No Mercy 14

Sebenarnya bila dipikir-pikir secara objektif maka Elodie harus mengakui bahwa untuk kategori seorang mafia, Xavier adalah orang yang baik. Sebabnya adalah ia mendapatkan fasilitas yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Dulu, ketika ia menyadari Xavier menyekapnya maka yang ada di benaknya adalah kamar sempit serupa gudang yang gelap, lembab, dan banyak tikus di mana-mana. Persis seperti adegan di film penculikan yang sempat ditontonnya selama ini.

Nyatanya tidak demikian. Bukan hanya Xavier menyekapnya di tempat mewah dengan lingkungan yang sejuk dan asri, Elodie pun mendapati kebutuhan sehari-harinya dipenuhi tanpa ada yang kurang. Melalui Gale, ia mendapatkan pakaian, makanan, dan beberapa majalah, serta kosmetik.

Elodie pikir dirinya tak ubah tengah berlibur, alih-alih disekap oleh mafia kelas atas. Kehidupannya terjamin dan ia tak perlu memikirkan apa pun. Hanya satu kekurangannya, yaitu keterbatasan yang dimilikinya.

Perintah Xavier membuat Elodie tak bisa ke mana-mana. Ia hanya bisa berdiam diri di kamar dan menghabiskan waktu dengan televisi, radio, dan majalah. Lama kelamaan ia bosan dan jadilah tak aneh bila ia sangat antusias ketika Rory mendatanginya di kamar, lalu mengatakan bahwa Xavier mengajaknya sarapan bersama di taman belakang. Segera saja ia pergi ke sana.

"Wah!" kesiap Elodie dengan terkagum-kagum. Pandangannya beredar ke sekitar, pada barisan koki yang sibuk menyediakan beragam menu dan lalu pada hidangan yang telah tersaji di meja makan. "Ada apa ini? Apa sedang ada perayaan?"

Xavier tak menjawab dan jadilah kegembiraan Elodie lenyap. Sebagai ganti, dahinya mengerut dengan kebingungan.

"Ehm. Apa ada sesuatu yang terjadi, Xavier? Mengapa kau tiba-tiba mengajakku sarapan di luar?"

Jawaban yang Xavier berikan tidak bisa menenangkan perasaan tak enak Elodie. Sebaliknya, ia semakin merasa gelisah. Lalu sesuatu terjadi dan membuatnya membeku jiwa raga, Xavier membidiknya dengan sebuah senjata api.

Elodie tak bergerak. Bernapas pun ia tidak. Ditahannya udara yang sempat terhirup, dibiarkannya udara bergumul resah di dada. Ia ketakutan, tetapi menolak untuk menunjukkannya.

Jadilah Elodie menggigit lidahnya sendiri untuk sesaat. Rasa sakit timbul dan membuatnya pikirannya jadi lebih jernih. Ketakutan yang dirasakannya pun bisa dikendalikan.

"Xavier, apa yang sedang kau lakukan?"

Xavier tak menjawab, melainkan terus menatap Elodie dengan sorot tajam dan dingin, menyiratkan tak ada perasaan. Didesaknya Elodie dengan tekanan psikologi dan terlihat olehnya keringat yang mulai timbul di dahi Elodie.

Bisa ditangkapnya ketakutan Elodie. Namun, Xavier juga tak abai dengan topeng yang dipasang oleh Elodie. Dalam hati, ia memuji pertahanan yang tengah dilakukan oleh Elodie.

Elodie mengeraskan wajah. Rahangnya berubah kaku, lalu dagunya naik perlahan. Dibalasnya tatapan Xavier walau samar gemetar di sudut bibirnya tetap tak mampu ditahan.

"Kau ingin mengancamku?"

Xavier menjawab dengan pertanyaan balik. "Bagaimana menurutmu?"

"Silakan lakukan," ujar Elodie dengan berat. "Lalu kau bisa melihat bukti ancamanku."

Kali ini Xavier tak membalas, melainkan terus saja menatap Elodie. Ia diam untuk sesaat dan lalu mendengkus, satu sudut bibirnya naik dan tampillah senyum miring. Ditaruhnya senjata api model V-5001 itu di atas meja.

