DIFFERENT IS NOT BAD
Yo!! Ini adalah alur baru yang masih satu alur dengan No Exit sebelumnya, bisa dibilang mirip Sequel? Entahlah~ Anggap saja special book sebelum No Exit S2 muncul menggantikan new version No Exit : You Are Mine
.
.
.
.
.
Ayah...
Ayah bukan orang jahat....
Iya, kan?
.
.
.
.
.
Terra suka senyuman Ayah.
Dan Ayahnya memang suka tersenyum di segala situasi.
Terra sering melihat Ayahnya dengan mudah menarik sudut bibirnya untuk melengkungkan senyuman.
Saat ia berbicara dengan rekan kerjanya, saat ia memberikan instrusi dan latihan pada anak buahnya, saat ia terluka dalam salah satu perjalanan bisnis. Bahkan, saat ia mendapat cemohan dari orang lain saat ia, Mama dan Ayahnya pergi berbelanja di salah satu pusat belanja ternama di kota.
Seperti saat ini....
Terra ingat, siang itu adalah salah satu siang yang cerah di Kyoto. Jepang memang sudah masuk musim penghujan di awal bulan November, dan menemukan hari cerah sangatlah jarang.
Oleh karena itu, siang itu disambut dengan suka cita oleh semua orang termasuk ia dan kedua orangtuanya.
Terra suka sekali ketika ia diajak pergi bersama orangtuanya. Terra jadi bisa melihat berbagai hal di dunia luar, bermain ditaman, memetik bunga, makan-makanan enak, membeli mainan--apalagi melakukannya bersama kedua orang tuanya.
Terra merasa jadi anak paling bahagia di Kyoto hari itu.
Terlebih, ketika ia bisa mendengar tawa orang tuanya berdendang saat mereka bermain bersamanya.
Hari itu adalah siang cerah yang menyenangkan!
Sampai akhirnya, ketika mereka akan pulang selepas dari pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa buah-buahan--Mamanya ingin buah cherry, dan Terra tahu Ayahnya tidak bisa bilang 'Tidak' kalau itu tentang Mama.
Apalagi kala Mamanya sudah menatap Ayahnya dengan bola mata membesar dan penuh binar-binar harapan. Sekali tengok, Ayah akan langsung luluh. Lucian selaku author yang sedang kebetulan mencari inspirasi ide dan tidak sengaja teleport ke dunia mereka pernah berkata jika kelemahan Ayahnya itu adalah Mama. Dan Terra setuju akan hal itu.
Mama sudah selesai memilih buah-buahannya. Selain Cherry, Mama juga membeli satu kilo jeruk. Ayahnya inisiatif membawakan plastik buah-buahan Mama. Sementara Mamanya membawa kantung plastik yang lebih ringan.
Setelah memastikan semua barang telah terbawa sempurna, mereka bertiga bergandengan tangan lagi. Terra ditengah dengan kedua tangan kanan dan kiri tergenggam dalam dekap tangan orang tuanya.
Bersama, mereka mengambil langkah untuk menuju kediaman utama Nanase.
"Lihat, bisa-bisanya ia dan keluarganya sebahagia itu."
Terra tidak sengaja mendengar seorang ibu-ibu yang tengah membeli sesuatu di salah satu toko sayuran berkomentar.
"Tidak tahu malu, padahal para orang buangan dari masing-masing keluarga besar penjahat ternama dipenjara sementara mereka bebas menikmati hidupnya."
"Benar, tidak adil sekali," ibu-ibu lain disebelahnya ikut menimpali, berbisik-bisik, "Hanya karena dia kepala keluarga utama Nanase dan juga merupakan rekan bisnis Inspektur beserta pemimpin Interpol dia jadi dikecualikan. Kepala keluarga utama Nanase itu yang memulai permasalahan dengan Interpol bukan? Seharusnya seluruh keluarga utama dan keluarga cabang Nanase juga masuk penjara."
"Misi penangkapan Kepala keluarga beserta Nyonya Nanase membuat anakku yang merupakan salah satu jajaran Interpol terbunuh."
Sang kasir yang menjaga toko sayuran ikut menanggapi, dan Terra bisa melihat kedua mata penjaga kasir toko sayuran itu menyipit penuh amarah kearah Ayahnya ketika Terra ikut melihat ke arah sumber suara.
"Seharusnya kepala keluarga utama berserta Nyonya besar Nanase juga dihukum seberat-beratnya."
Siapa itu kepala keluarga utama Nanase?
Siapa itu Nyonya besar Nanase?
Dan kenapa ibu-ibu itu menatap benci kearah Ayah seolah-olah Ayahnya yang melakukan perbuatan jahat?
Ayahnya tidak jahat!
Terra merasakan salah satu tangan mungilnya dipegang erat--tangan sebelah kanannya, Mama.
Seketikan Terra kecil mendongak.
Ia melihat pria muda cantik dengan surai baby pink yang kini juga turut menoleh ke arah sekumpulan wanita baya itu dengan tajam.
Alis pria muda cantik itu mengkerut dalam, rahangnya terkatup dan bergetar, netra mawar lembutnya menajam bagai belati.
Pria muda dengan wajah cantik bak boneka itu hanya mengeluarkan ekspresi ini ketika ia marah.
