No Mercy 19

Elodie menunggu, tetapi nyatanya Xavier memang tidak menjawab pertanyaannya. Xavier diam dan malah menuntaskan sarapan, lalu bangkit sesaat kemudian. Jadilah matanya membesar dalam kebingungan.

"Xavier."

Xavier menunjuk semua makanan di meja. "Habiskanlah. Kuyakin kau butuh banyak makan agar bisa kembali mengisi tenaga yang terkuras karena kejadian semalam."

"Tanpa disuruh pun sudah pasti aku akan menghabiskan semua makanan ini, tetapi jawab dulu pertanyaanku," ujar Elodie cepat dengan mata kembali membesar. Lalu diulanginya lagi pertanyaan tadi. "Mengapa kami diserang?"

"Sebenarnya, itu juga menjadi pertanyaanku."

Elodie bengong. Jawaban Xavier membuatnya tak bisa berkata-kata. Jadilah ia tak bicara apa pun lagi dan membiarkan Xavier pergi dari kamarnya.

Pintu tertutup. Sekarang hanya ada Elodie di dalam kamar. Ia menggeleng-geleng sembari kembali mengisi gelas jus jeruknya untuk kesekian kali.

Elodie mendesah nikmat saat minuman segar itu membasahi kerongkongannya. Mata terpejam dan disandarkannya punggung pada kursi, lalu berkata di dalam hati. Aku masih hidup.

*

"Bagaimana keadaanmu?"

Xavier menujukan pertanyaan pada Gale, tentunya sambil diikuti oleh pengamatan sekilas. Ia melihat Gale dengan cermat seolah ingin mencocokkan jawaban yang didapat dengan penilaiannya sendiri.

"Aku baik-baik saja, Tuan."

Gale berdiri dengan tegap seperti biasa. Melekat di tubuhnya, adalah setelan hitam yang selalu dipakainya sehari-hari. Ia tampak bugar dan tidak menunjukkan jejak sedikit pun akan perkelahian yang terjadi semalam, kecuali plester kecil yang ada di ujung pelipis kirinya dan sudut bibirnya yang sedikit membengkak.

Xavier mengangguk, sepertinya jawaban yang didapat dan hasil penilainnya memberikan hasil yang sama. "Baguslah." Lalu ia bangkit dari duduk. "Kalau begitu, aku ingin kau melihat mayat-mayat semalam, Gale."

"Baik, Tuan."

Xavier dan Gale pergi menuju ke ruang bawah tanah. Pintu tertutup. Hanya ada mereka berdua di sana. Xavier berikan waktu untuk Gale memeriksa mayat-mayat tersebut.

Gale mengamati mayat-mayat itu dengan penuh teliti. Dilihatnya sekujur tubuh mereka demi menemukan persamaan, tetapi nihil. Memang ada beberapa tato, tetapi tidak memberikan petunjuk bahwa itu adalah tanda identitas tertentu.

Fokus Gale pindah pada hal lain, yaitu bekas luka. Disadarinya bahwa kelompok atau organisasi tertentu kerap memberi identitas dengan cara tak lazim seperti melukai anggota tubuh. Cara itu memang terdengar mengerikan dan ekstrim, tetapi bisa membentuk kerahasiaan yang lebih aman. Faktanya, tak sedikit yang menggunakan cara ini.

Namun, Gale kembali harus menelan kekecewaan. Tak ada bekas luka yang bisa dijadikan petunjuk sama sekali. Sebaliknya, malah ada luka yang membuat ia jadi meneguk ludah.

"Itu karya seni Elodie."

Refleks, Gale berpaling dengan mata membesar. Ditanyanya Xavier dengan sorot tak percaya. "Elodie, Tuan?"

"Ya," angguk Xavier menyeringai sambil memasukkan satu tangan ke saku sementara satu tangan lainnya menunjuk mayat berwajah hancur itu. "Rory mengatakannya, saat ia dan yang lain tiba, Elodie sudah membunuhnya dengan batu. Menarik bukan?"