"Kau tegang sekali, Elodie. Lagi pula aku hanya sedang mengetes bobot senjata api baru buatanku. Ehm. Ternyata bobotnya pas dan strukturnya pun nyaman di genggaman."

Elodie tak mengendurkan antisipasi dan justru kali ini ialah yang memasang sikap datar layaknya Xavier tadi. Ia tak berkomentar, terus memerhatikan gerak-gerik Xavier untuk sesaat.

Xavier kembali santai. Ia mulai menikmati sarapan dan tampak tak acuh sama sekali. dengan sikap Elodie.

Jadilah Elodi meradang di balik sikap datarnya. Pun di dalam hati, ia merutuk habis-habisan. Sialan kau, Xavier. Bisa-bisanya kau mengancamku begitu.

Elodie mengatupkan mulut. Diambilnya pisau makan dan ia putuskan bahwa ia tak butuh sarapan pagi itu. Jadilah ia bangkit dari duduk, melangkah, dan menancapkan pisau makan di roti yang tengah dinikmati oleh Xavier.

Sekarang gantian Xavier yang tertegun. Elodie melenggang dengan tersenyum mencemooh.

*

Pagi itu, Xavier sudah bersiap. Disengajanya mengosongkan jadwal hingga siang demi memenuhi panggilan dari kepolisian Solstice Ridge. Bersama dengan Gale, ia pun datang tepat waktu.

Lee menyambut kedatangan Xavier. Sebelumnya ia baru saja selesai membuat secangkir kopi hitam ketika Gideon bersiul. Ia berpaling dan Gideon memberikan isyarat. Jadilah ia buru-buru menaruh kopi tersebut entah di meja siapa dan bergegas.

"Selamat pagi, Ordego."

Xavier menghentikan langkah. "Selamat pagi juga, Fontaine. Sepertinya kau sangat bersemangat hari ini."

"Tentu saja. Alasannya karena aku akan menikmati waktu beberapa jam dengan berbicara denganmu," ujar Lee dengan penuh percaya diri. Diberinya Xavier senyum penuh arti, lalu tangannya menunjuk. "Silakan, Ordego."

Bisa ditangkap Xavier bahwa Lee sengaja sekali memulai provokasi. Sikap Lee menyulutnya dan Gale pun mengingatkan.

"Tuan."

Xavier menyipitkan mata, melihat ke arah Lee pergi. "Tenanglah, Gale. Ini bukan pertama kalinya aku meladeni Lee."

Gale tak mengatakan apa-apa lagi sementara Xavier pun beranjak. Tak lama kemudian, Xavier pun menyusul Lee masuk ke dalam ruang interogasi.

Xavier dan Lee duduk di meja yang sama. Ukurannya tak terlalu besar, tetapi cukup untuk Lee menaruh laptop dan beberapa berkas penting lainnya.

Lee memastikan tak melupakan hal terkecil pun. Ditutupnya fail, lalu tatapannya beralih pada Xavier. Ekspresinya tampak serius.

"Tuan Ordego, aku berharap kau bisa bekerjasama sepenuhnya dengan penyidikan ini."

Xavier menyandarkan punggung. Kebalikan dengan Lee, ia justru memasang sikap santai. "Tentu saja, Fontaine. Sebagai warga negara yang baik, aku akan melakukan apa pun untuk membantu penyidikan ini."

Ketenangan Xavier membuat Lee menahan napas untuk sejenak. Matanya menyipit dan Xavier malah tersenyum lebih lebar. Gesturnya pun tampak menantang ketika bertanya.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan padaku?"

Lee menarik napas. Diingatkannya diri untuk tidak terprovokasi oleh sikap Xavier yang meremehkannya. Ia harus tetap fokus untuk bisa menemukan celah. "Pertama, aku ingin memahami lebih dalam mengenai sistem keamanan di Electric Eden. Bagaimana pihak keamanan bekerja pada malam kejadian?"

