Chapter 20
"Ini rumah ku, maaf kalau terlalu sederhana. Tapi ku rasa ini akan cukup kalau kalian gunakan untuk bersembunyi sementara. Penjagaan di rumah ku standar Paspampres."
Riku berjalan dibelakang tenn. Kakaknya mengerjap polos berkali-kali, padahal mansion Osaka sogo tidak terlalu jauh berbeda dari mansion keluarga Nanase. Dan sepertinya sekarang, kakaknya terlalu silau dengan pemandangan kastil raja brana yang dipampangkan sogo pada mereka.
"Sogo-senpai sepertinya sudah jadi orang hebat," tenn memuji, untuk beberapa hal, ia bisa menjadi benar-benar tulus. "Ku rasa, aku bisa tersesat di rumah ini kalau dilepas sendirian."
"Kau bisa saja, tenn-kun. Rumah ini mungkin memang besar, tapi selalu sepi karena ku huni seorang diri." sogo menyeringai, riku melirik diam-diam. Itu semacam curhat atau modus colongan?
"Lho, benarkah?" dan kadang-kadang riku sungguh kesal dengan tenn yang lambat sekali peka. "Ku pikir sogo-senpai sudah punya istri. Kenapa belum menikah?"
"Itu karena...." sogo pura-pura berpikir, "Aku sibuk mengumpulkan uang, aku masih miskin."
"Oh...." tenn makin terpana, "Kalau segini masih miskin, kayanya seperti apa, senpai?"
"Ya, sogo-san memang sibuk sayang. Tapi kesibukannya masih diragukan. Antara sibuk mengumpulkan uang atau sibuk membayar yakuza untuk menghabisi orang," riku menyela, suaranya pelan tapi tajam. "Maaf sogo-san, sejak tadi aku mau tanya. Rumah mu ini apa tidak punya ruang tamu? Sejak tadi kau membiarkan istri ku berdiri. Butuh sumbangan untuk membeli kursi?"
Sogo menoleh, menukar tatap dengan riku, kemudian tersenyum. "Maaf riku-kun, aku memang tidak punya kursi."
Tenn membulatkan mata,
"Punyanya apa?".
"Sofa."
Riku memutar mata, melangkah enggan mengikuti tenn yang sejak tadi diklaim sendiri oleh sogo. Pembicaraan mereka tak habis-habis. Tentang nostalgia semasa SMA--mereka sama-sama alumni SMA PRODIGY. SMA yang juga hampir dimasuki oleh riku, kalau saja dia tidak meleparkan diri ke SMA Swasta khusus anak nakal yang bebas bolos seenak jidat.
SMA PRODIGY adalah SMA unggulan dengan peraturan ketat. Riku menolak memasukinya sekalipun nilainya cukup. Alasannya, ia takkan punya banyak waktu untuk belajar merugikan negara.
Sejak tadi, manik mawar lembut tenn berbinar saat mendengar seluruh profesi teman-temannya semasa SMA. "Ternyata semua teman kita jadi orang hebat, ya senpai. Tidak ada yang jadi penjahat--"
"Ehm!"
"Riku kenapa?"
"Cuma batuk."
"Oh.... Ku kira tersinggung."
Riku menghempaskan diri ke sofa, di samping tenn. Ruang tamu orang kaya memang beda. Tempat duduknya saja selembut bolu susu.
"Jadi, apa kita bisa langsung bicara tentang kontrak baru itu?" riku entah kenapa merasa gerah, padahal AC di ruang tamu sogo ada sembilan. "Katakan apa rencanan mu, sogo-san."
"Ah, pentingkah kita langsung membicarakan bisnis saat kalian baru sampai?" sogo tertawa, menjentikkan jari. "Barista, tolong bawakan daftar menu untuk tamu ku."
Riku makin muak, tenn makin terpana. Bahkan untuk menjamu tamu saja ada daftar menu.
"Jus daun ganja?" mata tenn berbinar membaca salah satunya, "Boleh aku coba yang ini?"
"Darimana kau membeli ganja, sogo-san?" mata riku menyipit curiga. "Kau punya kenalan orang Kartel?"
"Oh bukan, ini cuma jus daun pepaya. Sebejat-bejatnya aku, aku bersih dari NAPZA. Kanabis, heroin, putawa. Semua itu barang haram. Kenapa tenn-kun kelihatan terobsesi dengan ganja?"
Pertanyaan tanpa kecurigaan. Riku pura-pura tidak peka saat tenn meliriknya, minta bantu menjawabkan.
