No Mercy 11
Di mata Xavier, sikap Zayn memberi indikasi tersendiri. Tak aneh bila kecurigaannya timbul. Lagi pula disadarinya bahwa Zayn adalah satu-satunya pihak yang akan diuntungkan dengan kejadian tersebut.
"Sepertinya kau tidak sependapat, Gale."
Xavier bisa melihat ketidakyakinan di mata Gale ketika diungkapkannya hal tersebut. Ia menunggu sejenak dan Gale menyuarakan apa yang ada di pikirannya.
"Aku pikir justru keuntungan Zayn tidak seberapa dibandingkan dengan kerugian yang juga bisa didapatkannya, Tuan."
Xavier mengangkat tangan dan mendaratkannya di sandaran tangan kursi. Lalu mulailah ia meremas jemarinya dengan perlahan. "Maksudmu?"
"Seperti yang kita ketahui, Tuan, Zayn sedang dalam perencanaannya untuk membangun kelab malam di distrik The Fyrox dan sesuai rencana, Caleb akan mengurus pembebasan lahannya dalam waktu dekat. Jadi, aku pikir Zayn tidak akan melakukan sesuatu yang bisa mempertaruhkan rencana besarnya. Setidaknya aku berani menjamin kalau saat ini pastilah dia sedang kebingungan karena rencana pembangunan kelab tersebut akan tertunda beberapa bulan."
Jari-jari tangan Xavier terus meremas. Dicermatinya perkataan Gale, lalu ia berkomentar. "Bisa demikian atau dari awal targetnya memang bukan untuk membangun kelab malam saingan Electric Eden."
Gale diam. Disadarinya bahwa hal tersebut tidak terpikirkan olehnya dan pemikiran Xavier pun terdengar masuk akal.
Sekilas Zayn seperti mengalami kerugian, tetapi pada kenyataan itu adalah kamuflase untuk menutupi keuntungan yang sebenarnya diperoleh. Ia bisa mendapatkan predikat korban dari mata dunia dan tak hanya itu, ia bisa memanfaatkan situasi untuk mengalahkan Xavier dalam persaingan.
"Bahkan kalau ingin berbicara soal kerugian, Zayn tidak bisa dibilang benar-benar rugi dengan kematian Caleb. Pembebasan lahan memang akan terkendala, tetapi ia hanya perlu mencari orang baru untuk melanjutkannya. Sementara aku? Electric Eden sudah pasti tidak akan bisa beroperasi selama berbulan-bulan karena penyidikan itu."
Namun, bukan hanya itu yang menjadi beban pikiran Xavier. Lebih jauh lagi, kasus tersebut telah berdampak luas pada bisnisnya. Tak terbatas pada Electric Eden yang merupakan pemasukan rutin hariannya, nyatanya penjualan senjata api, narkoba, dan wanita yang merupakan pemasukan bernilai besarnya menjadi terkendala pula. Tercatat ada beberapa transaksi yang harus ditunda sementara waktu demi menghindari hal yang tak diinginkan. Para klien tidak ingin mengambil risiko karena perhatian polisi yang sekarang fokus pada Xavier.
Beberapa jalan keluar dan penawaran menarik telah Xavier usahakan untuk terus melanjutkan transaksi tersebut. Cukuplah satu orang klien tetapnya yang mengajukan penundaan sementara waktu, ia tak ingin kliennya yang lain ikut-ikutan menuntut hal serupa. Sayangnya semua tak berguna.
"Jadi, sebenarnya apa pun yang terjadi, tetaplah Zayn yang diuntungkan di sini. Selain itu, dia hanya perlu momen yang tepat untuk menjatuhkanku. Dengan demikian dia bukan hanya bisa menyaingi Electric Eden, tetapi semuanya," tuntas Xavier dengan jari tangan yang berhenti meremas. Sekarang ia justru mengepalkan jari tangannya walau tak erat. Dicobanya untuk menyingkirkan kemungkinan yang paling menyebalkan, yaitu Zayn merebut pula pasar perdagangan malamnya. "Untuk itu yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah siapa orang itu?"
Dibandingkan dengan mana kemungkinan yang lebih masuk akal, Zayn terlibat atau tidak, Xavier menyadari ada hal lebih penting yang harus segera ia ketahui. Benaknya kerap memutar beberapa ingatan belakangan ini, dari potongan rekaman video yang ditunjukkan oleh Elodie hingga penekanan yang Elodie katakan.