"Ehm. Keamanan di Electric Eden sangat ketat. Aku bukannya ingin menyombongkan diri, tetapi sebagai kelab malam terbesar dan terbaik di Ashford City, bahkan di negara ini, keamanan Electric Eden bisa diadu dengan keamanan Istana Presiden sekalipun. Tidak sembarangan orang bisa masuk. Sekali pun bisa masuk maka belum tentu bisa menjelajah semua lantai. Setiap orang memiliki kartu akses yang memberikan batasan mereka. Selain itu, setiap lantai dijaga oleh penjaga keamanan yang levelnya bukan main-main. Terpenting adalah setiap pengunjung akan selalu diperiksa untuk tidak membawa senjata ataupun barang-barang berbahaya lainnya."

Sekilas, penjelasan Xavier akan menarik decak kagum bagi siapa pun yang mendengar, tetapi tidak untuk Lee. Ia bahkan mendengkus.

"Tidak membawa senjata ataupun barang-barang berbahaya lainnya? Ck. Jangan membuatku tertawa, Ordego."

Xavier mengedikkan bahu. "Itu hakmu untuk percaya atau tidak. Aku hanya menjawab pertanyaanmu saja."

"Itu kelab malam, bukan tempat ibadah. Lagi pula semua tahu kalau sering terjadi transaksi perdagangan senjata api dan narkoba di Electric Eden."

"Oh ya?" Xavier mengerutkan dahi, tampak bingung. "Siapa yang mengatakannya padamu? Mengapa aku, selaku pemilik Electric Eden, justru tidak mengetahui hal itu?"

Lee tak menjawab, alih-alih hanya menatap Xavier yang mulai merasa setingkat lebih percaya diri ketimbang sebelumnya. Topik pertama mereka berhasil dilalui Xavier dengan aman dan terkendali.

"Dengar, Fontaine. Aku tidak tahu siapa yang mengatakan itu padamu, tetapi kau harus tahu bahwa membawa senjata api dan barang-barang berbahaya lainnya bisa memicu hal yang tak diinginkan. Aku tak ingin mengambil risiko terjadi perkelahian dan penggrebekan tiba-tiba. Itu tidak sepadan. Kerugiannya lebih besar ketimbang godaan keuntungan yang tak seberapa."

"Baiklah," ujar Lee sesaat kemudian. Diputuskannya untuk lanjut ke topik selanjutnya. "Lalu bagaimana dengan akses ke area khusus di sana? Aku yakin ada area khusus di Electric Eden bukan?" Ia mendapati Xavier yang langsung mengangguk. "Apakah ada aturan khusus terkait hal tersebut?"

"Tentu saja. Seperti yang diketahui, Electric Eden memiliki 27 lantai dan tentunya tidak semua orang bisa mengakses semua lantai. Untuk area khusus, itu adalah lantai 20 hingga 26. Kebanyakan dari lantai itu telah disewakan secara khusus untuk para klien ekslusif."

"Bagaimana dengan lantai 27?"

Xavier berdecak sekilas. "Itu adalah lantai khusus untukku," jawabnya, lalu lanjut menjelaskan. "Jadi, terkait dengan hal itu, para klien harus memenuhi kriteria untuk bisa mengaksesnya. Paling tidak, itu menjaga eksklusifitasnya."

"Aku yakin, saking ekskulisifnya area dan klien tersebut, di sana bisa melakukan satu atau dua hal yang tak biasa."

"Aku tak yakin mengerti maksudmu, Lee."

Lee putuskan untuk lanjut ke topik ketiga. "Sebenarnya aku cukup heran karena di kelab malam sebesar Electric Eden masih ada titik buta."

"Bukan hal aneh," ujar Xavier sembari menggaruk ujung pelipis, lalu ia membuang napas sekilas. "Ada banyak klien yang harus dirahasiakan. Mereka harus terhindar dari gosip. Contoh sederhana saja, pejabat harus tetap bersih namanya sementara mereka juga ingin bersenang-senang. Ada juga beberapa pasangan menikah yang berselingkuh dan semacamnya. Jadi, titik buta itu memang diperuntukkan demi menjaga privasi para klien."