Terra pernah melihatnya ketika ia berbuat nakal atau bandel, tapi ia belum pernah melihat Mama-nya semarah ini sebelumnya.
Sorot mata Mama..... terlalu menakutkan.
Terra takut.
Terra kembali menunduk. Ketika kepala kecil dengan surai crimson yang mirip dengan pria muda nan tampan satunya lagi kini menunduk, anak itu dapat melihat melalui sudut matanya bagaimana pegangan pria muda bersurai baby pink itu pada kantong yang ia tenteng disatu tangannya yang lain mengerat, bahkan kepalan tangannya pun itu gemetar.
Anak itu tahu satu hal.....
Mamanya sangat marah.
Tapi kenapa?
Kenapa Mama sangat marah pada mereka?
Apakah karena yang dibicarakan oleh orang-orang itu adalah Ayah?
Ayah....
Terra ragu-ragu menoleh ke arah pria muda bersurai crimson yang ia sayangi. Pria yang sangat Terra kagumi.
Jauh dari dalam lubuk hati, ia ingin meminta tolong Ayahnya untuk meredakan amarah Mama. Biasanya sang Ayah punya seribu cara jitu untuk menenangkan Mamanya. Selain itu, Terra juga ingin bertanya padanya. Kenapa Mama marah? Kenapa orang-orang itu menatap tidak suka pada kita? Siapa itu kepala utama dan Nyonya besar Nanase?
Namun pertanyaan-pertanyaan itu seperti terhenti begitu saja diujung lidah, detik ketika ia mendongak kepada sang Ayah dan menemukan salah satu pria favoritnya itu tengah tersenyum kepada orang-orang itu.
Ayah sedang tersenyum.
Tersenyum kepada orang-orang yang menatap benci mereka.
Ujung pipinya terungkit hingga matanya menyipit tenggelam selayaknya rembulan.
Terra terkadang tidak mengerti jalan pikiran Ayahnya.
Bagaimana bisa ia hanya tersenyum begitu saja, meski nyatanya ia barusan dicela. Senyumannya tak kunjung luntur, sementara Mamanya membalas sekumpulan ibu-ibu dengan kalimat lontaran galak--Terra tidak tahu pasti apa yang dikatakan Mamanya, ia belum pernah mendengar kosakata seperti itu terlontar dari mulut Mamanya selama ini. Yang ia tahu Mamanya tengah berbicara dengan nada dan tinggi sekarang, Mama sangat murka.
Pegangannya pada tangan Mama tanpa sadar mengerat. Ia makin takut, namun Terra habis bisa terdiam dan mendongak pada sang Ayah. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ia berusaha mencari kekuatan dengan menatap Ayahnya.
Ayahnya yang masih tersenyum dan tersenyum saja.
Senyum itu adalah senyum sama yang ia gunakan ketika ia berbicara dengan orang asing, ketika ia berhadapan dengan musuh, ketika ia melihat Mamanya atau Terra terluka, atau ketika ia di dekati oleh perempuan lain.
Senyum itu kosong, seolah tak bernyawa.
Sorot mata itu redup tak tersisa.
Iris mata Ayahnya yang serupa cahaya di langit pagi saat matahari baru terbit akhirnya bergulir pada Mamanya. Terra bisa melihat ada yang berubah disana saat Ayahnya menatap Mama.
Ada sesuatu yang berbeda.
Senyum Ayahnya berbeda ketika ia menatap Mama.
Senyumnya penuh makna.
Senyuman yang tadinya hampa, kini berubah terasa bernyawa.
Senyuman itu hidup. Hidup oleh secerca asa.
"Tidak apa-apa, sayang. Abaikan saja. Jangan dipikirkan."
Ayahnya bertutur pada Mama yang kini mulai tenang. Sepasang manik crimson itu bergerak lagi--tertunduk, dan terjatuh pada Terra. Senyum yang dilemparkan pada Terra masih sama. Senyum itu masih hangat. Sehangat mentari pagi yang menyapa. Senyum itu laksana penyejuk jiwa karena Terra bisa merasakan hatinya turut di landa sukacita.
"Ayo kita pulang,"
Selain senyumannya, Terra juga sangat menyukai suara Ayahnya. Suaranya sangat menenangkan. Mengalun lembut bagai untaian dawai. Suaranya sering kali menjadi favorit Terra untuk mengantarnya ke alam mimpi.
Ayahnya menjulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Mama, mengusap-usapnya secara vertikal dengan ibu jarinya. Terra bisa melihat jika Mamanya kini tengah membuang nafas dalam-dalam dan lama-lama senyuman cantiknya terbit lagi.
Benarkan kata Terra?
Ayahnya selalu punya cara untuk memberikan ketenangan bagi Mamanya.
Mereka bertiga kembali bergandengan tangan dan langkah kaki mereka mulai bergerak menuju pintu keluar pusat perbelanjaan. Kedua tangan Terra ikut menghangat karena dekapan tangan kedua orang tuanya yang menuntun sepanjang jalan, mengerat seiring mereka mengambil langkah.
Tiba-tiba saja, semua kembali baik-baik saja.
Kejadian tadi seolah sirna begitu saja dalam ingatan.
Hari itu memang siang cerah paling menyenangkan.
.
.
.
.
.
"Musim panas ini kalian akan liburan kemana?"
