#23 : Down
Keesokan paginya, sama saja seperti kemarin. Lagi-lagi, Harry tak mendapati Taylor di manapun saat dia terbangun dari tidur yang sama sekali tak nyenyak. Seperti kemarin, sebelum mencari Taylor, Harry memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dan merapikan diri.
Harry tak tahu apa dia harus pergi ke kantor saat ini atau tidak. Rasanya sangat malas pergi ke kantor. Biasanya, Taylor yang memberi semangat Harry tapi, kali ini berbeda. Taylor masih sangat marah padanya. Bahkan, Harry masih mengingat jelas tatapan Taylor kemarin kepadanya. Tatapan penuh kebencian dan amarah tapi, Harry masih dapat melihat secercah cinta di iris biru langit Taylor tersebut.
Harry berjalan ke luar kamar, menuruni tangga dan menghentikan langkahnya di ruang tengah. Sebenarnya, Harry ingin melangkah menuju ke dapur untuk sarapan namun, Grandma dan Anne langsung menahan langkah Harry, membuat pemuda itu terkejut. Kemarin, Grandma masih sangat marah padanya.
"Jelaskan pada kami." Anne langsung bertanya tanpa basa-basi, melipat tangannya di depan dada. Anne dan Grandma menatap tajam ke arah Harry yang tak mengerti apa yang kedua wanita ini bicarakan.
"Aku tak mengerti. Apa kalian melihat Taylor?" tanya Harry, seraya melirik ke sekeliling, berharap dapat menemukan pujaan hatinya tersebut.
Anne mendengus. "Harry, jawab pertanyaanku terlebih dahulu! Jelaskan pada kami, semua yang sudah kau rahasiakan!" tuntut Anne, Harry menghela nafas dan mengedikkan bahunya. "Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu, Mom. Bertanyalah yang jelas."
"Ini tentang Taylor. Istrimu hamil dan kau merahasiakan semuanya dari kami? Astaga," Anne menggeleng-gelengkan kepala, prihatin. Harry mengernyit. "Tunggu. Dari mana kalian tahu? Jadi, Taylor sudah memberitahu kalian?" tanya Harry.
Anne menggelengkan kepala. "Taylor sama keras kepalanya denganmu. Dia tak mengatakan sepatah katapun pada kami. Adam yang memberitahu." Mata Harry membulat saat mendengar nama itu terucap. Tangan Harry mengepal. "Adam?"
"Ya. Dia yang memberitahu semuanya." Grandma berdecak sebelum menambahkan, "Aku cukup kecewa kau merahasiakan banyak hal dari kami, Harry. Taylor hamil dan kau sudah tahu itu sejak lama, lalu kau berselingkuh darinya. Ide yang bagus. Apa kau tak tahu apa efeknya jika saja Taylor bukan orang yang kuat?" tanya Grandma sinis. Harry menundukkan kepala. "Maafkan aku."
"Hanya itu yang bisa kau ucapkan? Ya, aku mengerti. Aku tak tahu apa yang salah dengan pola ajarmu, Anne. Bagaimana bisa kedua anakmu benar-benar membuat kepalaku pening?" Grandma menyindir Anne sebelum berlalu menuju ke kamarnya begitu saja, meninggalkan Anne dan Harry, hanya berdua.
Anne menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Anne berjinjit dan merangkul pundak sang putra, menuntunnya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Kau ingin sarapan apa, Harry? Aku akan meminta pelayan membuatkannya," ujar Anne. Harry menggelengkan kepala. "Aku tidak lapar, Mom."
Anne menatap Harry lirih. Anne tahu betul bagaimana perasaan putranya saat ini. Dulu, Anne pernah mengalami hal yang sama. Selalu disalahkan atas apapun yang sudah dia lakukan. Rasanya sangat buruk. Seperti tak ada lagi alasan untuk hidup. Tapi, dulu Anne punya Des, yang selalu mendukungnya.
Sedangkan sekarang? Harry melakukan kesalahan fatal pada seseorang yang seharusnya menjadi pendukung setianya. Beda kasus memang. Anne miris mengingat semuanya.
Apa ini karma atas perlakuan buruk Anne pada Taylor dulu, sehingga kini Harry yang merasakannya?
