No Mercy 18

Setibanya di Larkspur Hollow, Xavier segera menanyakan keadaan Gale dan Elodie. Untungnya mereka baik-baik saja, begitulah jawab Rory.

Walau demikian Xavier perlu melihat dengan mata kepala sendiri. Jadilah ia segera menuju ke kamar Gale. Di sana, Gale terbaring di tempat tidur dengan jarum infus yang menancap di pergelangan tangan. Bersamanya, ada seorang dokter bernama Albern Mitchell.

Xavier datang mendekat dan dilihatnya Gale yang tertidur dengan dada telanjang. Perban membalut dada dan lengan kirinya. Selain itu, ada beberapa memar dan lecet di tempat lain yang tak seberapa parah.

"Bagaimana keadaannya, Albern?"

Albern berpaling dan menyambut kedatangan Xavier dengan sopan. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan. Ia tak tertembak sama sekali. Luka terparahnya hanyalah serempetan peluru di lengan kiri dan itupun tak membutuhkan jahitan. Selain itu, tak ada."

Kelegaan membuat Xavier membuang napas panjang.

"Secara keseluruhan, aku bisa mengatakan kalau keadaan Gale baik-baik saja. Sekarang ia tengah tidur dan hanya perlu beristirahat beberapa hari. Setelahnya, aku yakin dia akan pulih seperti sedia kala."

Xavier hanya mengangguk sekilas. "Lalu bagaimana dengan keadaan Elodie?"

"Ah, gadis cantik itu," lirih Albern seraya tersenyum. Ia memperbaiki sejenak letak kacamatanya sejenak. "Dia baik-baik saja. Badannya lecet-lecet karena menerobos hutan, tetapi tak ada luka serius. Walau begitu aku sudah memberinya obat penenang. Sepertinya dia akan syok."

"Terima kasih, Albern."

Albern bangkit dan mengangguk. "Sama-sama, Tuan. Aku permisi. Bila ada sesuatu, mungkin saja besok gadis itu terguncang atau apa, hubungi aku."

"Tentu saja."

Albern pergi sementara Xavier masih bertahan di kamar Gale untuk beberapa saat. Setelahnya barulah ia keluar dan bertanya pada Rory.

"Di mana mereka?"

Rory menjawab. "Ada di ruang bawah tanah, Tuan."

"Kita ke sana."

Rory mengangguk. "Baik."

Faktanya, ada satu ruangan tersembunyi di vila itu. Xavier membangunnya dengan tujuan khusus, yaitu sebagai tempat aman untuknya melakukan satu atau dua hal berbahaya.

Rory membuka pintu dan lampu dengan otomatis menyala. Dipersilakannya Xavier untuk masuk terlebih dahulu, lalu barulah ia menyusul setelah menutup pintu.

Tujuan Xavier adalah delapan mayat yang tergeletak di lantai. Mereka adalah para penyerang tadi, orang-orang yang hampir saja mencelakai Gale dan Elodie.

Xavier berjongkok. Dilihatnya mayat terdekat dan ia mengamati wajahnya dengan lekat. Dahi mengerut, ia tak mengenal orang itu.

"Apa kau sudah memeriksa mereka?"

Rory mengangguk. "Sudah, Tuan, tetapi tidak ada jejak apa pun. Mereka tidak memiliki tato atau tanda khusus lainnya. Selain itu, mereka juga tidak ada yang membawa ponsel."

"Bagaimana dengan plat kendaraannya?"

"Mobil curian, Tuan."

Xavier diam. Sekarang ia beralih pada mayat lainnya dan bola matanya membesar saat melihat satu mayat dengan keadaan wajah yang hancur. Didekatinya mayat itu, lalu bertanya. "Mengapa wajahnya hancur begini?"

"Nona Ford yang melakukannya, Tuan."

Jadilah Xavier berpaling dengan ekspresi syok. "Elodie yang melakukannya?"

"Ya," angguk Rory. Dijelaskannya peristiwa itu dengan singkat. "Ketika aku dan yang lainnya tiba, Nona Ford telah membunuhnya dengan batu."

