise dalam gendongan Paula juga. Ia berontak dengan kedua tangan yang terangkat seolah ingin meraih Elodie.
"Elodie, Mama. Elodie."
Paula terjepit. Ia terhimpit oleh hati nurani dan logika.
"Maafkan Mama."
Kalimat penyesalan terucap lagi dari bibir Paula. Ia menatap Elodie dengan berurai air mata permohonan.
"Maafkan Mama, Elodie."
Elodie menggeleng. Eloise menjerit.
"Mama!"
Namun, Paula mengambil keputusan tersulit. Ia mengambil kesempatan yang ada. Ketika Landry sibuk menjambak Elodie dan mengira kalau dirinya tak akan tega untuk pergi, ia melakukan hal sebaliknya.
Paula segera berlari dan Landry murka.
"Paula!"
Landry mengejar Paula. Namun, terlambat.
"Sialan!"
Kemarahan membakar dada Landry. Kaburnya Paula dan Eloise meninggalkan bara api yang membara detik demi detik.
"Bangsat!"
Elodie meringkuk. Ia melindungi kepala ketika Landry kembali masuk dan membanting semua barang yang ada di sekitarnya.
"Ah!" jerit Elodie. "Papa, berhenti."
Jeritan pinta Elodie menghentikan Landry. Terengah-engah, ia melihat sang putri meringkuk di lantai.
Tidak. Jeritan pinta Elodie tidak menyadarkan Landry. Alih-alih sebaliknya. Itu justru menyulut Landry.
Landry melangkah. Ia dekati Elodie yang justru beringsut mencoba menjauhinya.
"Papa, jangan."
Elodie menggeleng. Ia terus beringsut, tetapi langkah Landry terlalu besar.
"Aku mohon, Pa. Jangan."
Ketakutan membungkus Elodie. Tatapan dan senyum Landry bukanlah ekspresi seorang ayah yang dikenalnya selama ini.
Itu bukanlah Landry yang Elodie kenal. Itu bukanlah ayahnya. Itu adalah iblis.
"Papa!"
*
Bahkan mungkin iblis tidak akan tega menyakiti anak kandungnya sendiri. Bahkan mungkin iblis pun tengah mengutuk perbuatan Landry saat itu.
Rintih Elodie. Tangis Elodie. Ringisan Elodie. Seharusnya itu bisa menyentuh hati nurani Landry. Namun, tidak.
Landry benar-benar menganggap Elodie sebagai pengganti Paula. Ia lampiaskan semua emosi dan murkanya pada Elodie. Semua kemarahan itu dilimpahkannya pada tubuh kecil Elodie yang baru berusia tujuh tahun.
"Papa, sakit. Jangan pukul lagi. Aku mohon."
Elodie memeluk kedua kaki Landry. Air mata bercucuran ketika tubuhnya remuk oleh rasa sakit.
Memar mewarnai. Lebam di mana-mana. Harusnya tanpa permohonan pun Landry akan merasa iba.
Sayangnya Landry justru merasa senang. Ia merasa puas ketika melihat Elodie memohon.
"Kau tahu bukan karena siapa kau mengalami ini semua?" tanya Landry sambil turun. Ia meraih dagu Elodie dan tersenyum melihat bekas luka di sudut bibirnya. "Ini semua karena Paula. Dia meninggalkanmu. Dia yang membuat kau mengalami ini semua."
Elodie mencoba untuk menampik perkataan Landry, tetapi tidak. Nyatanya jauh di dalam lubuk hati, ia juga menyalahkan Paula untuk semua yang terjadi.
Seharusnya Mama tidak meninggalkanku. Seharusnya Mama kembali untuk menjemputku.
Elodie menunggu. Ia terus menunggu sembari melihat melalui jendela. Mungkin Paula akan datang untuk menjemputnya.
Namun, tidak. Harapan tinggal harapan.
Waktu berlalu. Hari berganti. Bulan bertukar.
Paula tak pernah datang. Harapan Elodie pun sirna.
