#8 : Thread
Taylor terbangun dari tidur lelapnya. Tak terasa, hari ini adalah hari terakhir dia berada di Chesire. Besok, Harry sudah harus kembali ke London dan bekerja, seperti biasa. Harry memang tak bisa meninggalkan urusan kantornya dalam jangka yang lama. Walaupun, sebenarnya Harry masih ingin menghabiskan banyak waktu di Chesire.
Saat Taylor membuka mata, dia mendapati dirinya seorang diri di kamar. Taylor merubah posisinya menjadi duduk untuk mencari keberadaan sang suami tapi, Harry tak ada di manapun. Taylor segera beranjak dari ranjang, mengganti pakaian sebelum ke luar dari kamar.
Taylor menatap sekelilingnya. Rumah keluarga Styles memang sangat sepi. Rumah yang luas tapi, hanya dihuni oleh beberapa orang. Taylor berjalan menjauhi kamar, menuruni tangga, mencari keberadaan orang-orang lain di rumah ini, terlebih lagi Harry. Tak biasanya Harry pergi tanpa berpamitan kepada Taylor. Sekalipun terburu-buru, dia setidaknya pasti meninggalkan pesan singkat atau memo untuk Taylor.
“Apa yang kau cari?”
Taylor yang baru hendak menuju ke ruang tengah, memeriksa apakah ada orang di sana, tiba-tiba membeku mendengar suara itu. Taylor memejamkan mata, tangannya mengepal hebat.
“Mencari suamimu yang hebat itu?”
Suara itu kembali bertanya, terdengar semakin dekat diiringi dengan bunyi derap kaki, sebelum akhirnya berhenti.
“Dia hanya pergi sebentar, mengantar Grandma ke pasar tapi, tentu saja kau tahu jika aku bisa membuatnya pergi lebih lama atau bahkan selamanya jika kau berani macam-macam denganku. Kuharap, ancamanku benar-benar membuatmu takut karena aku tak suka dilawan.” Ujarnya.
“Harry bukan orang bodoh. Lambat laun, dia pasti akan mengetahui semuanya.” Setelah diam selama beberapa saat, akhirnya Taylor buka suara. Suaranya terdengar sangat dingin dan sedikit bergetar. Taylor mengigit bibir bawahnya, berusaha menguatkan dirinya sendiri.
“Kau benar. Tapi, yang harus kau ingat, semakin cepat dia tahu, semakin cepat pula kematiannya datang. Diskusi selesai.”
Setelah itu, Taylor dapat mendengar suara derap langkah kaki yang semakin lama semakin samar-samar, sebelum benar-benar menghilang.
*****
Taylor meneguk air minumnya dengan buru-buru. Harry dapat menangkap raut ganjil dalam wajah wanitanya tersebut. Harry baru saja pulang beberapa menit yang lalu, setelah mengantar Grandma ke pasar. Kemudian, Harry yang mendapati Taylor tengah duduk di ruang tengah mengajak sang istri untuk sarapan bersama. Taylor hanya menurut, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Taylor?”
Harry memanggil Taylor seraya memicingkan mata. Taylor mengernyitkan dahi menatap Harry. “Ya?”
“Apa kau sakit?” tanya Harry, meraih tangan Taylor yang ada di atas meja dan menggenggamnya erat. Taylor tersenyum tipis dan menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja, sungguh.”
“Kau pucat.” Ujar Harry.
Taylor diam sejenak, seperti tengah mencari alasan yang tepat, sebelum menjawab, “Mungkin aku kurang tidur. Semalaman aku sulit untuk tidur.” Harry mengangkat satu alisnya. “Kenapa tak membangunkanku? Aku akan membantumu untuk tidur.” Taylor terkekeh. “Yang ada, kau malah ikut-ikutan tak tidur karenaku. Sudahlah. Aku baik-baik saja.”
“Selesai sarapan, kembalilah ke kamar dan istirahat yang cukup. Biar aku yang merapikan koper. Setelah kau merasa cukup istirahat, kita akan langsung kembali ke London. Bagaimana?” tanya Harry. Taylor mengangguk. “Baiklah tapi, Fluffy jadi kita bawa ke London, kan?” tanya Taylor, penuh harapan.
Harry tertawa sebelum akhirnya mengangguk. “Tentu saja.” Wajah Taylor sedikit lebih cerah dari sebelumnya. Harry beranjak dari kursinya dan mendekati Taylor. Harry membungkuk dan memberikan sebuah kecupan di kening Taylor. Setelah itu, Harry mengelus puncak kepala Taylor. Taylor hanya diam, masih tercengang dengan apa yang Harry lakukan.
“Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku memang sudah berjanji untuk selalu menjagamu tapi, tentu saja aku akan gagal jika kau sendiri tidak menjaga dirimu juga. Aku mencintaimu, Taylor.”
Taylor tersenyum. “Aku juga mencintaimu, Harry.”
*****
Harry menghela nafas sebelum duduk di tepi ranjang tempat Taylor tengah berbaring, tertidur pulas. Harry tersenyum, menatap wajah polos Taylor yang tengah tertidur benar-benar membuat hatinya tentram. Wajah Taylor seperti malaikat, menurut Harry. Taylor sangat cantik, secara fisik maupun hati.
Tangan kekar Harry bergerak, menyingkap rambut yang menutupi wajah istrinya tersebut. Setelah itu, tangan Harry mengelus lembut—berusaha supaya Taylor tidak terbangun—wajah Taylor.
“Aku tak tahu kebaikan apa yang sudah kulakukan di dunia, sehingga Tuhan memberikanmu sebagai teman hidupku,” ujar Harry, tersenyum. Suaranya terdengar lembut, sama seperti belaian tangannya.
