Final Chapter

"Jadi kita akan ke New York? Dan ngomong-ngomong kenapa tadi riku lama sekali? Kau tahu tidak, saking lamanya aku menunggu mu, nyawa sogo-senpai sampai sempat keburu luntur di dalam mesin cuci."

"Tenn-nii sendiri yang kurang ajar, masa ada manusia yang kau kucek di mesin cuci? Memangnya tenn-nii tidak bisa membedakan mana muka sogo, mana celana boxer?"

"Memang tidak bisa, kan sama-sama buluk." mengedikan bahu, Nanase tenn tak lagi memandang adiknya. Taksi yang mereka tumpangi melaju lugu, selugu supirnya yang tidak tahu bahwa sedang membawa buronan negara.

Wajah si surai baby pink terlihat lelah. Namun, riku merasa kalau kakaknya--untuk kali ini--jauh lebih antusias dibanding dirinya.

"Aku tadi hampir ditangkap Interpol, lho, untung diselamatkan ibu-ibu." riku merangkul pundak tenn. Tak mau ada kebekuan janggal yang menggenang di antara mereka. "Kakak ku suka New York, kan? Kau bisa Bahasa Inggris, kan? I love you artinya apa, sayang?"

"Kau pikir aku masih murid Paud!?" sang kakak protes. Kemudian menyipitkan mata, "Hayo coba katakan pada ku, bagaimana caranya sampai riku mendapatkan tiket, paspor, dan visa palsu untuk terbang ke New York? Memangnya ada agen tiket pesawat yang mau menjual dagangannya pada buronan Interpol?"

"Tidak ada lah, memangnya mereka bego seperti kau?" riku menyahut santai, "Tapi itu bisa diatur, sayang ku. Kan nanti kita bisa membuatnya, sayang."

"Nama ku bukan sayang!"

"Sebenarnya tadi aku sempat berpikir untuk menggunakan kekerasan agar bisa menyusup ke dalam pesawat, tidak perlu pakai dokumen palsu." riku berpikir, memandang tenn serius. "Tapi aku yakin, isu kejahatan di dalam pesawat akan sampai pada sistem informasi maskapai dan akan dengan mudah diteruskan pada petugas keamanan di bandara tujuan. Aku tidak mau kita ditembak mati saat mendarat di New York."

Tenn mengedikan bahu sekali lagi. Sedikit malas sebenarnya kalau harus mengikuti ide riku untuk main aman.

Tidakkah lebih baik untuk menyadap sistem keamanan data bandara dan mengacaukan aliran komunikasi antara kru pesawat dengan petugas ground hadling? Intinya, tenn malas jadi warga Negara yang baik, mengikuti birokrasi dan prosedur yang berlaku itu membosankan. Membuat perkara lebih asyik. Buktinya mereka selalu lolos dari kejaran Interpol.

"Kadang aku berpikir, bagaimana nasibnya tenn-nii kalau ku tinggal pergi." riku menoleh, tenn tidak. "Aku ingin menyakinkan diri bahwa pernikahan kita nantinya bisa bertahan selamanya, tapi bagaimana pun juga, cinta pada dasarnya tidak bisa dipaksakan."

Tenn tidak memberi jawaban. Pikirannya melayang pada insiden pertunangan gila yang harus ia jalani bersama Nanase riku tiga bulan yang lalu. Pertunangan itu seperti kejutan yang tidak diharapkan olehnya. Pada malam naas itu, tenn pulang ke rumah dalam keadaan separuh sadar. Ia kebanyakan menghisap ganja--atau lebih tepatnya dicekoki ganja--oleh teman-teman sesama pecandu di diskotik. Selain ganja, ia tak luput meneggak minuman keras.

Tenn dengan wajah manisnya menjadi bulan-bulanan untuk diracuni dengan alkohol--sekaligus ia disuruh menebus semua bill karena dirinya yang paling kaya.

Saat itu, tenn limbung, hampir terjungkal saat memasuki rumah. Keningnya hampir membentur pintu kalau saja tubuh mungilnya tak ditangkap dengan indah oleh seorang malaikat (maut) bernama Nanase riku.

Baru selangkah masuk ke ruang tamu, tenn dipeluk oleh momo dan diberi ucapan selamat. Katanya, malam ini ia sudah resmi dimiliki seseorang. Tenn terbatuk, hampir tumbang, kacau. Tidak berpikir sama sekali untuk menolak atau mencaci maki--tidak. Isi kepalanya belum sampai untuk berpikir waras dan memberi penolakan.

Dan saat ia terbangun dalam keadaan sakit kepala di pagi hari, tenn tahu dunianya runtuh karena ia terlanjur jadi tunangan seorang pembunuh bayaran.

"Tadi malam saat aku teler, kau memperkosa ku atau tidak? Jawab! Kau memperkosa ku atau tidak!"

Sungguh bukan kalimat yang pantas untuk diucapkan pada seorang calon suami.

Namun, tenn memang mengatakannya sambil menggenggam revolver penuh peluru, kala itu.

Nanase riku yang bahkan belum menyentuh seinci pun tubuh tenn kecuali saat membopongnya untuk ditidurkan--DITIDURKAN, bukan ditiduri--sudah harus menghadapi rentetan peluru di hari pertama mereka mulai berumah tangga.

Nanase tenn, membencinya setengah mati dan tidak pernah menerima kenyataan kalau mereka adalah jodoh.

Tenn tidak pernah mau mengakui bahwa ada legalitas hitam di atas putih yang membuat mereka bersatu. Kalau bukan karena permintaan terakhir mendiang orang tua mereka, riku pasti sudah membunuh tenn dan menghanyutkannya ke laut, mengenyahkannya agar dimangsa paus, dugong, ata hiu. Namun, jujur saja riku tidak yakin ada hiu yang doyan mengunyah tenn. Kalau sudah dikunyah, paling langsung dimuntahkan karena pahitnya level neraka. Tapi di sisi lain, sampai sekarang tenn belum mengerti mengapa mereka berdua tetap bertahan untuk bersama.

"Sayang?"

"Menjadi suami ku itu berat, riku. Kau tidak akan kuat." tenn tiba-tiba bicara, suaranya penuh beban.

Riku tidak memintanya untuk menatap dan membiarkan sang surai baby pink tetap memandag kosong ke arah kaca yang menembus terangnya jalanan, melarikan diri dari sorot matanya yang selalu tampak menginginkan.

"Kalau kau mau jadi suami ku, kau tidak boleh jatuh miskin."

"Oh. Begitu." terbiasa dengan omongan yang lebih pedas dibanding itu, riku tidak tersinggung.

Mesin taksi yang mereka tumpangi terus menderu. Namun ada jeda kosong yang cukup lama.

Sebelum....

"Jadi tenn-nii cinta aku atau uang ku?"

"Apa?"

"Tenn-nii cinta aku atau uang ku?"

"Haha."

"Kok tertawa?"

"Tidak kok, muka ku tetap datar seperti biasa."

Terdengar hela napas lelah. Pembicaraan sumbang yang berlanjut tanpa kejelasan.

Riku pun tak ingin mengejar.

Cinta.

Cinta.

Cinta.

Pret.

Kenapa dengan cinta? Bukankah selama ini mereka tidak pernah memahami arti kata itu? Mereka musuh, kan? Untuk apa menjelaskan sesuatu yang abu-abu dengan keyakinan yang juga abu-abu?

"Aku tahu tenn-nii bertahan hanya karena menghormati permintaan terakhir orang tua kita. Dan aku tidak punya harapan untuk mencuri hati mu."

"Riku, bukan masalah itu." sanggah tenn. "Kau tidak akan mengerti."

"Kalau begitu buat aku mengerti. Kau tidak cinta aku kan, tenn-nii? Aku bertepuk sebelah tangan, kan?"

"Bukan masalah itu," tenn menggeleng, "untuk jadi mafia ganja nomor satu di dunia, aku butuh modal yang harganya lebih mahal dari nyawa mu."

Riku mengulas senyum. Diam-diam bersyukur bahwa dirinya hidup dengan hati yang separuh mati. Jika hatinya masih utuh, masih sepenuhnya fungsional untuk bekerja pada jalur yang benar, ia tidak tahu berapa banyak dirinya akan menulis curhatan patah hati secara anonim di blog atau media sosial.

Nanase tenn benar-benar seculas ular. Setelah berhasil mencuri hati, kini dirinya diingkari.

"Sudahlah, jangan bicarakan soal cinta. Lebih baik kita urus dulu keperluan kita untuk bisa melarikan diri dari Interpol. Kita bisa membuat tiket palsu untuk terbang ke New York, tapi kita tidak bisa membuat tiket palsu juga untuk kembali ke Tokyo. Petugas Interpol pasti sudah membuat pagar betis untuk membekuk kita jika kembali ke sini."

Ya, lebih baik riku memang membelokkan topik pada rencana kabur-kaburan daripada harus baper karena di-PHP oleh kakak sendiri.

"Mungkin lebih baik kita mulai membicarakan kemungkinan untuk berpisah setelah sampai di New York. Kau setuju?"

"Eh? Secepat itukah?" sungguh, kalau masalah ini, tenn belum siap. "Maksud ku... belum ada kesepakatan  di antara kita sekarang, riku."

"Bukan berpisah dalam arti yang sesungguhnya, sayang, tapi berpisah dalam arti berpencar."

"Oh," tenn menggumam. Aku baper duluan ternyata. Apa aku terlalu takut patah hati jika kami harus berpisah?

