Chapter 18

"Nanase tenn!"

Berlarian dalam kompartemen kereta bukanlah hal yang wajar.

Ia bahkan mendapat dua kesialan secara langsung.

"Tenn-nii?"

Gigir pintu automatis itu, sekalipun membuka, masih sempat menghajar pundaknya. Sekarang, puluhan pasang mata yang menyala ingin tahu juga sangat menggoda untuk dicolok. Napas terengah dan wajah kalutnya membuat Nanase riku jadi pusat perhatian. Ia masih berusaha mencari sosok itu di antara penumpang.

.
.
.
.
.

No Exit

By

Lucian_Lucy_

.
.
.
.
.

"Sayang--ah, maaf. Ku kira kau istri ku."

Bocah dengan gakuran dan topi baseball memandang malas, "Aku masih SMP, Onii-san."

Menahan diri untuk tidak membalas dengan, 'Mending SMP, istri ku malah mirip murid PAUD'. Riku terus mencari. Kegaduhan suara sepatunya di lantai kereta semakin menjadi. Ia menemukan tenn di gerbong unreserved seat. Jaket hitamnya dipeluk lekat. Serupa boneka kesayangan.

"Tenn-nii," ia memanggil dengan suara pecah, "Nanase tenn."

Kepala mungil terangkat, "Riku?"

Jika ini drama Korea, mereka tidak akan segan berpelukan. Jika ini drama Taiwan, mereka tidak akan segan berciuman. Jika ini sinetron Indonesia, mereka akan pura-pura saling menjatuhkan barang dan memungut bersamaan sampai kepala saling berbenturan.

Namun sayang, ini bukan ketiga-tiganya.

"Kau di sini, ternyata."

Cinta adalah reaksi hormonal paling bejat sepanjang aturan sistem koordinasi manusia. Bagaimana mungkin menemukan seorang makhluk dengan surai baby pink di bagian gerbong tersepi bisa membuatnya seakan menemukan malaikat?"

Kelegaannya bercampur dengan rasa canggung, menjadi perasaan abu-abu yang berkerak di ujung kaki. Nuansa ambivalen membentuk substansi lengket yang menahan sol sepatu riku untuk tidak seketika melangkah, menubruk pujaan hatinya.

"Aku... berubah pikiran."

Nanase riku berdiri kaku. Mereka--detik itu--tidak lebih baik dari sepasang batu yang hanya saling bertukar tatap. Tenn tidak menyambut, riku pun bersikap seolah tidak ingin disambut.

"Kenapa?" tenn bertanya, "Itukah sikap seorang lelaki? Jangan membuat patah hati ku tersembuhkan di tengah jalan. Kalau berniat membuat hubungan keluarga kita hancur, biarkan hancur sekalian."

Kepala tenn kembali menunduk. Nanase riku tidak tahu mengapa ia ragu untuk memeluk. Tenn-nya kini seperti iblis yang disusupi malaikat sekarat. Ada cahaya redup dalam kebengisannya yang selalu kumat. Ada cinta senyap yang setiap detik selalu terancam untuk mati.

"Tenn-nii terlalu banyak berharap rupanya," motto lelaki itu adalah jangan pernah jadi pecundang. "Aku berubah pikiran, maksud ku bukan soal perpisahan. Tapi... aku tidak jadi memberikan seluruh uang hasil rampokan itu untuk mu. Kita harus membaginya jadi dua karena kita sama-sama berusaha. Dan tenn-nii, aku mau mengambil laptop ku yang terbawa di tas uang itu. Semua data ku ada di sana"--tapi kalau jadi munafik, boleh.

"Oh." tenn kecewa, tapi ia lekas menyodorkan tas besar di pangkuannya. "Ambil saja."

Entah grogi, entah canggung, riku sadar tangannya gemetar. Ia duduk di sisi tenn, memangku tas uang. Mendadak ritselting benda besar itu jadi seret dan massa uang jarahan di dalamnya jadi lebih besar dari kemunafikan sejuta dolar.

Ia buru-buru menarik laptopnya yang terkubur kertas nominal.

"Ku pikir masih ada yang belum selesai di antara kita," kemudian ia kembali berbicara. "Perpisahan begitu saja tidak akan adil."