"Pemakai narkoba itu tidak keren," sogo berbicara lagi, "apalagi yang mengedarkan."
Tenn tersedak ludah sendiri. Riku memalingkan muka, menahan diri agar tidak tertawa.
"Baiklah, ku rasa saran riku-kun tadi ada benarnya. Lebih baik kita bicarakan bisnis kita sekarang. Aku naik sebentar, sekretaris ku sudah membuatkan rancangan kontrak yang ingin ku ajukan pada mu."
"Oke."
Sogo berdiri, berbalik, berjalan menaiki tangga. Tenn yang ditinggalkan dengan riku di ruang tamu, menatap punggung mantan kakak kelasnya dengan pandangan terluka. Ratu ganja telah dihina!
"Hei." riku menepuk pelan pipi tenn. "Daripada ngambek, lebih baik belanja online lagi."
"Sudah ku bilang, sinyal koneksi ku jelek daritadi." tenn masam. Tubuh kecilnya seolah terbenam di sofa empuk. "Terus nanti kalau kalian membicarakan bisnis, aku harus apa?"
"Tenang saja. Rumah ini punya WiFi pasti. Siapa tahu kecepatannya 2 juta Mbps. Senpai tercinta tenn-nii kan manusia kaya raya. Kalau perlu dia bisa beli tower sendiri." riku mengeluarkan laptopnya, meletakkannya dipangkuan tenn. "Ku ajari cara mencuri password WiFi."
"Eh?" tenn buru-buru menekan tombol power. "Mau!"
Riku tidak menjawab. Mata mawar lembut tenn diam-diam mengawasi adiknya yang duduk di sisi. Ada desiran aneh yang membuatnya salah tingkah seperti orang bodoh. Tenn bergegas mencurahkan perhatian pada layar laptopnya. Tidak ingin ketahuan curi-curi pandang.
"Aplikasi ini namanya Kali Linux. Hei, sayang? Kau mendengarkan aku?"
"Oh, apa?"
"Kali Linux."
"Oke, maaf, aku sedikit melamun." tenn mengangguk berkali-kali. "Kali..... Linux."
Riku menahan senyum, kali ini giliran dia yang membalas. Tubuhnya lah yang dicondongkan dekat dengan tenn. "Kalau ini, Aircrack-ng."
"Lalu?" tenn perang batin, antara mau menyingkir atau tidak. "Riku, ku rasa lebih cepat lebih baik."
Antara ingin cepat bisa atau ingin pikiran-pikiran anehnya cepat binasa. Tenn tahu jantungnya telah berdegup kencang, mulai terjadi pemanasan mesin.
"Aktifkan mode monitor yang seperti ini. Kemudian scan seluruh sumber koneksi internet yang ada di sekeliling kita."
Riku mulai memenuhi layar hitam pada program di depan matanya dengan berbagai kalimat alien.
"Ketik airodump-ng. Lalu perhatikan di atas sini, ada berbagai hotspot yang terekam, yang berada dibawah tulisan BSSID--ya." tunjuk riku dengan cekatan. "Kemudian cari satu sasaran. Pilih yang paling atas, yang PWR-nya terkecil. Sinyalnya yang paling kuat, tempatnya yang paling dekat."
Riku membantu mengetikkan, tenn diam seolah nyawanya sudah melayang. Tekanan laptop di pangkuannya oleh jari-jari riku, sudah sangat.... keterlaluan.
98:C6:22:F6:BB:21
Rasanya seperti dipijat plus-plus.
"Namanya The Great Osaka Sogo," riku ingin muntah. "Kenapa tenn-nii terlihat tegang sekali? Tenn-nii mirip robot gangguan yang bahasa assembly-nya salah diterjemahkan."
"Masa?" jantung tenn berdegup cepat. "K-kenapa bibir riku dekat sekali dengan pipi ku? Menjauhlah sedikit, tidak enak kalau dilihat sogo-senpai...."
"Kalau tidak boleh dekat dengan pipi mu, dengan dada mu boleh?"
"R-riku.... Password WiFi. Password WiFi."
"Oh ya, aku lupa. Terlalu asik memperhatikan mu sayang." riku mengecup.pelan leher tenn. "Teruskan dengan perintah aireplay-ng."
Riku mengetik enter setelah memasukkan jajaran kode angka.
Muncul kalimat-kalimat yang sama di layar hitam.
-Sending DeAuth to broadcast -
98:C6:22:F6:BB:21
-Sending DeAuth to broadcast -
98:C6:22:F6:BB:21
-Sending DeAuth to broadcast -
98:C6:22:F6:BB:21
-Sending DeAuth to broadcast -
98:C6:22:F6:BB:21
"Oh!"
