No Mercy 15
Disadari oleh Elodie dengan jelas bahwa tanpa ia melakukan adegan dramatis pembakaran ponsel waktu itu pun sudah barang tentu Xavier akan mengamankan ponselnya. Sebabnya sederhana, tentulah Xavier akan mengisolasinya dari dunia luar. Penyekapan di Larkspur Hollow tak akan berarti apa-apa bila ia memiliki ponsel.
Jadilah Elodie tidak berlama-lama menyalahkan tindakannya waktu itu. Sekarang ia lebih fokus pada hal yang bisa dilakukannya untuk bisa menghubungi Xavier.
Satu nama langsung melintas di benak Elodie. Senyum mengembang di wajah dan disadarinya bahwa makan siang itu akan segera tiba.
Pintu diketuk, lalu terbuka. Rory masuk bersama dengan seorang pelayan yang mendorong troli makanan.
Elodie abaikan sejenak makan siang yang dengan cepat tersaji di meja. Didekatinya Rory dan ia bertanya.
"Apa aku bisa menghubungi Xavier?"
Rory melirik Elodie dengan sorot tak yakin. "Menghubungi Tuan Xavier?"
"Ya," angguk Elodie dengan sikap tenang. Diberinya Rory senyum tipis ketika lanjut bicara. "Aku ingin menghubungi Tuan Xavier-mu itu, tetapi seperti yang kau lihat, aku tidak punya ponsel."
Rory diam.
Elodie tak menyerah. "Aku benar-benar ingin menghubungi, Xavier. Kalau kau tak percaya, coba saja kau panggil nomornya dan biar aku langsung bicara dengannya."
"Aku tidak punya nomor ponsel Tuan Xavier."
Elodie melongo. Sontak saja semangatnya jatuh. "Apa kau bilang? Masa kau tidak punya nomor ponsel Xavier? Jelas-jelas kau bekerja untuknya. Malah kau adalah kepala keamanan di sini. Cih! Kau ingin menipuku?"
"Aku tidak bermaksud untuk menipumu, Nona Ford," tampik Rory, dibantahnya tuduhan tak mendasar Elodie. "Aku memang tidak memiliki nomor ponsel Tuan Xavier dan sebagai informasi saja, aku selalu berhubungan dengan Gale."
Lirihan Elodie mengalun penuh irama. Ia manggut-manggut, penjelasan Rory terdengar masuk akal. "Baiklah. Kalau begitu, kau telepon saja Gale. Aku yakin dia pasti bersama Xavier."
Rory tak mengatakan apa-apa, tetapi ia melakukan keinginan Elodie. Dihubunginya Gale dan dijelaskan situasi saat itu.
"Halo, Gale," sapa Rory tak lama kemudian. Elodie pun melihatnya dengan penuh harap. "Apakah kau sedang bersama dengan Tuan Xavier?"
Elodie memutar bola mata, tampak geram dengan pertanyaan yang diajukan Rory. Jadilah ia bicara dengan nada rendah. "Langsung saja kau katakan kalau aku ingin bicara dengan Xavier. Tidak perlu berbelit-belit."
Rory mendeham, tetapi kembali dilakukannya keinginan Elodie. "Nona Ford ingin bicara dengan Tuan Xavier. Jadi, apakah Tuan Xavier ada?"
Elodie menunggu dengan harap-harap cemas dan tak lama kemudian, Rory pun menyerahkan ponsel tersebut padanya. Segera saja ia bicara di telepon sembari sedikit beranjak.
"Xavier!" sapa Elodie lega. Harapannya mulai menunjukkan tanda-tanda terwujudkan. "Oh, akhirnya aku bisa bicara denganmu."
"Ada apa, Elodie?"
Elodie mencibir karena pertanyaan tanpa tedeng aling-aling yang dilayangkan Xavier. "Kuharap, aku tak mengganggu waktumu. Jadi, begini. Aku tahu kau sudah mengabulkan permintaanku. Ibuku memang sudah dioperasi dan adikku sudah bekerja. Untuk itu aku sangat berterima kasih, tetapi—"
Elodie tersadar akan sesuatu. Ia melirik dan didapatinya Rory masih berdiri di tempatnya. Jadilah ia mendeham, teringat akan pesan Xavier bahwa tak boleh ada orang lain yang mengetahui transaksi mereka.