"Apa yang belum selesai?" ada nada menderita asing dalam suara beku tenn. "Apa riku mau menggugat ku? Mau minta ganti rugi gara-gara celana dalam kesayangan mu kelunturan piama ku tiga minggu lalu? Mau minta ganti rugi soal laptop lawas mu yang hardisk-nya ku rendam asam klorida? Atau mau minta ganti rugi soal ponsel symbian yang sudah remuk karena dirakit jadi bom?"

"Jangan dibahas, itu sudah masa lalu. Ada yang lebih penting dari perkara celana dalam kelunturan. Apalagi hardisk. Apalagi symbian." mata riku berpendar ke mana saja, asal bukan mata tenn. Peta elektronik di atas pintu memberitahu posisi kereta. Mereka baru keluar dari Nagoya.

Diam-diam riku heran pada dirinya sendiri. Seharusnya ia menaiki kereta yang berbeda dari tenn. Seharusnya ia tidak bersukarela menemani perjalanan panjang tenn, kecuali kalau pernyataan cinta tololnya di stasiun tadi bukan cuma emosi sesaat.

"Tenn-nii, karena uang rampokan itu dibagi rata, berarti kita satu sama." riku mengulurkan tangan, mengajak berjabatan. "Tidak ada yang kalah atau menang. Tidak ada yang berhak meminta perpisahan. Kita harus berusaha lagi. Sepakat?"

Nanase tenn menggeleng, tidak menyambut uluran tangan riku.

"Aku heran. Kenapa riku tidak jadi pergi ke Kyoto?" suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Ku pikir riku akan memesan tiket pesawat juga untuk kabur ke luar negeri. Mungkin Kanada, atau Prancis, atau Papua Nugini? Pasti di setiap negara, riku punya rekan gembong penjahat yang bisa diminta tolong untuk menampung sementara--"

"Bukan gara-gara itu!" riku menyela dengan tegas. "Aku ingin mengubah kesepakatan karena kompetisi kita masih seri."

"Bohong."

"Tenn-nii, mengertilah. Aku masih harus mengajari mu banyak hal. Interpol bukan apa-apa bagi ku, tapi mereka ancaman untuk nyawa mu." suara tajam riku membantah telak, "Mungkin kalau memang kita tidak berjodoh, kita pasti akan dapat berpisah dengan sendirinya meskipun Tou-san dan Kaa-san yang mengatur segalanya."

"Memangnya kenapa?" mata mawar lembut menatap hampa. "Apa kau takut tidak akan mendapat sepeser pun harta warisan hanya karena tidak jadi menikah dengan ku? Meskipun kita tidak menikah sekalipun, riku akan tetap mendapat hak waris karena kau merupakan kepala keluarga Nanase yang sekarang."

"Ini bukan masalah harta warisan, ini masalah keprofesionalitas ku." riku memutar tubuh kecil itu agar bersedia menghadap padanya. "Nanase tenn, Tou-san dan Kaa-san sudah mempercayakan keselamatan mu pada ku. Kontrak pernikahan kita masih belum terpenuhi, masih ada beberapa bulan sampai hari dimana kita akan terikat seutuhnya sebagai sepasang suami-istri.  Dan faktanya, keluarga Nanase selalu berada dalam bahaya setiap generasinya. Aku tidak butuh harta warisan yang bisa ku cari sendiri, tapi tenn-nii membutuhkan aku. Intinya, tenn-nii adalah tanggungjawab ku sampai hari tua nanti."

"Oh begitu." tenn menjawab sekaku robot. "Kalau begitu robek kontrak pertunangan kita. Hari ini kita berakhir!"

"Tenn--"

"Kenapa riku sangat berbelit-belit? Bilang saja kalau kau suka cinta pada ku, apa susahnya? Riku mau jadi munafik sampai kapan?"

"Tenn-nii yang munafik." riku menukar tatapan penuh emosi dengan kakaknya. "Aku sudah bilang pada mu soal cinta... apalah itu namanya, di stasiun tadi." tangannya mengepal geram. "Tapi bukan itu poin ku, Nyonya Nanase. Cerdaslah sedikit, kenapa otak tenn-nii sangat terbatas seperti moral mu? Tubuh kecil, otak juga kecil. Siapa juga yang mau selamanya jadi suami persilangan antara kucing dan singa berbisa seperti mu? Bisa-bisa aku mati kesetrum gara-gara setiap diberi makan kabel lampu."