Ekspresi syok Xavier menghilang. Sekarang ia malah mendengkus dengan wajah sinis.

"Biarkan dulu mayat-mayat ini. Aku akan menyuruh Gale memeriksanya sebelum kau bisa membereskannya."

*

Sudah bertahun-tahun berlalu dari masa menakutkan itu. Elodie tak lagi merasakan sakit setelah kematian Landry. Ia bebas dan bisa menjalani hidup dengan tenang.

Namun, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun itu, Elodie kembali merasakan hal serupa. Rambut dijambak, pipi ditampar, dan ketika bangun, tubuhnya menjeritkan sakit.

Elodie merintih. Nyeri, perih, dan sakit seolah tengah berlomba-lomba untuk membuat tubuhnya menderita. Jadilah ia memejamkan mata dengan erat hingga satu suara berat terdengar.

"Kau sudah bangun?"

Elodie berusaha bangkit walau dengan susah payah. Dilihatnya ada Xavier duduk di sofa dengan sehelai koran dan secangkir kopi. "Ya, aku sudah bangun dan aku senang masih bisa melihatmu pagi ini, Xavier, lengkap dengan kopi dan koran."

"Aku juga senang masih bisa melihatmu bangun di tempat tidur itu."

Elodie diam sambil mengatupkan mulut rapat-rapat. Diputuskannya untuk tak meladeni sindiran balasan yang diucapkan oleh Xavier ketika hal lain menarik perhatiannya.

"Kau tahu apa yang baru saja terjadi padaku? Aku dan Gale hampir mati."

Xavier menutup koran dan menaruhnya di atas meja. Pada saat bersamaan, dilihatnya Elodie turun dari tempat tidur sembari menggigit bibir bawah. Elodie menghampirinya, lalu menuding.

"Lantas bisa-bisanya kau menikmati pagi ini dengan koran dan kopi sementara aku dan Gale hampir mati semalam."

Xavier berdecak sekilas. "Tak perlu berlebihan, Elodie. Nyatanya kau dan Gale masih hidup dan kalau kulihat-lihat." Ia mengamati Elodie dari atas hingga bawah. "Tampaknya kau baik-baik saja."

Elodie menggeram.

"Malah kalau bisa kubilang, ehm kau lebih dari sekadar baik-baik saja untuk mencoba kabur."

Geraman Elodie berhenti. Matanya membesar. "Aku kabur?" Ia melongo. "Aku bukannya kabur, tetapi aku menyelamatkan diri. Pikir saja pakai otakmu itu, Xavier. Apa ada orang waras yang akan berdiam diri ketika dia dibakar hidup-hidup?"

"Benarkah begitu? Kupikir malah sebaliknya. Kau menemukan alasan yang tepat untuk bisa kabur."

"Benar sekali," tukas Elodie dengan berang. Ia menyugar rambut karena kesal dan malah merasa perih ketika helaian rambut menyentuh lecet di jari tangan. "Aku memang menemukan alasan yang tepat untuk kabur, tetapi sayangnya aku tidak memanfaatkannya dengan baik. Apa kau puas sekarang?"

Xavier tak menjawab. Alih-alih diraihnya cangkir kopi dan disesapnya minuman itu dengan nikmat.

"Aku benar-benar menyesal tidak kabur semalam dan asal kau tahu saja, Xavier. Kalau mobil anti pelurumu itu juga anti api, aku pasti tidak akan kabur ke mana pun. Pastilah aku akan berdiam diri dan menonton Gale berkelahi sambil bertepuk tangan."

Xavier tersedak kopi. Jadilah ia buru-buru menaruh cangkir kopi kembali ke tatakan dan diambilnya dua lembar tisu untuk mengelap mulut. Mata menyipit dan dilihatnya Elodie yang beranjak ke meja makan.

Elodie duduk dan membuka piring. Dibalasnya tatapan menyipit Xavier dengan delikan, lalu barulah ia mengambil selembar roti gandum. "Lain kali, kau carilah mobil anti peluru sekaligus anti api. Setelahnya, kabari aku. Dengan begitu, aku tak akan khawatir sedikit pun kalau terjadi sesuatu."

