Chapter 16

Warning!!! Terdapat beberapa adegan yang tidak pantas untuk ditiru di rumah!!!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ia sengaja memesan kamar yang bisa digunakan untuk merokok. Sebelum check in, tenn sengaja pergi ke toko untuk membeli pematik api. Ia bisa begadang menghisap gulungan ganja malam ini.

"Dasar riku tsundere. Di suruh datang saja pakai alasan."

Saluran televisi diganti-ganti. Setiap dua menit sekali mata mawar lembutnya menatap kaca.

Entah kenapa tenn selama ini tidak ingin dirinya terlihat jelek di depan sang adik.

"Tapi siapa juga yang peduli? Dia kan musuh ku."

Sambil merokok, ia menunggu. Saluran televisi jatuh pada acara dewasa yang disponsori sebuah merk karet kontrasepsi.

Tanpa sadar, tenn begitu tekun menonton.

Trik-trik memuaskan pasangan saat malam pertama.

Lintingan ganja ketiga sudah tumpul. Namun, riku tak kunjung datang.

"Halo? Riku?" tenn buru-buru menyambar alat komunikasinya persis di detik ia bersuara.

"Sayang, aku tidak jadi mampir. Kau sedang apa? Belum tidur?"

Kecewa.

"Tenn-nii? Kenapa diam?"

"Nyimeng." ia menjawab masam. "Handphone-ku low batt. Akan ku tutup, aku mau tidur."

"Nyimeng tidak baik untuk kandungan, sayang."

"Aku laki-laki!"

"Dan laki-laki galak ini sedang menunggu ku yang sejak tadi dianggurkan di depan pintu?"

"Hah?"

Buru-buru tenn melompat dan membuka pintu.

Kemudian terpekik, "RIKU!"

Dari suara kakaknya yang kepalang antusias, Nanase riku sadar kalau dirinya sedang di sambut.

"Halo? Boleh masuk? Bawaan ku berat."

Tenn membuka pintu lebih lebar. Sedikit heran melihat barang-barang di tangan adiknya. Apa riku mau membuka jasa pencetakan berjalan?

"Untuk apa semua benda itu?" tenn duduk di ranjang, bertanya polos. "Seperti mau pindahan."

"Bukannya memang mau pindahan? Setelah besok, aku akan pulang ke Tokyo dan tenn-nii pulang ke Belanda. Secara teknis, kita sudah tidak punya rumah lagi di Nagoya."

Tenn, tanpa sadar terdiam begitu lama.

Pura-pura tidak mengerti perubahan sikap kakaknya, mata riku beralih ke layar televisi.

"Acara R18 tentang kenikmatan rumah tangga? Wow. Tenn-nii ternyata suka menonton beginian."

"Bukan aku. Channel-nya pindah sendiri." remote buru-buru dilindas jari. "Nonton film box office saja."

Kening riku berkerut. Alih-alih box office Hollywood, tenn malah menonton drama korea di Arirang. Ia mendadak khimat, seperti terserap.

"Ganti." namun riku keberatan. "ESPN saja. Nonton bola."

Remote direbut. Tenn menoleh tersinggung.

"Jangan. Aku mau nonton drama korea, ini episode terakhir."

"ESPN."

"Arirang."

"ESPN."

"Ku bilang Arirang." ujung pistol mampir di pelipis riku. "Riku tidak boleh menggantinya."

Riku mengalah, memilih merokok memunggungi tenn sambil menyalakan laptop.

Tenn yang tadinya kidhmat, kini melirik. Riku tampak sibuk sendiri bermain photoshop.

"Riku?"

"Jangan mendekat." gunting yang tadi digunakan saat beraksi di ATM, nyaris menusuk bola mata tenn. "Kita musuh."

Tenn bersidekap, masam maksimal. "Siapa yang mau mendekat. Aku hanya memanggil--"

"Tangan dilarang menyentuh." gunting turun. "Berani menyentuh, jari ku buntungkan."

Tenn bad mood seketika. Ia mematikan televisi (karena dijudesi sang adik membuat romansa drama korea menjadi tak menarik lagi.) Pemuda mungil kembali menyalakan rokok ganja, diam, balas memunggungi riku sambil mengisi ulang pada revolver-nya.

.
.
.
.
.