"Oh," tenn tidak mau kalah, "Kalau otak ku cerdas, aku tidak akan mau menikah dengan riku. Kalau aku seksi dan tubuh ku tidak mungil, aku akan pilih-pilih kalau cari suami."

"Kalau begitu terima saja nasib mu dan tidak usah minta pisah dengan ku."

Makin panas, "Memangnya kapan aku minta pisah? Riku sendiri yang memaksa kita berpisah di stasiun. Bukan aku!"

"Ya sudah, berarti tenn-nii masih bisa berpikir kan? Apa masih belum bisa berpikir juga? Oh iya, benar juga. Sistem operasi otak tenn-nii terbatas karena masih Gingerbread."

"Lalu riku Marshmallow, begitu?"

"Bukan. Aku Nougat."

"Dan Nougat jatuh cinta pada Gingerbread?"

"Iya."

"Apa mau riku?"

"Rujuk."

"Oh, okey."

"Dikasih?"

"Iya."

"Sip."

"Kenapa cuma sip?"

"Apa aku harus selebrasi keliling stadion sambil bawa banner Real Madrid?"

"Setidaknya ekspresif lah sedikit, biar aku senang."

"Hore!"

"Cuma begitu? Coba peluk aku."

"Yang benar saja. Aku bisa sakit kulit kalau memeluk kucing-singa berbisa."

"Aku bukan kucing-singa berbisa! Saat masih sekolah, semua orang memanggil ku Malaikat."

"Mana ada Malaikat jualan ganja."

"Ugh!"

Riku tertawa, akhirnya bersedia mendekap tenn dalam pelukannya.

"Dasar keras kepala. Tenn-nii masih membutuhkan ku. Di luar sana banyak kucing liar dan terlatih yang mengejar mu. Jangan jauh-jauh dari ku. Tenn-nii bisa mati. Mati karena dibantai polisi, dan mati karena merindukan aku."

"Jangan seperti ini," tenn melepas pelukan riku, matanya mengerling penuh arti. "Kalau mau jadi suami ku, setidaknya ajari aku sesuatu yang berguna."

"Hm, misalnya?"

"Ajari bagaimana caranya agar keberadaan ku tidak terlacak Interpol."

Sepasang manik crimson itu tak melepaskan pandangan darinya. Tangan riku menyentuh wajah tenn--sebuah pergerakan yang tak sepenuhnya sadar.

"Riku!"

"Oh! Itu... IMEI."

"IMEI?" sekujur tubuh tenn bergetar, jari-jari panjang lelaki itu menyentuh bibirnya.

"Ya, IMEI." riku berusaha membuat pikirannya kembali penuh. Sekarang bukan waktunya untuk memikirakan yang tidak-tidak. "Mereka melacak tenn-nii lewat IMEI ponsel mu. Setiap perangkat memiliki IMEI yang unik. Nomor itu menggantungi pengguna telepon genggam seperti bayangan permanen."

Alis tenn terangkat. "Lalu bagaimana aku dilacak?"

"Interpol melacak jejak tenn-nii dari IMEI yang terekam di server mereka," jawab riku. "Sinyal di ponsel tenn-nii selalu terekam oleh tiga tower pemancar terdekat yang membentuk sebuah formasi fungsional-triangulasi. Jejak tenn-nii bisa terlacak karena tiga tower itu mengirimkan hitungan jarak mu dari masing-masing titik, dan mengirim informasinya pada server. Server secara otomatis mengombinasikan tiga jarak yang berbeda menjadi koordinasi. Titik pertemuannya adalah konklusi akurat dari tempat tenn-nii. Kita harus segera mengubah IMEI agar mereka kehilangan jejak kita, meski hanya untuk sementara karena pasti akan terbaca lagi."

"Oh, okey." tenn menyerahkan ponselnya. "Langsung praktek saja. Aku terlalu malas mendengarkan kalau secara teori."

Riku mengangguk, mengambil alih perangkat elektronik dari tangan kakaknya, dan menatap tenn. "Sebenarnya ini perbuatan ilegal. Pemerintah akan mengganjar pelaku pengubah IMEI, dengan sekurang-kurangnya lima tahun penjara. Mengganti IMEI adalah senbuah tindak kejahatan, sekalipun itu IMEI ponsel mu sendiri. Tenn-nii perlu berhati-hati."

"Seharusnya riku menyuruh ku berhati-hati tadi pagi. Sebelum aku merampok bank." tenn menatap polos, "Cepat ajari aku caranya."

