Chapter 8

"Riku, apa tadi momo-san ada mencari ku?" Tenn bertanya sesaat setelah dirinya keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut basahnya, ia duduk di sisi riku yang sedang sibuk bermain ponsel. Riku terlihat sedang mengobrol dengan seseorang via chat, entah siapa.

"Riku, kau dengar aku kan?"

"Ada, tapi ku suruh dia untuk menitipkannya pada haruka," riku menjawab dengan santai, tatapannya tidak berpaling sedikitpun dari ponselnya yang terus meletupkan notifikasi tentang pesan-pesan baru.

Gerakan tangan tenn yang menggosok rambut terhenti, ia sekarang mengerutkan kening, menatap riku.

"Loh, kapan dia kembali? Bukannya Isumi haruka masih menemani neneknya yang sedang sakit?" Tanyanya dengan heran.

"Oh soal itu? Haruka tiba dan melapor pada ku sesaat setelah kau masuk dan menggunakan kamar mandi ku, tenn-nii." Jawabnya lagi, masih tidak menatap lawan bicaranya.

"Maaf karena sudah membuat mu harus kerepotan dengan mencari-cari haruka nantinya, tenn-nii."

Wajah tenn yang tadinya berekspresi heran, kini sekaku dan sedatar permukaan tembok.

Tenn sesekali melirik ponsel yang berada di tangan riku, di selingkuhi dengan gadget saat pembicaraan mereka kembali menajam rasanya sungguh tidak menyenangkan.

"Dasar riku, padahal kau tahu sendiri kalau aku paling tidak suka saat harus mencari para bawahan mu itu." Matanya melirik sekilas, mulai jengkel karena riku justru membuka game COC. "Riku, bisakah kau letakkan dulu android-mu dan memandang diri ku sepuluh menit saja? Kau bisa bermain lagi nanti."

"Kalau mau bicara, ya bicara saja." Riku tidak menggubris, "Memandang mu justru membuat ku luluh dan membiarkan haruka yang masih kelelahan untuk kembali berjalan kemari. Aku sangat menghindari hal yang dapat membuat para bawahan ku tidak produktif, jangan memancing ku untuk mengiyakan keinginan mu, tenn-nii."

Tenn bangkit secara tiba-tiba dari sisi riku.

Kesal.

"Riku sudah tidak sayang pada ku lagi ya?" Mendadak ia menjadi sensitif. "Yang benar saja, masa aku harus berjalan menujuk kamar Isumi haruka dan mengetuk pintu kamarnya dengan sopan gara-gara barang pesanan ku berada di tanganya?" Manik mata mawar lembut menikam tajam. Jelas sekali merasa tersinggung.

Riku berpura-pura sibuk dengan permainan, COC di gunakan sebagai pelarian untuk mengesampingkan sengatan kecil yang tak di undang.

"Ternyata kau lebih cinta pada ponsel mu daripada kakak mu sendiri," tenn menghela napas, "kalau begitu mungkin aku harus membahayakan nyawa ku sekali lagi agar aku tidak di abaikan begini."

Tidak biasanya kata-kata tenn bisa mencolek emosi riku, mungkin ada sedikit sisa trauma yang masih sangat segar hingga lelaki muda itu menatap marah pada kakaknya.

"Jaga ucapan mu tenn-nii, kau tidak tahu betapa khawatirnya aku saat kejadian tadi? Kau jangan menganggap itu sebagai kejadian yang sepele."

Tubuh berbalik, mata memandang penuh pertanyaan, "Bukannya aku memang sepele? Kau yang meremehkan ku."

"Tenn-nii, serius, jangan membuat aku marah pada mu." Kali ini riku meletakkan ponselnya, berdiri menyejajari tenn. "Masalahnya tadi hanya karena paket yang berpindah tangan, jangan meluberkannya kemana-mana."

"Masalahnya aku tidak ingin pergi kemanapun saat malam hari tiba," tenn masih tidak mau mengalah sedikitpun.

"Tenn-nii kau egois sekali, padahal kau tahu kalau tidak hanya satu hati yang harus kau jaga. Kau sudah memiliki aku."

Tenn memalingkan muka, berusaha menimbang jawaban.

"Kalau begitu katakan pada ku tentang sudut pandang mu," ia menuntut meski dengan suara pelan. "Apa aku hanyalah seorang kakak yang lemah dan egois, yang tidak bisa mendapatkan serta memiliki segala keinginan ku?"

"Kau bisa melakukan banyak hal. Tapi kalau soal lemah dan egois, ya, tenn-nii cukup lemah dan sangat-sangat egois".

Pupil mata tenn melebar seketika, jawaban yang selama ini tidak pernah ia bayangkan akhirnya menuncur tanpa rem.

Tapi riku masih memiliki kegenapan hati untuk melanjutkan ucapannya.