Elodie kehilangan pegangan. Ia tak lagi berharap apa pun. Ia pasrah dengan takdir yang setiap hari mendatanginya. Dalam bentuk jambakan, tamparan, pukulan, dan bahkan tendangan.
Tubuh kecil itu menjerit kesakitan. Tulang belulangnya berontak menahan pilu. Anehnya Elodie tak lagi menangis. Ia hanya diam dan bergeming ketika Landry meluapkan semua kemurkaannya.
Elodie memejamkan mata. Ia menghitung di dalam hati dan hanya ingin hari terus berganti. Mungkin, semua penderitaannya akan segera berakhir.
Namun, lagi-lagi takdir tak berpihak pada Elodie. Penderitaan yang selama ini datang belum seberapa. Malam itu membuktikannya.
Seperti biasa, Elodie pasrah ketika Landry yang mabuk menghajarnya. Ia tak lagi menjerit atau menangis. Semua ia terima tanpa ada rintihan sama sekali.
Sayangnya bukan itu yang diinginkan Landry. Ia ingin mendengar jerit tangis dan isak permohonan Elodie.
"Mengapa kau tak lagi menangis hah? Apa pukulanku tak menyakitkan lagi?"
Elodie tak menjawab. Ia hanya meringkuk di lantai seraya melindungi kepalanya.
"Elodie!" bentak Landry dengan napas kacau. "Jawab pertanyaanku. Aku ini ayahmu!"
Landry bukan lagi seorang ayah di mata Elodie. Rasa benci yang terpupuk di benaknya membuat Elodie melihat Landry tak ubah bagai binatang.
"Elodie!"
Sikap diam Elodie menyulut emosi Landry. Bukan ini yang diinginkannya. Ia harus mendengar rintih kesakitan Elodie. Harus.
Lantas itulah yang terjadi beberapa menit kemudian. Jerit kesakitan dan tangis permohonan Elodie pecah.
"Papa, jangan!"
Elodie berontak. Ia yang mulanya hanya diam dan pasrah, sekarang berontak. Tak lagi meringkuk, ia mencoba untuk menjauhi Landry.
"Hahaha! Akhirnya kau bicara juga, anak jalang!"
Bukan hanya sekadar bicara, tetapi lebih dari itu. Kaki Elodie menendang. Tangannya mencoba memukul. Namun, apalah arti tenaga Elodie dibandingkan Landry yang sudah gelap mata.
Sekali tangan Landry menampar maka Elodie terhuyung. Kesadarannya menipis dan ia tak berdaya ketika kedua tangan Landy bergerak di sekujur tubuhnya.
Landry menyobek pakaian Elodie. Ia hempaskan semuanya dan Elodie sama sekali tak berdaya.
Malam itu, Elodie menyadari bahwa penderitaannya masih bisa terus berlanjut. Ia menangis dan ironisnya, bukan hanya air mata yang meleleh di pipi. Alih-alih darah di pahanya.
*
Pasrah tidak akan pernah menjadi pilihan aman. Diam saja dan menerima semua yang terjadi adalah pilihan terbaik untuk menderita hingga titik terendah.
Ironisnya adalah hal tersebut disadari oleh Elodie yang baru saja berusia delapan tahun. Ia terlalu cepat untuk menerima kenyataan bahwa hidup memang bisa menjadi sangat kejam.
Elodie mengusap air matanya. Pandangan naik dan ia mendapati awan kelabu kembali menutupi langit.
Agaknya musim penghujan masih akan terus berlanjut. Itu berarti rumahnya masih akan kotor untuk beberapa hari ke depan.
Kebiasaan Landry yang menjadi penyebabnya. Ia selalu pulang dalam keadaan mabuk dan sama sekali tidak peduli kalau sepatu kotornya akan meninggalkan jejak tanah di lantai.
Pun tak hanya itu. Landry pun tak peduli kalau kebiasaan makannya akan mengotori dapur dan seisi rumah. Bungkus makanan cepat saji, kulit pisang, dan botol minuman berhamburan di mana-mana.