"Oke." riku mengangguk, "Pertama, kita harus mengunduh aplikasi MXQ Engineering Mode. Percayalah tenn-nii, sekarang kebutuhan pokok manusia ada 4 : sandang, pangan, papan dan Google Play. Kemudian ketik #7654929# dan Call. Setelah itu, kita sampai ke halaman Engineer Mode"--lelaki itu jadi sedikit sesak napas karena tubuh tenn menyondong begitu dekat padanya, mengusap-usap ujung hidung di lehernya--"Tenn-nii, wajah mu..."

"Wajah ku kenapa, riku? Apa wajah ku berminyak?"

"Hm, lupakan. Baik, kita masuk ke CPS Information, ah.... maksud ku Connectivity--astaga aku tidak konsen, maaf tenn-nii, kau wangi sekali--baru masuk ke sini..."

Tenn mulai menyandarkan kepalanya di ceruk leher adiknya--atau calon suaminya? "Terus?"

"Masuk ke sini.... Oke salah, maksud ku masuk ke opsi yang paling bawah ini... Ya tuhan, tenn-nii, bisakah kau jauhkan tubuh mu sedikit? Aku jadi salah pencet terus."

Pura-pura tidak dengar. Tenn masih bersandar dengan begitu nyaman. "Terus, terus bagaimana?"

"Dari opsi terakhir kau akan bisa mengubah IMEI ponsel mu. Kalau perangkat tenn-nii sistemnya dual, ganti saja dua-duanya. IMEI 1, IMEI 2."

Lengan tenn mendekap pinggang riku. Mendekap erat dan lekat.

"Lalu riku?"

"Lalu.... lalu kenapa tenn-nii sengaja membuat ku menderita dengan memeluk ku begini?" riku mengeluh, tapi tidak berusaha melepaskan. "Kalau berminat memberi ku malam pertama setelah dianggurkan tiga bulan, langsung saja bilang pada ku... Nyonya Nanase. Ayo kita mulai jadi suami-istri betulan."

.
.
.
.
.

Mido torao dan Rokuya nagi saling menukar tatap.

Yaotome gaku dan Tsunashi ryunosuke yang kebetulan dipanggil untuk membantu proses penyelidikan, menatap keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Entah mereka sedang kasihan, entah mereka sedang prihatin, hanya Tuhan dan kedua anak Adam itu saja yang tahu.

"Kenapa kau tidak mau mengaku juga, Inumaru-san!? Jawab aku!"

"Minami-kun," ryuu memanggil, khawatir. "Minami-kun, kau baik-baik saja?"

"Tidak, Tsunasih-san! Aku tidak baik-baik saja!" Natsume minami menendang kaki kursi yang diduduki Inumaru touma. "Salah sendiri si bodoh ini sudi jadi anak buah Nanase-san!"

Torao memalingkan muka, antara muak dan sakit hati. Jujur, sebenarnya dia lumayan kesal juga karena kekasihnya rela menunjukkan seluruh emosinya hanya demi mantan pacarnya yang merupakan seorang penjahat.

"Inumaru-san! Jawab aku! Kenapa membisu begitu!?"

"Minami-kun," ryuu menarik lengan lelaki itu, tapi dihempaskan. "Minami-kun, bagaimana dia bisa menjawab mu--"

"MEMANGNYA KENAPA TIDAK BISA!"

"Mulutnya kan di lakban oleh Rokuya!" torao sudah tidak tahan lagi, ia berdecak kesal. "Sudah biar aku saja yang mengintrogasi. Nanti kamu malah diajak balikan lagi sama dia." 

"Tapi--"

"Sudah, jangan membantah perintah atasan mu untuk saat ini!"

"......"

"Baik...."

Dengan lesu, minami menerima permintaan torao yang merupakan kekasih sekaligus atasannya itu.

Nagi dan ryuu yang sedari awal sudah mengkhawatirkan keadaan minami, tanpa aba-aba langsung mendekat dan melontarkan berbagai macam pertanyaan pada lelaki bersurai pirang itu.

Tapi hanya dehuman kecil yang menjawab segala pertanyaan keduanya.

Tidak ingin terlalu larut karena sakit hati, torao memberi kode pada gaku untuk mendekat dan membantunya, ia juga menarik dua buah kursi terdekat yang kosong dan meletakkannya berseberangan dengan touma yang terlihat tidak tertekan meskipun harus berhadapan dengan dua penyelidik sekaligus.