Gale tampak syok untuk sesaat hingga kesulitan bicara. Faktanya, sudah tak terhitung lagi perkelahian dan pertempuran yang telah dilewatinya, berikut dengan banyaknya orang yang telah dibunuhnya, tetapi ia berani bersumpah bahwa ia tak pernah membunuh orang dengan cara mengerikan seperti itu. "Aku tidak mengira kalau dia senekat itu."

"Siapa yang bisa menebak? Aku juga tak mengira kalau dia bisa setega itu untuk kategori seorang wanita."

"Kupikir kenekatannya hanya sebatas menusuk paha dengan ujung hak sepatunya," lirih Gale sambil mengingat kejadian semalam. Ingatan itu masih segar di benaknya, Elodie menusuk paha si penyerang dengan ujung hak sepatu tanpa gentar sama sekali. "Ternyata lebih dari itu."

Gale membuang napas dan kembali melanjutkan pemeriksaan terhadap mayat-mayat itu. Bahkan ia sampai mengecek dua kali, khawatir bila ada hal penting terlewatkan.

"Bagaimana?"

Gale membuang napas dan bangkit lagi. Kedua tangannya saling mengusap sama lain, lalu menggeleng. "Tidak ada identitas sama sekali, Tuan. Sepertinya mereka adalah preman biasa yang sengaja dibayar."

"Kau yakin mereka hanyalah preman biasa yang dibayar? Bukan suruhan orang-orang tertentu?"

Gale mengangguk penuh keyakinan. "Sepertinya begitu, Tuan. Selain itu, aku juga punya kecenderungan bahwa ini bukanlah perbuatan Zayn."

"Sepertinya kau yakin sekali."

"Memang, Tuan," yakin Gale lagi. Lalu ditunjuknya mayat-mayat itu. "Hal yang memberatkan dugaanku adalah mereka tidak sepenuhnya benar-benar terlatih. Mereka berbahaya, tetapi mereka tidak terorganisir. Bisa kukatakan mereka seperti preman atau geng-geng motor. Setidaknya itulah yang aku simpulkan ketika menghadapi mereka semalam."

Gale memang terlatih dan selain itu, ia pun penuh ketelitian. Faktanya, ia bukan hanya meladeni serangan dadakan semalam, melainkan ia juga menilai kejadian tanpa melewatkan satu hal penting pun.

Menurut penilaian Gale, serangan semalam adalah hal yang berani. Sebabnya sederhana, yaitu penyerangan dilakukan ketika ia dalam perjalanan menuju Larkspur Hollow.

Kesimpulan itulah yang membuat Gale dengan cepat menyusun beberapa skenario pertahanan. Namun, terpenting baginya adalah memastikan keselamatan Elodie untuk tetap terjamin.

Nyatanya hal tersebut bisa dilakukan Gale dengan mudah, sama sekali tidak sesulit yang sempat dipikirkannya. Ia tak mengalami hambatan yang berarti ketika menghadapi serangan mereka dan satu-satunya hal di luar dugaan yang sempat membuatnya kewalahan adalah para penyerang itu membakar mobil sehingga Elodie terpaksa keluar.

Pada akhirnya Gale yang mudah meladeni perkelahian tak seimbang itu pun menjadi kerepotan pula. Konsentrasinya pecah dan itulah penyebab terjadinya luka serempetan peluru di lengan kirinya.

"Zayn pastilah akan mengutus orang yang lebih kompeten ketimbang mereka. Dia tak akan kesulitan untuk menyewa jasa mantan marinir atau FBI sekalipun."

Xavier mencermati perkataan Zayn dengan tangan kanan yang terangkat, jemarinya mulai meremas. "Sepertinya kau benar. Selain itu, serangan ini terlalu remeh untuk dilakukan oleh Zayn."

"Benar sekali, Tuan, dan kalaupun Zayn ingin melakukan penyerangan maka aku pastikan dia akan menyerang habis-habisan. Intinya adalah tak mungkin aku dan Elodie bisa selamat kalau memang dia dalang di baliknya."