Sepanjang yang Elodie tahu, hanyalah Gale orang ketiga yang mengetahui transaksi mereka. Jadilah untuk itu ia buru-buru memutar otak dan membelokkan ucapan.
"Sepertinya aku mulai sedikit suntuk di sini, Xavier. Aku bukannya bermaksud untuk pergi dari sini, lagi pula aku tahu kau melakukan ini semua untukku, tetapi bisakah aku sekadar cuci mata sejenak? Aku yakin kau tahu maksudku. Aku perlu melihat sesuatu dengan mata kepalaku sendiri."
Terdengar embusan napas Xavier. "Maksudmu adalah kau ingin melihat keadaan ibu dan adikmu?"
"Xavier, kau benar-benar pintar. Memang itulah maksudku. Jadi, bagaimana? Kau mengizinkanku bukan? Aku berjanji, Xavier. Aku tidak akan kabur. Lagi pula ke mana aku akan kabur kalau kau adalah pemilik kehidupanku sekarang?"
"Cih! Kau benar-benar bisa bermanis mulut ketika menginginkan sesuatu. Jauh berbeda dengan sikapmu tempo hari."
"Tempo hari?" Elodie mengingat sejenak, lalu ia terkekeh samar. "Jangan salahkan aku. Kau sendiri yang memulai. Walau begitu kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar tak akan kabur darimu. Kau tahu semua hal mengenaiku dan kabur pun akan menjadi hal percuma bukan?"
"Aku senang kau menyadarinya."
"Jadi, bagaimana? Apa aku bisa pergi? Sekalian aku ingin tahu, di mana Gale membeli baju-bajuku. Dia tahu cara memilih pakaian wanita."
Xavier berdecak. "Gale akan menjemputmu sore ini."
"Terima kasih, Xavier."
Panggilan berakhir. Elodie tersenyum puas. Dikembalikannya ponsel itu pada Rory tanpa lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya ia segera duduk dan menikmati makan siang.
*
Kedatangan Gale sudah dinantikan Elodie dengan tak sabar. Jadi ketika didengarnya deru halus mesin mobil maka ia pun bergegas. Ia meraih tas tangannya dan memastikan bahwa barang terpenting di hidupnya ada di sana, yaitu palet mekap.
Siapa yang bisa menebak? Mungkin saja Elodie akan bertemu dengan salah satu pengikutnya di Instagram ketika ke rumah sakit. Setidaknya ia harus memastikan penampilannya tetap terjaga.
Pintu diketuk, lalu terbuka. Rory masuk dan berkata dengan sikap sopan. "Gale sudah datang, Nona Ford."
"Aku tahu," ujar Elodie sambil mengangguk sekali. "Terima kasih."
Tiba di teras, Elodie dapati Gale yang sudah menunggu kedatangannya. Gale menghampirinya dan berkata.
"Mari, Nona Ford."
Elodie mengangguk sekali, lalu melangkah menuju pintu. Gale membuka pintu untuknya dan tak lama kemudian, mereka pun meninggalkan kediaman tersebut.
Lima menit perjalanan dan Elodie mulai merasa nyaman. Ia bersandar sembari melayangkan pandangan ke luar. Dilihatnya barisan padat pepohonan dengan dahi yang sedikit mengerut, ia tak yakin mengenal daerah itu.
Mobil tiba-tiba berhenti. Elodie beralih pada Gale dengan perasaan tak enak. Pemikiran buruk dengan cepat mengisi benaknya. Terkutuklah kalau Xavier merencakan sesuatu padaku.
"Kenakan ini, Nona Ford."
Gale memberikan sesuatu yang membuat Elodie menyambutnya dengan bingung. Dilihatnya benda itu dengan saksama dan ternyata itu adalah sehelai penutup mata bewarna hitam.
Elodie melongo. "Apa maksudnya ini, Gale?"