Anne mengelus lembut pundak Harry. "Jangan khawatir. Taylor pergi bersama Adam, mereka lari pagi bersama." Harry mendesah kecewa. Anne paham bagaimana perasaan Harry. Harry sangat posesif. Pasti sekarang pikirannya mulai macam-macam tentang Adam dan Taylor.
"Harry, belajarlah percaya pada Adam. Adam pria yang baik. Kau pernah memaksaku untuk mengangkatnya menjadi anak supaya dia bisa menjadi kakakmu dulu. Apa kau lupa?" Harry diam saja mendengar ucapan Anne. Harry tak mau percaya pada Adam. Tidak dan tidak akan.
"Taylor akan aman bersama Adam. Adam pasti akan menjaganya dengan baik."
Harry diam sejenak. Ibunya benar. Taylor memang pasti aman saat bersama Adam. Saat itu pula, Harry merasa jika dirinya bukanlah yang terbaik untuk sang istri.
*****
Sudah hampir seminggu Harry tidak berangkat ke kantor. Hari-harinya di habiskan di rumah. Melamun dan dia tampak tak jauh berbeda dengan Gemma beberapa bulan lalu. Harry terlihat sangat depresi dan stress.
Siang ini, Harry duduk di tepi kolam renang, mencelupkan sebagian kakinya di air, menatap lurus ke depan dengan hampa. Harry tak tahu, kapan penyesalan akan menghilang dari pikirannya. Selama hampir seminggu ini, Taylor benar-benar menghindarinya. Taylor lebih sering menghabiskan waktu bersama Adam daripada bersama Harry. Bahkan, Harry merasa, Adam secara perlahan mulai menggeser posisinya di Styles. Pasalnya, sudah tiga hari belakangan, Adam membantu Styles Enterprise.
"Harry,"
Harry terdiam mendengar suara tersebut. Suara dari seseorang yang sangat ingin Harry lenyapkan di dunia. Suara itu datang beriringan dengan suara derap langkah sebelum Harry merasakan keberadaan seseorang di dekatnya, duduk di tepi kolam satu meter dari jaraknya sekarang. Adam.
"Hai, bigboy. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adam. Harry mendiamkannya.
"Kau terlihat sangat kacau," komentar Adam, sedikit melirik ke arah Harry sambil berdecak. Harry lagi-lagi mengabaikannya.
Adam menarik nafas dan menghelanya perlahan. Lama-lama, dia benci melihat Harry yang seperti ini. Harry seperti mayat hidup. Dia seakan tak ingin hidup tapi tak ingin mati pula. Menyebalkan.
"Sampai kapan kau akan begini?" Adam menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah Harry. Untuk pertama kalinya, Harry buka suara, "Jangan ikut campur urusanku." Adam tersenyum sinis. "Jika kau berkata demikian, well sebenarnya sudah terlambat. Aku sudah ikut campur dan mungkin hasil dari campuran ini, akulah yang akan mendapatkan yang terbaik." Harry kembali bungkam.
Adam memutar otaknya, berusaha memancing supaya Harry mau merespon setiap perkataannya. "Aku senang bisa merasakan duduk di bangku pemimpin Styles Enterprise dan memiliki wanita cantik yang selalu memberiku senyuman di tiap pagi. Aku mendapatkan semua yang pernah kau miliki. Rasanya sangat menyenangkan menjadi dirimu."
Harry menoleh sinis ke arah Adam. "Apa maksud ucapanmu?"
Adam terkekeh. "Tidak. Aku hanya berkata jika lambat laun, semua orang pasti tahu siapa yang sebenarnya lebih pantas menjadi pemimpin Styles Enterprise. Aku atau kau?" Adam bangkit berdiri dengan senyuman sinis di bibirnya. Tatapan tajam Harry tak menoleh sedikitpun.
Adam mengedikkan bahu. "Mungkin, aku juga akan menunjukkan Taylor, siapa yang jauh lebih pantas menjadi suaminya. Aku atau kau?"
Saat itu pula, kilatan muncul di mata Harry. Dengan kecepatan yang tak terduga, Harry bangkit berdiri dan menghadiahkan Adam pukulan tanpa ampun.
Adam mungkin saja akan mati jika saja Anne, John dan Marge tidak menjauhkan keduanya. John menahan lengan Harry supaya tidak memukuli Adam lagi sedangkan, Marge dan Anne segera menarik Adam agar menjauh dari Harry. Grandma berdiri tak jauh dari mereka, menatap dengan prihatin.