"Dan aku bertanggungjawab untuk memastikan kau selamat di manapun kau berada. Jangan membuat ku sakit, tenn-nii. Sikap mu kekanak-kanakan sekali hari ini."

"Riku..." suara tenn sampai bergetar di saat ia ingin berusaha terlihat biasa saja.

"Tidak bisakah kau sedikit saja tidak menyakiti perasaan ku untuk saat ini?" Entah mengapa tenn ingin menunjukkan kekecewaannya secara terbuka. "Kalau begitu jangan mencari ku lagi, dan jangan pernah kau menyelamatkan aku lagi agar kau tidak menyesal. Aku sama sekali tidak meminta mu untuk melakukan semua kewajiban itu. Riku saja yang kurang kerjaan."

"Tenn-nii sendiri yang intoleran pada orang lain, jangan terus-terusan bersikap egois dengan mendahulukan kepentingan mu dan menginjak-injak perasaan ku. Tenn-nii ini sedang menguji ku atau apa?"

"Kalau begitu jangan pedulikan aku kalau aku hanya bisa membuat mu merasa terinjak-injak." Tenn berjalan melewatinya, tidak ingin lagi memandang riku, "Aku memang hanya peduli pada kepentingan ku sendiri. Aku tidak pernah peduli pada mu, riku."

Riku memalingkan muka pada dinding kosong di sebelahnya.

Sementara di sisi dinding yang lain, pintu kamar besar itu di banting keras dengan mudahnya.

.
.
.
.
.

No Exit

By

Lucian_Lucy_

.
.
.
.
.

Setir keras di pukul dengan jengkel.

"Sialan kau haruka, ku pikir kau mau mengajak ku ke Love Hotel sekembalinya kau dari sisi nenek mu itu, tenyata kau malah mengajak ku ke pasar rakyat. Tahu begitu aku tidak perlu repot-repot belok ke apotek beli karet kontrasepsi."

Haruka tampak belum puas tercengang. Tas plastik gendut dari apotek teronggoh di tengah mereka. Lengkap, selengkap stok di toko gosiran. Berbagai varian tersedia. Pisang, durian, strowberi, buah naga. Dan demi apa, haruka syok sekarang ada kondom aroma buah naga. Ia makin menelan ludah karena Inumaru touma tidak perhitungan membeli dua puluh kemasan.

Dotted adalah varian rasa kesukaan touma, katanya ; banyak tonjolan sensainya beda.

Haruka apatis dan pura-pura tak sepaham, padahal ia memang suka perasaan legit-legit bergetar. Arah pandangnya melirik tulisan di bungkus teratas yang paling kelihatan : dengan pori-pori mikro standar internasional.

Haruka membenarkan posisi duduk. Cuek, sedang defensif dan tidak ingin di santap. Kata orang-orang yang belajar biologi psikiatrik di kedokteran -ia sedang tidak reseptif untuk menerima perkawinan.

Touma kembali mengeluh.

"Pulang saja, ya haru. Aku merasa malas kali ini."

"Cih," dengusan menghina. Bagi haruka, touma tidak pernah cocok jadi pujangga. "Belalang sukebe"

Touma membalas, ingin menjambak rambut haruka, "Kutu rambut ganjen."

Ejekannya di sambar, "Sudah tahu aku kutu rambut kenapa masih mau dengan ku!"

"Karena kau yang paling jinak dan servis mu nge-pro!"

Haruka mendelik, mata menggaris kesal. Touma selalu saja cari perkara dengannya.

"Jangan memanggil ku kutu rambut lagi, sialan!" Haruka protes, tatapan yang biasanya terlihat ceria di bayangi keengganan. Bagi touma, haruka selalu manis. Tapi ia lebih suka menyatakan cinta dengan gamparan tangan daripada pujian berbunga-bunga. Haruka tidak pernah tahu kalau touma sekarat jatuh cinta padanya.

"Lagipula siapa suruh mikir aneh-aneh?" Haruka meneruskan ceramah, touma mencari-cari earphone dan berdecak sial karena lupa membawa.

Inumaru touma dengan kisah asmaranya terjalin nista dan ngenes. Tapi tetap dedikatif memegang teguh slogan legendaris. 'Aku bukan pengemis cinta.'

Touma tidak tahu bagaimana cara terbaik dalam merayu. Ia berpikir untuk meminjam buku psikologi hubungan (milik Riku) jika ada kesempatan nanti. Katanya ramuan rahasia Tsukumo ryo sakti mandraguna untuk memikat pasangan.

Touma tidak mau tahu apakah ada hubungan antara buku tsukumo dengan primbon mantra dan pengasihan. Tidak peduli juga kalau saja barang kali tsukumo ternyata punya garis kekerabatan dengan administrator The Dukun Pelet Community. Yang penting haruka takluk. Touma bertahan demi harga diri. Riku saja teguh berjuang untuk tenn, masa dia cuma bisa goyang dumang?