Alasan yang masuk akal. Lee tak bisa mendesak Xavier dengan hal itu. Jadilah ia terus berpindah pada topik-topik selanjutnya.

Waktu berlalu dan stok pertanyaan Lee nyaris habis. Jadilah ia memutar otak dan memutuskan untuk tak perlu berpura-pura di hadapan Xavier. Ia bertanya.

"Jadi, dari pembicaraan ini bisa ditarik kesimpulan kalau kau tidak ada hubungan apa pun dengan kematian Caleb?"

Xavier mendengkus geli. Ia sempat menggeleng berulang kali, seolah tak percaya Lee akan menembaknya sejelas itu. "Pikirkan ini, Fontaine. Menurutmu, apakah masuk akal bila aku ada masalah dengan Caleb dan aku membunuhnya di Electric Eden? Orang paling bodoh sekalipun pasti tidak akan membunuh musuhnya di rumahnya sendiri. Satu lagi, kalau memang aku terlibat, tak akan sulit bagiku untuk menyuruh orang-orangku menyingkirkan mayat Caleb.

"Bisa saja kau sedang bermain trik psikologi terbalik di sini."

Jadilah Xavier terkekeh. "Masuk akal, tetapi sepertinya kau melewatkan sesuatu, Fontaine. Kematian Caleb membawa kerugian tersendiri untukku."

"Kau benar, Ordego."

"Aku senang kita sepakat untuk itu," ujar Xavier seraya menyingsingkan sejenak pergelangan kemeja, dilihatnya jam. "Jadi, apakah itu artinya semua sudah selesai?"

Lee bergeming sesaat. "Kuyakin begitu."

"Baiklah, Fontaine. Aku harap penyidikanmu bisa sukses dan aku tunggu kabar baik darimu."

Xavier bangkit. Mereka berjabat tangan sejenak, lalu Xavier pergi. Bertepatan dengan itu, Gideon pun masuk dan mengisi kursi Xavier tadi.

Mereka memastikan Xavier benar-benar pergi dan pintu tertutup. Barulah semua ekspresi keluar semua.

"Dia lebih tenang dari yang sempat kuduga."

Lee mengangguk. "Justru itu yang membuatku semakin muak padanya."

*

Gale tak beranjak sedikit pun dari posisi semula. Ditunggunya Xavier keluar dari ruang interogasi sembari mengerjakan beberapa hal di tablet yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Ponsel bergetar. Gale segera merogok saku dalam jas dan dahinya mengerut tatkala melihat siapa yang menghubunginya.

Gale segera mengangkat panggilan tanpa berpikir dua kali. Kala itu, pikirannya mulai mencoba untuk menerka, apakah terjadi sesuatu di Larkspur Hollow? Sebabnya adalah mustahil Rory menghubunginya bila tak ada hal penting dan mendesak yang terjadi.

Semoga saja Rory tidak memberi Gale kabar buruk, pastinya berkenaan dengan Elodie. Walau kemungkinannya kecil, tetapi tetap ada peluang di mana Elodie mencurangi kesepakatannya dengan Xavier. Paling sederhana, Elodie mencoba untuk kabur.

"Halo, Rory. Ada apa?"

Bersamaan dengan itu, Xavier keluar dari ruang interogasi. Jadilah Gale bangkit dengan tetap menyimak pembicaraan di sambungan telepon itu.

Gale melirik Xavier dengan tatapan tak yakin. Dugaannya keliru, tetapi bukan berarti kebingungannya berakhir. Jadilah suaranya terdengar bimbang. "Tuan Xavier ada."

"Ada apa?" tanya Xavier dengan tatapan yang menangkap kebimbangan Gale. "Siapa yang menghubungimu?"

Gale menyerahkan ponselnya. "Ini telepon dari Rory, Tuan. Elodie ingin bicara denganmu."

"Elodie? Ehm."

Xavier mengambil alih ponsel. Mulut membuka, berniat untuk bertanya, tetapi sesuatu yang didengarnya membuat ia melongo.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top