No Exit

By

Lucian_Lucy_

.
.
.
.
.


"Aku mau mandi." riku membuka baju. Tenn tidak sudi melihat. Bukan apa-apa. Kadang-kadang, ia jadi sangat membenci ciptaan Tuhan yang berjulukan roti sobek. "Tenn-nii jangan mengintip."

Tenn memalingkan muka. Menunjukkan sikap, 'Ganja lebih menarik daripada otot mu.'

Dan baru setelah suara kucuran air itu terdengar, tenn menoleh ke arah kamar mandi.

Ia menggumam psikopat, "Riku perlu diberi pelajaran."

Oke, masalahnya jadi jauh lebih pelik dibandingkan sekedar ESPN lawan Arirang.

Rokok ganja digerus di atas asbak. Tenn membongkar tas kecilnya (baru beli). Mencari-cari paku payung (baru beli). Membedah sebungkus kondom (baru beli juga). Dan mengemas sebuah niat jahat dalam simpul kemasan yang paling rapi.

"Riku~"

Ketukan tiga kali itu bahkan terdengar sensual.

"Riku~"

"Aku masih mandi. Sikat giginya ku pakai."

Tanpa merasa perlu mendapat izin, tenn membuka pintu. Mengintip, menggigit kondom rasa stroberi.

Nanase riku yang sedang mengguyur diri di bawah shower, tentu saja tertegun.

"Tenn-nii kenapa?" tapi komentarnya sungguh tak etis, "Kesurupan ganja?"

Tenn tidak peduli. Ia terus masuk ke kamar mandi, membuka bajunya sendiri.

Tubuh mulus itu sungguh menggugah nurani. Riku baru kali ini merasa terdzalimi.

"Kau.... bukan mau menggoda ku, kan?" penjahat tetap penjahat, tapi Nanase riku tetap seorang lelaki lemah di hadapan kemolekan sang kakak. "Tenn-nii. Ini. Sama. Sekali. Tidak. Lucu."

Tenn mendadak jadi lebih pendiam. Ia hanya melirik-lirik (seolah) tanpa tujuan. Dan riku bukannya tidak peka. Tapi--demi apa--masa iya kakaknya yang sekeji iblis itu mengajaknya mandi bersama?

"Tenn-nii."

"Hm?"

Leher lelaki tampan diraih sensual.

Kedua bibir di dekatkan.

"Masih ingat dengan ciuman delapan faktorial, riku?"

Riku seketika meriang.

"Tenn-nii..."

Kalau benar tenn punya niat seperti itu, namanya rejeki nomplok.

"Tenn--"

Riku siap menerkam, tapi tenn dengan kejinya memutar shower pada suhu paling panas.

"AH!"

Kulit riku seketika terasa mendidih.

Hei!"

Suara tawa kecil berlalu, bersamaan dengan tenn yang menghilang di balik pintu.

"Dasar tenn-nii!"

Mengikuti naluri, riku mengejar.

"Ten--arghh!"

Namun tebaran paku payung sudah menyambutnya.

"Sial! Bangsat! Sakit! Tenn-nii! APA YANG KAU LAKUKAN--AH! PAKU PAYUNG DARIMANA INI!? TIDAK ADA PERJANJIAN KALAU KITA AKAN BERPERANG NALAM INI, KAN!?"

"Salah sendiri." di depan kaca, tenn sudah duduk tenang merokok ganja, "Aku tidak suka diabaikan."

"Dasar kau!" lumayan berdarah, sekalipun hanya titik-titik kecil. Riku terpincang-pincang mendekati tenn, ingin sekali mencekiknya. "Ku pikir kompetisi kita baru akan di mulai besok."

Tenn sekalipun pura-pura cuek, tak ayal merasa kasihan juga. Riku terus-terusan mengurut tapak kakinya sambil mengaduh tanpa suara.

Sang surai baby pink mengambil langkah. Baskom mika besar yang tadinya disiapkan pihak hotel sebagai pengganti laundry bag, diisi penuh dengan air shower suhu terdingin.

"Riku jangan bergerak."

Riku tercenung. Dua tangan kecil tenn terulur, membasuh pelan kakinya yang terluka.

"Tenn-nii?"

Riku jujur saja, sedikit terkesima.

