Chapter 9
Mobil Ferrari merah melintas dengan cepat menelusuri jalan raya. Menyalip dengan lincah. Tidak jarang sang pengemudi membanting setir, mobil menurut untuk belok di beberapa tikungan tajam. Karet roda menggesek dengan sinting permukaan jalan, menimbulkan bunyi decitan kasar.
Meski medan jalan yang ia ambil berliku-liku, riku masih fokus pada jalan dan peta navigator yang berada di dashboard mobil.
Tidak ada satupun di antara keduanya yang ingin memulai pembicaraan.
Manik mawar lembut lebih memilih menatap ke arah langit malam.
Manik crimson memilih fokus pada jalanan, riku tidak ingin tergoda menatap malaikat dari langitnya.
"Riku," tenn akhirnya menyerah untuk terus diam. "Apa masih jauh?"
"Sebentar lagi sampai," riku menjawab tanpa mengalihkan sedikitpun perhatiannya. "Dan apa kau sejak kita pergi tadi, berniat menggoda ku dengan pakaian mu itu, tenn-nii?"
Tenn menoleh, "Pakaian ku kenapa?"
"Sebenarnya pakaian mu cukup baik-baik saja tenn-nii, hanya paha mu cukup....." -seandainya kau tahu tenn-nii, paha mulus yang tersaji itu kelihatan sama lembutnya dengan keju sauvignon yang meleleh lugu di atas kursi jok mobil, serta menggugah selera dan serupa sebuah kocokan putih telur berkekuatan pengacau.
"Oke, paha ku kali ini kenapa?"
"Ya.... paha mu sepertinya cukup terbuka, tenn-nii." Riku menjawab santai, berusaha bersikap biasa saja mengabaikan bisikan setan yang semakin gencar memenuhi pikirannya.
Sepertinya malam ini akan terasa sulit untuk di lalui oleh riku.
.
.
.
.
.
No Exit
By
Lucian_Lucy_
.
.
.
.
.
Nanase riku menepikan mobil Ferrari merahnya, dan memperhatikan malaikat baby pinknya yang mulai sibuk membuka seatbelt.
"Tenn-nii, aku akan parkir di sini. Tapi maaf, kau terpaksa harus berjalan...." kaca di turunkan. Leher terjulur untuk menaksir jarak, "kira-kira lima menit, kau tidak keberatan bukan?"
Menoleh, riku tidak terkejut karena tenn sudah melesat hilang dan berlari keluar menapaki trotoar.
"Tunggu, tenn-nii. Kau sepertinya terlalu bersemangat."
Setelah menempatkan kendaraan di tempat yang benar, riku separuh berlari menyejajari tenn. Sedikit prihatin saat melirik --tenn sepertinya harus berjuang menahan rasa dingin yang membelai pahanya. Ia ingin bertanya apa sebaiknya mereka kembali saja, tapi urung karena tidak ingin menghancurkan binar mata antusias yang melebar senang saat melihat umbul-umbul terang, menjanjikan kesenangan bagi kaum urban yang ingin menghabiskan sisa hari di tempat itu. Hiburan yang murah tapi mengesankan.
Riku membiarkan tenn berlari lebih dahulu. Aura keberadaannya yang cukup tipis untuk sesaat tentu saja bisa di manfaatkan agar lepas dari atensi massa. Tapi riku tetap saja sedikit khawatir karena jika tanpa sengaja menarik perhatian, mereka berdua bisa di kejar-kejar oleh salah satu agen interpol hingga seluruh pengunjung gempar. Karena itulah riku memilih cepat menghubungi touma. Ia juga tidak menawarkan wahana permainan apapun pada tenn, riku memilih apatis dan bertanya di mana posisi touma dan haruka.
Sambil tetap mengawasi tenn --riku terkesan dan cukup kasihan karena tenn ingin melihat atraksi topeng monyet tapi tidak bisa karena masalah tinggi badan-- ponsel kecil menempel pada telinga. Di seberang sana Inumaru touma berbicara dengan efek suara belakang seseorang kasak-kusuk. Ada juga raungan-raungan ganjil, mirip suara-suara mengganggu dalam film horor. Riku menebak touma ada di rumah hantu, dan diiyakan oleh lawan bicaranya. Tapi bukan teritorial riku untuk menebak apa yang di lakukan kedua anak buahnya itu untuk sekarang --berlarian ketakutan, atau malah bermesraan sampai kesetanan.