"Kenapa, sayang? Paham, kan?"
"Tidak," tenn menggeleng, "aku mengeluh karena tangan mu masuk ke dalam baju ku."
Hanya terdengar suara tawa sebelum guliran tulisan alien itu muncuk lagi.
-Manual page cruch(1) line 100
(press h for help and q to quit)-
Jujur saja, tenn hanya sempat melihat tulisan terbawah. Sang surai baby pink sudah tidak tahan. Hidung dan bibir riku sungguh nakal. Bahkan saat riku berbisik, "Password The Gread Osaka sogo--namanya membuat ku diare--berhasil dipecahkan."
-KEY FOUND!-
"Eh?"
-[09 Juli]-
Hening.
09 Juli....
09 Juli...?!
Makin hening.
Tenn tertegun lama, "Sepertinya aku familiar dengan tanggal ini."
Riku memutar mata, menyembunyikan cemburunya. "Pura-pura lupa dengan tanggal lahir sendiri?"
"Eh, tanggal lahir ku?" baru konek, "Astaga, senpai mengunci WiFi-nya dengan tanggal lahir ku? Bagaimana bisa? Kami sudah lama tidak bertemu. Aku merasa terhormat."
"Bisa saja, orangnya sudah lama tidak bertemu, cintanya sudah jadi stadiun lanjut."
Mata mawar lembut mengerling jahil. "Cemburu?"
"Siapa juga."
Wajah datar, "Cie...."
"Apa?"
"Cie..."
"Ish."
Tenn tersenyum, ia sudah tidak tahan lagi untuk tidak mendaratkan ciuman di bibir riku.
"Riku.... kalau sogo-senpai saja bisa memakai pasaword nama ku.... Kenapa riku tidak?"
"Tenn-nii mau....?" riku bertanya di sela-sela ciuman mereka, "Padahal aku sudah terlanjur suka dengan password-ku sekarang."
"Apa?"
"Kakak Ku King Kobra."
"Password macam apa itu!" kali ini mereka sama-sama tertawa. Bahkan delapan faktorial semalam belum cukup juga. Tenn amnesia dalam sekejap--lupa pada sinyal WiFi. Lupa pada toko online. Lupa pada pakaian yang akan ia beli.
Mereka berciuman tanpa ingat sedang dirumah siapa.
Mereka terlalu sibuk dengan aktivitas kekhilafan.
Osaka sogo yang berdiri di tangga terbawah hampir meremukkan arsip rancangan kontrak dalam genggamannya.
"Riku....."
Tapi yang bercinta sudah lupa dunia.
"Tenn-nii....."
"Riku....."
"Tenn-nii....."
"Riku......"
"Tenn-nii....."
"S-sogo..... senpai?"
Ciuman maut buru-buru terlepas. Mata mawar lembut yang terkejut menangkap sosok sang tuan rumah yang mematung bagai batu, buru-buru bersorot penuh rasa bersalah.
"M-maaf, sogo-senpai. Bukan maksud kami ingin berbuat mesum dirumah mu... Ano, kami hanya.... Kami hanya belum belum sempat berbulan madu sejak menikah. Jadi kami suka lupa tempat.... maaf sekali lagi."
Riku bersilang kaki. Matanya bertukar tatap dengan sogo, tatapan penuh permusuhan.
"Sebenarnya aku tersinggung kalian bermesraan dirumah ku, tapi sudahlah, lupakan saja." ucapan lunak itu sama sekali tidak selaras dengan ekspresi sogo yang murka luar biasa. "Sekarang, aku harus membicarakan masalah kontrak dengan suami mu. Biar kau diantar beristirahat oleh pelayan ku. Kamar tamu ada di lantai atas. Tenn-kun, pergilah tidur siang."
"Ya, senpai." tenn tidak membantah. Ia memberi pandangan 'ku tunggu dikamar, ku mohon jangan bertengkar' pada riku.
Dua pasang mata tidak melepaskan pandangan mereka dari lelaki bersurai baby pink yang telah dibawa seorang pelayan ke lantai atas, sebelum kembali beradu tatap dengan tajam.
"Kau pasti tahu kalau aku mendadak berubah pikiran." sogo berbicara, nada penuh intimidasi. Ia sedang berusaha mengoyak mental lawan bicara. "Sepertinya aku harus pikir-pikir dulu sebelum menandatangani kontrak pembunuhan baru dengan mu."