"Sudah, turun sana. Akan ku cari tempat parkir."

Haruka turun sambil membanting pintu samping, ia tetap mengawasi touma yang mulai membelokkan mobil entah kemana. Dia berdiri di depan gerbang masuk pasar rakyat. Tertarik seperti anak kecil saat melihat banned dengan slogan murahan BERMAIN PENUH GEMBIRA ALA MASA KECIL.

Tanpa ingat umur, haruka bertepuk tangan dan melompat girang. Sedangkan touma yang mulai mendekat hanya bisa meringis kecil kala melihat haruka yang tertawa seperti anak TK.

"Beli satu permen kapas, lalu kita pulang."

Touma datang sambil memasang wajah suntuknya.

"Kau ini, padahal kita baru sampai, aku bahkan belum mencoba seluruh wahana yang ada."

"Wahana kepala mu," touma ingin sekali memukul kepala haruka dengan tangkai kincir angin di tangan tuyul random yang kebetulan melintas.

"Tapikan-" kalimat haruka harus terjeda saat melihat touma yang sedang merogoh saku.

"Tunggu, bos iblis memanggil. Riku biasanya kalau mengirim pesan pada ku selalu ada maunya."

Haruka tertawa, tidak terlihat prihatin sedikitpun.

"Diam," pesan di buka. "Nah, benar ada maunya."

Haruka mendekatkan diri ingin tahu.

[Touma, apa kau sedang bersama haruka? Kalau ya suruh dia untuk mengantar barang pesanan milik tenn-nii ke kamarnya sekarang juga]

Touma biasa saja, sedangkan haruka tercengang.

"Loh, bukannya dia berpesan untuk memberikannya besok saja? Kenapa malah harus sekarang?"

Touma mengedikkan bahu, "Entah, namanya juga riku. Dia pasti akan berbuat segala macam cara agar dapat memenangkan hati tenn."

"Wah, tapi aku masih belum merasakan sedikitpun wahana permainan untuk saat ini, lagipula urusan dengan tenn-san bisa besok bukan?"

Kepala haruka di jontorkan ke depan.

"Kau buat saja nanase tenn menunggu lama kalau mau di bantai iblis konservatif bermental yakuza. Sudah siap peti mati kau, haru? Atau perlu aku saja yang pesankan?"

"Hei!"

"Sudahlah, daripada aku ngobrol tidak jelas dengan mu, lebih baik ku undang saja riku ke sini juga. Siapa tahu dia sedang bersama tenn. Sepertinya seru melihat kau bertarung hidup mati ala gladiator dengan riku, lalu aku akan pergi beli gulali dengan tenn."

Haruka menunjuk tanpa segan, "Sialan kau touma!"

.
.
.
.
.

Pedebatan yang seharusnya sepele itu berefek buruk. Tenn menyendiri di kamarnya, jemari lentiknya sesekali mengetuk permukaan meja hingga berhasil menimbulkan suara ketukan yang bernada.

Sekarang ia sedang menunggu momo yang mungkin sedang bersungut-sungut nan jauh di sana, saat di suruh untuk mengambil kembali barang pesanan maha pentingnya itu.

Tenn tidak bermaksud mengganggu waktu istirahat keduanya, hanya saja ia takut kalau besok dia tidak bisa menyiapkan hadiah yang sudah di beli dengan susah payah hingga berhasil membuat momo senewen, merengek, dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.

Kesabaran lelaki muda bersurai baby pink itu hampir habis, kalau saja pintu kamarnya tidak di ketuk. Tenn hampir berlari kala ia menghampiri pintu kamarnya.

Tenn sudah bersiap mengomel. Tapi seseorang yang ia tunggu-tunggu belum datang juga.

Ternyata yang datang hanyalah riku seorang. Tenn berdecak kecil dan hampir membanting pintu tepat di depan wajah riku, tapi ia kalah cepat dengan kecepatan sang surai crimson.

Pintu kamar yang harusnya sekarang sudah tertutup rapat, berhasil riku dorong kembali bak menggunakan bor metalurgis yang siap menghancurkan segala macam hal yang menghalangi jalannya.

Riku seumur hidup tidak pernah mengasihani rival bisnisnya. Berani menantang riku, berarti berani gali kubur sendiri. Tapi semua prinsip yang ia bangun selalu langsung kandas setiap kali berhadapan dengan manik mawar lembutnya.

Dirinya seolah-olah di lahirkan hanya untuk kalah di hadapan tenn, lebih tepatnya mengalah.