Terra bertanya di tengah-tengah waktu istirahat mereka berlatih limu bela diri. Empat anak kecil berusia genap 8 tahun kini tengah mengistirahatkan diri di taman belakang mansion utama keluarga Nanase, di bawah kanopi rindangnya bunga sakura, bersisipan satu sama lain dan pemandang indah khas taman elite yang menyapa penglihatan. Hebusan angin menerpa helai-helai rambut mereka, menggelitik menyenangkan.
"Aku akan liburan ke mansion utama keluarga Mido," Mido Yuan, anak lelaki lain dengan surai cream seperti Mamanya dan dipadukan watak Ayahnya menyahut pelan dengan nada lembut yang mengingatkan tiga bocah lainnya pada seseorang. Fakta jika Mido Yuan adalah anak dari Mido Torao dan Natsume Minami atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Nyonya besar keluarga Mido ternyata hasil dari mengadopsi, setidaknya tidak seekstrim keluarga gila yang mana mansionnya kini dipakai untuk melatih kemampuan anak-anak mereka. "Untuk musim panas tahun ini kami akan berkunjung ke keluarga Papa. Aku senang bisa bertemu kakek dan nenek lagi." tambah bocah cantik itu.
"Aku juga," Inumaru Hayate turut menimpali dengan sebuah helaan nafas lolos dari bibirnya. Ia masih menolak membuka mata, sebenarnya tadi Terra sempat mengira kalau anak dari sahabat dekat--Baca, Babu kesayangan--Ayah dan Mamanya itu tertidur.
"Aku juga akan pergi ke tempat Mama dan mengunjungi makam Nenek di Tokyo, dan menghabiskan waktu disana."
"Aku juga akan ikut Mama dan Papa pergi ke tempat bibi Ruri!" ujar Orikasa Reiji dengan semangat membara yang mirip Mamanya namun wajahnya saat berbicara dengan nada semangat barusan nyatanya sedatar wajah Ayahnya di segala situasi ketika tidak berada disisi Mamanya.
"Um, sepertinya aku akan ikut Papa dan Mama pergi ke salah satu misi tingkat S," gumam Nikaido Miyu, satu-satunya bocah manis berkacamata disana.
Lucian yang kebetulan lagi main awan bareng anak-anak dari book Heaven sebelah cuma bisa berdecak lelah, "Sasuga anak dari Nikaido Yamato dan Nikaido Mitsuki."
Okey~ back to the topik.
Bibir Terra mengerucut, "Yah, berarti aku ditinggal sendiri dong," nada bicaranya seketika berubah merajuk. Ia sedih mendapati kenyataan ia tidak bisa bermain dengan tiga sahabat dekatnya. Ia bisa saja sih bermain dengan anak-anak dari keluarga cabang Nanase yang lain, tapi rasanya tetap saja berbeda. Terra tetap merasa paling nyaman berada disamping Yuan, Hayate, Reiji dan Miyu karena mereka memang sudah terbiasa bersama, bahkan sejak pertama kali mereka menghirup nafas di dunia.
Kalian mungkin bertanya-tanya kemana perginya anak Yaotome Gaku, Tsunashi Ryunosuke, Izumi Iori, Osaka Sogo dan Yotsuba Tamaki bukan? Jawabannya sangat simpel, baik Gaku dan Ryuu masih dalam suasana duka semenjak hari patah hati nasional mereka karena Tenn yang notabe pernah menjadi kekasih terindah mereka telah menikah dengan Riku sedangkan Sogo masih dengan prinsipnya jika ia tidak akan menikah kalau orang itu bukan Tenn dan menunggu saat yang tepat untuk mengambil Tenn kembali dari Riku, Tamaki sih fine fine saja tidak punya anak dan istri toh otaknya penuh puding dan Sou-chan.
"Kenapa kau tidak liburan saja keluar luang lingkup Nanase, Terra? Reiji lantas mengusulkan. Kepalanya mengerling ke samping, "Mungkin kau bisa mengunjungi kakak atau adik Paman Riku?"
Untuk beberapa saat Terra hanya tertegun. Manik mawar lembut yang sedikit lebih gelap dari manik Mamanya berkedip-kedip lucu. Otaknya berputar-putar memikirkan sugesti--menimang-nimang.
Benar juga!
Terra tidak tahu siapa saja keluarga utama Nanase, yang ia tahu setiap bulannya mereka akan keluar dari Mansion utama bersama kepala keluarga cabang Nanase lain dan berdoa bersama di sebuah kuil tanpa ia tahu sebenarnya mereka berdoa untuk siapa.
Jika upacara berdoa di kuil selesai, Ayah dan Mama akan menundukakan kepalanya ke arah seluruh kepala keluarga cabang Nanase lain dan membiarkan mereka pergi, kemudian setelah itu Ayahnya akan menggenggam tangannya dan membawa Terra beserta Mama menuju sebuah makam yany berada tidak jauh dari kuil itu.
Di sebuah bukit dengan pohon sakura besar ditengahnya, terdapat dua buah makam yang mungkin usianya lebih tua 5 tahun dari Terra. Kedua makam itu akan dipenuhi oleh bunga-bunga merah muda cantik yang berjatuhan. Terra selalu suka diajak kesana, ditambah Ayahnya selalu berkata jika ingin berbicara maka berbicara pada makam itu dan anggap saja jika mereka yang berbaring di dalam tanah tepat dimana makam itu berada masih hidup.