Dengan kasar torao menarik lakban yang menutup mulut touma, dan tanpa mempedulikan ringisan sakit dari lawan bicaranya, ia memulai introgasi.

"Hei keparat." Kapten Interpol mulai bicara. "Apa sebenarnya posisi mu di komplotan Nanase riku?"

"Informan." touma menjawab malas, "Kenapa?"

"Kau tahu kalau kami mengintai mu berhari-hari, sebagaimana kami mengintai Nanase dan saudaranya itu?"

Touma mengangguk, "Aku tidak bodoh. Aku tahu kalian sudah menyimpan IMEI ponsel ku."

Minami yang telah dibawa hingga ke sudut ruangan oleh nagi dan ryuu, menyalak seketika. "Kalau Inumaru-san tahu sedang diintai, kenapa tidak memakai ponsel tanpa IMEI? Bukannya Nanase-san itu jenius? Kenapa tidak menyuruhnya untuk menghapus IMEI ponsel agar kalian tidak terlacak?"

"Hei pacar sialan." torao penah hebat, "Kau ini sebenarnya ada di pihak mana? Mantan mu atau pacar mu?"

"Maaf."

"Sinting." torao kembali menautkan perhatian pada Inumaru touma. Lelaki yang--di luar dugaan--bisa ditangkap timnya dengan mudah itu hanya menguap berkali-kali. Bukan Inumaru touma jika mudah depresi pada hal-hal semacam ini.

"Sedikit aneh juga sebenarnya, ku pikir kau akan memberi perlawanan saat ditangkap. Ternyata kau pasif." torao mulai membuka laptopnya, siap mengetik setiap jawaban yang akan meluncur dari mulut Inumaru touma. "Jadi, jelaskan pada ku. Apakah bos mu benar seorang pembunuh bayaran?"

Hening.

"Oi! Jawab cepat sialan! Kau sudah membisu sejak semalam!"

"Mido," gaku menepuk bahu kaptennya dengan perlahan, mencoba mengingatkan. "Ketika seorang tersangka bisa bersikap baik di hadapan penyelidik, wajib untuk kita menerapkan asas praduga tak bersalah. Perlakukan ia dengan semestinya. Lagipula Inumaru touma membisu bukan karena tidak ingin berbicara, tapi karena mulutnya di lakban lagi oleh Rokuya!"

"Nanase riku bukan bos ku." touma akhirnya menjawab. Masih sesekali menguap. "Aku tidak sudi diperbudak oleh iblis neraka seperti dia."

"Bohong. Kau terlibat dalam jaringannya. Kau adalah salah satu anak buahnya yang paling setia." kali ini gaku yang membalas dengan telak. "Kau dulu bekerja di sebuah konter perjudian dan Nanase sering datang setiap akhir pekan. Kau selalu keheranan kenapa uangnya tidak pernah habis untuk berjudi, lalu kau memutuskan untuk mengikutinya bekerja. Kau terima-terima saja bekerja di ladang haram, asal mendapat banyak uang."

"Enah saja." touma mendengus, "Aku tidak bekerja di ladang, memangnya aku petani? Sebenarnya siapa yang kalian curigai sialan? Nanase riku atau calon istrinya? Langsung saja tanya, jangan berbelit-belit."

"Eh?"

"Calon istri?"

Keempat anggota Interpol tersebut saling bertukar tatap, mencoba untuk menemukan jawaban dari sesama rekan terdekat dan hanya mendapatkan gelengan dari tiap anggotannya.

"Baiklah, siapa calon istri dari Nanase riku?" menyerah, kali ini torao yang menanyakan dengan baik-baik.

"Tentu saja Nanase tenn." jawab touma dengan lugas.

Ruangan jadi senyap seketika. Tidak ada satupun yang mulai berbicara, mereka seperti merasa sudah menghabiskan banyak waktu sejak tadi.

Tahu begini, torao tidak akan bertanya dengan baik-baik dan memilih untuk melanjutkan introgasi saja.

"Berbicara dengan mu, berhasil membuat ku merasa muak dan ingin menghajar mu saja." torao kembali memulai pembicaraan.

"Thanks," dan dijawab dengan santai oleh touma. "Aku juga mulai muak berada disini."