"Jangan salah paham. Aku sadar, kita harus bekerjasama sampai keadaan aman," wajah cantik itu terangkat, menatap polos pada riku yang memandang tak percaya. "aku akan mencoba untuk menahan hasrat ku membunuh riku. Apa yang harus kita fokuskan sekarang adalah.... siapa yang akan membuat keputusan perpisahan lebih dulu. Bukan siapa yang harus terbunuh lebih dulu."

"Tenn-nii," mau tak mau, riku terkesima. Tangan terulur menyentuh dagu kakaknya. "Kalau aku mengaku satu hal pada mu, apakah kau juga akan membunuh ku?"

Kepala mungil miring. "Mengaku apa?"

"Nanase tenn," riku membungkuk lebih rendah, hidung mereka hampir bergesek. "Sepertinya... aku benar-benar jatuh cinta pada mu. Bolehkan aku merasakan itu?"

Vakum sedetik.

"Apa?"

Sungguh, tenn tidak siap dengan ini.

"Tenn-nii, bolehkah?"

"TIDAK!"

Sebuah pisau terlempar, menancap persis di dinding belakang riku.

Nyaris.

Nyaris telinganya teriris.

Sang adik syok.

"Anjing..."

Pisau yang lain diacungkan tenn persis di depan jakun lelaki itu.

"Jangan main-main," ia berkata sadis, tubuh mungilnya gemetar hebat. Kontras dengan sikap jahatnya. "Jangan pernah mencoba melibatkan cinta dalam perkara ini... Riku. Jangan.... pernah!"

"Memangnya kenapa?"--berani mati--"Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta pada mu?"

"TIDAK!"

Satu pisau dilempar lagi. Entah dari mana tenn menyulapnya, tapi hujan benda tajam itu benar-benar berusaha menyudutkan Nanase riku.

"Tenn-nii, aku cinta pada mu!"

"PENIPU!"

"Sumpah, aku cinta pada kakak ku dan aku serius dengan perasaan itu!"

"TIDAK!"

"Tenn-nii, tunggu dulu! Dengarkan aku!"

"Bilang jatuh cinta pada ku tapi kemarin mencari pelacur! Dasar riku buaya darat! BUAYA!"

Semakin dinyatakan, tenn semakin beringas.

Kalap pisau menancap.

Menancap ke bantal.

Ke guling.

Ke tas ransel.

DAK!

Ke balik pintu.

Tenn baru berhenti saat kehabisan amunisi.

Kali ini, riku yang beraksi.

Sang surai baby pink dipitingnya. Diancam untuk diberi hukuman mati.

"Sumpah, tenn-nii"--gunting tajam siap membelah leher sang kakak--"aku benar-benar cinta pada mu."

"Pe...nipu." tangan kecil meraba belakang tubuhnya, siapa tahu menemukan senjata baru.

"PENIPU!"

Lampu jamur yang direnggut paksa dengan kabelnya yang menjuntai, hampir menimpuk kepala riku.

"TENN-NII!"

BRAK!

Dan benda berat itu terbanting keras, lolos membentur lantai.

Percikan korslet menyala--lalu padam.

Tangan kecil mengepal. Riku--jika saja dirinya benar--bisa melihat manik mawar lembut menangis.

"Jangan...." suara lembut itu gemetar, ".... jangan mencoba menyatakan cinta pada ku. Aku dan riku.... akan segera berpisah."

Baru saja riku akan melangkah mendekat, bel pintu berdering sangat nyaring.

Mungkin roomboy curiga dengan huru-hara itu.

"Aku mendengar suara benturan yang sangat keras dari dalam. Seperti ada sesuatu yang berat dibanting."

Memang benar, dua pegawai hotel yang curiga, kini sedang berdiri penuh kekhawatiran di depan sana.

"Bagaimana kalau kita dobrak?"

"Apakah itu sopan?"

"Bagaimana kalau ada pencuri?"

"U-uh, baiklah!"

Dan--

Brak!

Dua pegawai tak berdosa menemukan sepasang sejoli yang sedang dalam posisi mengguncang dunia!

"Ada apa?" riku yang menindih di atas, (sok) menutupi tenn dengan selimut. "Apa suara kami mengganggu kalian? Maaf, istri ku suka lupa diri kalau sudah keenakan."

Dua roomboy kicep.