Xavier menyipitkan mata, sekarang kepalan jarinya menguat. Rasa penasaran memberontak semakin menjadi-jadi, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya. Gale tak menemukan petunjuk apa pun di lokasi kejadian dan harapannya sekarang justru bergantung pada pihak kepolisian.
Cih! Sungguh menggelikan.
Xavier membuang napas. "Lalu bagaimana dengan penyidikan Lee? Apa kau mendapatkan bocoran?"
"Tidak ada informasi apa pun, Tuan," ujar Gale menggeleng. Diingatnya bahwa ia telah menghubungi Manuel siang tadi. "Aku sudah bertanya pada Manuel, tetapi menurutnya belum ada informasi yang berarti. Bisa dikatakan bahwa Lee juga belum menemukan bukti berharga."
"Baiklah, tetapi kau harus memastikan Manuel untuk melaporkan semua kemajuan penyidikan Lee. Aku ingin tahu, sebenarnya siapa orang yang sedang mengajakku bermain sekarang? Dia benar-benar cari masalah."
Gale paham betul arah pikiran Xavier. Dijaminnya ketika Xavier mendapatkan informasi yang menjurus pada satu nama maka orang tersebut tidak akan sampai ke meja hijau. Hidupnya akan berakhir di tangan Xavier dan tak akan ada yang bisa menyelamatkannya. Xavierlah yang akan memberikan penghakiman untuknya.
Jadilah tak aneh bila ujung-ujungnya Gale merasakan gejolak penasaran yang serupa dengan yang dirasakan oleh Xavier. Dari sudut pandangnya sebagai orang yang telah bekerja bertahun-tahun pada Xavier, ditudingnya bahwa pelaku itu adalah orang yang tak takut mati. Sebabnya sederhana, yaitu kemungkinan besar pelakunya adalah orang di sekitar mereka dan ia masih berani mengambil risiko dengan mengusik Xavier.
Getar di saku dalam jas membuat Gale tersentak sekilas. Dikeluarkannya ponsel dan ia segera menjawab panggilan tersebut.
"Halo."
Xavier melirik. Dilihatnya perubahan ekspresi Gale dan ketika telepon berakhir, ia pun langsung bertanya. "Ada apa?"
"Ada sedikit masalah di pabrik, Tuan."
*
Dari lima distrik yang berada di Ashford City, adalah distrik Echoterra yang menjadi pusat kawasan industri. Banyak perusahaan yang mendirikan pabrik di sana, salah satunya adalah Lumos Global milik Xavier.
Pabrik Lumos Global tampak mencolok di antara pabrik-pabrik lainnya. Bentuknya menjulang tinggi, seolah menyatu dengan langit kelam kota. Ia menjadi titik fokus di tengah-tengah struktur metal dan beton. Eksteriornya dicat dengan warna hitam pekat yang menonjol, menciptakan konstras dramatis dengan bangunan sekitarnya yang terlihat suram. Logo perusahaan, sebuah monogram abstrak yang mengandung aura futuristik, terpampang besar di pintu masuk, menandai keberadaannya dengan anggun. Selain itu, tak lupa ada sentuhan emas mewah yang menghiasi logo dan garis-garis desain modern pada dinding luar sehingga terciptalah kemegahan industri yang diidam-idamkan.
Xavier dan Gale tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di sana. Setelah telepon yang didapatkan Gale tadi maka mereka pun langsung meluncur dan untungnya perjalanan di waktu dini hari akan selalu menjadi perjalanan yang lancar, tanpa ada hambatan sama sekali.
Mobil yang membawa mereka melewati gerbang besi setinggi manusia. Lalu teruslah Gale melajukannya dengan tujuan bagian belakang pabrik, pada bangunan yang terpisah dari gedung utama.
Gale menghentikan laju mobil. Ia segera turun dan berniat untuk membuka pintu untuk Xavier, tetapi nyatanya sang bos sudah keburu turun pula.
Jadilah Gale langsung menyusul langkah Xavier dengan terburu. Diseimbangkannya kecepatan langkah mereka dengan kesadaran bahwa agaknya Xavier akan mendapatkan pelampiasan kemarahan malam itu.