"Sepertinya kejadian semalam membuatmu menjadi lebih temperamental. Ehm. Albern mengatakan kalau kau bisa saja akan mengalami syok, tetapi ia tak mengatakan kemungkinan kau akan menjadi temperamental."

Elodie bingung. "Siapa Albern?"

"Dokter yang mengobati lukamu semalam," jawab Xavier enteng sambil membuang napas. "Dia menyuruhku untuk menghubunginya kalau kau menunjukkan tanda-tanda syok, tetapi sepertinya aku tak perlu melakukannya bukan? Jelas sekali kau sekarang tidak sedang syok, melainkan temperamental."

"Jangan heran kalau aku mendadak jadi temperamental. Menurutmu saja, Xavier. Aku hampir mati. Mereka menabrak mobil dan membuat kami terguling-guling. Kau lihat ini?" Elodie menunjuk dahinya yang diperban. "Aku terluka dan untung sekali aku tidak amnesia."

Xavier mendengkus geli. "Kau jangan berlebihan. Kecelakaan dan luka seperti itu tidak akan membuat orang jadi amnesia."

"Kujamin kau yang paling kalang kabut kalau aku sampai amnesia."

"Sepertinya begitu," angguk Xavier. Berat, tetapi ia setuju dengan perkataan Elodie. "Jadi, bisa dikatakan kalau aku termasuk beruntung karena akhirnya kau tak jadi kabur dan tak mengalami amnesia."

Elodie tak membalas perkataan Xavier. Diputuskannya bahwa menikmati sarapan jauh lebih menyenangkan ketimbang meladeni Xavier. Jadilah ia meraih roti gandum kedua dan mengisi gelas jus jeruknya yang telah kosong, lalu disadarinya Xavier bergabung dengannya di meja makan.

Xavier turut sarapan. Ia menikmati sepiring salad daging sambil sesekali melirik Elodie.

Elodie tahu bila Xavier memerhatikannya beberapa kali. Jadilah ia memutar bola mata, lalu menukas dengan acuh tak acuh. "Mengapa? Apa masih ada yang ingin kau keluhkan, Xavier?"

"Tidak ada. Aku hanya sedang berpikir untuk menyediakan camilan di mobil. Sekadar untuk berjaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Jadi kau bisa menonton Gale berkelahi sambil mengemil camilan."

Kunyahan Elodie berhenti. Ditatapnya Xavier dengan sorot kau-yang-benar-saja. "Kau benar-benar tidak punya hati. Bisa-bisanya dari tadi kau terus mengejekku. Nyawaku hampir melayang dan kau malah bercanda dengan itu."

"Aku tidak bercanda sama sekali. Lebih dari itu, sejujurnya aku cukup terkesan padamu."

Elodie mengerutkan dahi. "Terkesan padaku? Ehm. Apa maksudmu?"

"Aku melihat mayat salah seorang penyerang itu dan wajahnya rusak. Rory mengatakan kalau itu adalah perbuatanmu. Kau memukulnya dengan batu."

Elodie meneguk ludah. Buru-buru disambarnya gelas dan ia minum dengan cepat. "Jangan membuatku mual, Xavier. Aku baru saja makan dan aku tidak ingin muntah."

"Kau merasa mual?" Xavier terkekeh. "Kuyakin, semalam kau tidak merasa mual sama sekali bukan? Saat kau memukulnya dengan batu?"

"Aku tidak ingat," jawab Elodie sambil membuang napas panjang sambil meremas gelas. "Satu-satunya yang kuingat adalah aku ingin menyelamatkan diri."

Xavier mengangkat tangan ke atas meja, lalu mulailah jemarinya saling meremas. "Kau tidak merasa takut?"

"Takut?"

Elodie mengulang satu kata itu dengan suara lirih seolah ingin meresapi makna di dalamnya. Pundak bergerak samar dan dihirupnya udara bersamaan dengan sorot matanya yang perlahan berubah menjadi kosong.