“Kau hadiah terindah yang Tuhan berikan kepadaku,” Harry membungkuk dan mengecup kening Taylor. Di saat bersamaan, mata Taylor terbuka tiba-tiba. Membuat Harry sedikit terkejut dan memicingkan matanya menatap Taylor. Taylor memberi senyuman yang sulit diartikan dan Harry memutar bola matanya.
“Kupikir kau masih tertidur.” Ujar Harry, tahu jika Taylor sebenarnya sudah bangun sejak tadi. Taylor juga pasti mendengar semua yang Harry katakan.
Taylor terkekeh sebelum beralih duduk di ranjang. “Jadi, bagaimana kopernya, Sir? Apa semuanya selesai? Apa kau tak butuh bantuanku?” tanya Taylor, tanpa basa-basi. Suaranya terdengar lebih ceria dari tadi. Harry mengangkat satu alisnya. “Kau tahu jika aku sering memutar otak untuk menarik banyak klien ke perusahaanku jadi, merapihkan koper bukanlah pekerjaan yang sulit. Aku sudah selesai sejak tadi.”
“Apa kau bisa menjamin semuanya rapih?” tanya Taylor, ragu-ragu. Harry diam sejenak sebelum tersenyum menampilkan gigi-gigi putih bersihnya. “Kau akan melihatnya, saat kita sampai di rumah. Untuk sekarang, berhubung kau sudah bangun, mandilah. Bersihkan dirimu dan setelah itu kita makan malam di bawah, bersama yang lain.”
Mata Taylor terbelalak. “Makan malam? Astaga. Apa ini sudah malam? Aku bahkan melewatkan makan siang!”
Harry terkekeh. “Aku ingin membangunkanmu untuk makan siang tapi, kau terlihat sangat pulas tidur. Aku tak enak membangunkanmu jadi, yeah, kau bisa makan yang banyak, anggap saja makan malam nanti digabung dengan makan siang.”
Taylor memutar bola matanya sebelum meraih bantal dan melemparkan kepada Harry.
“Bodoh!”
Taylor melangkah untuk membersihkan dirinya di bathroom yang ada di dalam kamar itu. Taylor tak berlama-lama mandi. Hanya sekitar lima belas menit, sebelum akhirnya dia ke luar dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya. Taylor sedikit terkejut saat mendapati Harry masih duduk di tepi ranjang, menyeringai menatapnya.
“Kupikir kau akan langsung turun ke bawah untuk makan malam,” ujar Taylor, berjalan menuju ke lemari pakaian. Harry terkekeh, bangkit berdiri dan berjalan menuju Taylor. Harry berdiri di belakang Taylor yang tengah memilih pakaian, memunggunginya.
“Sekarang, lebih baik kau ke luar karena aku harus mengenakan pakaian, Harry.” Taylor berbalik dan menatap malas-malasan Harry yang berada tepat di hadapannya saat ini. Harry mengangkat satu alisnya. “Memangnya kenapa? Bukankah aku suamimu? Tak ada yang perlu di sembunyikan lagi dari satu sama lain.”
Taylor memutar bola matanya dan kembali berbalik, mencari pakaiannya lagi sampai tiba-tiba saja, dia dapat merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Tak lama kemudian, Taylor dapat merasakan beban di pundaknya. Taylor menoleh sekilas dan mendapati Harry yang memeluknya dari belakang dan menyandarkan dagunya pada pundak telanjang Taylor.
“Aku ingin mempunyai seorang anak, Taylor. Rasanya pasti akan sangat menyenangkan saat aku pulang kerja nanti, aku di sambut olehmu dan anak kita. Aku akan merasa seperti orang paling bahagia sedunia.” Kemudian, bibir Harry dengan lembut mengecup pundak telanjang Taylor.
Taylor berbalik dan tersenyum kepada Harry. “Kita akan mempunyai anak, Harry. Tapi, untuk sekarang, aku harus mengenakan pakaian dan makan malam karena aku sangat lapar.” Ujar Taylor sarkastik. Harry terkekeh sebelum mundur dan kembali duduk di tepi ranjang.
“Kalau begitu, biarkan aku di sini. Aku tak akan melakukan apapun padamu, tenang saja. Anggap saja tak ada aku di sini.” Taylor menatap pria itu malas-malasan sebelum memutuskan untuk segera mengenakan pakaian. Tak peduli jika mata hijau itu seperti tak berkedip saat melihatnya mengenakan pakaian.
Setelah mengenakan pakaian dan menyisir rambutnya, Taylor segera mengajak Harry ke luar dari kamar, menuju ke ruang makan. Di sana, tampak ada Gemma, Adam, Grandma dan Samuel yang sudah menunggu.
“Akhirnya kalian bergabung juga. Grandma tidak membiarkan siapapun makan sebelum kalian sampai di sini,” ujar Gemma, mengerucutkan bibir. Harry terkekeh dan menarikkan kursi untuk Taylor, kemudian dia menarik kursi di samping Taylor untuknya.
“Maaf, maaf. Maklumlah. Bukankah kalian tahu jika kami pengantin baru?” Taylor memukul lengan Harry saat Harry mengucapkan kalimat tersebut. Harry meringis, memberi Taylor tatapan protes namun, nyatanya Taylor juga menatapnya dengan sangat tajam.
Grandma terkekeh sedangkan, Gemma memutar bola matanya. “Terserah, terserah. Bisakah kita makan sekarang? Aku sangat lapar!” Gemma langsung meraih sendok dan garpunya, siap melahap makanan yang ada di hadapannya.
Yang lain hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat Gemma.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top