Gale meyakinkan diri bahwa ia tak ingin ikut-ikutan terkena imbas. Jadilah ia mempercepat langkah dan kali ini ia lebih sigap. Dibukanya pintu dan Xavier melangkah masuk. Bersama-sama, mereka menuju pada pintu rahasia yang mengantarkan pada ruang bawah tanah.
Tersembunyi dan terlindung dari dunia luar, tak banyak yang mengetahui bahwa ada pabrik bawah tanah di sana. Hanya orang-orang tertentu dan berkepentingan yang mengetahuinya, seluruhnya adalah tenaga kerja dan ilmuwan yang ditugaskan Xavier untuk memproduksi senjata api dan narkoba.
Keseluruhan, pabrik bawah tanah tersebut memiliki lima lantai dengan peruntukan yang berbeda-beda. Pastinya, di lantai teratas adalah tempat penyimpanan hasil produksi yang siap untuk didistribusikan dan itulah tepatnya yang menjadi tujuan Xavier.
Kehadiran Xavier menarik perhatian semua pekerja di sana. Kebanyakan dari mereka berpenampilan sangar dan menakutkan, penuh otot dan juga bekas luka. Namun, di sisi lain ada pula pria dan wanita dengan penampilan yang lebih rapi.
Xavier abaikan mereka semua. Ia berhenti melangkah dan tatapan matanya tertuju pada seorang pria yang diikat di tengah ruangan. Mulutnya disumpal, ia jadi tak bisa bicara, tetapi rengekannya tetap terdengar nyata.
"Jadi, ini orangnya yang berniat untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan yang sedang aku alami?"
Gale membenarkan. "Menurut informasi dari Hans, dia mencoba untuk menyelundupkan senapan serbu modern yang rencananya akan dijual kemarin."
"Benar begitu, Hans?"
Seorang pria berbadan paling besar di sana mengangguk. Ia menjawab. "Benar, Bos."
Xavier mengangguk sekali, lalu kembali melangkah. Didekatinya pria itu dan bertanya. "Siapa namamu?"
Bukan jawaban yang Xavier peroleh, melainkan rengekan yang semakin menjadi-jadi. Jadilah ia membuang napas dan memberikan isyarat pada Hans.
"Ya, Bos?"
"Lepaskan penyumpal mulutnya."
Hans mengangguk. "Baik, Bos."
Secepat itu Hans melepaskan penyumpal mulut tersebut maka secepat itu pula rengekan permohonan ampu menggema di udara.
"Maafkan aku, Bos. Aku mohon, maafkan aku."
Kaki dan tangan tak bisa bergerak, tetapi setidaknya sekarang ia bisa bicara. Jadilah ia berlutut seraya terus memohon.
Xavier berjongkok. Dicengkeramnya leher kemeja pria itu. "Aku tadi bertanya, siapa namamu?"
"Na-nama," lirihnya dengan gugup dan takut. Air mata pun mulai membasahi pipi. "Namaku adalah Johan."
"Well, Johan." Xavier menepuk-nepuk pundak Johan. Sekilas, ia berdecak. "Apakah benar yang dikatakan oleh Hans kalau kau berusaha menyelundupkan barangku?"
Johan meringis dan tangisnya kian mendesar. "Maafkan aku, Bos. Aku—"
"Bukan itu pertanyaanku, Johan. Aku hanya ingin mendengarkan jawaban untuk pertanyaanku."
Johan tak punya pilihan. Perkataan Xavier memberikan sinyal kematian dan ia tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri. Jadilah ia menundukkan kepala dan memejamkan mata, menjawab dengan penuh penyesalan.
"Ya, Bos. Aku melakukannya. Aku mohon, ampuni aku."
Kali ini Xavier tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia bangkit dan mengulurkan tangan pada Gale, lalu sebilah pisau lipat pun mendarat di dalam genggamannya.
Xavier mencengkeram rambut Johan. Diabaikannya jerit takut dan permintaan maaf Johan, juga tatapan ngeri orang-orang yang ada di sana.
Jari-jari menggenggam gagang pisau dengan erat, bilah tajam itu tampak berkilau ditimpa cahaya lampu, dan Xavier pun menggerakkannya dengan cepat di leher Johan. Jadilah kulit teriris, pembuluh darah robek, darah muncrat, dan jerit kesakitan pecah.
Xavier lepaskan cengkeramannya pada rambut Johan. Dibiarkannya Johan menggelepar di lantai. Ia nikmati penderitaan Johan. Erangan dan rintihan Johan tak ubah nyanyian malam yang membuat tenang perasaannya.