"Jadi nanti tenn-nii melarikan diri ke Negara bagian A, aku  melarikan diri ke Negara bagian B. Kita bisa bertemu lagi kalau keadaan sudah aman. Dan pastinya bukan di dalam penjara." kepala dengan surai baby pink diusap. "Hei sayang, Interpol saja mengejar kita. Kapan kita akan mengejar satu sama lain? Kenapa selama ini aku yang terus-terusan mengejar tenn-nii?"

Riku tidak menggeser badannya saat kepala tenn bersandar di dadanya.

"Etto, riku... Aku tidak suka cerita angst dan sad ending." tenn berbisik, "Bagaimana kalau kita menculik seorang bayi dari rumah sakit untuk membuat semua perjalanan bejat kita memiliki akhir yang lebih baik? Setidaknya kalau suatu hari kepala kita bolong oleh pistol petugas Interpol, kita masih punya alasan untuk bertemu lagi saat reinkarnasi."

"Untuk apa menculik seorang bayi?" heran. "Memangnya tenn-nii bisa menyusui?"

"Tentu saja untuk diakui sebagai anak, riku terlalu cerdas. Begitu saja tidak mengerti." kecupan tenn mendarat di jakun riku. "Kalau ada anak di tengah-tengah kita, maka pernikahan kita bisa berlaku selamanya."

Tenn ikut tersenyum saat mendengar tawa riku menggema di dinding-dinding hatinya.

"Ide yang bagus. Tapi akan jadi apa anak itu kalau di didik oleh orang tua seperti aku dan tenn-nii?" lengan lelaki itu mendekap hangat tubuh kakaknya, bibirnya meniupi mata tenn agar terpejam, mencuri kesempatan beristirahat dalam dekapan.

"Ibunya mafia ganja. Ayahnya pembunuh bayaran. Anaknya apa? Koruptor? Kanibal?"

"Jadi apa saja," tenn berbisik, mulai mengantuk, "asal jangan jatuh cinta pada ayahnya, aku tidak akan rela."

Kedua pasang mata itu saling memandang. Ada binar aneh yang memantul kesan yang sama. Mungkin mereka itu sebenarnya suka sama suka.

"Kenapa lihat-lihat?" tenn mengerutkan kening. "Terpesona pada malaikat?"

"Bilang pada ku, apa sepuluh hal yang menjadi alasan tenn-nii hidup di dunia?" entah mengapa pertanyaan iseng itu terdengar seperti sebuah test kesetiaan. Seolah-olah riku sedang mencari arti keberadaannya di kehidupan tenn. "Jawab dengan jujur, ya..."

"Ganja.... Ganja, ganja, ganja, ganja, ganja, ganja...." tenn menjawab dengan cepat. "Jujur, kok."

"Tiga lagi?" riku menatap dengan lekat. "Selain ganja."

Riku dapat merasakan tangan kakaknya menelusup dalan jemarinya. "Riku, Riku.... Riku."

"Oke, fix," riku menepuk pundah supir taksi yang sejak tadi mematung tanpa bicara dengan segepok uang. "Pak, kami mau turun di rumah sakit terdekat.

.
.
.
.
.

Final Chapter
No Exit

By

Lucian_Lucy_

.
.
.
.
.

"Jadi benar kita mau menculik bayi?"

Tenn mengikuti langkah riku yang melenggang santai melewati parkiran Rumah Sakit Internasional.

"Riku, meculik bayi itu adalah kejahatan berat, lho. Serius."

"Biarkan saja, kalau jadi apa-apa harus totalitas. Lagipula kalau kita punya anak kan kau bisa punya kerjaan di mansion. Menyusui lah, mengganti popok lah, diompoli lah. Itu lebih bermanfaat daripada menghisap ganja seharian seperti madesu."

Tenn memandang punggung adiknya, tidak melemparkan protesan lagi. Ah, rasanya menyenangkan juga memiliki seorang bayi. Meskipun tenn tidak yakin kalau si bayi akan lebih manis dibanding dirinya, tapi ia bisa belajar untuk menyayangi anak-anak. Dan yang lebih penting, kalau mereka punya bayi, Nanase riku pasti akan berpikir seribu kali untuk menceraikan dirinya setelah mereka menikah nanti.

"Stop. Kita berhenti di sini."

"Kau mau apa, riku?"

"Duduk. Diam. Jangan ganggu aku. Berani bicara, kau kena denda."

"Oke."

Tenn bersidekap dan menurut. Mereka berada di lobby rumah sakit yang dipenuhi oleh keriuhan manusia. Riku mulai mengeluarkan smartphone-nya. Tenn kepo, ingin mencari tahu. Namun, sesosok ibu muda yang sedang menunggu panggilan dari perawat membuat perhatiannya teralih.

Wanita dengan rambut digulung itu sedang hamil. Ia duduk sendirian tanpa suami.

Entah calon single parent, atau malah married by accident sampai suaminya tak mau menemani periksa.

"Riku...."

"Apa?"

"Riku...." dan entah mengapa tenn malah merasa iri. "Aku juga mau punya anak, riku."

"Iya. Sabarlah sedikit." riku melepas tangannya yang diremas kuat oleh tenn. "Aku harus membajak CCTV dulu."

"Bukan," tenn menusuk pipi riku dengan jari. "Bikin!"

"Bikin CCTV? Kau kira aku perusahaan elektronik?"

"Baka riku!" tenn gemas, ingin rasanya menimpuk kepala riku. "Bikin anak, riku! Bukan bikin CCTV!"

Kali ini riku yang termangu. Dibilang bikin anak katanya? Bleh, bikin anak dari Hongkong. Belum ditiduri saja revolver sudah mengacung duluan. Bagaimana bisa menyemburkan benih kalau belum ditubruk saja sudah menyerang?

Serius, tenn itu lebih ganas dari singa betina yang datang bulan.

"Ya nanti bikin," tapi bukan riku namanya kalau tidak mengalah. Yang waras, ngalah. "Kau yang hamil tapi."

"Memangnya aku bisa hamil?"

"Oh ya sudah, aku cari wanita panggilan saja."

"Jangaaan, iya aku yang hamil, iya!" tenn menggembungkan pipi. "Tapi nanti susu hamilnya rasa strowberry."

"Rasa sakit karena tidak pernah ternotis calon istri sendiri." riku bergumam ngelantur. "Sudah ah, jangan berisik. Tenn-nii mau anak perempuan atau laki-laki?"

"Laki-laki!" tenn berseru. "Yang manly seperti aku."

"Mau yang pirang, yang brunette, yang rambut hitam, yang kulitnya tan, yang pucat.....?"

"Yang seperti aktor K-Drama di Arirang."

"Oke, ku cari dulu."

Riku kembali mengabaikan tenn dan sibuk dengan ponselnya sendiri. Satu hal yang paling krusial untuk dilakukan sebelum menentukan target penculikan dan bergerak adalah membajak CCTV di ruangan bayi, atau di seluruh rumah sakit ini.

Riku menyambungkan ponselnya dengan WiFi rumah sakit. Sebuah aplikasi--WiFi File Transfer--dibuka dan ia menemukan IP Address dari WiFi rumah sakit yang diberikan gratis pada pengunjung.

Riku mencatatnya :
192.555.111.XXX

Selanjutnya, ia harus berusaha menemukan password dari sistem CCTV yang dipakai di rumah sakit ini. Rata-rata hacker seperti riku tahu, sistem CCTV (kalau instansi atau pemilik rumah yang memakainya kurang berpengalaman dengan security system), biasanya dikunci dengan password yang sangat standar.

Katakanlah, 1234567890.

Atau QWERTYUIOP.

Atau Admin.

Atau password-password otomatis yang diberikan langsung dari sistem dan tidak di-custom karena dianggap tidak perlu.

Ia hanya perlu trial and error. Kalau usaha penebakan password-nya tidak berhasil, ia masih bisa membongkarnya dengan bantuan Kali Linux.

"Riku?"

"Yes, bisa."

Riku mengabaikan tenn yang memberikan pandangan bertanya--ah, setan kecil manisnya itu memang tidak pernah tahu apapun--dan riku mulai memasukkan semua data yang ia perlukan sebelum mengambil alih CCTV milik rumah sakit ini di layar ponselnya.

Device's Name : International Hospital Local CCTV.

Address : 192.555.111.XXX

Password : *****

Riku menunggu.

Welcome! You have signed in successfully!

Tenn bertepuk tangan kecil karena melihat kata 'Welcome'. Ia sebenarnya tidak mengerti tapi riku pasti baru saja melakukan sesuatu yang menguntungkan.

"Sekarang, bisa aku bergerak, riku? Di mana ada bayi yang mirip aktor K-Drama di Arirang?"

Melalui aplikasi pemantau CCTV yang telah ia bajak, riku memperlihatkan tiga ruangan bayi yang berbeda pada tenn. "Pilih satu. Kalau sudah dipilih, jangan diganti targetnya. Aku akan ambil alih CCTV di ruangan yang tenn-nii pilih untuk dialihkan sementara."

"Oke," tenn mengawasi. Ah, memilih anak ternyata lebih sulit dari memilih bahan perakit bom kualitas terbaik di pusat toko bahan kimia. Yang di boks paling ujung manis, tapi tampangnya judes seperti riku. Yang di boks tengah, pipinya seperti mochi. Tenn bisa merasa lapar terus kalau menggendongnya. Yang berada di boks paling dekat pintu mata dan rambutnya indah, bayi itu memiliki mata dengan warna mawar lembut seperti tenn dan rambut semerah riku. Dia bahkan tidak tidur seperti bayi lainnya. Hanya menatap masa depan A.ka langit-langit ruangan.