Omongan touma krasak-kresek. Riku menebak, di rumah hantu minimal pasokan sinyal.
"Aku tersesat.... tidak b-keluar... ma... haru... rik..."
"Kau ini bicara apa, touma."
Enggan di buat pusing, riku memutuskan menyusul tenn dan berniat mengajaknya masuk rumah hantu mencari mereka.
Tenn yang baru saja berhasil menyelipan, berseri-seri melihat monyet main sekuter pakai kacamata. Ia sedikit menoleh saat bahunya di tepuk pelan, "Apa, riku? Ke mana? Aku tidak dengar, bunyi musiknya ramai sekali."
Riku berdecak. Ingin menarik tenn dari kerumunan, tapi sang surai baby pink menolak lantaran monyet mulai di pertemukan dengan kelinci.
Lantaran terlanjur tertarik, tenn mengabaikan, "Kau pergi saja duluan, riku. Nanti aku menyusul. Aku masih ingin melihat ini."
Bersabar, riku menunggu. Sementara tenn masih asik sendiri, lelaki bersurai baby pink yang mungil itu asik membungkuk melihat atraksi dua binatang mamalia yang berseberangan family. Monyet mulai menarik-narik kuping kelinci, memasang pita merah jambu. Memperlakukannya sebagai istri. Cinta terlarang yang pastinya akan di halangi aturan hambatan genetik. Kelinci membalas perasaan monyet dengan menggelindingkan wortel, tapi monyet lebih memilih pisang. Tenn tersentuh karena merasa romantis, ia bertepuk tangan pelan, dan mulai mencari uang recehan yang pastinya tak akan pernah ia dapatkan di saku manapun.
Lelah karena dirinya selalu di tuntut untuk menahan diri serta batin setan yang sering ingin keluar, riku menarik paksa tenn dan di respon si surai baby pink dengan tampang kesal.
"Riku! Tadi monyet dan kelincinya belum klimaks!" Protesnya. "Aku masih ingin lihat."
Hidung tenn di tarik pelan. "Sudahlah, menurut saja. Nanti akan ku perlihatkan atraksi iblis dan malaikat yang bermain hingga klimaks. Tenn-nii tidak aman terus berada di sini. Ayo ikut aku, touma dan haruka tersesat."
"Tersesat di mana? Dan bagaimana bisa?" -memangnya mereka anak-anak yang belum lulus playgroup?
"Di rumah hantu."
Langsung tertarik lagi, kaki pendek terlonjak pelan, "Rumah hantu, riku?"
Tatapan tenn yang tiba-tiba polos seperti amplop, berhasil membuat riku membatin rela menjadi perangko.
"Iya, kenapa tiba-tiba kau terlihat bersemangat, tenn-nii?" Tanyanya. Tangan yang bebas di sampingnya mulai di gandeng. Tenn tidak menolak, malah menggenggam tangan riku lebih kuat lagi.
"Karena aku suka hal-hal yang gaib, riku."
Kejutan.
Riku menahan langkah dan tercengang, "Benarkah?" Cukup terkesima. Tenn memang luar biasa. Sangat tidak cocok antara tampang dan fetishi.
"Iya, aku juga banyak mengoleksi film horror, dan aku juga punya peliharaan boneka setan dari jepang."
Kejutan kedua. "Apa kau melakukan praktek pesugihan, tenn-nii?" Untuk melancarkan arus pundi-pundi uang barang kali.
"Bukan," menggeleng keras, tangan terkibas, tampang keki. "Riku terlalu polos, itu hanya game. Memelihara boneka setan botak. Yang lain takut tapi aku biasa saja."
"Buat apa memelihara boneka setan?"
"Buat kesenangan pribadi."
"Kalau kau pelihara tuyul malah bisa dapat uang, tenn-nii."
"Itu hanya mitos negara lain, lagipula di sini tidak ada tuyul."