Selain terpesona pada bunga sakura dan makam tua yang berada dibawah pohon sakura itu, Terra juga selalu terpana dengan pemandangan Kyoto yang indah di bukit dekat hutan suci milih keluarga Nanase--yang mana orang-orang hanya diperbolehkan masuk ke dalam hutan tersebut jika mereka menyandang nama Nanase di depan nama mereka. Ada padang bunga lavender yang sangat luas membentang seolah menjadi pembatas antara hutan suci keluarga Nanase dan dunia luar, dan sisi selatan bukit terdapat sungai jernih yang mengalir tenang menuju ke hilir.
Selain dua makam tua itu, Terra tidak mengetahui siapa saja keluarga utama Nanase. Selama ini ia tidak pernah keluar dari zona nyaman luang lingkup keluarga Nanase.
Terra hanya pernah bertemu seluruh keluarga cabang Nanase, sementara keluarga utama? Ia sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya keluarga utama Nanase yang terkenal dengan pemerintahan kejam tirani dan menekan tangan kasar mereka pada setiap leher keluarga cabang Nanase lainnya.
Terra sama sekali tidak tahu.
Terra juga yakin Ayahnya bukanlah orang biasa dilihat dari segi politik dimana kepala keluarga cabang Nanase akan selalu menunggu keputusan Ayahnya dan persetujuan Mama.
Kira-kira posisi Ayah dan Mamanya seperti apa ya di keluarga utama Nanase?
Apakah kakek dan nenek di suatu tempat sana masih hidup? Atau mungkin sudah disurga seperti pemilik tubuh yang tertidur di bawah makam tua itu?
Fakta jika Ayah dan Mamanya selama ini merahasikan hal itu membuat rasa ingin tahu Terra meningkat pesat.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala dan Terra butuh jawaban.
Maka malam itu, ketika ia dan orang tuanya tengah menikmati makan malam, Terra merasa ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya.
"Ayah, Mama.... apakah liburan ini kita bisa mengunjungi keluarga Ayah?"
Detik selanjutnya, ruang makan luas nan megah yang semula dipenuhi oleh dentingan kaca itu berubah sunyi. Keheningan seketika menyelimuti.
Dan keheningan itu perlahan berubah mencekik.
Terra mungkin baru berusia 8 tahun saat itu, tapi ia cukup tahu kalau ia membuat suasana tidak nyaman karena pertanyaannya. Ia bergerak-gerak dikursinya, kakinya yang menggantung ketika duduk di kursi terayun-ayun--gelisah.
Terra tahu jika diam yang melanda meja mereka bukanlah diam yang mendamaikan.
Diam ini mencekat.
Ayahnya terdiam, Mamanya yang menyukai konversasi pun juga ikut terdiam.
Para pelayan yang berada di masing-masing sisi mereka untuk melayani terkadang menundukkan kepala ke bawah, para penjaga menatap ke arah lain seolah mereka tahu pertanyaan Terra sangatlah tabu di depan seorang Nanase Riku dan Nanase Tenn.
Keheningan itu bertahan cukup lama, sampai akhirnya Mama memutuskan untuk mengakhirinya.
Nadanya sangat lembut ketika ia memulai, "Terra--"
"Ayah hanya punya dua makam dibawah pohon sakura itu."
Tanpa diantisipasi oleh dirinya maupun Mama, Ayah ternyata memilih angkat bicara.
Kedua pemilih beda surai dan besa usia itu bersamaan menoleh kepada Riku, menanti apa yang akan diutarakan olehnya dengan was-was. Mama menatap Ayah alis tertekuk dalam--khawatir, mungkin. Namun Ayah masih mengunci pandangan pada Terra, enggan berpaling.
"Maafkan Ayah, Terra. Tapi Ayah sudah tidak punya Ayah ataupun Ibu."
Suara Ayahnya mengalun rendah tetapi tenang. Mengingatkan Terra pada permukaan air tak beriak. "Mereka..... mereka sudah meminggal."
Terra tertegun. Tenggorokannya terasa kering seketika mendengar pengakuan sang Ayah.
Meninggal?
Tanpa sadar kepalanya merosot tertunduk, matanya jatuh pada ujung kaki yang menggantung dibawah meja.
Sorot mata Ayahnya yang penuh kesedihan mendorong Terra untuk memutuskan kontak mata.
Sorot itu begitu.... begitu.... menyakitkan.
Hingga ia pun tak kuasa.
Seolah seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang mencubitnya keras-keras.
Terra tak bisa membayangkan bagaimana rasanya.
Bagaimana rasanya tidak memiliki kedua orang tua.
Membayangkan ia bisa hidup tanpa Ayah dan Mamanya. Bagaimana jika mereka berdua tidak berada di dunia ini untuk menemani Terra.
Sekelebat pikiran itu membuat Terra spontan menggigit bibirnya.
Tidak!
Itu terlalu perih untuk dibayangkan!
Tapi.... Ayahnya merasakan itu semua.
Merasakan bagaiamana ia tidak mempunyai orang tua disisinya. Ayahnya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang Terra rasakan.