Tenn seketika berdiri, "Aku mau dia! Come to Mama, anak ku--"

"Anjir, tenn-nii! Duduk dulu, kau benar-benar tidak berguna! Astaga, dosa apa aku jadi suami mu!" riku ingin menjitak kepala tenn agar ogeb-nya sedikit sembuh. "Katakan dulu yang mana! Jangan terlalu cepat bergerak! Kau bisa ditangkap satpam kalau ceroboh!"

"Ditangkap satpam saja takut. Ditangkap Interpol saja aku santai kok, riku."

"Iya, tapi kasihan bayinya kalau kita tertangkap. Nanti tenn-nii tidak jadi dipanggil ibu kalau kita gagal!"

"Ya sudah, aku harus bagaimana? Aku ingin cepat mengklaimnya sebagai anak ku!"

"Kita awasi dulu keadaan--sial, tenn-nii! Bisakah kau tenang sedikit?! Lama-lama kau ku ikat juga dengan kursi!"

Tenn mendengus, sesekali menggumam kesal seperti 'Dasar penjahat, kau tidak akan pernah mengerti perasaan seorang calon ibu'. Dan menunggu riku memberi instruksi untuk dirinya memulai pergerakan.

"Riku?"

"Oke, sudah aman. Sekarang tenn-nii bisa ke sana. Awas jangan membuat pergerakan yang mencurigakan. Ini untuk mu--"

"Hah, obat bius murahan?"

"Protes terus! Sana pergi!"

"Oke!"

Tenn berbalik, penuh semangat, penuh antusiasme yang membara. Namun, tiba-tiba.....

"Riku!" ia kembali lagi dan menarik paksa tangan riku. "Antarkan! Aku takut nyasar!"

Ada ya penjahat takut kesasar!?

Riku malas berdebat meskipun sudah gemas ingin melipat tubuh tenn dan menjahitnya jadi gantungan kunci. Ia mengikuti tenn menuju ruangan bayi--riku belum pernah ke rumah sakit ini sebelumnya, tapi bukan berarti ia tidak bisa menemukan ruangan itu dengan mudah.

Lelaki itu bisa melihat mata tenn berbinar-binar. Ia menyingkir saat tenn menyembulkan kepalanya di ruangan bayi.

"Suster," panggilnya manis. "Tenn mau jenguk keponakan, boleh?"

Riku sampai harus memencet hidungnya sendiri agar tak kelepasan tertawa.

"Oh, boleh.... Adik dari SMA mana?"

Bangsat. Riku benar-benar menyemburkan tawa.

"Dari SMA Harapan Bangsa"--tenn asal bicara--"boleh ya? Tenn masuk, ya?"

"Silahkan."

Tenn melepas sepatunya. Bersikap semanis yang ia bisa (dan sialnya, seorang Nanase tenn memang manis level dewa, siapa juga yang sanggup menahan pesona itu?) dan riku menunggu di luar sambil mengawasi layar smartphone-nya.

"Suster, tenn punya hadiah--"

Cairan bius yang dituang di permukaan sapu tangan, dibekapkan ke hidung si suster malang.

"--selamat tidur, hehe."

Mendengar suara tubuh gemuk ambruk di lantai, riku bergegas menghampiri tenn. "Sudah?"

"Sudah, dong. Untung susternya cuma satu."

"Lha kan tadi sudah ku awasi dari CCTV, kalau tidak aman, mana mungkin ku perbolehkan tenn-nii bergerak."

"Ah, riku memang hebat." tenn sampai berlari kecil saat menyeberangi ruangan sempit itu karena terlalu bersemangat. Ia menghampiri boks bayi yang terletak paling dekat dengan pintu.

"Anak ku...." tenn mengulurkan tangan. "Ah, sebentar. Cek dulu dia laki-laki apa perempuan. Jangan sampai setengah-setengah seperti tante Kaoru."

"Tenn-nii kenal tante Kaoru yang punya toko di Nagoya?"

"Kenal. Yang banci itu kan?"

"Hm," riku menggumam, menunggu tenn memeriksa jenis kelamin bayi mereka sambil mengawasi keadaan. "Ayolah, tenn-nii. Kau lelet."

"Oh, dia laki-laki. Ya sudah, fix."

"Fix?" tanya riku. "Angkat."

"Sip!"

Tenn menggendong bayi mereka dan entah kenapa bocah mungil yang tidak tidur itu tak bersuara sama sekali. Tenn mendekapnya di dada, merasakan bayi mungil itu bernapas begitu dekat, dan tahu bahwa hatinya sedang berbunga-bunga.

Ia dan riku tidak berlari, benar-benar bersikap santai seperti bukan sepasang penculik, dengan mata yang tak henti mencari jalan keluar terdekat.

"Ke sini, sayang."

Di belokkan koridor rumah sakit yang ketiga, koneksi WiFi menghilang dari ponselnya.

"Sial!"

"Kenapa, riku?"

"CCTV-nya sudah normal kembali!"

"Artinya?"

"Artinya mereka akan segera menyadari keanehan di ruang bayi itu!"

Terkejut, tenn mengikuti adiknya yang berlari. Riku mengambil senjata api dari dalam tasnya. Bersiap-siap jika tiba-tiba ada serangan dadakan.

Dan--

"Itu penculik bayinya! Kejar mereka!"

Tenn berlari sambil mendekap anak baru mereka dengan santai--ah, dikejar Interpol saja biasa, apalagi dikejar petugas keamanan rumah sakit--riku sibuk melakukan baku tembak.

Suasana halaman belakang Rumah Sakit Internasional menjadi carut-marut gara-gara riku dan tenn.

Si bayi mulai menangis dengan keras.

Dan tenn melirik senang saat seluruh petugas terbunuh gara-gara lontaran peluru dari riku.

"Kita merampok mobil, sayang?"

"Adanya mobil boks itu, banyak muatan kulkas--"

"Halah, ambil saja! Yang penting bisa jalan!"

Tenn mengangguk, berlari lebih dulu ke pinggir jalan dan mengacungkan pistolnya sendiri ke kening si sopir mobil boks yang tadinya tertidur di balik setir. "Pak, anak ku masih bayi. Kasihan kalau harus jalan kaki."

Lalu--

DOORRR.....!!!

"Ayo naik, anak Mama tidak boleh panas-panasan."

Satu nyawa mati. Tenn menjatuhkan ke jalanan dengan satu tangan.

"Terima kasih tumpangannya. Semoga kebaikan mu dibalas Tuhan."

Riku melompat ke dalam mobil boks itu dan segera menggenggam kemudi. Di belakangnya banyak mobil lain yang mengejar--pasti pegawai rumah sakit dan petugas keamanan. Para polisi pasti juga akan segera memburu mereka. Riku menoleh ke samping, "Sayang--"

Dan harus menghela napas sekali lagi karena tenn sedang sibuk menimang anak mereka.

"Riku...."--mungkin pujaan hatinya sedang sangat menikmati perannya sebagai ibu baru--"Bayi ini kita beri nama siapa, ya?"

.
.
.
.
.

Perjalanan menuju bandara sebenarnya sangat memacu adrenalin, kalau saja riku tidak disibukkan untuk menanggapi tenn yang tidak berhenti mendebatkannya soal nama anak.

Riku suka nama yang manly. Tenn suka nama Korea gara-gara kebanyakan menelan tontonan drama di Arirang.

Dan sampai mobil boks itu tiba di bandara, mereka tetap belum menemukan kesepakatan.

"Para pengejar itu sudah jauh. Sekarang hentikan omong kosong ini dan turun. Kita harus memalsukan tiket."

"Tiket apa toket?" tenn tidak peduli dan masih pipi bayinya yang putih seperti permukaan bakpau. "Anak ku tampan sekali."

"Tiket ya tiket. Kau tidak punya toket." riku memukul kening tenn dengan ketukan jarinya. "Sudah, jangan main boneka terus! Balik lagi jadi penjahat, balik!"

Sosok sang surai baby pink yang masih tenggelam dalam pesona si bayi itu turun dari mobil boks, mengikuti riku yang mencari tempat duduk. Ia ingin tidur seperti bayinya tapi gengsi, nanti dikira katro mentang-mentang bandara sejuk karena AC dipasang di mana-mana.

Padahal kalau boleh jujur, tenn benar-benar butuh tidur. Melakukan serentetan kejahatan yang tak terduga benar-benar menguras energinya. Ini semua gara-gara Interpol. Tenn ingin mengutuk mereka kurang kerjaan, tapi nyatanya ia dan riku lebih kurang kerjaan sampai harus mencari masalah dengan mereka.

"Laptop ku mana, sayang?"

"Di tas mu."

"Tas ku mana?"

"Di punggung mu, riku." tenn jengkel, terpaksa membuka matanya lebar-lebar. "Tanya apa lagi?"

"Calon istriku di mana?"

"Mati." tenn mendengus kesal tapi tersipu. Ia mendengar riku tertawa dan menampik tangan jahil adiknya yang terus menusuk-nusuk pipinya. Tenn tidak suka dianggap sebagai boneka. Tapi setiap kali bertatapan dengan riku, rasanya ia ingin menyusut jadi benda mati--pura-pura tak bergerak agar agak tak kelihatan salah tingkah.

"Semua dokumen penerbangan untuk penumpang bisa dipalsukan. Aku telah mendapat daftar nomor tiket untuk penerbangan menujuk New York hari ini dari momo-san. Kita bisa mengganti dua nama penumpang dengan nama kita, sayang."