"Pengetahuan mu luas juga soal dunia setan ya, tenn-nii."
"Tentu, karena aku juga punya saudara yang galaknya seperti setan."
"Siapa yang kau maksud itu?"
"Tidak, tadi aku hanya keceplosan."
Meneruskan langkah, mereka tertawa berdua --ralat, tenn hanya tersenyum kecil. Tapi riku menangkap binar asing yang sangat lain bercahaya pada wajah tenn. Ada sesuatu, tunas kecil perasaan nyaman, yang mulai berkecambah dan mencari-cari tempat untuk beradaptasi di lubuk hati tenn. Ada akar yang tak kasat mata, dan keinginan untuk terus menatap riku berlama-lama.
"Kita masuk?"
Berhenti, tenn mengangguk begitu saja ketika riku menawarkan untuk menebus tiket.
"Tapi kami sudah hampir tutup," lelaki di balik loket menyahut, mengawasi mereka. "Mungkin sepuluh menit lagi."
"Tapi dua teman kami masih ada di dalam."
"Apa mereka tersesat?" Abang tiket balik bertanya.
Riku buru-buru menyela sebelum mereka semakin lama berdiam diri seperti salesman, "Memangnya wahana sekecil ini bisa membuat orang tersesat?" Kelewat ragu.
"Bisa dong," abang tiket mengangguk dan pasang tampang jangan sepelekan rancangan kami, rumah hantu ini adalah sebuah Mahakarya. "Tidak ada penunjuk jalan di dalam. Banyak seliweran kain penghalang dan triplek. Hantu-hantu juga seram --make up totalitas standar cosplay internasional-- dan tentu saja pengunjung bisa stress sampai lupa jalan pulang.
Tenn tertarik. Si abang menakuti sekaligus promosi. Hati nurani si surai baby pink terpanggil sebagai calon peserta uji nyali dan sebagai penggila kaum hantu alam semesta. Dirinya mulai tak sabar dengan birokrasi labirin dan riku terlalu berbelit.
"Kalau kami masuk sekarang apakah masih boleh?" Riku bertanya lagi. "Kasihan dua teman kami kalau harus menginap dengan bersama kaum hantu jadi-jadian."
"Wah, bagaimana ya. Tapi kami hampir tutup."
Tidak mendengarkan, tangan kecil tenn menarik tangan riku, bermaksud mendahului langkah.
"Ayo riku, kita masuk saja sekarang."
.
.
.
.
.
Total dua puluh menit pasangan Inumaru touma dan Isumi haruka berada di sana. Tidak pindah-pindah tempat. Tidak merasa harus bersembunyi di balik kain hitam sebagai penyekat ruangan 'kamar mayat' dan 'tempat pamer boneka voodo'. Mereka menghilang dari dunia manusia dan berkubang ke lain dimensi bernama 'surga dunia'. Kaum setan jadi-jadian yang menggantung terbalik di langit-langit, mengesot di lantai, mengintip dari kusen pintu reyot, sweatdropped berjamaah lantaran touma dan haruka saling menjamah dan mengeluarkan suara-suara seram ah-ih-uh-ahn dan, "Jangan keras-keras meremasnya, touma!"
Sudah bukan rahasia lagi kalau rumah hantu pasar rakyat itu adalah salah satu yang paling seram di seantero prefektur.
Sadako dengan rambut menjuntai dan mata sebelah buta selalu setia merayap dari sudut yang tak terduga. Tangan belepotan 'darah' siap meraih tungkai pengunjung yang melangkah dengan gegabah. Jeritan terdengar di mana-mana, anak tangga sebagai penghubung ruangan satu dengan bilik di atasnya reyot dan memiliki jebakan.
Siapapun yang tidak berhati-hati berlari, kakinya akan terjeblos. Lengan bisa di tangkap dengan indah oleh perempuan bermulut sobek yang membawa pisau dalam genggaman. Penampakan dan bayangan mengerikan berseliweran siap memerangkap, memanen jeritan dari orang-orang yang menantang masuk. Anak kecil bermuka rusak meringkuk di sudut, memanggil-manggil ingin di bawa pulang. Kakaknya yang sudah mati tidur di balik selimut kafan. Rambut tergerai panjang dan penuh kutu. Terus menangis karena ingin di peluk dan di nyanyikan lagu nina bobo. Di temani sampai pagi datang.