"Ayah hanya punya dua makam itu," Terra mendengar Ayahnya kembali melanjutkan, suaranya serupa bisikan, namun tetap mengalir merdu, "Dan sekarang Ayah hanya sendiri--"
"Ayah tidak sendirian!"
Terra spontan memotong, kepalanya yang semua menunduk kembali menegak. "Ayah masih punya aku dan Mama!" kedua manik mawar lembut pekat itu menatap manik crimson Riku lekat-lekat, determinasi memancar kuat.
"Ayah tidak akan sendiri."
Ayahnya tampak tertegun untuk sesaat. Sebelum kemdian sudut bibirnya terangkat perlahan demi perlahan dan sebuah senyuman lembutpun terpulas disana.
Sanubari Terra diliputi kehangatan ketika melihatnya. Sorot mata Ayahnya yang semula penuh kabut kesedihan kini terganti oleh sesuatu yang lebih besar, lebih hangat--lebih bahagia. Sorot mata itu penuh afeksi.
"Benar," gumam Ayahnya lembut. Tangannya otomatis terjulur pada surai crimson yang terlihat seperti diwariskan dari Riku, "Terra benar. Ayah sudah tidak sendiri lagi," gumamnya.
"Ayah punya kalian berdua dan itu sudah lebih dari cukup."
Senyum Ayah yang selalu Terra suka kini kembali muncul.
Senyum dan usapan lembut sang Ayah di kepala Terra membuatnya tak bisa menahan diri. Terra pun tersenyum lebar.
Ia menyempatkan diri melirik Mamanya dari periperalnya--untuk menemukannya menggores ekspresi serupa dan sesekali mengusap sudut matanya.
Malam itu, Terra membuat janji dalam hati untuk tidak mengungkit apapun mengenai keluarga sang Ayah--meski ia masih memiliki banyak pertanyaan yang masih belum diutarakan.
Ia hanya tidak ingin melihat sorot penuh kesedihan hadir lagi dikedua mata lelaki yang ia sayang.
Ya...
Terra akan menganggap semuanya baik-baik saja...
Sampai suatu ketika, hari itu datang juga.
Hari dimana Terra tidak bisa menganggap semuanya baik-baik saja.
"Ayahmu itu penjahat!"
Kalimat itu membentuk frasa, hanya tersusun dari tiga kata.
Namum efeknya luar biasa.
Terra seketika membisu. Tubuhnya terasa mengkaku. Aliran darahnya seperti beku. Raganya seperti diguyur air dingin tanpa ragu.
Terra tidak menyangka kalimat itu akan diutarakan beberapa teman sekelasnya.
Dengan mudahnya. Dengan sebuah lantunan tawa mencela.
Hanya karena Terra tidak berkenan memberikan jawaban pekerjaan rumahnya, tiga orang teman sekelasnya itu langsung merudungnya di salah satu sudut sekolah. Argumen keras saling terlempar di udara, bahkan tarik menarik buku pun tak dapat terhindarkan--untungnya, Terra dengan gesit berhasil mempertahankan bukunya. Ia memeluk bukunya erat-erat di dada dengan tangan kecilnya, bersikukuh menolak. Ia tahu sikapnya membuat teman-temannya murka. Mata mereka memicing berbahaya, namun Terra tak gentar. Terra masih bisa melawan mereka dengan sedikit ilmu bela diri yang masih ia pelajari.
Sampai akhirnya kalimat-kalimat itu pun terlempar.
"Kata Ayahku, Ayahmu itu salah satu anggota utama keluarga Nanase!"
Keluarga utama Nanase lagi.
Siapa kepala keluarga utama Nanase?
"Ayahmu itu pembunuh bayaran! Dan dia itu penjahat!"
Apa itu pembunuh bayaran?
"Ayahmu itu penjahat!"
Bukan!
Ayah Terra bukan penjahat!
Ayah Terra tidak jahat!
Terra tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Ia melihat Yuan, Hayate, Reiji dan Miyu datang menghampirinya bertanya--namun Terra tidak terlalu menangkap apa yang mereka tanyakan.
Ia hanya diam membisu, seketika membuat tiga bocah dengan surai berbeda itu saling bertukar tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia bisa melihat tiga sahabatnya itu berlari mengejar segerombolan anak yang tengah tertawa itu. Punggung mereka semakin menjauh hingga tertelan koridor kelas.
Dadanya serasa kebas.
Kebas seperti hampir kehilangan nafas. Sesak, hingga ingin menghilang saja rasanya.
Maka ia berlari keluar gedung sekolah.
Ia memaksa kakinya berlari.
Ia berlari, berlari dan terus berlari. Ia berharap bisa menghilangkan rasa sesak yang menghimpit dada ini.
Kaki-kaki kecilnya membawanya ke Mama.
Ia tahu pria muda bersurai baby pink itu selalu berada di taman kaca tempat dimana ia memeliharan beberapa bunga langka dan non-langka serta merawatnya dengan telaten seperti anak sendiri.
Sejak dulu Terra tidak pernah berubah. Sejak kecil ia selalu mencari pelipur lara ke kedua orang tuanya. Pelukan mereka selalu berhasil membawa rasa damai kembali. Hal terbaik yang bisa menenanhkan dirinya hanyalah Mama untuk sekarang.