"Sebenarnya drama macam apa yang sedang kau perlihatkan pada ku?" riku menyahut, sama dinginnya. "Cinta masa lalu kepada mantan adik kelas yang bertepuk sebelah tangan?"
"Terserah kau menyebutnya apa. Aku hanya tidak suka kalau keluarga kaya seperti kalian mengabaikan etika saat bertamu dirumah orang lain." sogo melempar tatapan muaknya. "Aku sudah menolong dan memberikan tempat bersembunyi untuk kalian dari Interpol."
Gadget layar lebar diperlihatkan, riku hanya mendengus membaca pengumuman di portal Kementerian Kehakiman.
WANTED BY INTERPOL : NANASE RIKU AND NANASE TENN.
REWARD : $10000
DEAD OR ALIVE.
Omong kosong.
"Sebegitu mudahnya kepercayaan mereka pada ku rusak hanya gara-gara satu kesalahan--semberono merampok bank." riku menggumam, tangannya sibuk mencari bungkus rokok dari saku. "Kau keberatan?"
"Nyalakan sesuka mu," sogo menjawab cepat, arsip kontraknya yang sejak tadi tergeletak di meja, terus diabaikan. "Ku rasa, aku sudah malas bekerjasama dengan mu lagi. Katakan, kenapa kau menjebloskan tenn dalam bahaya?"
"Aku tidak membuatnya dalam bahaya, aku justru menyelamatkannya."
"Menyelamatkannya? Dengan menjadikannya buronan Interpol kau bilang menyelamatkannya?"
"Kau tidak tahu siapa tenn, sogo-san."
"Memangnya dia siapa?"
"Dia"--pewaris jaringan mafia ganja dan yakuza keluarga Nanase.
"Memangnya tenn siapa?"
"Dia istri ku," riku menghembuskan asap rokoknya, berusaha bersikap biasa. "Aku mencintainya dan dia mencintai ku. Memang seperti ini resiko yang harua ditanggungnya kalau bersedia menerima lamaran ku. Kami sudah berjanji untuk sehidup semati."
"Bukan cuma sehidup semati, kalian juga akan sepenjara dan sepengadilan berdua kalau kelakuan mu tidak bisa dikoreksi." sogo terus menghakimi, riku merokok dengan tenang, ia sudah cukup mahir untuk menumpulkan telinga pada makian. "Apa rencana mu selanjutnya? Kau akan di Yokohama sampai kapan? Ku rasa sebaiknya kau pergi ke Tokyo, atau keluar negeri. Terserah mu. Tinggalkan istri mu di sini, aku bisa menjaganya."
"Aku akan menumpang pesawat ke Amerika--dan masalah tenn, dia akan ku bawa."
"Menumpang? Tanpa tiket resmi?"
"Memangnya ada travel agent yang cukup bodoh untuk menjual tiket pada buronan Interpol?"
"Menumpang..... Membajak pesawat maksud mu?"
Satu hisapan sigaret lagi, "Kurang lebih begitu."
"Sialan! Jangan sembarangan!" suara sogo emosional, penuh tuntutan. "Jangan membahayakan dia, tenn ringkih dan polos. Jangan libatkan dia dalam hal ini."
Riku menatap sogo dengan pandangan penuh rasa kasihan, sepertinya cintanya membuat ia tidak tahu kalau tenn lebih liar dari yang dapat dibayangkan oleh siapapun.
"Dia istri ku. Mau ku bahayakan, mau ku bahagiakan, apa urusan mu? Kau cuma mantan kakak kelasnya yang baru bertemu lagi setelah belasan tahun."
"Riku!"
"Mungkin sebaiknya ku bawa istri ku pergi." riku bergegas meremukkan ujung rokoknya di atas asbak. "Daripada ku titipkan dia di kamar tamu mu, bisa-bisa saat ku bawa pulang sudah jadi barang second."
"Silahkan saja," sogo berdiri menyejajari riku, memperlihatkan sebatang kunci kokoh pada sang ketua yakuza. "Tapi jangan harap kau bisa membukanya tanpa benda ini. Setiap pintu di rumah ku terbuat dari campuran baja, emas dan titanium. Kalau kau bersikeras mendobrak, tulang belikat mu akan patah jadi dua."
.
.
.
.
.
No Exit
By
Lucian_Lucy_
.
.
.
.
.
"Kenapa ranjang bisa seluas kolam renang begini?"
Tenn merebahkan diri, tubuh kecilnya memantul dipermukaan busa. "Jadi seperti tamu istimewa." guling empuk direnggut, dipeluk lekat. "Tapi lebih mending menginap di hotel buluk dengan adik sendiri."