Suara kayu berderit muncul susul-menyusul dari hamparan atap rendah. Kosong, sepi dan memilukan. Plafon ringkih nyaris jatuh, efek suara mengancam kewarasan. Menimbulkan tekanan mental.
Sama seperti hantu berleher patah yang setia membayangi dengan bergantung terbalik, menggapai-gapai kepala, menirukan gerakan tarantula pemburu, setan lumpuh bersembunyi sendu di balik lemari berisi kitab-kitab kutukan. Boneka bergerak sendiri, mendadak jatuh dari kursi, mata merah menyala dan meraung. Berdesis-desis, memaksa yang melintasinya terbirit-birit lari padahal ia ingin di beri tambahan nyawa untuk membalas dendam.
Di sudut toilet berkloset buntu penuh lumut, setan buruk rupa bertaring panjang mengerat korban. Memakan lahap mulai dari jantung, usus, limpa, hati -memutilasi dengan sepotong sabit berdarah. Meludahkan begitu banyak jaringan merah yang rusak dan tercabik, menimbulkan bau busuk mencekik tenggorokan. Menyebabkan dorongan muntah.
"Ah-hhh."
Dan di tengah-tengah neraka penuh ancaman itu. Touma dan haruka saling mengecup sampai celana mereka basah kuyup.
.
.
.
.
.
Pintu berderit terbuka dan riku sampai tertegun lama. Tenn tidak terkejut sama sekali saat melihat suster bermuka rata menyambut mereka dengan cara duduk di lantai. Surai baby pink malah menunduk karena ingin tahu, kemudian berkata pada si hantu, "Tadi kaki saya tidak menginjak mu, kan? Soalnya sepertinya tadi saya menginjak sesuatu. Bukan tangan mu? Maaf kalau sakit, saya tidak sengaja."
Meneruskan langkah dan menembus penerangan seadanya, pelan mereka menuruni anak tangga. Riku bisa melihat bumbungan dupa naik tinggi, berusaha meneror dari kejauhan. Wangi-wangi kesturi menusuk dari delapan penjuru. Tenn terus berjalan tiba-tiba berucap sopan, "Permisi, maaf ini dasi kupu-kupunya jatuh. Saya bantu pasangkan ya," pada drakula ganas yang mencakar-cakar dinding --dan berefek si setan taring plastiknya ikut terjatuh dengan mulut ternganga lebar.
Riku mengikuti dari belakang dan mencari-cari keberadaan dua anak buahnya.
"Touma dan haruka tidak ada di sini, kita cari di ruangan sebelah."
"Tunggu riku, lihat ini." Tenn memanggil, berbinar senang di hadapan hantu gantung diri dengan rambut tergerai menutupi wajah. "Ini boneka atau manusia, riku? Ku tebak boneka. Coba ku goyang-goyang. Kalau tidak menjerit berarti boneka, kalau bisa menjerit berarti manusia. Tapi aku yakin kalau dia boneka."
Riku terkesiap dan menarik tangan tenn, "Hei, jangan membuat perkara. Ayo jalan, kau terlalu lama tenn-nii. Kalau kau goyangkan begitu nanti tali penggantungnya bisa putus, sudah, lepaskan dia."
Tubuhnya di dorong lagi. Meski menurut, baru setengah menit tenn sudah kembali berhenti lagi. Melewati kaca besar dengan refleksi Bloody Mary yang bisa bergerak. Siluet menyeramkan setan perempuan yang akan tetap muncul meski belum di sini meski belum di panggil tiga kali.
Lampu temaran mulai berkedip-kedip. Mati, hidup, mati, hidup, mati, hidup -kemudian mendengungkan suara korslet panjang yang mencekam. Tenn menyempatkan diri melambai pada si hantu.
Riku terpaksa memperingatkan kembali.