"Oh, ya?" Nanase tenn membulatkan matanya. "Memangnya bisa? Bukankah pilot nantinya memiliki daftar nama seluruh penumpang on board?"

"Bisa, kita akan memanipulasi itu juga," tapi Nanase riku tetaplah Nanase riku. "Iori akan membantu kita dari jauh. Dia sangat pandai untuk urusan administrasi seperti ini. Semua arsip dibajak. Jangankan data di dalam pagar kawat bandara, data Negara saja disusupi dengan virus dan dijual sekian miliar pada golongan oposisi. Kalau sebentar lagi ada gerakan makar menggulingkan pemerintah, itu salah Iori."

Tenn mengangguk saja--dalam lingkarannya, ia sudah biasa menemukan orang gila dengan bakat merusak yang juga gila--jadi rasanya skill Izumi iori sama sekali tak mengejutkan.

"Kita bisa mencetak tiket palsu dari sini, sebelum mencocokkan datanya dengan yang dimiliki oleh Iori. Orang awam pun bisa melakukan, hanya saja tidak semua orang awam yang punya anak buah seculas Iori yang bisa membuat tiket palsunya tidak ketahuan petugas check in bandara."

Riku membuka laptopnya. Mengetik returntickets dot net dan mulai mengisi nama penumpang serta tujuan penerbangan : New York.

Sesekali ia chatting dengan Iori yang dari jauh sedang membuat kartu identitas palsu untuk dirinya dan tenn.

Riku terlalu larut dalam usahanya membuat dokumen penerbangan, hingga tidak menyadari saat tenn tiba-tiba berteriak.

"KEMBALIKAN BAYI KU!!!"

"........"

"KEMBALIKAN BAYI KU!!!"

"Sayang, kenapa?! Sayang--"

Riku terkejut.

Pistol berpeluru timah telah teracung persis di jantung seorang lelaki yang merebut bayi mereka dari gendongan tenn.

"Inter...." riku menelan ludah, ".....pol."

Dari raut wajahnya, tenn jelas sedang murka. Pistol si petugas Interpol teracung bukan kepada dirinya. Melainkan pada kepala si bayi yang kini terbangun dan menangis keras.

Pekikannya yang tanpa dosa membuat suasana bandara jadi mencekam, dan tenn serius bahwa dirinya benar-benar akan membunuh si petugas Interpol jika berani berbuat macam-macam pada anaknya.

"Sayang," riku menarik tangan kakaknya, berbisik waspada. "Sudah biarkan saja. Kita kabur sekarang. Kita bisa menculik bayi lagi nanti...."

"RIKU PIKIR KAU SIAPA BISA MEMISAHKAN AKU DENGAN BAYI KU!!?" riku kena timpuk--sudah mending tidak kena bidikan peluru. "TIDAK ADA YANG BISA MEMISAHKAN AKU DENGAN ANAK KU! KAU TIDAK PERNAH JADI IBU, TAHU APA SOAL KASIH SAYANG!"

Anjir! Jiwa emak-emaknya keluar!

"Tapi sayang, kalau terus di sini kita bisa tewas!"

"TIDAK! DIA YANG AKAN TEWAS!" ujung moncong senjata api tenn kembali terarah pada si petugas Interpol. "KEMBALIKAN BAYI KU!"

"Tidak akan!" si petugas Interpol yang tidak tenn ketahui namanya memberi pandangan mencela. "Dia bukan anak kalian!"

BUAGH....!!!

Bahkan riku pun sampai tercengang saking kuatnya tenn meninju wajah musuh mereka.

"Kembalikan anak ku.... Kalau tidak.... aku akan meremukan anu mu sampai impoten!"

"Sayang, hentikan, sayang"--jujur riku takut kalau tenn tiba-tiba berubah jadi musang berekor sembilan--"Sayang...."

"DIAM, RIKU! BANTU AKU MEREBUT KEMBALI ANAK KU LAGI! JANGAN JADI LAKI-LAKI YANG TIDAK BERGUNA! SEKARANG KAU SEORANG PAPA!"

"Sayang--"

"SEJAK KAPAN KAU TAKUT PADA INTERPOL, HAH!? DIA INI SENDIRIAN!"

"Tidak, sayang! DIA TIDAK SENDIRIAN!"

Saat kemarahannya telah berada dipuncak, tenn melihat si petugas Interpol berbicara melalui alat komunikasi yang terpasang di kerah seragamnya.

"Kepung sekarang!"

Mundur selangkah, tangan riku menggenggam jemari tenn. Saat sepasang mata mawar lembut menatap ke atas, ke sisi kanan, ke sisi kiri, ia menemukan puluhan petugas Interpol sedang mengepung mereka dengan acungan senjata api.

"Setelah sekian lama, akhirnya kita bertemu juga."

Tenn dan riku bersamaan menoleh. Mereka menemukan Mido torao mendekat dengan senyum tipis yang mencela.

"Hebat, bayi siapa itu? Bagaimana mungkin kalian berdua bisa menghasilkan seorang anak kalau Nanase riku saja kerjaannya nyolo? Apa kau bisa membelah diri seperti amoeba, Nanase tenn?" torao berucap tajam, sepasang borgol dimainkan dalam genggaman.

"Ah, kalian tidak perlu menjawab pertanyaan ku sekarang."

Torao kembali menyunggingkan senyuman.

"Jelaskan di kantor saja. Kami punya secangkir teh dan kue lezat untuk kalian."

.
.
.
.
.

BRAKKK!!!

"MASUK!"

Serius.

Ingin rasanya Mido torao membuat perayaan detik itu juga. Ingin rasanya ia membuat spanduk besar dengan tulisan menterang KAMI TELAH BERHASIL MENGGAGALKAN USAHA PENJAHAT KELAS KAKAP YANG INGIN MELARIKAN DIRI KE AMERIKA!!!

Rasanya seluruh lelahnya terbayar. Ya lelah karena buronan licin dan selalu lolos dari tangkapan. Ya lelah karena memiliki anak buah bodoh seperti Rokuya nagi yang bukannya membantu tugas, malah mengacaukan arsip data dengan memasukkan flashdisk jebakan.

Ia sekarang berhadapan di ruangan tertutup dengan Nanase riku.

Ruang interogasi di dalam lambung gedung Interpol yang sengaja didesain untuk menekan mental target yang dicecar.

Langit-langitnya rendah dan pucat seperti bibir mayat. Kursi dan mejanya dingin. AC disetel dengan suhu yang sangat rendah agar si penjahat menggigil dan otaknya membeku sampai tidak mampu menjawab apapun selain kejujuran.

"Kenapa aku kau bawa ke mari?"

"Kau mau langsung di eksekusi mati? Aku sih mau. Tapi pikirkan anak dan istri mu."

Terdiam. Riku duduk dengan tangan terborgol; borgol itu tersambung dengan permukaan meja sekeras beton.

Secara harfiah, ia sedang dirantai.

"Bukan itu yang ku maksudkan. Aku hanya ingin tahu mengapa kami diinterogasi secara terpisah." riku menuntut, matanya menyala setajam pisau.

Tidak hanya dinding di belakang mereka yang pudar, tapi juga sosok torao yang sama sekali tidak bercahaya.

Blur, seperti foto salah filter.

Wajahnya menjengkelkan pula.

"Kembali lagi pada kenyataan yang sering tidak berpihak pada ku, Nanase. Sebenarnya aku ingin membunuh mu tanpa harus diadili." torao bersidekap, "Tapi masalahnya, kami harus menginterogasi dari dua sisi. Dari Nanase tenn, dan dari kau. Kami butuh jawaban dari dua-duanya, bukan hanya satu. Jadi, bersyukurlah kau masih ku izinkan hidup dan bernapas di sini meski kau sudah bertahun-tahun jadi sampah masyarakat."

"Memangnya apa yang akan kalian tanyakan pada istri ku?" mata riku menyipit. "Ku ingatkan saja, jangan menyakitinya secara fisik atau ku bunuh kalian."

"Apa hak mu melarang kami? Kami polisi, kau yang antagonis di sini, mau apa kau? Serahkan semua gadget, sekarang!"

Riku meletakkan smartphone-nya di atas meja.

"Password-nya apa?" tanya torao.

"Tenn imut unyu-unyu." jawab riku.

"Aku serius, bangsat!"

"Aku juga serius, brengsek! Istri ku sendiri yang mengganti password ponsel ku jadi menjijikan begitu!"

"Awas kalau bohong!" torao bersungut-sungut dan langsung mengetikkan 'Tenn imut unyu-unyu' sambil menahan rasa ingin muntah yang mengaduk perutnya secara tiba-tiba.

"Gagal! Kau menipu ku, ya!?"

Riku merebut ponselnya, gusar. "Kau pasti mengetik dengan jajaran huruf konvesional. Tulisannya itu bukan Tenn imut unyu-unyu yang biasa. Tapi pakai dialek kekinian soalnya istri ku itu biang rumpi level dewa."

Riku mengetikkan password dan torao mengawasi dengan sangat serius, seperti penonton yang menunggu sulap.

T3nn 1m03T 03NY03 2x

"Bangsat. Itu password atau mantra pemuja setan?"

"Itu kan bahasa orang alay, tapi terbukti berguna kan? Kau saja tidak bisa menemaknya." riku menyerahkan gadget-nya kembali pada torao. "Silahkan digeledah. Tapi jangan buka folder D."

"Ada apa di folder D?" tapi bukan Mido torao namanya kalau patuh pada larangan--

"Shit, isinya bokep semua."