Lama kian lama, penderitaan Johan kian meredup seiring dengan semakin derasnya darah yang membanjiri lantai. Pada akhirnya, ia pun tak lagi bergerak dengan mata yang membuka tanpa ada sorot kehidupan.
Xavier tersenyum, merasa puas. Setidaknya ada sedikit penghiburan yang didapatkannya malam itu.
*
Elodie tengah bersantai dengan tayangan telenovela dan sepiring buah beraneka jenis ketika pintu kamarnya terbuka. Ia berpaling dan didapatinya kedatangan Xavier.
"Selamat pagi, Tuan Ordego. Bagaimana kabarmu?"
Xavier duduk. Diliriknya semua makanan yang memenuhi meja dan dahinya jadi mengerut. "Kutebak, kau menikmati hari-harimu di sini."
Sontak saja Elodie terkekeh. Ditaruhnya piring buah di atas meja dan ia mengangkat pundaknya sekilas. "Aku tak bisa berbuat apa pun. Jadi kuputuskan untuk menikmati semuanya. Lagi pula ternyata Gale cukup baik. Apa pun yang kuminta selalu disediakan olehnya."
"Baguslah kalau begitu. Sempat kupikir kau akan stres karena tinggal di sini dan berakhir menjadi gila."
Kekehan Elodie semakin menjadi-jadi. "Tak semudah itu untuk membuatku gila, Xavier."
Xavier mengerutkan dahi, tetapi memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu. Ada hal lebih penting yang harus dibicarakannya dengan Elodie. Untuk itulah ia pun menaruh sebuah map di atas meja dan Elodie langsung mengambilnya.
Elodie membuka map tersebut dan mendapati tiga benda berbeda di dalamnya, yaitu dokumen rumah sakit, dokumen restoran, dan beberapa foto. Ia membaca dokumen-dokumen tersebut dengan cepat, lalu melihat foto itu dengan saksama.
"Sesuai dengan janjiku, ibumu akan segera dioperasi dalam dua minggu dan adikmu telah bekerja sebagai pelayan di restoran Coastal Bistro. Bagaimana? Apakah ada yang kurang?"
Elodie tak langsung menjawab, melainkan dilihatnya dulu potret Paula dan Eloise untuk sesaat. Setelahnya ia menggeleng. "Tidak ada, Xavier. Semua sudah sesuai dengan keinginanku."
"Bagus," ujar Xavier mengangguk berulang kali. Kedua tangannya saling mengusap satu sama lain dan ia lanjut bicara. "Jadi, kalau begitu kupikir sekarang adalah waktunya untukku mendapatkan video tersebut bukan?"
Elodie mengerjap. Ditaruhnya kembali map tersebut di atas meja, lalu ditatapnya Xavier. "Belum waktunya Xavier."
"Belum waktunya? Apa maksudmu? Aku sudah mengabulkan permintaanmu dan sekarang giliranku mendapatkan hakku."
"Ibuku masih dalam daftar tunggu operasi," ujar Elodie seraya melirik sekilas pada map yang masih membuka itu. "Jadi, aku tidak ingin mengambil risiko. Aku harus memastikan ibuku benar-benar dioperasi sebelum memberikan video itu padamu."
Jawaban Elodie membuat Xavier memejamkan mata. Tangannya naik dan mendarat di sandaran sofa, lalu mengepal dengan kuat.
Anehnya, Elodie tidak menunjukkan gentar sama sekali untuk respons mengerikan Xavier. Alih-alih, ia justru tertawa sembari mengambil kembali piring buahnya.
"Kau adalah mafia, Xavier, dan hanya orang bodoh yang percaya begitu saja pada orang seperti kalian."
Xavier membuka mata. Sorotnya tampak berapi-api dan ia benar-benar tampak berang. Dirasakannya emosi mendorong ia untuk memberikan pelajaran pada Elodie, sedikit pun tak jadi masalah, asalkan itu bisa menyadarkan Elodie bahwa yang dihadapinya sekarang bukanlah orang sembarangan.
Namun, setitik akal sehat Xavier berhasil menenangkan amarah itu. Jadilah ia bangkit dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia pergi dari sana.
Pintu kembali tertutup. Elodie kembali sendirian dan ia tertawa semakin kuat.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top