Karena ia tidak yakin bisa.menemui Ayahnya. Untuk saat ini, setidaknya.
Ayahnya yang kata teman-temannya tadi penjahat.
Mereka salah besar.
Ayahnya bukan penjahat.
Iya, kan?
Tapi jauh di dalam lubuk hatinya Terra tahu.
Terra tahu ada yang berbeda.
Terra tahu Ayahnya dan Mamanya berbeda.
Mulai dari desis dan bisikan orang-orang disekitar mereka saat Terra kecil dulu, fakta bahwa Ayahnya tidak punya Ayah dan Ibu, fakta jika Ayahnya sangat dihormati dan terkadang sering terluka dalam perjalanan bisnis biasa.
Jadi Ayahnya itu siapa?
Kenapa mereka bilang bahwa Ayahnya penjahat?
Apa...
"Mama...."
Apa Ayahnya memang.... penjahat?
Mamanya yang saat itu tengah menatap beberapa buket bunga segar untuk hiasan di dalam mansion mendongak, pancaran terkejut terlukis di wajah cantiknya saat melihat Terra yang menangis di ambang pintu. Mamanya langsung sigap, meninggalkan pekerjaannya dan melangkah penuh urgensi menuju Terra.
Terra merentangkan kedua tangannya untuk mendekap sang Mama erat-erat. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Mama, berusaha menghilangkan rasa sakit yang melanda.
Terra memenggelamkan wajahnya yang basah penuh air mata di fabrik pakaian sang Mama. Ia bisa merasakan kepala dan punggungnya dibelai dengan lembut. Tangan Mama bergerak naik turun secara ritmis. Mamanya juga membisikan kata-kata penenang di telinga layaknya sebuah pengantar tidur.
Diantara isakan-isakannya, Terra menceritakan kepada Mamanya apa yang terjadi. Ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang ia miliki. Ia ingin mengetahui bahwa Ayahnya bukan penjahat, iya kan, Ma?
Tenn masih membelai tubuhnya yang dilanda gemetar akan tangis, ibu jarinya bergerak untuk mengusap air mata yang tumpah ruah di sudut-sudut mata sang putra. Ketika Terra menjadi lebih tenang, barulah Tenn mengajaknya duduk di kursi yang tersedia di dalam taman kacanya. Tenn berkata kepadanya untuk menunggunya beberapa saat. Ada sesuatu yang ingin ditunjukkan oleh Mama, katanya.
Terra hanya mengangguk tanpa suara. Bibir mungilnya masih belum bisa merangkai kata. Ia hanya bisa mengeluarkan isakan-isakan kecil dari bibirnya.
Sang Mama tak pergi lama sesuai janji. Ia kembali menghampiri Terra membawa sebukit bunga mawar dalam dekapan. Mamanya mendudukkan diri di samping Terra, tersenyum kemudian menepuk-nepuk pahanya--memberitahu Terra untuk duduk di pangkuannya.
Terra mungkin sudah terlalu besar untuk duduk dipangkuan sang Mama--ia sudah berusia 10 tahun, lagipula baik ia maupun Mamanya tidak peduli untuk saat ini. Ia mendudukan diri dipangkuan sang Mama, membiarkan dirinya dilingkupi oleh dekapan hangat oleh sang Mama.
"Terra..." panggilnya ketika isak tangis Terra telah mereda, "Terra, coba liat apa yang Mama bawa."
Tenn membawa buket bunga mawar itu kehadapan mereka berdua. Terra mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan agar ia bisa melihat dengan lebih jelas.
Sekarang, ia bisa melihat sekumpulan bunga mawar putih terjajar rapi di sana, namun setangkai mawar biru diletakkan dibagian tengah. Mama pernah mengajarkan Terra bahwa mawar putih berarti kesetiaan dan mawar biru berarti rasa rindu yang teramat sangat.
"Terra liat bunga ini?"
Mamanya bertanya sekali lagi dengan nada suaranya yang lembut bagai simfoni. Terra hanya mengangguk, sehingga Tenn pun melanjutkan. "Buket ini berisi bunga mawar. Semuanya bunga mawar. Tapi Terra lihat apa yang berbeda?"
Terra refleks menunjuk ke arah setangkai mawar biru yang terkepung oleh sekumpulan bunga mawar putih. "Bunga ini. Hanya dia satu-satunya yang berwarna biru, Mama."
"Pintar," Tenn memujinya, mengecup sisi kepalanya sebagai tanda apresiasi. "Betul kata Terra. Yang berbeda adalah bunga mawar biru ini. Dia berbeda dari yang lain. Dia memiliki warna berbeda dari yang lain." jelas Mamanya.
"Tapi meskipun berbeda darinyang lain, apakah itu artinya dia jelek?"
"Tidak Mama," Terra menggeleng, "Mereka semua cantik."
"Terra benar lagi. Mereka semua cantik," kata sang Mama, kini ia tersenyum.
"Menurut Terra meskipun punya warna berbeda dari teman-temannya, apakah bunga biru ini tidka layak disebut bunga mawar seperti yang lain?"
Lagi-lagi Terra menggelengkan kepala dipangkuan Tenn, "Tidak, Mama. Dia tetaplah bunga mawar meskipun ia tidak sama warnanya dengan mawar lain.