"Sialan!" Torao menggebrak meja dengan kuat untuk kesekian kalinya. Dan entah bagaimana bisa, gaku selalu bertugas menjadi wasit setiap kali kapten Interpol itu lepas kendali.

Dengan perlahan, torao akhirnya bisa kembali mengendalikan dirinya. Meskipun emosinya sudah stabil, ia tentu saja masih belum bisa menerikan kalau target yang akan dirinya introgasi itu ternyata mantan kekasih dari pacarnya sendiri.

Dengan angkuh, torao menatap touma seolah-olah lelaki bersurai maroon itu hanyalah seekor anjing mati dihadapannya. "Hm, Kau berbicara seolah-olah bisa keluar dari markas kami dengan selamat."

"Tentu saja yakin," dan touma membalas tatapan angkuhnya dengan seringai mengejek. "Karena aku punya pacar yang hebat!"

"Uhuk!"

"Minami-kun? Apa kau baik-baik saja?" ryuu mendekat ke arah lelaki bersurai pirang itu dengan cepat, wajahnya terlihat sangat khawatir.

"Tidak, aku tidak apa-apa."

"Oh.... Ku pikir kau cemburu." ryuu tersenyum riang sambil menepuk-nepuk bahu lelaki bersurai pirang itu.

"Hm! Aku bertanya-tanya, dari mana datangnya rasa percaya diri mu itu."

Tidak mau ambil pusing, kedua petugas Interpol dengan surai berbeda warna itu kembali melanjutkan interogasi.

"Katakan segala hal yang kau ketahui, Inumaru touma. Mungkin saja kami bisa membebaskan mu, jika kau mau bekerja sama dengan kami." ini sudah pasti bukan torao yang berbicara, melainkan gaku.

Touma lama-lama jengkel betulan, "Bukannya dari tadi aku selalu menjawab pertanyaan kalian?"

"Tapi penjelasan kau terlalu banyak berputar-putar sejak tadi."

Seandainya ia tidak ditahan, touma ingin sekali memukul petugas Interpol dengan name tag 'Mido Torao' menggunakan meja yang menjadi pembatas diantara mereka berdua sekarang.

"Baiklah, baiklah." gaku kembali mengalah untuk kesekian kalinya hari ini. "Nanase tenn adalah mafia ganja dan Nanase riku adalah pembunuh bayaran, apa dugaan ini tepat?"

"Nanase tenn mafia ganja, aku tidak tahu. Nanase riku pemunuh bayaran.... mungkin bisa dibilang begitu." Touma menoleh ke sudut ruangan, memanggil ryuu. "Hei rambut coklat, bisa kau lepaskan satu tangan ku? Aku ingin memperlihatkan sesuatu pada wakil komandan mu yang terhormat ini."

"Aku saja!" nagi, meskipun orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terlihat hampir sekacau orang sakaw, ia masih berniat untuk membantu. "Aku mau membantu Natsumeshi agar tidak sedih lagi!"

"Berisik, dasar tutup blender!"

"Yaotomeshi!"

"Eh, itu apa? Flashdisk?" ryuu, sedetik saat melihat benda tipis yang baru digali touma dari saku, langsung melangkah maju. Kecurigaan kental memulasi wajahnya. "Nagi-kun?"

"Flashdisk? Apa kita harus membuka isi benda ini?"

Ryuu menggeleng kencang, "Jangan percaya padanya, nagi-kun. Jangan percaya."

"Rokuya tengik, berikan flashdisk itu pada ku." torao berusaha merebut, tapi naas, ponselnya meraung kencang di detik yang sama. "Jangan tancapkan flashdisk itu, Rokuya-bajingan!" katanya sambil mengangkat telepon dari seseorang. "Dan kenapa mereka sama sekali tidak tahu waktu kalau menelepon! Halo, siapa ini brengs-eh, Inspektur yuki? Hah? Naik helikopter dari pangkalan militer ke Tokyo sekarang? Kenapa harus saya?"

Dengan latar belakang ryuu dan nagi yang berebut flashdisk, torao dengan dramatisnya berbicara penuh emosi di telepon. Touma yang kembali diborgol hanya bisa menguap dan terus menguap. Jika saja ia beruntung dikirimkan seorang office boy dari langit, pasti lumayan kalau ia diseduhkan secangkir kopi.

Namun demi apapun, orang-orang ini berisik sekali!