"T-tadi kami mendengar suara orang yang sedang bertengkar," menelan ludah, "dan suara gebrukan keras..."

"Oh, tadi kami nemang sempat berdebat sampai sedikit panas," sebuah kebohongan super datar yang ditindih suami di atas ranjang. "Maaf, bukan bermaksud mengganggu. Kami hanya sedang berdebat...."

"Berdebat soal?"

"Soal..." tenn menatap riku, meminta bantuan.

"Soal berapa banyak anak kami nanti," sang suami menyela dengan senyum tipis yang menyakinkan. "Istri ku minta satu saja. Tapi aku minta empat atau lima."

Tenn mengangguk mantap. "Betul. Apa kalian punya saran sebaiknya kami punya anak berapa?"

Dua pegawai menelan ludah.

Lebih baik undur diri.

"Kalau begitu silahkan diteruskan.... Maaf, sudah.... menginterupsi."

Pintu di tutup lagi.

Satu roomboy yang baru saja terusir oleh keadaan, mencolek bahu temannya. "Hei Yoshiki, kau yakin kalau mereka berdua bukan sesama lelaki?"

Yoshiki mengeryit ragu. "Sumimasen Chiharu-senpai, sepertinya bukan. Yang rambutnya seperti warna bunga sakura cantik sekali! Dia pasti wanita tulen!"

.
.
.
.
.

Di dalam sana, riku dan tenn menahan tawa berdua di balik gundukan selimut.

"Lucu sekali. Bisa saja dibohongi." riku mengusap rambut tenn dengan lembut. "Kau menikmatinya, sayang?"

"Ya!" tenn ikut tersenyum senang,  "Riku bilang ingin punya anak lima.... memangnya aku kucing?"

"Tenn-nii manja seperti kucing." riku nyaris mencium, kalau saja ia tidak ingat hujan pisau yang baru saja hampir mencincang dirinya. "Sangat sulit untuk menahan diri di depan mu. Sudahlah, aku merokok saja."

Yang satu menyalakan batang tembakau, yang satu lagi menyalakan batang mariyuan.

"Riku?"

Tenn menghampiri riku yang berada di balkon kamar hotel mereka.

"Ku rasa, sebaiknua setelah ini aku pindah kamar saja. Daripada kita terus bertengkar.... besok kita punya agenda merampok bank."

"Ya, terserah tenn-nii saja."

Hanya kepulan asap yang berbicara diantara mereka. Tidak ada satupun, dari tenn maupun riku yang merasa perlu untuk bercakap-cakap.

"Riku...." tenn akhirnya menyerah untuk terus diam. "Boleh aku mencicipi rokok mu?"

"Silahkan," riku mengangguk, tapi tidak menyodorkan. "Tapi aku tidak mau mencicipi ganja juga."

Tenn menoleh. "Kenapa?"

"Barang haram. Cuma orang gila yang mau menghancurkan tubuhnya dengan narkotika."

"Dan menurut mu, nikotin tidak menghancurkan tubuh mu juga?"

"Setidaknya, tanpa ganja aku bisa terus mencintai mu dalam keadaan sadar."

Tenn terdiam. Ia memutar badannya hingga berhadapan dengan riku. Berjinjit.

Ujung rokoknya bersentuhan dengan ujung rokok milik riku.

Mata bertemu mata.

Dan jangan salahkan Nanase riku jika ia tidak menyukai keadaan tanggung semacam itu.

"Persetan."

Dua rokok dibuang kasar. Tenn tidak diberi kesempatan untuk memberontak.

"Riku?"

"Diam tenn-nii, aku mulai menghitung..." napas hangat itu sungguh manis. "Delapan faktorial."

Tenn membiarkan matanya terpejam.

"Ya, riku. Delapan faktorial."

Memang sudah takdirnya. Dua magnet yang berbeda kutub, tercipta untuk saling mendekat.

Dan mereka tidak hanya mendekat, mereka juga saling mendekap.

"Tenn-nii mau menghitungnya bersama ku?"

"Sampai delapan faktorial? Boleh."

Riku memulai. "Satu."

Bibir saling bertemu.

"Dua." Tenn membalas.

Mengecup lembut.

"Tiga." Riku.

"Empat." Tenn.

"Lima." Riku.

"Enam..." Tenn.

Dan seterusnya.

Dan seterus-terusnya.