Riku jawsdrop. "Dibilang jangan dibuka, malah dibuka...."

Dengan dalih ingin mengecek satu persatu video--siapa tahu ada yang mencurigakan--torao mulai tekun menonton koleksi terlarang di handphone riku. Lelaki dengan rambut crimson di depannya bosan menunggu. Ia ikut menonton dengan torao.

"Yang ketiga dari bawah itu di rumah sakit adegannya. Coba buka."

"Lebih keren dari yang tadi?"

"Menurut ku, sih. Yang ini tidak pakai foreplay."

"Yang ini ceweknya tinggi, ya."

"Terlalu kurus tapi."

"Cowoknya jelek."

"Yang penting kan ceweknya seksi."

"Istri mu tidak apa kalau kau kepergok koleksi beginian?"

"Jangan bilang sama dia, bisa mampus aku nanti."

Hampir lima belas menit khilaf, torao akhirnya tersadar dari godaan setan saat video keempat yang akan mereka tonton interrup, mungkin file-nya rusak karena terlalu sering diputar. "Sudah-sudah, kok jadi nonton yang tidak-tidak! Ayo teruskan interogasinya!"

Riku menghela napas, menggumamkan terserahlah.

Torao membalik badan, jelas sedang berbicara dengan seseorang. Natsume minami yang bertugas untuk menginterogasi tenn di ruangan lain menerima instruksi untuk memulai. Pembicaraan mereka--sekalipun terpisah tempat--sudah siap untuk direkam.

"Baiklah, mari kita mulai." minami masih bisa tersenyum, tapi ia tidak yakin wakil komandannya yang ketus itu bisa memperlakukan tersangka dengan sikap sebaik dirinya. "Halo, Nanase tenn-san. Aku ingin bertanya tentang...."

"Sudah berapa lama kalian menikah?" ini torao pada riku.

"Tiga bulan." ini jawaban riku pada torao.

"Kok sudah punya anak?" ini minami pada tenn.

"Kami NBA." ini jawaban tenn pada minami.

Entah memiliki bakat telepati atau apa, tapi nyatanya riku dan tenn selalu bisa menjawab pertanyaan dengan intisari kalimat yang sama.

Tenn menutupi kejahatan riku. Riku menutupi kejahatan tenn. Mereka diancam akan dipasangi lie detector jika tidak mau mengaku. Tapi keduanya saling melindungi.

Tenn ditanya apakah riku memiliki komplotan yakuza, ia menjawab tak tahu.

Riku ditanya apakah tenn terlibat dalam kartel perdagangan ganja, ia menjawab tak tahu.

"Kau sangat merepotkan untuk ku." minami tidak mungkin berkata seperti ini. Jadi ini torao. "Tapi harus ku akui bakat kejahatan mu sangat patut untuk diperhitungkan. Kalian ini iblis atau manusia? ATM dibobol, cek dipalsukan, ganja dijual bebas, bank Negara dirampok, petugas Interpol dilempari bom, penumpang kereta diinjeksi sampai terbunuh...."

Riku menyeringai tipis. "Kalian bingung kan, mau menjerat kami dengan pasal lapis berapa? Ya sudah bebaskan saja. Nanti kami juga mati sendiri."

Si kapten Interpol memijit kening, frustasi.

"Mending kalau kalian mati jadi mayat, lha kalau gentayangan lalu merampok bank, masa kami harus melibatkan dukun untuk menangkap kalian?"

Riku tertawa pelan. Di mata torao, lelaki itu benar-benar mirip psikopat. Tidak ada tanda-tanda ia tertekan. Tidak ada tanda-tanda bahwa Nanase riku merasa bersalah.

Harus diancam dengan apa agar dia mau buka suara? Apakah perlu mereka mencambuki Nanase tenn sampai berteriak minta ampun, agar keteguhan hatinya untuk bungkam itu luntur karena tak tega melihat istrinya sendiri menderita?

Mido torao menyerah. Mungkin ia harus mengikuti saran Inspektur Yuki untuk merekrut iblis sialan ini jadi bagian dari jajaran pasukan Polisi Internasional.

Hening.

Riku hampir menawari torao untuk menonton bokep lagi. Namun keduluan bicara.

"Aku benci mengatakan ini, tapi.... bekerja lah untuk Interpol, Nanase riku."

"Apa kata mu barusan?"

"Ya, bekerjalah untuk Interpol." torao pun tak rela saat mengatakan ini. Tapi apa boleh buat. "Negara butuh kegilaan mu. Ceraikan mafia ganja itu dan seluruh kejahatan mu akan kami putihkan."

Ah, tawaran yang menarik.

Sangat menarik.

"Bukannya aku menolak," lelaki dengan mata merah tajam itu menatap borgol yang melingkari tangannya. "Kalau istri ku hamil bagaimana? Anak ku butuh ayahnya."

"Halah, hamil apa? Bayi kalian saja hasil dari mencuri di rumah sakit. Aku sudah mendapat informasi dari salah satu staff Interpol kalau rumah tangga kalian itu sama sekali tidak bahagia."

"Maksud mu?" kening riku berkerut. "Tidak bahagia bagimana? Aku sangat bahagia. Istri ku cantik dan pelayanannya prima."

"Penipu. Kalau kerjaan mu selama ini hanya nyolo, bagaimana bisa istri mu hamil?" torao tersenyum penuh penghinaan saat menunjukka selembar foto laknat yang diberikan seorang petugas Interpol.

.
.
.
.
.

"Di mana bayi ku? Tidak bisakah kau membawanya ke mari? Dia butuh mamanya."

Natsume minami adalah sebaik-baiknya orang baik. Dan Nanase tenn adalah selicik-liciknya orang licik. Sudah beberapa kali Mido torao telah mengatakan pada minami supaya harus berhati-hati kalau istri dari yakuza sialan itu mulai merajuk.

Dia itu kecil tapi bisa menyengat, seperti kelabang yang dibonsai.

"Aku kesepian, aku tidak bisa tidur kalau belum menggendon bayi ku"--bohong, tenn lebih tidak bisa tidur kalau belum bertengkar dulu dengan riku--"aku juga ingin bertemu dengan suami ku. Aku takut dia bunuh diri gara-gara mengira aku sudah mati. Ya, maksud ku kalau dia mau bunuh diri juga tidak masalah. Tapi sebelum dia bunuh diri, aku harus bertanya dulu padanya berapa nomor rekening untuk membeli pulsa listrik di rumah kami. Aku tidak mau selamanya hidup dalam kegelapan setelah suami ku mati."

Minami tersenyum kikuk. Aduh, susah juga bicara dengan penjahat yang merangkap profesi sebagai ibu rumah tangga. Pulsa listrik saja masih dipikirkan dalam keadaan begini. Mungkin besok tenn akan bicara tentang servis blender atau sabun cuci piring yang ampuh untuk menghilangkan lemak.

"Nanase-san, kata Mido-san kau harus di sini sampai nanti ada panggilan untuk diinterogasi bersama-sama. Aku tahu kau kangen suami mu.... tapi.... percayalah kalau ini tidak akan lama."

Nanase tenn melirik minami--sedikit kasihan, masa ada polisi lembek begini--dan mengangguk dengan wajah sedikit memelas.

"Ya, aku tahu kalau ini tidak akan lama." percayalah, tenn adalah ratu drama paling manipulatif di seantero dunia. "Kalau sebelum besok pagi aku sudah mati bunuh diri, katakan pada suami ku kalau anak bungsunya akan selalu mencintai ayahnya."

Minami terkejut. "Astaga, Nanase tenn-san, kau hamil? Bayi tabung atau bagimana?"

"Aku tidak tahu," tenn mengelus perutnya, "kau tahu tidak kalau kehamilan pria itu rentan keguguran?"

"A-aku tidak tahu ada yang seperti itu"--perlu diingat kalau Natsume minami itu tidak bodoh. Hanya saja, ia sangat tulus dan keibuan untuk tidak memahami perasaan sesama uke--"a-aku hanya berharap kau bisa bersabah, y-ya?"

Tenn mengangguk, benar-benar ratu drama, dan tersenyum seperti seorang malaikat yang terluka karena jatuh dari surga.

"Kau tahu tidak minami-san, menjadi ibu itu sangat menyenangkan."

"A-aku belum pernah jadi ibu," minami menggeleng. "Apakah kau sangat menyukai peran mu, Nanase tenn-san?"

"Ya," tenn mengangguk, "saat anak ku menangis di tengah malam adalah hal yang paling menyenangkan. Aku berkeringat dingin saat pertama kali menggendongnya. Suami ku juga tidak berguna. Dia selalu bekerja. Aku mengurusi rumah dan mengurusi anak ku sendiri."

"Bagaimana dengan bisnis ganja yang kau jalankan?" tanya minami. "Apa tidak mengganggu pekerjaan mu mengurus bayi?"

"Tidak juga," tenn memandang minami, lagi-lagi dengan pandangan memelas. "Kata siapa aku bisnis ganja? Aku bisnis slimming tea."

Penipu.

Natsume minami mungkin memang tidak secerdas Mido torao, tapi ia juga tidak sebodoh Rokuya nagi. Ia kasihan pada tenn--sesama uke harus satu rasa, sama rata--tapi masalahnya, minami tidak ingin mendengarkan tipuan tenn lebih banyak lagi.

Tapi entah mengapa hati kecil ku ingin sekali percaya pada omongannya.

Lelaki dengan paras ayu itu menyerah, tidak tahu harus mengajak tenn berbicara dengan topik apa.