Dalam kuncian John, Harry tetap memberontak. Harry baru berhenti memberontak saat Anne menampar pipinya, membuat Harry tercekat.
"Cukup, Harry! Sekali lagi kau memukul Adam, aku tak akan mau mengakuimu lagi sebagai anak!"
Mendengar ucapan sang Ibu, Harry melemas. Saat itulah, John melepaskan Harry. Anne dan Marge menopang tubuh Adam, memasuki rumah. Grandma mengikuti dari belakang. Meninggalkan John dan Harry di sana, hanya berdua.
"Kau sangat menyebalkan dan mengerikan seperti Des," ujar John sebelum melangkah meninggalkan Harry. Harry memejamkan mata dan menjambaki rambutnya sendiri dengan kesal dan amarah.
"Terus saja! Aku yang selalu di salahkan! Kenapa kalian tak membunuhku saja?!" Harry berkata histeris, merasa tak tahan lagi akan semua tekanan yang dia dapatkan. Harry memejamkan mata dan air mata kembali mengalir dari pelupuk matanya. Harry tak tahu, kenapa dia menjadi sangat cengeng akhir-akhir ini.
Harry menundukkan kepalanya dan kembali duduk di tepi kolam. Memandang kosong ke arah permukaan kolam yang cukup tenang. Memandang bayangannya wajahnya yang terpantul di permukaan kolam. Harry memejamkan matanya singkat namun, saat dia membuka mata, pantulan bayangan di kolam tidak lagi wajahnya saja. Ada wajah lain di sana. Wajah seorang wanita cantik yang selalu berhasil membuat nafas Harry tak beraturan.
Perlahan, Harry menoleh dan mendapati Taylor yang berdiri tepat di belakangnya, dengan tangan yang terlipat di depan dada. Tatapan Taylor masih datar, seperti beberapa hari belakangan. Harry menghela nafas dan kembali menatap ke permukaan kolam.
"Kau laki-laki. Tidak seharusnya laki-laki cengeng." Ejek Taylor. Harry mengangguk. "Aku memang cengeng."
"Aku ingin bicara denganmu," ujar Taylor. Harry kembali menoleh ke arah istrinya tersebut. Harry mengangkat satu alisnya dan tak terasa, senyuman muncul di bibirnya. Harry bangkit berdiri dan menyeka wajahnya yang lembab. Taylor ikut tersenyum saat melihat raut wajah Harry yang terlihat benar-benar senang, seperti anak kecil.
"Kau sudah tak marah lagi denganku?" tanya Harry, sangat antusias.
Taylor menghilangkan senyuman di bibirnya dan berusaha memasang wajah datar lagi. Taylor menggeleng. "Aku memaafkanmu tapi, aku tak akan melupakan semuanya." Raut bahagia Harry lenyap seketika. Taylor menahan nafas dan menghembuskannya perlahan.
"Tapi, aku memang tak pernah bisa marah terlalu lama denganmu. Jadi....well, yeah, aku akan mencoba untuk melupakannya." Senyuman kembali muncul di bibir Harry. Dengan cepat, Harry memeluk Taylor erat, sangat erat. Taylor yang sedikit terkejut atas pelukan itu, secara perlahan balas memeluk Harry. Taylor benar-benar merindukan kehangatan ini.
"Aku berjanji, bahkan jika kau mau, aku akan bersumpah di gereja nanti, jika aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Aku tidak akan membuatmu kecewa lagi. Aku bersumpah." Taylor menganggukkan kepala mendengar ucapan Harry. "Aku percaya, aku percaya," Taylor terkikik geli.
Kemudian, mereka saling melepaskan pelukan. Keduanya saling tatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya, Taylor kembali mengulang ucapannya, "Kita harus bicara. Penting. Tapi, tidak di sini."
Harry mengangkat satu alisnya. "Kenapa?" tanya Harry, penasaran.
Taylor menatap sekelilingnya sebelum menghela nafas. "Kita bertemu di Starbucks dua puluh menit lagi." ujar Taylor. Harry semakin tak mengerti. "Bertemu di Starbucks? Kenapa kita tidak berangkat bersama?"
Taylor menggeleng. "Tidak bisa begitu. Sampai bertemu, Harry," Taylor mengecup singkat pipi Harry sebelum berbalik dan berjalan memasuki rumah. Harry masih memasang wajah penasaran namun, perlahan, senyuman manis muncul di bibirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top