"Begitulah, sayang," Mamanya meletakkan telapak tangan dipipi Terra, membuat sang putra menoleh. Ia tersenyum, mengusap ibu jarinya di pipi sang putra yang masih lembab karena air mata. Tenn mengecup keningnya--cukup lama sebelum ia memberikan eksplanasinya dengan nada selembut sutra.
"Meskipun ia berbeda, meskipun ia tidak memiliki warna yang sama seperti mawar lain, ia tetaplah bunga mawar. Dia punya warna berbeda, tetapi ia tetaplah setangkai bunga mawar cantik seperti lainnya. Yang berbeda hanya warnanya saja." ujarnya, "Hal itu juga berlaku pada orang. Kita terkadang melihat orang-orang yang berbeda, ya kan, sayang? Ada yang pendek, tinggi, ada yang punya kulit putih, kuning atau hitam--bermacam-macam orang. Setiap orang itu berbeda, namun mereka semua tetap sama, kan?"
Mama melukiskan sebuah senyum lembut yang sangat Terra suka, "Mereka semua cantik," kata Mamanya, "Mereka semua tetaplah manusia yang cantik meskipun mereka mempunyai perbedaannya masing-masing seperti mawar biru diantara mawar putih tadi, mereka tetap cantik. Meski berbeda, hal itu sama selali tidak mengurangi kecantikan mereka, bukan?"
"Iya, Mama," gumam Terra kemudian menambahkan, "Mereka juga jadi lebih unik karena berbeda dari yang lain," ia melirik buket bunga yang ada di dalam genggaman Tenn lagi, sorot matanya tertuju pada bunga mawar biru yang berada di tengah rangkaian. "Ia terlihat unik karena warnanya berbeda dari yang lain."
"Oleh karena itu, sayang. Berbeda bukan berarti buruk. Berbeda itu memang unik, tapi mereka tetap saja indah."
Manik mawar lembut Tenn memancarkan kehangatan, bertukar netra dengan iris sama yang lebih pekat milik putranya. Tenn pastikan selama menjelaskan ia tetap mengunci lekat-lekat netra milik Terra agar hanya terus menatap ke arahnya. Tenn sangat berharap apa yang ia sampaikan barusan dapat Terra cerna dengan baik.
"Terra mengerti maksud Mama, bukan?"
Tidak!
Sejujurnya Terra masih belum mengerti!
Tapi Terra ingin mengerti....
Terra ingin mengerti kenapa Ayahnya berbeda.....
Kenapa Ayahnya punya banyak rakasia. Kenapa Ayahnya punya teka-teki yang Terra tidak tahu apa jawabannya.
Tapi ia mengerti kenapa Mamanya berkata seperti ini kepadanya.
Secara tidak langsung Mamanya mengkonfirmasi pada dirinya bahwa--Ya, Ayahnya memang berbeda.
Meskipun Ayah berbeda, Ayah tetaplah indah. Sama seperti bunga mawar biru diantara sekumpulan mawar putih itu.
Meskipun Ayahnya menyimpan banyak teka-teki mengenai dirinya, perasaan Terra pada Ayah tidak akan pernah tergantikan! Tidak akan tergantikan oleh para pria dominan di luar sana.
"Ya...." Terra membenamkan wajahnya di dada yang Mama, lagi-lagi mencari pelipur lara. Dan ia pun berbisik, meski mungkin Mamanya tidak mendengarnya.
"Terra mengerti, Ma....."
.
.
.
.
.
Terra tak menyangka saat dimana ia akhirnya bisa mengerti hal itu datang ketika ia berusia 12 tahun. Tepat saat ia dinyatakan lulus sebagai salah satu siswa Ainana Junior high school.
Saat itu Terra baru saja pulang sehabis melakukan beberapa pesta kecil dengan teman sekelasnya. Terra langsung disambut oleh pelukan hangat dan usapan lembut di surai crimsonnya dari sang Ayah. Bola mata Terra berputar, mencari keberadaan sang Mama yang tidak terlihat bersama Ayahnya di ucapara sekolah tadi. Riku yang tahu akan hal itu lantas berkata padanya jika Tenn harus melakukan kegiatan bisnis di Tokyo selama beberapa hari dan baru berangkat tadi pagi.
Terra hanya mengangguk saat itu, ia bilang kepada Ayahnya bahwa ia akan segera membasuh diri karena ia merasa kotor sekali ditambah seharian penuh menggunakan seragam plus almamter khas Ainana Junior High School. Namun belum sempat Terra mengambil langkah, Ayahnya menghentikannya untuk meminta waktunya sebentar.
Ayahnya bilang ada suatu hal penting yang harus dibicarakan.
Terra hanya bisa mengerjab bingung waktu itu, penasaran akan hal penting apa yang ingin dibicarakan oleh Ayah.
Setelah mereka sama-sama duduk di sofa empuk yang baru saja dipesan oleh Tenn khusus dari Arab Saudi 3 minggu lalu, Terra baru menyadari betapa pentingnya konversasi ini.
Ayahnya memulai narasinya dengan nada pelan, tak terburu-buru dalam menyusun untaian kalimat.
Terra hanya dapat terdiam membisu ketika Ayahnya menceritakan semuanya. Semua tentang dirinya. Dengan nostalgia kesedihan dimana Terra ingat pernah menggores air mukanya beberapa tahun yang lalu.