Ia memutuskan untuk keluar dari sel penahanan berdinding pucat yang dihuni tenn, kemudian berjalan kikuk di koridor panjang yang berlantai dan berdinding baja.

Di ujung keremangan, minami bertemu dengan seseorang.

"Kau anak buah Mido torao yang bernama...." berpikir sepuluh detik itu terlalu lama.

"Natsume. Natsume minami."

"Ah, ya. Natsume. Bisa kau tunjukkan sel Nanase tenn? Ia harus dipanggil ke klinik untuk melakukan pemeriksaan fisik dan mental." di dalam pelukan lelaki dengan seragam ajudan Interpol serba hitam itu, terpeluk seorang bayi laki-laki manis dengan pipi sebulat kue beras.

"Itu bayi Nanase riku dan Nanase tenn ya? Lucu sekali. Ibunya ada di sana." tangan minami menunjuk dan tak lupa ia berpesan. "Hati-hati, jangan melakukan sesuatu hal yang bisa membuatnya terluka. Dia sedang hamil."

Hamil?

Delusi bodoh macam apa lagi ini?

Jempol si ajudan terangkat. "Oke."

Minami berjalan di depan, mengantar lelaki dengan masker hitam itu seperti pahlawan bertopeng.

Banyak ajudan dengan seragam yang sama di sini, dan minami sama sekali tidak curiga.

"Ah, jadi ini selnya." saat mereka tiba, minami belum sempat berbalik badan dan mengangguk, ketika tiba-tiba riku menggebuk lehernya.

"Terima kasih ya, sudah menjadi mak comblang secara tidak sengaja."

Di lantai baja yang dingin, tubuh Natsume minami ambruk tanpa perlawanan.

.
.
.
.
.

"Ah! Anak Mamaa! Akhirnya kau kembali pada ku."

"Berhentilah menyebut diri mu 'Mama', tenn-nii. Kau ini laki-laki."

"Lalu riku mau menjadikan diri mu mama-nya dan aku papa-nya?"

Skak mat.

Riku menghela napas. Ia tidak yakin jika torao dan yang lainnya luput memantau mereka sekarang.

Cara kerja Interpol sangat halus. Tidak semua pergerakan tahanan mereka anggap sebagai usaha untuk melarikan diri. Di badan mereka telah terpasang alat detektor mikro yang terhubung dengan sistem GPS. Selama mereka masih berada di sekeliling markas Interpol, mereka takkan ditindak tegas.

Interpol sangat profesional. Pada dasarnya, cara kerja mereka sama sekali tidak agresif. Dan gara-gara itu, riku dan tenn sekarang memiliki kesempatan untuk berada di sini. Di atap gedung Interpol yang langsung terpapar dengan langit penuh bintang.

Berdua.

Bukan.

Bertiga.

Dengan bayi mereka yang sejak tadi bertukar pandangan dengan tenn.

"Kita beri dia nama siapa, riku?"

"Kipli "

"Aku serius!"

"Aku juga serius--hei, tenn-nii." mata riku tidak pernah lepas dari pujaan hatinya. "Jujur saja. Aku tidak tahu bagaimana kisah kita akan berakhir. Sejujurnya kalau boleh memilih, aku lebih suka dibahayakan oleh kakak ku yang jahat dengan bom rakitan atau minuman berenergi isi asam klorida."

Tenn menghela napas, memandang riku. "Itu bukan jawaban dari pertanyaan ku pada mu kan?"

"Kenapa tenn-nii selalu meminta ku untuk menjawab?" riku mencium pipi pucatnya. "Tenn-nii, aku minta izin menyerah, ya?"

"Menyerah untuk?"

"Untuk menjaga mu." jawab riku. "Mari kita jalani kehidupan masing-masing."

Terkejut.

Ya Tuhan, aku belum siap untuk membicarakan perpisahan.

"Tenn-nii?"

Mata mawar lembut mengerling. "Ini lucu, riku."

"Lucu?"

"Ya, ini sangat lucu."

Tenn menahan diri untuk tidak tertawa sampai menangis. Semua ini rasanya terlalu cepat kalau harus diakhiri. Tapi karma selalu berlaku di mana-mana. Hukum alam tak pernah berbaik hati untuk memaafkan kebejatan seorang penjahat.

Tidak mungkin akan ada akhir bahagia dari segala sesuatu yang dibentuk dari kerusakan.

"Jadi bayi ini akan kehilangan papanya?"

"Memiliki mu sudah lebih dari cukup untuknya," ujar riku. "Itu juga kalau kau tidak dituntut untuk untuk mengembalikannya pada orang tuanya yang asli."

"Ya, aku tahu. Aku tahu, riku." tenn sungguh ingin memahami hal itu, tapi, "Kau akan sangat menyesal kalau meminta berpisah dengan ku. Maksud ku.... siapa lagi yang akan memberi mu hadiah bom rakitan saat kau ulang tahun?"

"Dan siapa juga yang akan berani mengacungkan revolver dikening ku saat aku meminta jatah?"

"Jadi kisah kita akan segera berakhir?" ia ingin tertawa lagi. "Apa hanya memang sebatas ini kemampuan riku untuk mencintai ku?"

Riku tak menjawab.

Tenn tersenyum. Senyuman yang selalu ia latih untuk menghadapi perpisahan yang akan selalu muncul setiap detiknya di depan mata.

Dalam diamnya, riku menyalakan rokok, berpikir untuk kembali mencetuskan ide tentang ciuman delapan faktorial, tapi urung.

Kalau lagi-lagi ada ciuman keparat itu di antara mereka, usaha untuk saling melupakan ketika telah berpisah pasti akan semakin sulit.

Riku tidak mau ada beban yang menggantung di kaki mereka saat pertunangan itu harus berakhir.

"Lalu...." tenn mengambil sebatang rokok ganja dari balik jahitan kemejanya. Ia selalu punya cara untuk membawa senjata wajib saat sedang butuh ketegaran untuk menghadapi hal-hal di luar dugaan. "Bagaimana riku akan memilih jalan hidup setelah hari ini?" tanyanya.

"Aku...." riku tidak tahu harus bangga atau merasa kosong karena terlalu parah mengalami dilema. "Tenn-nii, aku ditawari menjadi anggota Interpol. Dengan begitu, seluruh kejahatan ku akan diputihkan."

Kabar bagus.

Ini sebenarnya adalah sebuah kabar yang bagus.

"Riku akan segera menjadi agen Interpol. Dan aku menjadi buronan mu kalau semisal aku kabur dari sini, begitu?"

"Ya," riku tidak bisa untuk membayangkan hal itu, tapi dia harus mengiyakan karena hal itu mungkin saja terjadi. "Aku tidak tahu apa hukuman yang paling cocok untuk manusia dengan kesalahan berlapis-lapis seperti tenn-nii--dan tolong jangan merokok ganja. Bayi kita takkan menyukainya."

"Apa menurut mu aku layak dipenjara, riku?" baru kali ini rasanya tenn jadi tak berminat menghisap barang haram itu. Ia ingin menangis, tapi bagaimana kalau air matanya menjatuhi wajah mungil dalam gendongannya? Bagaimana kalau riku menertawakannya?

"Kalau melihat dari beratnya kejahatan mu, sebenarnya tenn-nii lebih pantas untuk dihukum mati."

Tangan kecil menepuk pantat bayinya, ingin menunjukkan ekspresi getir seperti menggeram atau mencakar wajah Nanase riku, tapi tenn tidak tega dan memilih untuk menunjukkan kesan selebrasi pura-pura.

"Riku, aku mengucapkan selamat kalau kau benar-benar menjadi anggota Interpol. Itu sangat keren." tenn menghela napas, tidak ingin menangis. Bukan lantaran karena ia mafia ganja, melainkan karena ia adalah seorang Nanase tenn.

"Aku mencintai mu tapi.... yah, jalan lahir kita saja beda. Apalagi jalan hidup. Konsep jodoh itu mitos. Ya kan?"

"Ya," riku tidak menyukai pembicaraan ini. "Kalau tenn-nii jadi dipenjara, berarti aku dianggap gagal menjaga mu. Apakah surat kontrak pertunangan itu boleh ku robek?"

Entah mengapa membayangkan surat kontrak pertunangan dirobek, terasa jauh lebih menyakitkan dibanding masuk penjara.

"Tidak usah dirobek. Letakkan saja disekitar foto di makam Kaa-san. Kau tidak becus kalau menjadi suami ku. Aku akan tinggal dengan anak ku. Akan aku pastikan kalau bayi ini tidak direbut dari tangan ku."

"Kenapa tenn-nii sangat memaksa untuk memiliki dia?"

"Karena aku sudah kehilangan mu, riku. Dan itu..... gara-gara Interpol. Apa aku harus kehilangan sekali lagi?"

"Maafkan aku." riku tidak berani memandang mata kakaknya. "Kita tidak berjodoh, itu saja intinya."

"Kita tidak jodoh. Petugas Interpol tidak berjodoh dengan mafia ganja. Kau benar, riku. Kau benar." perlahan, riku menerima kecupan lembut di pipinya. "Maaf, riku, mulai malam ini.... kita berpisah."

.
.
.
.
.

Pagi yang sama sekali lagi.

Nanase tenn adalah yang paling pertama datang di ruangan ruangan interogasi yang dingin itu.

Natsume minami sudah menunggu, sama sekali tidak menyadari keberadaan kantung matanya yang tampak lebih tebal dari biasa.

"Silahkan duduk, Nanase-san."