"Tindakan antisipasi," jawab Gale sambil melirik pada Elodie melalui pantulan spion dalam. "Aku tidak bisa mengambil risiko. Siapa yang bisa menjamin kalau ini bukanlah taktikmu untuk mengetahui jalan kabur?"
Elodie semakin melongo dan meremas penutup mata itu. "Baiklah. Aku akan mengenakannya dan tidur sepanjang jalan."
Gale tak mengatakan apa-apa dan itu membuat Elodie kesal pula. Rasa-rasanya ia jadi menyesal karena kerap memuji Gale di beberapa kesempatan.
"Ternyata kau dan Xavier sama saja. Kalian sama-sama menyebalkan."
Gale tak membalas perkataan Elodie, melainkan dipastikannya Elodie mengenakan penutup mata itu dengan tepat. Setelahnya barulah ia melanjutkan perjalanan dengan sedikit geli. Sebabnya tentu saja Elodie yang terus menggerutu, lalu bersedekap dan menyandarkan punggung dengan kesal.
*
Sayangnya Elodie bukanlah tipe orang yang menikmati perjalanan dengan tidur. Ia adalah golongan orang yang senang menikmati pemandangan sepanjang jalan dengan camilan di pangkuan. Jadilah bisa dipastikan bahwa perjalanan menuju Solstice Ridge menjadi perjalanan paling menjemukan untuknya. Bukan saja karena Gale tak menyediakan camilan, tetapi ia pun harus pura-pura tidur.
Mobil kembali berhenti. Sontak saja tubuh Elodie menegang. Dalam hati, ia bertanya. Apakah sudah sampai?
Kebetulan sekali. Sedetik kemudian Gale justru bicara seolah-olah menjawab rasa penasaran Elodie.
"Nona Ford, kita sudah sampai."
Elodie menegapkan kembali punggungnya. "Apakah itu artinya aku boleh membuka penutup mata ini?"
"Silakan."
Rasanya lega ketika Elodie melepaskan penutup mata itu. Ia mengerjap untuk sesaat dan setelahnya melihat ke luar. Dibutuhkan waktu beberapa detik sebelum ia sadari bahwa itu adalah pemandangan malam khas Solstice Ridge.
Elodie mendengkus. Sempat dipikirnya bahwa ia tak akan pernah melihat dunia luar lagi dan benar-benar akan menghabiskan sisa usianya di tempat pengasingan Xavier.
"Itu Paula dan Eloise."
Ucapan Gale menarik perhatian Elodie. Ia berpaling dan fokus matanya tertuju pada Paula dan Eloise yang tengah berjalan di trotoar. Di pangkuan Paula ada dua kantung belanjaan, mereka tampak bercakap-cakap dengan semringah.
Elodie terdiam. Dilihatnya pemandangan itu dengan lekat dan tanpa kedip. Paula dan Eloise tampak bahagia, persis seperti ingatan terakhir yang terekam di benak Elodie sebelum peristiwa buruk itu terjadi.
Kelegaan Elodie dengan cepat bertukar dengan rasa nyeri. Tiba-tiba saja ia rasakan jantungnya seperti diremas. Ia meneguk ludah dan yang terasa adalah getir di mana-mana.
"Kau tak ingin menemui mereka?"
Pertanyaan Gale membuat Elodie menahan napas di dada. Ia menggeleng seraya melihat Paula dan Eloise masuk ke sebuah apartemen.
"Tidak perlu," jawab Elodie dengan suara bergetar. Diremasnya penutup mata, lalu buru-buru ia mengenakannya kembali. "Kita bisa pergi sekarang."
Gale tak yakin. "Bagaimana dengan makan malam? Apa kau tidak ingin makan malam dulu? Ini sudah lewat dari jam makan malam."
"Tidak. Aku tidak lapar." Elodie kembali menyandarkan punggung. "Lebih baik kita langsung pulang ke tempat Xavier."
"Baiklah."
Tak terkira betapa leganya Elodie ketika mobil kembali bergerak. Diharapkannya bahwa semakin jauh mobil pergi meninggalkan tempat itu maka semakin pudar juga perih yang tengah ia rasakan. Namun, ternyata tidak.