"Kau ini mengulur waktu sekali, tenn-nii. Jalanlah cepat," riku mendorong kesal. Tenn keberatan karena belum menyapa hantu arwah anak-anak. Riku tersentak ke belakang karena setan lumpuh dari balik lemari menyergap tungkai tenn. Kaki di tarik, tenn biasa saja, riku memutuskan untuk menjauhkan surai baby pink dengan merangkul bahunya.
Hantu pemakan organ menggeram dari ujung koridor buntu. Mata tajam mengincar tenn yang sembarangan menduduki kursi boneka terkutuk. Tenn malah sibuk membersihkan tungkai bekas di pegang setan dengan selembar tisu baby. Menurutnya bercak saos dapat merusak boot hitam kesayangannya.
Riku menunggu, sesekali memaki dengan menggunakan bahasa inggris dan spanyol karena di larang tenn memaki dalam bahasa jepang.
"Ayolah, kau terlalu lama, tenn-nii. Lagipula... kenapa kau tidak takut sama sekali? Kalau kau takut kan kau bisa memeluk ku -apa lihat-lihat? Mau protes lagi?"
Tidak sudi menyahut, tenn melipat rapi tisu bekas pakai, melesapkan ke dalam saku. Melenggang santai dan konsisten menuruti paham : Tidak boleh buang sampah sembarangan meskipun sedang berada di sarang setan. Keep our earth clean.
Riku kali ini mendahului langkahnya.
"Kalau kita di kunci di dalam sini dan baru bisa keluar besok pagi berarti ini semua salah mu, tenn-nii."
Tidak mendengarkan. Tenn berhenti di muka kotak pos berlabel "Pengirim Pesan Kematian". Seorang hantu perempuan dengan kimono penuh bercak darah menyodorkan pensil kuno, tenn mengambil kertas selembar, mengawasi teliti dan menulis, "Maaf, Onee-san. Make up robekan luka yang di bawah mata kanan luntur". Kemudian di beri 'salam manis selalu', dan tenn sukses di omeli riku yang muncul dadakan dari belakang meniru penampakan.
"Sudah ku bilang jangan mengganggu setan! Mereka itu sedang bekerja! Kau ini bandel sekali, tenn-nii!"
Yakin. kalau tenn masih anak SD, riku tidak akan segan menjewernya.
"Aduh, lengan ku jangan di tarik, sakit tahu."
"Terserah! Kalau tidak mau menurut juga, akan ku tali tangan dan kaki mu lalu ku gelindingkan keluar! Cepat jalan, tenn-nii!"
"Tunggu riku," tenn tanpa banyak membuang waktu langsung menginjak kaki riku, menggigit pergelangan tangan surai crimson dan berlari mendekati hantu berleher patah yang menggantung terbalik di langit-langit. "Permisi, hantu-san. Apa ada lihat dua teman kami masuk ke mari? Yang satu memiliki rambut merah maroon, yang satu hijau mint. Lalu aura mereka sama-sama mesum."
Riku menepuk kening frustasi.
Hantu anak-anak bermuka rusak menatapnya dengan pandangan penuh belas kasihan. Kalau di terjemahkan secara lingual, "Sabar ya, kakak. I know your feel."
"Sudah dapat," tenn mendekat dengan ekspresi penuh kemenangan. "Mereka ada di sebelah sana. Bermesraan di kamar pembantaian."
"Bermesraan?"
Riku memang sudah menduganya, tapi cara tenn bertanya pada 'makhluk astral' membuatnya yakin kiamat memang sudah dekat.
"Aku jalan duluan ya, riku."
Riku hanya bisa menatap tak habis pikir pada punggung tenn yang mulai menjauh.
Dan berhenti begitu saja di tengah jalan.
"Kenapa, tenn-nii?" Tanyanya.
Tenn menyedat langkah. Ekspresi kelewat ragu maksimal. "Di sini banyak darahnya."
Riku berjalan mendekat dan mengangguk mengerti, "Bukankah memang di sebelah sana merupakan kamar pembantaian yang kau bilang itu."
"Tapi ini cairan tepung, riku, yang di encerkan sehingga jadi seperti darah," wajah tenn mendadak mencekam, "Berceceran seperti tidak ada habisnya. Aku menebak kalau mereka menggunakan pewarna tekstil -darahnya merah sekali."