Tenn mengangguk. Ia sedang tidak ingin bersikap ramah pada semua orang.

Maksudnya, siapa sih yang memiliki minat untuk berpura-pura ceria ketika kemarin malam mereka sudah membicarakan tentang perpisahan.

Sudah deal pula.

Rasanya sangat memuakkan kalau mengingat pembatalan pertunangan mereka harus terjadi karena campur tangan Interpol. Awas saja, kalau keluar dari penjara, tenn pasti akan menyantet mereka satu per satu dengan boneka Voodoo.

"Masuk."

Dan suara Mido torao menjadi tekanan susulan yang membuat tenn ingin melempar piring ke jidat lelaki sialan itu.

"Duduk."

Tenn paling tidak suka mendengar perintah satu kata. Apa sih susahnya berkata 'silahkan'? Apa susahnya memperlakukan tahanan secara lebih manusiawi? Bagi tenn, ia dan riku boleh tidak manusiawi. Tapi yang lain, dilarang tidak sopan.

"Duduk di depan istri mu, Nanase riku."

"Ya."

Tenn memandang riku dan riku memandanginya. Ingin mengucapkan selamat pagi, tapi pembicaraan semalam tentang perpisahan rasanya sungguh tak termaafkan. Ya, sudahlah. Lebih baik diam dan pura-pura tidak kenal.

"Kalian tidak ingin memberikan kecupan selamat pagi pada satu sama lain?" ini Natsume minami, dan ia bukan manusia yang memiliki bakat untuk menjadi kompor. Hanya saja, kadang kelembutannya itu malah menjadi lumpur hisap yang membuat tenn gerah. "Biasanya kalau suami istri pasti ada ritual selamat pagi yang harus dilakukan untuk mengekspresikan cinta, kan?"

"Halah, mengekspresikan cinta macam apa?" torao memutar matanya. Melecehkan. "Dia saja sering nyolo."

"Suami ku tidak pernah nyolo!" seakan masalah kehidupan ranjang adalah sesuatu yang sangat potensial menyengat harga dirinya, tenn langsung menghardik. "Kami adalah pasangan yang sangat bahagia! Kami saling melengkapi! Kami tidak pernah saling menyakiti! Kami tidak pernah saling membahayakan! Kau yang baru mengenal kami tahu apa soal kehidupan rumah tangga ku?"

"Ow, sadis." torao mengabaikan mata tenn yang berapi-api. Begini jadinya jika bocah di bawah umur mencoba berumah tangga, beginilah jadinya. Apa-apa nafsu yang di dahulukan. Bukan jadi pernikahan, malah mirip dagelan.

"Ajudan, bawa masuk alat interogasinya."

Torao dan minami menyingkir, memberi jalan pada ajudan dengan pakaian hitam-hitam dan masker rapat mirip usaha mencegahan SARS. Tenn benar-benar ingin berubah jadi monster sekarang. Mereka semua benar-benar sialan!

Ia ingin marah, mengebom markas ini dan membuat semua orangnya termutilasi! Kekasihnya direnggut dari sisinya juga gara-gara Interpol! Mereka semua pasti jomblo sampai bersikeras memisahkan pasangan yang bahkan baru merasakan getaran cinta! Mereka pasti iri!

"Kenapa kalian mengambil Riku dari tangan ku?"

Dan riku berani bersumpah bisa melihat amaran berkobar di mata tenn.

"Kenapa kalian merusak rumah tangga kami?!"

Torao menyeringai.

"Bukan kami yang merusak rumah tangga kalian, tapi kalian lah yang otaknya rusak sampai rumah tangga kalian sendiri rusak." torao menyalakan lie detector, memasangkan ujung kabelnya di tubuh tenn dan riku. "Sudah jangan memperlama pekerjaan ku. Kalian jawab saja apa yang ku tanya dan jangan berbicara tentang hal-hal di luar topik yang ku tanyakan."

Riku terdiam. Ingin rasanya sekarang ia memeluk tenn. Tapi.... mereka sudah sepakat untuk berpisah kemaren....

"Nanase riku," Mido torao memanggil. "Apa kau adalah seorang pembunuh bayaran?"

"Ya," riku mengangguk, dan tidak terjadi apa-apa pada alat lie detector yang tersambung di tubuhnya. "Aku melakukan semua kejahatan, bukan cuma pembunuh bayaran. Kau bisa menanyakannya pada Inumaru touma. Kalian masih bisa memburunya sekali lagi, ia di selamatkan Izumi iori dan Isumi haruka kemarin."

"Kenapa kau sangat pasrah? Dasar aneh"--apakah benar dirinya pasrah? Mungkin saja, entah mengapa seorang Nanase riku hari ini merasa tak berdaya--"sekarang pertanyaan ku pada Nanase tenn. Apa kau menikah dengan Nanase riku karena kau dipaksa?"

"Aku tidak dipaksa." tenn menjawab dengan pandangan kosong yang terus mengarah pada riku.

"Lalu mengapa kalian menikah?"

"Iseng"--dan sedetik setelah mengatakan ini, riku tersetrum oleh aliran listrik yang berhasil mendeteksi gelombang kebohongan dari otaknya--"aku mencintai tenn jadi aku mau menikah dengannya," riku harus meralat, mau tak mau. "Aku cinta dia sejak melihat dirinya di dalam foto. Tampangnya seperti cabe-cabean. Tapi aku yakin dia bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ku."

Tidak ada apapun yang terjadi. Berarti riku jujur.

"Tapi Nanase riku akan segera menjadi anggota Interpol, apa Nanase tenn tidak keberatan?" tanya minami.

"Tidak, aku tidak keberatan--ARGGGHHH! Sakit!"

"Tenn-nii!"

Riku langsung bangkit dari duduknya tapi ditahan oleh torao.

"Kau tidak boleh menyentuhnya! Biarkan dia tersiksa oleh kebohongannya sendiri!"

Entah mengapa riku menjadi sangat marah.

"Jangan coba-coba menyakiti istri ku atau aku akan membobol aset Negara yang paling berharga dan kejahatan itu ku atasnamakan Interpol hingga nyawa kalian semua menjadi bayarannya! Kau benar-benar tidak punya hak untuk menyakiti Nanase tenn! Hilangkan alat brengsek itu dari tubuh istri ku!"

"Tidak bisa, memangnya kau mau ditipu selamanya oleh racun tikus ini?" torao menoleh pada tenn. "Ceritakan pada ku tentang bisnis ganja mu."

"Aku tidak berbisnis ganja--ARGGGHHH!!!"

"Tenn-nii!"

Kali ini daya setruman itu terlalu kuat hingga tenn menggelepar di lantai.

"S-sakit.... sakit.... Riku...."

Riku buru-buru meraih tubuh kakaknya. "Kalian benar-benar kelewatan!"

"Dia tidak akan mengalami hal itu kalau dia mau jujur kepada kami, Nanase-san." kali ini Natsume minami menimpali. "Masih banyak yang harus kami tanyakan pada kalian!"

"Apalagi!?" riku membentak. "Biar aku yang menjawab! Jangan buat istri ku kesakitan lagi, dasar bedebah!!!"

"A-apa benar kalian bisa merakit bom...? A-apa benar kalian lihai memakai senjata api dengan bidikan yang sangat--"

Minami terkesiap saat pistol yang terselip di ikat pinggangnya sudah berpindah ke tangan riku, siap meledakkan kepalanya.

"--aku.... rat."

Melihat minami siap dibunuh, torao menyipitkan mata.

"Ingat siapa diri mu, Nanase riku." ujarnya. "Kau adalah calon personel Interpol. Kau akan menjadi anggota kehormatan jika bisa melewati masa percobaan dan meninggalkan si mafia ganja Nanase tenn yang tidak jelas itu."

Pistol di tangan riku masih belum di turunkan.

"Nanase riku," torao kembali mencoba untuk membujuk. "Kalau menjadi anggota Interpol, kehidupan mu akan terjamin. Kau tak perlu lagi menjadi seorang pembunuh bayaran, kau tak perlu lagi hidup dengan seorang istri yang terus-menerus membuat mu sengsara. Kau tak perlu lagi menjadi buronan karena Negara akan memaafkan kejahatan mu. Kau akan menjadi agen mata-mata elit yang mendapat liburan mewah setiap tahunnya. Kau akan mendapat bayaran ratusan juta Yen. Kau akan hidup dikelilingi wanita cantik yang akan memuja-muja diri mu dan profesi mu."

Sangat menggiurkan.... Sungguh sangat menggiurkan.

"Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan pada mu, Nanase riku, tapi sejak si merah muda itu dibawa ke mari, di mataku dia sudah menjadi seperti sampah." torao tersenyum melihat tenn yang bahkan belum kuat untuk menegakkan dirinya. Tubuh kecil itu masih ditopang dengan sebelah tangan oleh riku.

"Satu hal yang belum ku katakan pada kalian, tidak ada perintah untuk membawa Nanase tenn dalam keadaan hidup," lanjut torao. "Dia dibawa menghadap ke markas Interpol dalam keadaan mati pun tak masalah. Yang penting untuk dipertahankan hidup itu adalah kau, Nanase riku. Kami membutuhkan kecerdasan mu dan sama sekali tak membutuhkan sampah seperti istri mu."

Tangan torao terulur, meminta senjata di tangan riku untuk dikembalikan.

"Bergabunglah dengan Interpol. Tinggalkan semua masa lalu buruk mu. Kami bisa menjanjikan masa depan yang lebih baik untuk penjahat yang berbalik mengabdikan diri untuk Negara.... Kau akan diampuni, Nanase riku."