Jari Xavier berhenti meremas. "Satu hal paling penting, mustahil Zayn menyerangku sekarang. Bukan hanya karena penyerangan ini dilakukan secara terbuka, tetapi karena sekarang perhatian publik sedang tertuju padaku. Pastinya, dia tidak akan mengambil risiko. Sedikit saja terjadi kesalahan maka dia akan ikut-ikutan terseret." Jari tangan terkepal dan matanya menyipit. Ia meralat. "Tidak. Ini bukan hanya soal Zayn, tetapi semua musuh-musuhku. Sepatutnya mereka tidak akan mengambil risiko sekarang."

Gale tak bicara, tetapi membenarkan dugaan Xavier.

"Selain itu, ada hal lain yang membuatku penasaran. Apa tujuan di balik penyerangan ini?"

Gale tak menjawab, melainkan menceritakan hal lain. "Semalam, mereka jelas sekali mengincar Elodie, Tuan. Dari pertama, mereka langsung ingin menangkap Elodie. Bahkan karena itu mereka sengaja membakar mobil agar Elodie keluar." Ia diam sedetik, seolah tengah membuka rekaman di dalam kepala. "Jelas sekali mereka mengetahui kalau saat itu aku bersama Elodie, bukan bersamamu, Tuan. Mereka sama sekali tidak terkejut melihat keberadaan Elodie, melainkan justru sebaliknya."

Penjelasan Gale membuat Xavier menahan napas. "Itu membuatku semakin bingung, Gale."

Gale tahu itu. Ia jelas merasakan kebingungan serupa.

"Pertama, tidak ada yang mengetahui perihal Elodie," ujar Xavier seraya mengingat-ingat siapa saja yang mengetahui soal Elodie. Menurutnya, hanya ia dan Gale. Lain dari itu, tak ada. "Kedua, kalaupun ada yang mengetahui perihal Elodie, mengapa mereka menginginkannya?"

Bagi Xavier, mustahil ada pihak luar yang mengetahui perihal Elodie. Bukan hanya Elodie sekarang berada di vila Larkspur Hollow yang terjamin aman, melainkan karena ia dan Elodie tak pernah berada di tempat umum secara bersamaan.

Xavier mengingatnya dengan jelas. Interaksi antara dirinya dan Elodie sangatlah minim untuk bisa menarik perhatian orang luar. Nyatanya, ia dan Elodie pun tak pernah tampil bersama-sama di depan umum. Mereka hanya bertemu di Electric Eden dan kantor Lumos Global. Itu pun hanya dua kali pertemuan tak berarti yang terjamin kerahasiaannya.

Pun walau mustahil, anggaplah Xavier telodor sehingga ada orang lain yang mengetahui Elodie. Nyatanya itu tetap tak bisa menjadi alasan yang cukup untuk membuat mereka menginginkan Elodie.

Gale tidak menjawab dengan kemungkinan buruk yang melintas di benaknya. Menurutnya, hanya ada satu alasan mengapa para penyerang itu mengincar Elodie.

Di lain pihak, sebenarnya Xavier pun tak benar-benar membutuhkan jawaban Gale. Pada kenyataannya ia pun merasakan kekhawatiran serupa, persis seperti yang dipikirkan oleh Gale.

Bagi Xavier hanya ada satu hal yang membuat Elodie berharga. Hanya ada satu hal yang bisa menjadi penyebab sehingga Elodie diinginkan oleh pihak lain.

"Tidak mungkin karena video itu bukan?"

Gale tak menjawab pertanyaan itu secara langsung, tetapi memberikan indikasi lain yang memberatkan. "Semalam, mereka jelas sekali ingin menangkap Elodie hidup-hidup, Tuan."

Kenyataan lain memberikan petunjuk yang lebih memberatkan. Jadilah Xavier membeku. Agaknya kali ini ia tak bisa menyingkirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Sialan! Ada orang lain yang mengetahui soal video itu.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top