Riku bersilang lengan, mungkin ia harus bersiap-siap menerima pelukan, "Oh kau takut? Tidak ku sangka."
Tenn memandangnya, "Aku tidak takut." Kemudian menunjuk ke arah kaki, "Tapi sepatu boot hitam ku ini baru ku beli pagi tadi. Kalau kena pewarna seperti ini, aku takut nanti malah rusak."
Hantu anak-anak bermuka rusak tertawa cecikikan -tidak merasa simpati lagi pada riku.
Mendengar tawa kelepasan itu, membuat tenn tertarik, dan berjalan mendekat.
"Adik hantu, boleh titip sepatu ku? Sebentar saja. Ini sepatu baru."
Polos maksimal dan tidak segan-segan.
"Hah?"
Tercengan. Si hantu yang seharusnya pucat dan dingin, syok hebat sampai perannya gagal klimaks
"Kok titip sepatu?"
"Sebentar saja," tenn masih mendesak. Si hantu anak-anak mencakar lantai.
"Tapi aku sedang kerja jadi setan, Nii-san..."
Masalahnya, si hantu polosnya juga sebanding dengan tenn.
"Jadi tidak bisa di titipi sepatu?" Kecewa. Manik mawar lembut mulai meredup. "Kok begitu?"
"Maaf, Nii-san. Tapi masa hantu di titipi sepatu?"
"Kau kan hantu bohong-bohongan."
"Nii-san, kau jujur sekali ya."
Mendesah lelah, riku merasa harus bertindak menjadi penengah kembali.
"Sudah tenn-nii. Jangan minta tolong yang aneh-aneh nanti dia bisa menangis." Memperingatkan, ingin membentak tapi nanti tenn malah melunjak, lengan lelaki muda itu di tarik pelah. "Touma dan haruka ada di sana. Kita harus memberitahu mereka kalau wahana hampir tutup."
"Riku saja yang ke sana," tenn menolak, "Aku terlalu malas mencari-cari fashion baru lagi. Kecuali kalau riku mau menggendong ku menyeberangi lautan darah jadi-jadian itu."
"Kau lebih peduli pada sepatu mu daripada aku?" Riku mengelus dada. Aku rapopo tenn-nii.
"Ini sepatu baru ku. Maaf, riku."
"Malas aku menggendong mu, tenn-nii."
"Aku ringan kok, riku."
"Memangnya kau lidi, tenn-nii?"
"Coba saja-" tenn memutar tubuh riku, "-bukan gendong belakang. Gendong depan saja."
Gendong depan?
Riku terpaku. Hantu anak-anak yang kepo menutup mata dan mengintip sedikit karena terancam melihat adegan orang dewasa.
"Maksud mu... bridal style?"
"Memangnya kau kira aku ini perempuan?"
"Lalu maksud tenn-nii ingin gendong depan?"
Tidak sempat bertanya lagi, riku merasakan tubuh kecil tenn yang mulai menempel padanya seperti anak koala. Tungkai tenn memanjat pinggang riku. Lengan yang lebih kuat refleks, menahan bagian bawah tubuh tenn dan mengangkatnya hingga sebatas perut.
Kulit tenn --tidak ia pungkiri-- meremang saat bagian tengah tubuhnya yang vital menekan perut riku.
"Bereaksi tidak?" Iseng bertanya, riku membuat tenn merona.
"Tahu dari mana kalau aku bereaksi atau tidak?" Tenn bergerak gelisah. Riku menahannya agar tidak jatuh. "Cuma menempel saja kenapa harus bereaksi?"
"Kau bukan menempel, kau menekan ku. Kalau punya saraf seharusnya kau merasa tersetrum."
"Kan kau yang di tekan, kenapa aku yang tersetrum?"
"Sudahlah, jujur saja." Riku mendesak, seringai tersungging kecil membuat tenn salah tingkah. "Bereaksi tidak?"
Berpaling muka, "Pertanyaan macam apa itu, riku?" Protesnya malu.