"Seratus sebelas..."

"Seratus dua belas..."

Masih jauh hingga memenuhi nilai delapan faktorial. Masih sangat jauh.

Dan mereka masih belum ingin mengakhirinya.

Di atas ketinggian balkon hotel, di bawah langit malam Nagoya, Nanase riku memberikan pujaan hatinya ciuman-ciuman dalam yang seolah takkan ada habisnya.

.
.
.
.
.

Bom kecil dari ponsel symbian tidak akan cukup untuk membunuh petugas-petugas berani mati itu.

"Aktivitas mereka di ATM terlalu mencurigakan."

Mido torao saling bertatapan dengan rekannya, Natsume minami. Mereka duduk berdua di dalam jeep, sementara beberapa rekan mereka sedang sibuk menyadap informasi keamanan polisi dalam kota. Sedangkan beberapa rekan yang lainnya, sudah mendapat tugas yang lebih frontal : Menangkap anak buah Nanase riku.

"Sayangnya, jajaran tim Interpol tidak ada yang percaya kalau Nanase tengik itu juga penjahat, sama seperti kakaknya yang seorang mafia ganja." Torao mendengar handy talky meraung dengan bunyi gelombang yang tidak terlalu jernih. Ada laporan kalau target sudah dekat, dan ia mengabaikannya. "Hanya kau yang selalu percaya kata-kata ku, minami. Aku berhutang banyak pada mu."

Natsume minami yang duduk di sampingnya, tersenyum.

"Aku hanya membela apa yang menurut ku benar. Inspektur yuki mengatakan kalau mido-san tidak berguna, hanya mencari celah untuk menumbangkan kepercayaan Interpol pada Nanase-san. Jujur, aku tidak sependapat. Bagi ku, Mido-san sama hebatnya dengan Nanase-san. Mido-san telah bekerja dengan sangat baik selama ini, itu menurut ku."

"Terima kasih," torao tersenyum tipis. "Keluarga Nanase memang musuh utama kita yang sebenarnya. Nanase tenn sudah mengedarkan barang haram nyaris setengah kuintal. Sedangkan Nanase riku itu penjahat kelas paus. Gerbong penjahat. Benar begitu kan... Rokuya?"

Ternyata salah jika mengira hanya dua orang saja yang ada di dalam mobil. Seorang petugas Interpol dengan rambut bak mentari muncul dari gelapnya jok belakang.

"Benar.... Kakak kembarnya dari dulu teman dekat ku, jadi aku tahu." Rokuya nagi berbicara dengan nada formal. "Tapi, target kita malam ini sebenarnya siapa? Kenapa kita menunggu di pinggir kota seperti orang bodoh?"

"Target kita adalah orang ini. Dia bisa menjadi batu pijakan untuk membongkar seluruh kejahatan Nanase riku dan kakaknya yang licik itu. Menurut pantauan tim, dia sedang meninggalkan kota--"

Torao memperlihatkan foto target mereka.

"--namanya adalah Inumaru touma."

"EHHH!?" minami terlonjak sampai terantup atap mobil. "INUMARU TOUMA ITU KAN MANTAN PACAR KU!"

.
.
.
.
.

"Halo, riku? Belum tidur?"

"Ya, tenn-nii? Belum, aku baru saja keluar."

Riku yang sudah ditinggalkan setengah jam, berbicara di telepon sambil membongkar belanjaan. Ia baru saja turun ke minimarket di samping lobby hotel, membeli minyak goreng dan makanan ringan.

"Bagimana kamar tenn-nii yang baru? Lebih lega karena tidak ada aku?"

"Ya," tapi suara tenn sama sekali tidak riang. "Suite room. Ranjangnya besar dan empuk. Aku suka."

"Hm? Benarkah? Kalau begitu kau sangat beruntung." riku duduk di lantai, menyalakan laptop. Mencari-cari contoh file cek kosong keluaran bank NBCX. Namun, bukan berarti ia lupa pada kakaknya yang meminta ditemani mengobrol via telepon. "Tenn-nii tidak akan mimpi buruk, kan? Besok hari penting, ingat."

"Ya, aku sudah menyiapkan banyak pisau dan peluru untuk membuat semua orang di bank berlutut pada ku. Riku, pasti kau akan ku kalahkan.... Aku sangat siap untuk menjadi penjahat. Aku pasti bisa menjarah uang yang jauh lebih banyak dari riku."