Elodie tak pernah membersihkannya. Ia jijik menyentuh apa pun yang disentuh oleh Landry.
Namun, pengecualian untuk malam itu. Elodie menekan rasa jijiknya.
Benar. Pasrah dan berdiam diri bukanlah pilihan.
Elodie bertindak dengan sangat hati-hati. Ia susun kekacauan itu untuk menjadi kekacauan yang rapi.
Tak akan ada yang menyadarinya. Elodie tak benar-benar menyentuh dan semua tampak seperti apa adanya.
Petir menggelegar. Hujan tercurah lebat. Landry pulang seperti biasa.
Kesadaran Landry di ambang batas berkat pengaruh alkohol. Ia masuk dengan baju yang basah.
"Elodie!"
Landry membanting pintu rumah. Langkah terseok dan ia memutar pandangan.
"Elodie! Di mana kau anak jalang?!"
Biasanya pertanyaan Landry tak pernah dijawab Elodie, tetapi pengecualian untuk malam itu. Elodie muncul dan menjawab.
"Aku di atas, Pa."
Landry mengangkat wajah. Ia mengerjap sebentar dan akhirnya melihat keberadaan Elodie di lantai atas.
Elodie tersenyum dan melambai. "Ada apa, Pa?"
"Hahaha!"
Landry tertawa. Ia kembali melangkah dengan sedikit terhuyung. Sesekali, ia berpegang di dinding.
"Ternyata kau ada di atas. Tunggu. Papa akan ke atas."
Elodie bergeming. Ia memegang railing void seraya menatap Landry tanpa kedip.
Landry mulai menaiki tangga. Senyum memuakkan bertengger di wajahnya. Langkah terseok dan ia tak memperhatikan tangga sama sekali.
Elodie menunggu. Tubuhnya tegang dalam penantian mengerikan.
Rencana itu bisa saja gagal, tetapi bisa juga berhasil. Pun kalau gagal, Elodie tak bertaruh apa pun. Kehidupannya memang telah mengerikan dan bukan masalah bila menjadi lebih mengerikan lagi.
Terus menaiki tangga. Landry sama sekali tidak melihat apa yang kakinya injak.
Sehelai kulit pisang mungkin bukanlah hal menakutkan. Bukan bila yang menginjaknya masih memiliki kesadaran utuh.
Landry terlambat menyadarinya. Ketika kakinya menginjak benda itu, keseimbangan tubuhnya goyah. Ia mencoba menggapai railing tangga, tetapi gaya gravitasi bekerja lebih cepat dari yang diduga.
Tubuh Landry terjatuh. Ia terguling di tangga hingga mendarat di lantai.
"Argh!"
Landry mengerang sakit. Bukan hanya karena jatuh, melainkan juga karena kepalanya terbentur. Nahas, pecahan benda kaca menambah penderitaannya.
Sakit mendera. Pedih menghantam.
Sepotong pecahan vas menyobek kulit leher Landry. Darah mulai mengalir membanjiri lantai.
"E-Elodie."
Elodie bergeming. Ia diam saja dan melihat Landry mengulurkan tangan.
"E-Elodie."
Sudut bibir Elodie bergerak. Senyum kepuasan tersungging di wajahnya. Lalu ia beranjak. Ia masuk ke kamar dan berbaring di tempat tidur.
Elodie memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, setelah Paula dan Eloise meninggalkannya, ia bisa tersenyum lagi.
Bayang kesakitan Landry mengisi benak Elodie. Suara yang menyiratkan permintaan tolong itu menerbitkan rasa senang. Sayangnya ia tak merasa kasihan sama sekali untuk penderitaan yang tengah dirasakan oleh Landry.
Di mata Elodie, Landry bukan lagi ayahnya. Landry tak ubah penjahat yang harus dihukum.
Benar. Landry harus dihukum dengan tanpa ampun.
Kau pantas mendapatkannya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top