"Jawab saja, tenn-nii, atau ku banting kau ke lantai."
Apa-" terkejut. "-ah iya, sedikit. Riku! Sudah, jangan bertanya macam-macam!"
"Hm? Kenapa canggung begitu." Seringai kecil masih bertahan di bibir riku, "Lihat sendiri. Tungkai mu bergelayut di pinggang ku sangat kuat. Takut jatuh atau takut jauh, hm?"
Takut jatuh.
Atau takut jauh.
Jujur saja, tenn takut keduanya.
"Apa maksudnya itu. Jangan menduga macam-macam. Pertanyaan mu sangat tidak beralasan, riku."
Panas, tenn terkejut saat jemari tangan riku yang menopang dirinya mulai berkeliaran dan meremas pantat empuknya. "Riku! Jangan macam-macam!"
"Aku hanya ingin melihat kau bereaksi atau tidak, tenn-nii. Karena kau tadi tidak mau menjawab."
Tangan tenn yang mencengkeram pundak riku mulai gemetar. "Aku sedikit," bingung mencari kosakata yang tepat, "merinding."
"Katakan."
Riku mengeratkan jalinan antara daging vital tenn dan perutnya, menekan kuat. Ganjalan yang ia rasakan dari tenn yang jelas mulai terasa di balik celana tidak membuat riku lupa diri. Ia terus menggoda.
"Katakan, merinding dan me-?"
Tenn jengkel.
Riku mengulang.
"-me?"
"Ngeras -Riku! Kau sengaja kan!?"
Riku tertawa. Jemari nakal yang baru saja iseng meremas pantat tenn di sembunyikan dalam genggaman. Tenn malu luar biasa. Ingin turun tapi ingat kalau sepatunya baru di beli. Jadi diam saja menerima godaan. Berusaha sabar, dan menikmati... kalau bisa.
"Kau memang ringan ternyata, tenn-nii."
Kekuatan riku mampu menahan posisinya untuk tetap stabil. Awalnya malu-malu dan risih memandang, sekarang jadi tak berpaling meski sekejap. Napas mereka bergesekan dengan mata yang terpaut saling menatap. Motivasi riku untuk mencari kedua anak buahnya yang tersasar mulai berkhianat. Akal sehat mulai mengabur menujuk titik pelemahan fungsi. Setiap pergerakan tenn membuat riku bertanggung jawab untuk mendekap semakin kuat. Tangan kanan tenn menyergap pundak kokoh, tangan kiri malu-malu menyentuh pipi sang adik. Menelusurinya dan bertanya-tanya.....
Tuhan menciptakan mu terlalu sempurna dan aku merasa buruk rupa.
Tenn percaya sepenuh hati kalau riku tidak akan menjatuhkannya. Dan baru sadar kalau dirinya mungkin sudah terjerat dalam bola orbita membara yang tak pernah bosan merefleksikan dirinya.
.
.
.
.
.
"Tenn-nii."
"Hm?"
Pembicaraan keduanya terjeda, sepertinya penyakit pendiam kedua-duanya kumat lagi. Tidak ada satupun di antara keduanya yang berucap kembali.
Tenn tidak mendengarkan suara apapun, suara yang mengancam di dalam rumah hantu sepertinya tidak berhasil menarik perhatian surai baby pink lagi.
Ia lebih memilih untuk mendengarkan suara detak jantung riku yang terdengar seperti melodi lembut di telinganya.
Terbesit rasa bersalah karena sudah membuat surai crimson harus kelelahan hanya karena menyeberangi lautan darah jadi-jadian, tapi tenn yang pada dasarnya membawa gen egois sejak embrio tentu saja tidak ingin secara terang-terangan menunjukkan kalau ia sebenarnya kasihan.
"Riku," kalimatnya mengalun dengan nada lembut, "Apa masih belum sampai?" Tanyanya lagi sambil wajahnya mulai mendekat.
"Belum," riku menunduk agar dapat menatap ke arah kakaknya dan menemukan bibir tenn berjarak sekian inci dari bibirnya. Ia menghela napas, tersenyum tipis, "Sebentar lagi kita sampai."