"Tenn-nii masih harus banyak belajar. Kakak ku memang pintar tapi kurang pengalaman. Mungkin, tenn-nii kurang vitamin cium.... Besok ku beri mau?"

"Kalau tidak mau?"

"Masa tidak mau?"

"Jewer, nih."

"Sini cium. Tambah delapan faktorial lagi, boleh?"

"Tidak mau."

Riku tertawa. Dengan sangat hati-hati, sang bos yakuza mengukur ketebalan beberapa jenis kertas yang dibelinya dengan mikrometer sekrup.

Ukuran standar cek asli keluaran bank tidak pernah lebih tebal dari 135 mikron dan tidak pernah lebih tipis dari 105 mikron. Ia menggunakan penggaris untuk mengukur tebal dan panjangnya. Cutter dari toko kertas juga banyak membantu.

"Ini lumayan--hm, apa sayang? Apa? Oh. Tidak kok, aku masih mendengarkan tenn-nii. Kenapa? Belum, aku belum mengantuk, cantik. Berceritalah lagi, akan ku dengarkan."

Riku terus sabar menanggapi, sementara tangannya mulai mencampur tinta magnetik dengan besi oksida di dalam gelas beaker--karena terlalu kental, ia menggunting bungkus plastik tebal minyak goreng, dan menuang pelan isinya.

Riku sudah berkali-kali melakukan ini. Minyak goreng adalah solusi sederhana berefek mematikan. Campurannya dengan besi oksida akan memudahkan jajaran angka MICR di bawah cek palsu, terbaca seolah asli pada pendeteksi magnetik. Riku sudah hafal.

"Riku, dulu saat pertama bertemu dengan mu kembali setelah sekian lama aku sebenarnya takut. Ku kira riku galak." dan di kamar nun jauh di sana, sang surai baby pink mulai berceloteh tentang pertemuan pertama dengan adik. Memori sebelum di paksa bertunangan. Memori yang entah mengapa menjadi manis. "Tapi sedikit menjengkelkan juga aku harus menikah dengan mu. Aku sampai tidak bisa tidur saat membaca surat warisan yang dibuat Tou-san dan Kaa-san."

"Wah, kenapa? Apa aku kurang tampan?"

Tinta magnetik yang sudah dioplos diinjeksikan pada printer. Riku mulai mencari-cari kode area Nagoya, kode bank NBCX, dan kode kantor cabang bank yang besok akan mereka jarah. Situs SWIFT akan sangat membantu. Riku menemukannya tanpa perlu terlalu lama mengobrak-abrik data.

Ia menyusunnya menjadi barisan sembilan digit bercampur huruf.

Beres.

Tinggal cari font, dan print.

"Tenn-nii, apa sebelum kita bertunangan, tenn-nii pernah punya pacar?"

"Apa? Mantan?"

"Ya, mantan."

"Memangnya aku seperti riku yang mantannya banyak?"

"Hei, masa muda ku dihabiskan untuk merugikan negara. Aku tidak pernah punya waktu taksir-taksiran."

Di seberang sana, terdengar tenn tertawa. Riku menanggapi ringan sambil mencetak satu sampel cek. Photoshop sudah menajamkan gambarnya yang semula membaur.

Riku mengangkat calon cek palsu dan sampelnya, menindihnya, mengawasi di muka lampu.

Dilihat, diraba, diterawang.

Pas.

Ia berdecak puas. "Jadi bagaimana? Tenn-nii punya mantan belum?"

"Ada...."

"Hm, benarkah? Pria mana yang beruntung itu?"

"Hehehe.... Mereka berdua merupakan senpai ku semasa kuliah."

"Mereka berdua?"

"Ya, mantan ku ada dua."

"Siapa saja?" tangannya sempat berhenti bekerja, sebelum riku berusaha menyembunyikan rasa sakitnya karena tidak pernah di notis sang pujaan hati.

"Gaku dan Ryuu..." tenn tanpa ragu menjawab. Tanpa mempedulikan apakan keadaan kedua senpai sekaligus mantannya telah ia bawa menujuk tepi jurang dengan sengaja.

Target Lock On!


Mari kita berdoa demi keselamatan gaku dan ryuu yang berada nan jauh di sana.