Ayahnya menceritakan tentang siapa itu kepala keluarga utama Nanase--setelah mengetahui cerita dari Ayahnya, Terra tidak tahu harus berbuat apa setelah tahu jika Ayahnya adalah kepala keluarga utama Nanase yang tirani sedangkan Mamanya adalah Nyonya besar dengan otak licik. Tentang apa itu pembunuh bayaran yang merupaka. Pekerjaan Ayahnya serta Mamanya juga seorang mafia ganja ternama di dunia gelap. Tentang Ayah yatim piatu serta rahasia kecil jika ternyata Ayahnya sendirilah yang membunuh kakek dan nenek Terra menggunakan tangannya sendiri. Tentang dua makam tua di bawah pohon sakura serta alasan mengapa setiap akhir bulan Ayah dan Mama akan mengajaknya kesana. Tentang pelarian dari Interpol yang penuh ketegangan dan munculnya benih-benih cinta antara Ayah dan Mama serta Mama yang dimasa lalu sering berusaha membunuh Ayah dan bahkan Mama pernah mengkucek paman Sogo yang merupakan kepala keluarga utama Osaka dalam mesin cuci selama pelarian.
Semua Ayahnya ceritakan padanya dengan kalimat yang tersusun jelas agar Terra bisa memahaminya.
Terra tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu begitu saja.
Yang ia tahu, Ayahnya tiba-tiba mengulurkan tangannya ke wajahnya, mengusap bawah matanya ibu jarinya yang tegas.
Basah...
Terra bahkan tidak sadar jika ia ternyata menangis.
Ayahnya tersenyum sendu. Masih dengan ibu jari mengusap lembut.
"Tidak apa-apa jika Terra benci, Ayah--"
"Mana mungkin aku benci Ayah!"
Terra dengan tegas menginterupsi. Ia sempat melihat Ayahnya tampak tertegun, namun ia butuh memberikan reasuransi ini untuk Ayahnya. Ayahnya tidak boleh berpikir begitu!
"Aku tidak akan membenci Ayah. Tidak akan pernah," ulangnya tanpa sedikitpun nada keraguan. "Ayah tetaplah Ayahku, Nanase Riku. Ayah mungkin berbeda...." gumamnya, ia mendongak untuk menatap sang Ayah lurus-lurus dimata.
"Tetapi berbeda itu bukan berarti buruk. Berbeda itu hanya unik dan mereka tetaplah indah."
Riku yang terdiam merasa jauh di dalam lubuk hatinya terdalam rasa kehangatan.
Riku menuruti impulsnya dan membawa bocah lelaki itu ke dalam dekapannya, menyalurkan rasa sayangnya yang begitu besar. Membuncah tanpa bisa dicegah.
Terra bisa merasakan rambutnya terasa basah, sontak membuatnya tertegun sejenak.
Ayahnya.... menangis....
Seumur-umur Terra jarang melihat Ayahnya menangis--tidak pernah, bahkan ia selalu mengenal Ayahnya sebagai sosok yang kuat dan tenang.
Namun kini Ayahnya menangis.
Tapi Terra tahu tangisan ini bukanlan tangisan kesedihan.
Tangis ini adalah tangisan kebahagiaan.
"Terima kasih, Terra."
Ia mendengar sang Ayah berbisik dipucuk kepalanya, sebelum kemudian diikuti oleh sebuah kecupan yang menyerta.
Terra tidak membalas secara verbal. Ia hanya mengeratkan pelukannya di tubuh pria itu dan dalam diam turut menangis bersamanyaa.
.
.
.
.
.
Dia punya Ayah yang berbeda memang.
Namun ia juga tahu, dirinya sendiri juga berbeda.
Terra tahu ia berbeda.
Terra tahu ia berbeda dari seluruh keluarga utama dan cabang Nanase.
Ia berbeda karena ia bukanlah anak kandung Nanase Riku dan Nanase Tenn.
Asal usul dirinya saja tidak jelas, namun dua tirani kembar nan kejam yang selama ini selalu menekan leher setiap keluarga cabang Nanase sangat menyayangi dirinya.
Terra merasa ia tidak ingin bertemu dengan orang tua kadungnya lagi, asalkan bisa bersama dengan Nanase Riku dan Nanase Tenn hingga maut menjemput sudah merupakan kebahagiaan untuk dirinya.
Ketika Ayah dan Mamanya dengan penuh bangga menatap dirinya ketika ia berhasil naik tingkat ataupun mendapat kejuaraan dalam pertandingan takwondo, Terra merasa ia bisa menjadi salah satu poin utama kedua orang tuanya.
Terra akan berusaha keras untuk membuat mereka bangga. Berusaha keras untuk melindungi senyum dan pancaran kebahagiaan kedua orang tuanya.
Dan Terra pun ikut tersenyum.
.
.
.
.
.
Terra tahu dia berbeda.
Tapi berbeda itu bukan berarti buruk.
Berbeda itu unik dan unik tetap saja indah.
Indah....
.....dan akan selamanya begitu.
"DIFFERENT IS NOT BAD"
"DIFFERENT IS JUST DIFFERENT"
.
.
.
.
.
The And
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top