Dimulai dari petugas Interpol bersurai silver yang awalnya touma kira orangnya lumayan kalem, kini sibuk memberikan sorak pada kedua temannya yang saling berebutan. Sampai kapten mereka juga ternyata ikut ambil bagian dalam keributan mereka.

"Kita harus memasangnya! Di sini pasti ada bukti kalau mantannya Natsumeshi tidak bersalah!" Nagi.

"Jangan, nagi-kun! Berikan pada ku!" Ryuu.

"Ayo, ryuu! Jangan mau kalah lawan tutup blender berisik itu!" Gaku.

"Kenapa ruangan seluas ini terasa pengap?" Minami.

"Tapi aku sedang mengintrogasi orang, Inspektur. Jangan aku yang di suruh ke Tokyo." Torao.

"Tsunashi-shi, menyingkir dari ku! Lihatlah Natsumeshi! Dia bahkan terlihat seperti ingin mengakhiri hidupnya!"

"Jangan!"

"Aduh! Jangan kalah ryuu kampret!"

"Iya, aku tahu kalau mereka baru saja merampok bank dan lari ke Tokyo--tapi kenapa harus aku? Ada tiga tim yang bertugas! Tim ku, tim Letnan Nikaido yamato dan tim Inspektur! Kita sudah bagi tugas!" torao mulai panas.

"Menyingkir, Tsunashi-shi! Jangan menahan ku lagi!" nagi mulai sentimental.

"Nagi-kun, berikan benda itu kalau kau teman ku!" Di mana-mana, kalau jadi orang baik pasti menderita. Ryuu.

"Rokuya!"

"KALIAN INI SEBENARNYA KENAPA?!" torao emosi. "Baik Inspektur, aku akan berangkat ke Tokyo. Intruksi diterima--DAN SEKALI LAGI KALIAN INI KENAPA?!"

Ryuu memucat. Gaku yang sudah putih pucat jadi benar-benar memutih. Rokuya nagi dengan semena-mena menancapkan flashdisk Inumaru touma ke laptop sang wakil komandan.

"Jangan!"

Dan terlambat....

"Rokuya..."

Tiba-tiba waktu membeku.

Ryuu pucat pasi, "Nagi-kun..."

Karena semuanya memang sangat terlambat.

"K-kenapa ini?"

Dan seketika terjadi blue screen.

"Astaga!" gaku terdiam, karena posisinya tepat berada di samping laptop torao.

"Virus?" ryuu terpaku ditempat. "Sudah ku bilang jangan...."

"Apa yang kau lakukan.... Nagi-fucking-Rokuya?" suara datar torao tiba-tiba terdengar, dan berhasil membuat minami terlepas dari lamunnya dan bergidik ngeri. Karena hanya Natsume minami saja yang tahu bagaimana mengerikannya Mido torao jika sedang murka. "Rokuya-san..."

"Kapten...."

"Apa yang kau lakukan... Rokuya?"

Mido torao mencabut flashdisk terkutut itu tanpa berpikir panjang. "Data-data ku...."

Tracking Data 2020 - Terserang.

Biner Codes for Target Operation - Terserang.

Important IMEI List 2020 - Terserang.

Burdens of Proof in Criminal Cases - Terserang.

Tidak cukup sampai situ saja, folder berisi aplikasi pelacak jejak dengan metode triangulasi juga ikut terserang oleh malwale, setiap dibuka, failed.

"Seluruh data ku rusak...." dan yang membuat semakin miris di dada, semua data--dengan ekstensi apapun--mendapat tambahan nama jadi Kimochi dot 3gp.

"Demi"--torao tidak tahu harus membanting laptopnya atau mematahkan engsel layarnya--"Kenapa nama file ini jadi Tracking Data 2020 Kimochi? Benda perusak macam apa ini!? Tadi rar, kenapa sekarang jadi 3gp!?"

Minami memasang tatapan penuh dukacita, gaku menarik ryuu agar secara perlahan mulai menjauh dari ketiga rekan mereka. Sedangkan torao meratapi data-datanya yang telah diubah jadi format esek-esek. Dan nagi memasang ekspresi siap dirajam.

"M-maafkan aku!" sembah sujut, "Aku pantas mati!"

Tidak peduli lagi, Inumaru touma sudah ketiduran gara-gara bosan mendengar keributan.

.
.
.
.
.

TBC





.















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top