Sebelum sisi setan yang sedang berusaha untuk melepaskan diri keluar. Riku dapat mendengar suara tawa yang sangat hangat dari tenn. Sepertinya ada sesuatu hal yang menarik sehingga sang surai baby pink itu tertawa.

Riku entah bagaimana bisa, ikut menanggapi suara tawa manis tenn dengan tawa yang tak kalah hangatnya.

Berusaha untuk kembali fokus, tangannya yang sempat berhenti bekerja langsung kembali bermain di atas keyboard.

"Font pada cek NBCX--sial aku tidak pernah jadi nasabah."

Ia memasukkan kata kunci pada situs pencari. "MICR Encoding Font NBCX Japan."

Lalu.

Enter.

Sambil menunggu, riku kembali menanyakan beberapa pertanyaan.

"Jadi tenn-nii pernah berniat membuang cincin pertunangan kita ke dalam kloset?" riku memilih sebuah situs--tapi ia tidak menemukan informasi. Sebuah kabar buruk baginya. "Tidak ada."

"Apa riku?"

"A-apa? Oh, tidak. Aku tadi bertanya apa tenn-nii memang berniat membuat cincin pertunangan kita."

"Iya, berniat, tapi ketahuan momo-san dan aku kena marah." tenn tertawa, riku ikut tertawa.... menertawakan dirinya sendiri, karena pada akhirnya terpaksa mengandalkan ingatan untuk mengenali font yang berjajar di contoh cek keluaran NBCX.

Tapi kalau bukan font itu, paling ya itu.

Ini tidak mungkin sulit.

Riku lagi-lagi harus menerawang sampel di muka lampu. Sampai mengerutkan kening.

Dan ia mengenali jenis font-nya dengan, "E-13B. Tidak salah lagi."

Pengecekan kebenaran. Ia membuka situs Typstester dan menemukan bahwa tebakannya benar.

"Oke, tinggal isi nominal." dan otak penjahat itu memerintahkan tanganya menulis satu milyar Yen.

Ia kembali lagi online, menerobos gerbang situs mantan milyader yang sudah ia jebol sebelum pemiliknya terbunuh.

Dari sebuah dokumen kontrak dalam database yang menurut riku tidak penting, ia mendapat contoh tanda tangan sang mantan milyader.

"Oke, ku palsukan sekarang."

Pena bertinta pekat diambil. Riku keluar menujuk balkon. Menindih cek palsunya pada hasil cetak dokumen bertandatangan target, menempelkan dua kertas tipis itu di pintu kaca.

Riku berdecak senang.

Cahaya dari dalam kamar menerawangkan guratan itu, memudahkan riku untuk menirunya tanpa kesulitan. Pena sengaja ditekan lebih kasar untuk membuat guratan itu seolah nyata. Seolah asli.

"Sempurna."

Cek palsu bernilai satu milyar dikibas-kibaskan. Tinggal dicairkan besok di bank. Tanpa perlu perampokan konvensional menggunakan pistol atau senjata tajam.

"Ah, tenn-nii." setelah pekerjaannya selesai, mendadak ia ingat kakaknya yang tadi begitu senang berceloteh di telepon, "Halo, sayang? Hei, tenn-nii masih di sana? Maaf tadi tiba-tiba aku diare jadi terpaksa teleponnya ku tinggal--halo, tenn-nii? Hei, tenn-nii sudah tidur? Halo, Nanase tenn?"

Riku tidak mendengarkan apapun lagi. Kecuali alunan napas tenn yang sangat lembut. Mungkin ponselnya jatuh di atas bantal, telentang di sisi pipinya.

"Baiklah, boneka cantik ku memang tukang tidur ternyata." riku menahan senyum, "Tidurlah kalau begitu. Kau tidak perlu memimpikan aku, yang jelas, aku mencintai Nanase tenn. Selamat malam, sayang."

Nanase riku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Hanya saja, sepertinya malam ini ia akan tidur nyenyak dan memimpikan kakaknya.

Cek palsu dijepitkan di dalam sebuah buku agar permukaannya semakin licin dan rapi.

Sebuah buku yang tadi dibelinya bersamaan dengan kertas, tinta dan pena.

Kamasutra, The Art of Love.

.
.
.
.
.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top