Dan sangat bukan riku sekali kalau dirinya tidak menyukai moment yang barusan berhasil terekam dengan jelas di retina mata.
Riku sempat berpikir, mungkin dia dapat memberikan hadiah spesial pada dua anak buahnya itu setelah mereka berhasil keluar dari wahana rumah hantu. Sebagai ucapan rasa terima kasih karena sudah membantunya mendapatkan moment manis bersama tenn.
"Oh." Tenn mengabaikan panas yang merebak di pipi karena ia dapat merasakan desah napas lelaki crimson yang kini menatap lekat dirinya.
Demi apapun, riku tidak akan rela jika ada yang menyalahkannya kali ini.
Entah mengapa riku tiba-tiba merasa sepertinya dirinya butuh terapis, untuk membantu mengencangkan sekrup otaknya yang sedikit longgar.
Riku tanpa banyak bicara langsung menyatukan kening mereka. Dirinya dapat merasakan napas tenn menyapu wajahnya. "Maafkan soal yang tadi siang. Dan maafkan soal waktu-waktu sebelumnya. Saat aku menyakiti mu. Saat aku mempermainkan mu.... padahal aku tidak pernah ingin melakukan semua itu."
"Riku..."
Pada detik itu, waktu seolah-olah berkhianat pada tenn.
Dirinya seperti membeku. Riku mengecup bibirnya, membuat tenn menyadari kalau selama ini dirinya salah menilai tentang surai crimson. Ternyata selama ini ada Nanase riku di dalam hidupnya. Riku yang seperti gravitasi. Riku yang seperti magnet. Riku yang memiliki keabadian hanya dengan berbekal kecupan dan genggaman tangan.
Ciuman itu bertaut begitu lama. Tenn sampai harus berjuang agar tetap bisa bernapas. Namun tidak ada satupun di dari mereka yang melepaskan kecupan itu.
Seolah-olah siap untuk sekarat bersama-sama, mereka membiarkan satu sama lain kehabisan napas.
.
.
.
.
.
"Loh, bukannya itu riku-san dan tenn-san ya?"
"Hah? Mana?" Kaget, touma memutuskan untuk mendekati kedua sejoli yang sedang di mabuk asmara.
Dan harus kaget, karena memang benar itu si kembar yang saling berbagi kebersamaan tanpa mempedulikan tempat.
Tapi dirinya lebih kaget lagi, karena-"Riku-san! Tenn-san! Kenapa kalian berdua ada di sini?" -Haruka tanpa mempedulikan suasana malah memanggil sang surai crimson dan baby pink.
Tenn buru-buru mengusap secarik saliva yang menetes di dagunya. Saliva riku atau campuran milik mereka.
Beruntung, yang memergoki adegan tak senonoh itu bukan hantu arwah anak-anak yang tadi.
Pelan tapi pasti, aura pembunuh datang menjejali empat sisi mata angin.
Suara yang terdengar di telinga tenn terasa biasa saja, tapi beda halnya dengan touma dan haruka.
"Ayo kita pulang."
Riku berkata pelan, tapi touma dan haruka sudah ketakutan duluan.
Karena akan terjadi pertumpahan darah saat mereka mencapai mansion nantinya.
"Ah sebentar," tenn menoleh ke arah haruka dan menatapnya dalam diam.
"Besok, pagi-pagi sekali. Kau antara barang milik ku ya. Sekalian kau dan momo-san bantu aku, soalnya takut keburu lewat dari waktunya." Tenn berucap dengan tenang, tapi berhasil membuat touma meringis sendiri sementara haruka tersenyum karena merasa masih dapat melihat hari esok.
"Baik, tenn-san." Haruka tersenyum lebar dan menyanggupinya.
"Bagus."
Merasa di abaikan, riku berusaha sabar karena yang mengalihkan pembicaraan barusan merupakan belahan jiwa tercinta.
"Kalau begitu kita pulang. Kalian bawa mobil bukan?" Riku bukan bermaksud basa-basi. Lebih baik mereka cepat pulang, dan dirinya bisa cepat mengajak surai baby pink untuk tidur bersama sebelum malam ulang tahun mereka.
.
.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top