Untuk sesaat, semua seperti lenyap dari dunia Elodie. Semua terasa hampa dan tak ada apa-apa. Ia hidup sendiri. Ia tak punya apa-apa, jadi ....

"Apa itu takut?"

Xavier memerhatikannya dengan jari yang semakin meremas satu sama lain. "Semua orang memiliki rasa takut. Terbesar adalah takut pada kematian."

"Kau benar. Setiap orang pasti takut pada kematian dan untungnya, aku memang telah lama mati."

"Kau telah lama mati?" tanya Xavier mengulang ucapan Elodie. "Ehm. Apa maksudmu?"

Elodie tersentak seperti baru saja tersasar ke dimensi lain. Ia mengerjap berulang kali dan fokus matanya kembali. Dibutuhkan waktu beberapa detik untuknya tersadar dan lalu ia buru-buru menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya asal bicara saja."

Remasan jari tangan Xavier berhenti. Jadilah ia mengepalkan tangan walau tak erat. Diputuskannya untuk tidak memperpanjang topik itu dan ia biarkan Elodie untuk melanjutkan sarapan dengan tenang.

Tak ada lagi pembicaraan. Baik Xavier maupun Elodie sama-sama diam. Hanya sesekali terdengar bunyi alat makan yang cukup menjadi tanda bahwa masih ada kehidupan di sana.

Anehnya, itu malah membuat Elodie jadi merasa ngeri sendiri. Jadilah ia mengulurkan tangannya yang memegang garpu. Digoyang-goyangkannya garpu itu sehingga Xavier melihat padanya dan ia berkata. "Lebih baik kau bicara, Xavier. Kau diam begitu malah membuatku jadi tak nyaman."

"Kau merasa tak nyaman sementara aku tak ingin menghadapi orang yang sedang temperamental. Jadi paling tidak, nikmati saja sarapanmu. Kau menyadarinya bukan? Kau nyaris tidak bisa menikmati sarapan pagi ini."

Menurut Elodie, omongan Xavier ada benarnya. Jadilah ia manggut-manggut. "Kau benar." Ia kembali menjeda sarapan dan ingatannya tertarik ke belakang dengan serta merta. "Sekarang kalau kupikir-pikir lagi, rasanya lumayan mustahil aku masih bisa hidup. Ih!" Ia bergidik, lalu mengusap tengkuk. "Mereka sangat menakutkan dan oh! Gale!" Bola matanya membesar, lalu tangannya menunjuk ke sembarang arah. "Kau bilang padanya untuk lebih berhati-hati saat menembak. Kau tahu? Dia menembak tepat di depan wajahku. Kalau dia meleset sedikit saja maka sudah pasti hidungku akan hilang."

Xavier berdecak. "Tak perlu khawatir. Tembakan Gale tak pernah meleset."

"Oh, baguslah, tetapi walau begitu aku tetap berdoa semoga itu pertama dan terakhir kalinya aku terjebak dalam situasi seperti itu dan melihat Gale menembak. Aku tak ingin lagi mendengar letusan pistol di mana-mana, apalagi kalau sampai dibakar hidup-hidup lagi."

"Aku yakin doamu akan terkabul kalau kau tidak berkeinginan untuk pergi ke mana pun," komentar Xavier. Jadilah Elodie melihatnya dan ia tersenyum miring. "Kau menyadarinya bukan? Kau mengalami itu karena pergi dari sini."

Elodie tak mengatakan apa-apa, tetapi perkataan Xavier memang masuk akal. Semua itu terjadi karena ia pergi dari sana dan ujung-ujungnya ia malah penasaran.

"Jadi, menurutmu adalah ..." Elodie bicara dengan penuh irama seiring dengan beberapa kemungkinan yang memenuhi benak. Ditatapnya Xavier dengan sorot penuh tanda tanya. "... kami tidak akan diserang kalau aku tidak pergi dari sini?"

Xavier mendeham. "Mungkin."

"Lalu menurutmu, mengapa kami diserang?"

Xavier tak menjawab.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top