Dilema.

Ini benar-benar membuatnya dilema.

Di satu sisi, riku tahu bahwa cepat atau lambat hubungan keduanya akan berakhir.

Di sisi lain, meninggalkan tenn untuk Interpol adalah hal yang tidak ia inginkan.

Ia punya calon istri. Ia punya tenn.

Haruskan ia meninggalkan jodohnya untuk Negaranya?

Namun, untuk apa pula mempertahankan pertunangan bodoh yang selalu membuatnya sengsara?

"Nanase riku?"

"Apakah dengan aku menjadi anggota Interpol, istri ku akan dibebaskan?"

"Ya, tentu." torao mengangguk, "Dia akan dibebaskan, tapi sebagai bayarannya, kau harus bergabung dengan kami."

Riku memandang tenn--sungguh berat kalau aku harus meninggalkan orang yang ku cintai--tapi tidak ada pilihan lain.

"Baik, aku percaya pada kalian. Aku bergabung dengan Interpol." riku melepas uluran tangannya pada tenn dan berdiri, "Selamat tinggal, sayang."

Tenn tidak menjawab, tapi riku tahu, pujaan hatinya kini sedang menangis.

"Kembalikan pistol ku." ini suara Natsume minami. "Kau akan mendapat pistol baru mu setelah melewati masa training."

"Oh," riku, detik itu, ingin sekai tuli.

Bukan, ia bukan ingin tuli gara-gara permintaan minami.

Ia hanya tidak kuat mendengar isakan patah hati dari orang yang dicintainya.

"Kembalikan--"

Minami mengulurkan tangan.
"Kembalikan pistol ku."

"Oh, ini?" riku tersenyum, "Baik.... Pelurunya saja, ya."

DOOORRR.....!!!

"Awas--"

"ARGH!!!"

"Minami.....!!!"

Natsume minami ambruk seketika.

Riku menembaknya.... persis di bahu sebelah kirinya.

Tenn memiringkan kepala saat melihat minami ambruk, ia menatap minami yang berlumur darah dengan senyum mengejek, mengabaikan rasa sakit yang sempat membuatnya kehilangan keseimbangan sebelumnya. "Sakit ya? Kasihan kamu, ya."

Dasar psikopat!

Tidak adik, tidak kakak.... SEMUANYA PSIKOPAT!

"Huh, kata siapa aku mau jadi petugas Interpol?" kali ini riku membrondongkan tembakan pada torao yang juga sudah mengeluarkan senjata. "DI BAYAR DENGAN SELURUH DUNIA PUN AKU TIDAK AKAN SUDI MENINGGALKAN TENN!!!"

DORRR....!!

DORRR....!!

DORRR....!!!

Berondongan tembakan bertalu-talu di koridor markas Interpol.

Torao memburu. Puluhan petugas dan ajudan juga memburu.

"Aduh susah--"

"Rusak saja alat brengsek itu lalu kaburlah dengan ku, tenn-nii."

Nanase riku menggenggam tangan tenn, mereka berlari secepat mungkin sambil tetap melontarkan rentetan peluru.

"Aku akan mengambil senjata juga!"

"Rebut saja dari salah satu petugas!"

"Oke!" dengan cekatan, tenn menendang alat vital salah satu petugas Interpol hingga tersungkur. Ia merebut senjatanya. "Sudah dapat! Lalu bagaimana lagi setelah ini!?"

"Tenn-nii ada ide?"

"Kita bakar saja markas ini sampai semua orang hangus!"

"Oke, lakukan! Kalau berhasil menyulut kebakaran, kita tidak jadi berpisah."

"AYEY, SAYANG!" tenn menembaki semua petugas yang menghalangi jalannya. Ia menujuk ruang instalasi listrik. Tangan kecil menyalakan torch dari smartphone. Circuit breaker super besar yang mengatur suplai listrik ke seluruh penjuru gedung ini langsung dihadapi tenn.

Bukan Nanase tenn kalau tidak terlalu untuk membuat perkara. Ia akan membuat gedung Interpol terkepung dalam bara.

Tenn mematikan aliran listrik sebelum mengobrak-abrik kotak perkakas yang disimpan tak jauh dari Circuit breaker. Dengan obeng curian itu, tenn membuka panel logam di alat pemutus arus.

"Otak-atik sedikit sebelum memicu korsleting di salah satu titik."

Panel di-reset, disetel ulang seenak jidat. Pembacaan arus kacau seketika.

Nanase tenn buru-buru keluar setelah merasa usahanya sudah cukup. Ia merogoh saku dan bersorak dalam hati saat menemukan pematik apinya masih baik-baik saja di sana.

"Ternyata ada untungnya juga aku suka merokok ganja."

Tenn mencari kabel lampu besar yang menempel pada dinding, dengan obeng berujung lancip, ia mengelupas dua kabel besar dan menyilangkannya.

"ON FIRE."

Pematik yang menyala dijatuhkan. Tenn berbalik santai saat ada kobaran bunga api meledak dibelakang tubuhnya.

"Hati-hati, semuanga. Neraka apinya panas lho ya."

Kabel besar itu dijatuhkan ke lantai satu dari balkon lantai dua.

Tenn dan riku saling melemparkan ciuman jarak jauh saat ledakan bunga api menjatuhi lima petugas yang berada tepat di bawah sana.

BLARRR....!!!

Itu suara ledakan yang misterius, tidak jelas apa pemicunya.

Namun, demi itu, riku bertepuk tangan untuk kakaknya.

"Tenn-nii memang hebat!"

Riku menghentikan kegiatannya menembaki para petugas. Ia akan menunggu apa yang dilakukan oleh iblis cantiknya setelah ini.

Tenn menghilang.

Riku mencari.

"Ke mana dia?"

"Riku," dan suara tenn muncul satu menit kemudian. Kakaknya yang cantik turun dari tangga, menampilkan senyuman yang paling indah hanya untuknya. "Maukah setelah ini aku ku ajak bertemu pendeta untuk meresmikan pernikahan kita? Bagaimana kalau kita menikah betulan?"

"Boleh juga," tangan riku terulur, mencium punggung tangan tenn dengan mesra--

Tapi jangan lupakan ledakan-ledakan api besar yang mulai membakar setiap sudut ruangan di sekeliling mereka.

"Kebakaraaan! Kebakaraaan!!! DUA IBLIS ITU MENYULUT KEBAKARAAAN!!!"

Sudahlah, persetan dengan mereka semua.

Api membara, menghanguskan siapa saja yang berusaha memadamkannya.

"Bagaimana kalau riku melamar ku?" tenn melingkarkan lengannya dileher riku. "Apa kau keberatan?"

Riku menggeleng.

"Jadilah istri ku yang sebenarnya, Nanase tenn. Ayo kita berbuat kejahatan berdua sampai maut memisahkan kita."

Tenn tersenyum.

"I do, Nanase riku. I do."

Seperti dua manusia kasmaran yang sudah lupa pada dunia. Riku dan tenn berciuman di tengah kobaran api yang menyala-nyala. Panas yang membara justru membuat mereka kian lupa diri. Para petugas Interpol yang mencoba mendekat ditembaki.

Entah bagaimana caranya mereka bisa berkonsentrasi membidik musuh sambil tetap mempertahankan bibir yang saling memangut. Yang jelas, riku lebih mudah untuk melupakan cara bernapas, dibanding melupakan tenn yang sangat dicintainya.

"Eh, tunggu, riku!"

Namun, si baby pink tiba-tiba mendorong tubuhnya.

"Anak kita di mana, ya? Jangan-jangan ikut terbakar juga!"

"Ah, iya! Kok aku bisa lupa kalau kita punya anak!?"

"Dasar riku bodoh!" tenn menggenggam tangan riku, mengajaknya berlari ke lantai dua. "Ayo kita cari dia! Dia itu calon penerus jaringan pembunuh bayaran dan mafia ganja kita! Mari kita ajarkan dia kebusukan, cara untuk hidup menjadi seorang penjahat."

"Ah, betul juga! Kau benar-benar mama bermental iblis, sayang!"

"Riku juga papa bermental iblis!"

Mereka berdua tertawa.

Riku tahu, setelah ini, selamanya ia takkan melepaskan genggaman tangan mereka.

"Aku mencintai mu, mafia ganja busuk."

"Aku juga mencintai mu, pembunuh bayaran busuk."

Benar.

Hari ini, Nanase riku rupanya telah menyadari satu hal :

Nanase tenn memang dilahirkan sebagai iblis untuk melengkapi seluruh kebusukannya.

~No Exit~

........

"Jadi..... anak kita di mana, ya?"

"Err... Itu dia di sana!!!"


.
.
.
.
.

THE END

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Lihat sampai akhir dong✨























































Terus ke bawah✨

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


































Dikit lagi✨

.
.
.
.
.
.
.
.
.































Ayo! Kalian pasti bisa!


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.














































.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tapi bo'ong✨

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sampai jumpa di Special Chapter✨

Kalau ada yang mau nyumbang nama buat si baby silahkan komen✨

Oh... Oh.... Lucian mau mulai pelit up nih, soalnya waktu dicek yang vote dikit banget ∑( ̄□ ̄;)
Target lucian sih final chapter harus 20 vote ya. Soalnya.... Chapter 1 saja cuma 19 vote...

Kalau sampai target? Lucian bakal up special chapter yang ditunggu dan diminta oleh seorang readers tetap✨

Mau dapat tag special chapter? Sepertinya tidak ada yang mau
︶︿︶




















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top