Tenn menunggu setengah jam, pelayan yang tadi mengantarkan sudah meninggalkan handuk baru untuk mandi. Tapi jika tidak ada alasan khusus seperti untuk menggoda riku, tenn rasanya jadi malas membasuh diri.
"Ini sebenarnya kamar apa toko elektronik?"
Entah ini presidential suite room ala hotel mana, tenn baru kali ini menemukan kamar lengkap dengan mesin cuci (ukurannya besar dan keren karena bisa dikunci), microwave (sepertinya tidak pernah digunakan, tapi sangat bersih), televisi 64 inci, proyektor... entahlah, mungkin senpai-nya ingin sesekali presentasi dengan klien spesial di dalam kamar.
"Riku lama sekali. Apa yang mereka bicarakan?"
Akhirnya tenn mengisi waktu dengan mendumal sendiri. Tangannya yang senggang menarik-narik kenop lampu. Hidup. Mati. Hidup. Mati.
Mau memejamkan mata juga percuma. Kalau mimpi dikejar Interpol, bisa sesak di dada.
"Riku?"
Tidak ada suara pintu terbuka, yang ada hanya getaran ponsel. Sebuah panggilan masuk, "Halo?"
"Sayang, kau sedang disandera oleh sogo."
Hah?
"Disandera kenapa? Uang satu milyar hasil rampokan kan riku yang bawa."
"Sogo tidak butuh uang itu. Dia butuh kau."
"Hah? Bukan karena password WiFi-nya dicuri, kan? Riku sekarang ada di mana?"
"Aku di luar. Niat ku mau membeli makanan dan beberapa senjata tajam. Kau mau dibelikan apa? Vanilla pie? Kau bisa menyelamatkan diri sendiri, kan? Pakai karbol kamar mandi kalau miskin ide. Jangan pergi dulu dari sana kalau aku belum selesai belanja. Nanti sore kita langsung ke bandara."
"Belikan untuk ku piyama baru bermotif bunga kalau bisa." tenn mengubah posisinya menjadi duduk. "Riku, memangnya aku benar-benar sedang disandera oleh senpai? Kenapa? Apa yang salah dengan ku?"
"Tanyakan sendiri pada sogo. Mau-maunya menyandera orang seperti mu. Tenn-nii kan buas dan suka cari masalah. Jadi suami mu itu pasti tidaklah mudah. Sekali salah, nyawa pindah. Pakai ingin mencuri mu dari ku segala. Cuma aku yang bisa menjinakkan binatang buas seperti tenn-nii."
Tenn menjauhkan ponsel, mengorek kupingnya. Omelan Nanase riku sering bikin sakit telinga. "Jadi sekarang riku tidak ingin menyelamatkan ku? Calon istri mu sedang disandera, loh."
"Manja. Aku sedang mempersiapkan usaha kabur kita ke luar negeri, berusahalah sendiri."
Sahutan datar, "Aku tidak berdaya menghadapi kaum adam."
Terdengar di seberang sana riku berdecak. "Dusta. Tenn-nii bahkan lebih buas dari ku. Memukul penjaga palang stasiun persis di jakun bisa. Kabur dari anjing pelacak juga bisa. Apa yang belum pernah kau lakukan? Membunuh orang? Sana bunuh senpai mu."
Tiba-tiba ide muncul. "Benar juga, ya. Mengunci sogo-senpai di lemari sampai kehabisan oksigen, atau menguceknya di dalam mesin cuci, lebih keren mana?"
"Yang mana saja. Asal kalau ku-ping nanti tenn-nii sudah harus keluar dari rumahnya. Peluru revolver mu masih ada? Teleponnya ku tutup dulu. Aku harus belanja. Dan ingat, jangan bawa apapun dari rumah sogo saat kabur nanti."
"Kenapa? Riku tidak mau aku dibilang pencuri?"
"Bukan!" jawab riku dengan gusar. "Aku takut barang-barang sogo ada peletnya!"
.
.
.
.
.
Nanase riku sedang mengantre. Ia telah membeli beberapa barang, termasuk pisau dan obeng dari pasar tradisonal yang padat pembeli. Pusat perbelanjaan sudah diinfeksi dengan berita pencarian pasangan penjahat Nanase, tapi sebagaimana orang-orang yang lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri, brosur-brosur pengumuman justru diinjak-injak oleh pengunjung pasar.