Elodie menggigit bibir bawah. Sebisa mungkin ditahannya gejolak yang bergemuruh di dada. Ia sudah berjanji pada diri sendiri, sejak dulu kala, ia tak akan menangis lagi, apalagi menangis karena Paula dan Eloise.
Sayangnya tidak semudah itu. Hangat yang merembes di penutup mata adalah buktinya.
Elodie membuang napas panjang. Dicobanya untuk menyibukkan pikiran dengan hal lain, apa pun itu asalkan ia bisa mengenyahkan bayang Paula dan Eloise dari benaknya. Beruntung, ia menemukan pengalih yang tepat.
"Gale."
Gale mengendarai mobil dengan fokus. Kala itu malam semakin larut dan ia pun semakin berhati-hati mengingat jalanan menuju Larkspur Hollow diapit hutan. Ia tak ingin abai dengan kehadiran hewan liar yang bisa saja muncul sewaktu-waktu. Namun, ia tetap menyahut ketika Elodie memanggil. "Ya?"
"Apa aku bisa menghubungi Xavier? Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya."
Gale tak langsung menjawab. Ditimbangnya sejenak permintaan Elodie sebelum mengabulkannya. "Baiklah." Ia mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi Xavier, untungnya segera diangkat. "Halo, Tuan. Nona Ford ingin bicara denganmu."
Elodie segera mengangkat kedua tangan tanpa tujuan pasti. Lalu dirasakannya ponsel Gale berpindah padanya dan ia segera bicara.
"Halo, Xavier."
"Apa lagi kali ini? Kau sudah bertemu dengan Paula dan Eloise bukan? Bagaimana? Keadaan mereka sama baiknya dengan foto-foto yang kuberikan bukan?"
Elodie mendengkus lelah. "Kupikir memang begitu. Mereka tampak baik-baik saja dan bahagia."
"Apa maksudmu? Ehm. Kau tidak bertemu dengan mereka?"
"Tidak, Xavier, tetapi tak apa," jawab Elodie datar. Dibuangnya napas panjang dengan harapan itu bisa sedikit meredakan sedih yang bercokol di dada. "Setidaknya aku sudah benar-benar yakin kalau kau memang sudah melakukan permintaanku."
Hening sejenak sebelum Xavier kembali bicara. "Aku mafia, Elodie. Aku licik dan tak berperasaan, tetapi bukan berarti aku pembohong."
"Aku tahu itu, Xavier, dan terkadang kupikir melakukan transaksi denganmu adalah pilihan terbaik yang pernah kubuat."
"Ada apa ini, Elodie? Suara dan ucapanmu terdengar melankolis. Ehm. Kau tidak sedang mengucapkan kata-kata terakhir bukan? Aku tidak ingin kau mati sebelum aku mendapatkan video tersebut."
Kekehan lesu Elodie pecah. "Tidak sama sekali. Lagi pula setidaknya aku harus menepati janji denganmu tiga bulan lagi. Aku tidak akan menipumu dan kuharap waktu tiga bulan itu cepat datang sehingga kita bisa cepat mengakhiri transaksi ini."
"Begitulah harapanku."
"Aku senang kita mengharapkan hal yang sama," tukas Elodie dengan geli yang tak lama dirasakannya. Ada seberkas cahaya terang berusaha menembus penutup mata sehingga ia mengernyit. "Lagi pula ku—ah!"
Suara hantaman dan jeritan Elodie menyatu di dalam kegelapan malam. Ponsel terlepas dari tangan dan ia buru-buru berpegangan pada apa pun. Mobil terbalik berulang kali hingga akhirnya tak bergerak lagi.
"Halo! Elodie! Apa yang terjadi? Elodie!"
Elodie masih mendengar suara Xavier di ponsel walau sayup-sayup. Namun, ia tak punya kekuatan untuk menjawab. Kepala terasa berat dan lelehan hangat beraroma amis mulai mengalir di sisi wajahnya.
"Elodie!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top