Riku melangkah masuk tanpa di suruh, sontak saja hal itu membuat tenn tanpa sadar melangkah mundur. Tenn tidak mau di kata pengecut tapi aura yang menguar dari tubuh riku berhasil membuat dirinya tanpa sadar merasa tersudut.

Meskipun demikian, sudut hatinya tetap saja tercubit setiap kali teringat akan kalimat lelaki yang berada di hadapannya ini.

"Riku, apa yang kau inginkan kali ini?" Tenn bertanya dengan suara tenang, mengabaikan sejuta kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.

"Haruka sedang bersama touma di pasar rakyat sekarang, sedangkan momo-san berkata kalau dia masih belum bisa menemukan mereka berdua." Kalimat barusan merupakan ajakan keluar bersama yang di bungkus pernyataan seperti 'lihat, aku masih lebih berguna daripada para cecunguk sialan itu.'

Tenn berpikir, sepertinya menyenangkan juga kalau dia sesekali mencari hiburan di tengah rasa suntuk yang melanda, sekalian mengambil barang pentingnya.

"Tunggu sebentar, aku akan siap-siap."

Antusias, tenn mendorong riku untuk keluar dari kamarnya dengan alasan ingin mengganti pakaian.

.
.
.
.
.

Inumaru touma mengupas segenggam kacang, melempar satu-persatu ke udara dan menguyah tanpa henti. Touma merasa tolol, dirinya sudah nyaris mual-muntah-masuk angin karena tiga kali di paksa naik kereta air, sekarang di tarik-tarik naik tornado. Touma bukannya tidak berani, hanya malas dan sadar umur. Tapi haruka tetap tidak mau tahu dan tetap menyeret jalannya.

"Ayo cepat! Kau sangat lambat seperti bekicot, touma! Aku sudah tidak sabar! Jarang-jarang bisa berkeliaran bebas seperti ini."

"Haru, yang benar saja kita naik begituan!" Touma melemparkan pandangan tajam pada seorang gadis bertampang loli yang tampaknya curiga.

Touma tidak banyak menanggapi haruka seperti biasa hanya ya, tidak, oke, terserah, ayo jalan.

Haruka tidak bosan menoleh kanan-kiri. Anak-anak berlarian seperti di kejar waktu, para orang tua mengikuti dengan tampang cemas seperti di kejar janji. Pasar rakyat bermitra dengan sore hari yang mulai turun.

"Touma, apa kau lapar? Mau beli sosis?"

"Aku sudah punya sosis-"

"Touma!"

"-di kulkas rumah. Makanya dengarkan dulu kalau seme bicara, sialan!"

Mereka tidak bosan saling bermesraan dan saling memaki. Malam naik secara lambat, bersama hanyutan matahari senja yang telah bosan membedaki langit. Isumi haruka masih cemerlang di antara lautan manusia, dan perhatian Inumaru touma yang sejak tadi mengarah padanya berpaling lugas pada balasan pesan dari riku yang datang menyisip ke dalam inbox.

[Ya, aku akan berangkat ke sana bersama tenn-nii. Beritahu di mana posisi mu dan haruka.]

.
.
.
.
.

Orang yang di cintainya secara brutal masih saja menjerit dan berkomentar riuh seperti kerumunan lebah penjejak. Touma di ingatkan untuk tidak main hp sambil jalan atau bisa menubruk tukang balon dengan umbul-umbul pulkadot dan anak-anak berkerumunan melihat dengan menggenggam uang receh.

Haruka berpaling dan menginjak kaki touma yang mulai memandangnya dengan sorot mata ambigu. Jari haruka terkipas cepat tapi terlanjut di tangkap. Ia di tarik ke dalam wahana rumah hantu. Minat calon seme terhadapnya sudah tidak bisa di tahan, hasrat membara terlanjut ingin terlepas ingin terlepas dari kerangkeng.

"Aduh! Aku jangan di tarik-tarik begini, sialan!"

"Cuma ini tempat yang aman, bodoh!"

Cemberut, merengut, tapi menurut. Bagi Isumi haruka, kecerdasaan Inumaru touma itu 'Not available'.

.
.
.
.
.

Boot hitam setinggi lutut mengetuk permukaan lantai dengan langkah teratur. Tubuh mungil di balut jaket hitam satu warna dengan jeans sepaha yang kini memamerkan paha seputih susunya.

Lelaki muda bersurai baby pink itu menyambar pintu kamar besar miliknya dengan cepat, dan harus terkejut karena di kagetkan oleh sang surai crimson masih memilih berdiri mematung di depan pintu kamarnya.

"Riku! Kenapa kamu berdiri di depan pintu kamar ku seperti seorang salesman?" Pekiknya tapi di abaikan oleh riku.

"Ayo berangkat."

Dan tenn hanya bisa pasrah saat jemari tanganya di genggam erat oleh riku.

.
.
.
.
.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top