Riku tidak melepas maskernya--beralasan dia suspect virus H5N1 setiap ada yang bertanya.
Pembeli di depannya bertansaksi sangat lama. Padahal ia hanya butuh sebotol minyak sayur.
"Semuanya jadi 900 Yen."
Si pembeli menyerahkan uang, riku iseng mengintip dari belakang. Refleks mencetus, "Itu uang palsu."
Ia langsung mendapat tatapan tajam dari pembeli lain yang menunggu giliran untuk dilayani. Begitupun dengan pembeli di depannya yang baru saja menyerahkan uang, ia langsung berbalik badan. "Jangan sembarangan, ya. Kau ini mau cari perkara atau apa?"
Riku menarik napas dalam, melangkah maju. "Pinjam uangnya."
Riku merebut satu lembar tanpa sungkan. Memperlihatkannya di depan mata si penjual yang kebingungan. "Ini uang palsu KW super. Lihat?"
Riku membagi-bagikan sembilan lembar uang pada sembilan orang yang merangsak maju, ingin tahu. Termasuk si penjual yang tiba-tiba jadi serius, "Tahu darimana kalau itu palsu? Sepertinya sama saja."
"Tidak sama," jawab riku. "Uang asli di cetak dengan metode intaglio, prinsip dasarnya adalah dengan menggoreskan gambar ke permukaan sehingga akan terasa kasar kalau diraba. Kertasnya saja jelas beda. Yang palsu ini kertas roti, yang sengaja diputihkan sebelum di cetak gambar. Sedangkan uang asli, bahannya bukan kertas, melainkan kapas. Ketahanannya 3500 double folds, mampu menahan lebih dari 3500 tekukan. Terendam pun tidak hancur, paling cuma lecek. Coba diraba--astaga ibu-ibu, yang diraba uangnya, jangan saya."
"Lalu bagaimana lagi, nak?" salah satu ibu pembeli mulai antusias. "Kamu pegawai bank, ya?"
"Kalau standar pengecekan uang asli lawan uang palsu, saya rasa ibu-ibu sudah tahu. Ada beberapa titik, termasuk angka nominalnya yang akan berubah warna jika dilihat dari sudut yang berbeda. Ini disebut Optical Variable Ink. Satu lagi, pastikan gambar di kedua sisi saling beradu ketika diterawang di bawah cahaya. Rectoverso. Sering kali uang palsu memiliki gambar di kedua sisi yang identik, tapi cetakannya tidak persis saling mengisi." riku memperlihatkan matanya yang menyipit karena bibirnya memberi senyuman tampan. "Bukan, saya bukan pegawai bank. Saya cuma tukang jagal."
"Katanya yang paling akurat adalah memakai sensor ultraviolet, ya? Kenapa?" seorang ibu yang lain--melihat riku dengan mata yang penuh kesan 'calon menantu idaman'--bertanya dengan suara melengking. "Tukang jagal apa? Sapi? Punya perternakan?"
"Tukang jagal babi. Tidak, saya hanya karyawan." riku menjawab sopan. Mendadak ibu-ibu yang tadinya sibuk berbelanja, jadi mengerumuninya. Ia mendapat banyak penggemar dalam sekejap. Dan semuanya ibu-ibu.
"Di uang kertas memang ada tinta khusus yang bisa menyala di bawah sinar ultraviolet. Sebutannya Invisible Ink. Tinta ini tidak akan nampak jika dilihat dengan mata biasa."
"Berarti harus punya alat ultra... apa tadi namanya, nak? Ultraman?"
"Ultraviolet." riku mengeluarkan gadget-nya. "Kalau tidak punya alatnya, unduh saja di Google Play. Kata kuncinya UV Light App. Sekian, sekali lagi pesan saya. Ibu-ibu dan keluarga harus waspada pada pengedaran uang palsu. Jangan asal terima. Jangan asal mau."
Kumpulan ibu yang mengerumuninya bertepuk tangan. Riku mendadak kewalahan menanggapi mereka yang bertanya nama, kerja di mana, masih single atau sudah taken. Si penjual yang diselamatkan dari bahaya uang palsu memberinya minyak sayur gratis satu liter.
Riku kira si pengedar uang palsu sudah melarikan diri. Ternyata si manusia naas itu, sejak tadi disandera dua ibu gendut yang mengomelinya seperti menangkap pelaku colong mangga. Riku mendekatinya, dan si pelaku mengeram marah. "Bagaimana kau bisa tahu trik ku? Kau mantan pengedar uang palsu juga? Jangan-jangan kau malah pernah jadi pencetak!"
Bahu terangkat kecil. "Mengedarkan pernah, mencetak pernah. Dulu sewaktu masih sekolah."
"Lalu kenapa kau menggagalkan rencana ku kalau kita satu aliran!?"
"Enak saja satu aliran," riku membalas penuh penghinaan, "maaf saja, sekarang aku sudah tidak perlu merepotkan diri mencetak uang palsu. Aku bisa mendapatkan uang asli bermilyar-milyar, tidak kuno seperti metode kejahatan mu. Dasar payah"--riku berbalik, melambaikan tangan pada semua ibu--"saya pergi dulu. Terima kasih minyak sayurnya."
Semua ibu balas melambai, mengelu-elukan, semoga duta pemberantas uang palsu berhati-hati di jalan. Namun, mata tajam riku menangkap gelagat aneh di pintu masuk pasar. "In... terpol?"
Gawat.
Ia harus lekas menyingkir.
Riku tidak berlari, ia hanya berbalik badan ke arah berlawanan, berjalan cepat. Tidak ada doberman atau herder lagi untuk kali ini, sebuah keuntungan karena pawang anjingnya sekarang sedang disekap mantan kakak kelas di kastil seribu satu malam.
Kaki-kakinya mengambil langkah paling cepat....
"Berhenti! Penjahat!"
Sebuah tembakan peringatan meledak. Peluru menembus plafon pasar.
"BERHENTI!"
Suara langkah kaki yang berlari. Riku hanya menggunakan telinganya untuk membaca keadaan.
Ia siap menuang minyak sayur jika para polisi itu mendekat padanya.
Yang penting jangan berbalik.
Jangan berbalik.
Jangan berbalik.
Jangan--
"PENJAHAT!"
Anjir.
Minyak hampir ditumpahkan.
Tapi....
"Pak polisi! Dia penjahatnya!" suara salah satu penggemarnya melengking tinggi. Suara khas ibu-ibu. "Dia penjahat yang sudah mengedar uang palsu di pasar ini! Cepat tangkap, pak polisii...!"
Riku di balik maskernya, tidak sanggup menahan tawa.
"Ibu-ibu, tolong, beri kami jalan... Penjahat kami bisa kabur"--maksudnya riku.
Namun seorang ibu membantah, "Bukan dia! Yang penjahat itu bocah ini! Yang pakai masker itu malah orang baik! Bocah curut ini nih yang sudah memberi ku uang palsu!"
"Betul! Dia penjahatnya! Bawa dia! Lekas bawa dia!"
"Bukan dia, aduh, ibu-ibu ini...."
"Pokoknya dia!"
Keriuhan terjadi. Mungkin sebentar lagi akan terjadi baku hantam antara polisi dan sebatalyon ibu penuh energi.
"Bagaimana, sih? Polisi kok tidak percaya warga! Polisi kan tugasnya melayani masyarakat!"
"Kami Interpol! Bukan polisi untuk warga sipil! Ibu-ibu semuanya gendut--demi dewa, aduh, bukan dia penjahatnya, Bu! Tolong jangan menghalangi kami! Penjahatnya yang pakai masker tadi! Kami bisa menembak ibu-ibu semuanya kalau menggagalkan penangkapan!"
"Enak saja! Kami dibilang gendut! Polisi kurang ajar!"
"Lagipula menuduh saja pak polisi ini! Menuduh anak muda bermasker tadi penjahat. Dia di masa depan akan jadi duta pemberantasan uang palsu! Dikontrak esklusif oleh negara!"
Akhirnya kericuhanitu tersulut jadi tawuran. Riku yang sudah tertawa, berbelok, melalui jalur-jalur cepitan di antara kios-kios daging yang paling sepi dan tersembunyi. Ia memutuskan mengambil jalan memutar.
Setiap kali melihat personil Interpol yang berjaga, riku menyelinap ke jalan lain. Ia memutuskan berjalan kaki saja menjemput tenn.
Sebuah pesan dikirimkan untuk kakaknya.
[Bagaimana sogo?]
Jawaban tenn sangat singkat untuknya.
[Otw mati.]
.
.
.
.
.
On the way mati. Sedang menujuk kematian.
Nanase tenn menghela napas berkali-kali. Sogo, lima belas menit yang lalu, memang datang untuk mengajaknya bersulang. Mungkin ingin membuat tenn mabuk agar bisa ditiduri. Tapi sekarang tenn hanya bisa menatap tanpa dosa pada kemeja sogo yang sengaja ia tumpahi dengan wine pekat. Baju putih itu sudah terendam dalam mesin cuci, siap dikucek....
Lengkap dengan orangnya....
"Aneh, bisa-bisanya orang terpelajar seperti senpai bisa tertipu? Tentu saja tidak ada tikus di dalam mesin cuci itu. Mana level tikut hidup di rumah mu? Memangnya mereka mau mencuri makanan macam apa? Keju lapis berlian?"
Sogo menggeram, tubuhnya sudah separuh terendam air. Tenn menyalakan lintingan ganja yang masih tersisa di dalam saku. Merokok dengan tenang di atas ranjang.
"Salahkan cinta mu yang buta pada ku, senpai. IQ senpai berapa? Cuma satu digit? Ada masalah di mata juga kah? Kenapa tidak melihat kalau aku menyiramkan karbol licin di depan mesin cuci?" ujung baju tipis yang robek diremas gemas, "Sogo-senpai membuat tato burung Phoenix di pinggang ku jadi kelihatan. Memalukan."
Ponselnya berdering lagi, dari sang adik.
"Halo? Riku di mana?"
Sogo menggedor-gedor kaca tebal mesin cuci yang dikunci. Tenn masih sibuk bicara, "Iya, jemput saja sekarang. Ketemuan di gerbang belakang? Depan saja, lebih menantang. Dan ah, riku, kau jadi membelikan aku piyama baru? Apa? Kenapa tidak jadi?"
Dasar iblis kecil. Masih sempat-sempatnya mengambek soal belanjaan saat hidup seseorang sudah di ujung jurang.
"Sudahlah, kalau begitu riku cepat datang. Tadi sebelum ku masukkan ke dalam mesin cuci, sogo-senpai sudah ku suruh membuat pengumuman pada seluruh pekerja di rumahnya via HT, bahwa Nanase tenn boleh keluar-masuk dengan bebas. Karena aku adalah mantan adik kelas yang dicintai bosnya. Semuanya aman di tangan tenn."
Mesin cuci digedor-gedor lagi. Tenn tentu tidak mau mendengarkan.
"Bagaimana kalau sekalian aku membakar rumahnya? Aku bisa merusak MCB di bawah meteran listriknya dan menguliti kabel sampai konslet. Rumah ini bisa ku bakar asal proteksi listriknya diotak-atik...." suara itu menjadi sebuah keluhan. "Ugh, seandainya aku punya obeng, tang lancip, pisau pengupas kabel... Kau harus membelikan ku sebuah alat listrik setelah lolos dari kejaran Interpol.... Eh?"
Senyuman tersungging di bibir tipisnya.
Sebuah kalimat yang lebih manis dari pancake madu membelai telinganya, hingga menghentikan segala racauannya sejak tadi.
"I.... Love you too, riku."
Tenn menutup telepon. Berjalan mendekati sogo, meraba pinggiran kaca mesin cuci yang sudah dikunci. "Lain kali jangan beli mesin cuci seperti ini, senpai. Bahaya." wajah datar tenn kini dihiasi senyuman manis, "Terima kasih untuk kesediaan senpai memberi ku tempat singgah. Terima kasih juga sudah iklas passwors WiFi senpai ku curi. Berdoalah, semoga ada pekerja mu yang sadar kalau bosnya hilang dikucek mesin cuci."
Tanpa perasaan, tenn memasukkan deterjen. Semuanya. Satu kemasan 1 kilogram.
"Yang panas, biasanya lebih asik."
Tangan kecil melambai, tombol mesin cuci dipencet tanpa basa-basi.
ON.
"Semoga setelah ini senpai tidak jahil lagi pada istri orang."
Tenn membungkukkan badan sebelum berjalan keluar.
"Karena aku ini milik Nanase riku."
.
.
.
.
.
TBC
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Fun Fact :
Standar keaslian uang kertas yang dipakai di No Exit adalah standar untuk mata uang Rupiah yang dipakai di Indonesia. Penggunaan Yen di sini sengaja dimodifikasi dengan menjejelkan informasi keaslian Rupiah supaya tips waspada uang palsu di sini dapat digunakan di Indonesia.
Bahan baku dari mata uang kertas Yen yang sebenarnya adalah Washi (sejenis rami). Sedangkan mata uang kertas Rupiah (seperti yang disebutkan di atas), adalah kapas (uang kertas tapi terbuat dari kapas, saya tahu ini pelik😌). Kalau Dollar Amerika, usut punya usut pakai serat pohon pisang. (Disarikan dari Wikipedia Bahasa Indonesia dan berbagai sumber)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top