#18 : Come Back

Semenjak Harry memergoki Taylor yang tengah mengobrol dengan Adam di tepi kolam renang, Taylor jadi merasa sangat bersalah. Harry sepertinya marah. Ya, dia memang benar-benar marah. Bayangkan saja, sudah hampir tiga puluh menit mereka duduk di tepi ranjang mereka namun, tak ada satupun kata yang ke luar dari mulut keduanya.

Sesekali Taylor melirik ke arah sang suami, yang duduk dengan tangan yang berada di atas pahanya, tampak berpikir keras. Taylor menghela nafas. Sepertinya, hari ini dia harus mengalah walaupun, sebenarnya Taylor tak benar-benar mau mengalah. Hanya saja, dia tak mau bertengkar dengan Harry lagi.

“Aku minta maaf.” Taylor berujar, memecah keheningan.

Harry menoleh dan menatap Taylor lekat. Harry menggelengkan kepalanya. “Kau tak mengerti...”

Taylor menundukkan kepalanya. “Ya, aku tahu. Aku memang tak pernah mengerti dirimu. Aku minta maaf. Maaf.”

Mendengar suara lesu Taylor, Harry memejamkan mata sebelum membukanya kembali dan meraih Taylor ke dalam pelukannya. Harry memeluk sang istri erat sambil berkata lirih, “Untuk kali ini, Taylor, dengarkan aku. Aku tak suka melihatmu berada di dekatnya. Please, mengertilah.”

Ragu-ragu, Taylor balas memeluk Harry erat. “Maafkan aku. Aku mencintaimu.”

“Ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu, Tay.” Harry melepaskan pelukannya dan merengkuh pundak Taylor. Harry tersenyum tipis kepada Taylor, membuatnya juga ikut tersenyum.

Baru saja mendapat waktu untuk berdua, tiba-tiba ketukan pintu terdengar. Harry dengan berat kaki, bangkit berdiri. Sebelum melangkah untuk membuka pintu kamar, Harry menyempatkan dirinya untuk mengecup singkat bibir Taylor, membuat Taylor terkekeh atas perbuatannya.

Saat Harry membuka pintu, yang pertama dilihatnya adalah wajah sang Ibu yang terlihat sangat letih. Harry mengangkat satu alisnya. “Ada apa, Mom?” tanya Harry, tanpa basa-basi.

“Kau tidak sibuk, kan? Bisa temani Gemma di kamarnya? Akhir-akhir ini, tidurnya suka kurang nyenyak. Dia suka terjaga di malam hari. Makanya, harus ada yang menjaganya.” Jelas Anne. Harry mengangguk mengerti. Tak tega juga melihat sang Ibu yang terus menerus menjaga Gemma dua puluh empat jam. Anne juga butuh istirahat, kan?

“Aku akan ke kamar Gemma nanti.” ujar Harry.

Gemma mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Harry. Sampaikan maafku pada Taylor.” Harry mengangguk. Anne pun berbalik dan melangkah menjauhi kamar Harry dan Taylor.

Harry kembali masuk ke dalam kamar dan menutup rapat pintunya. Saat Harry berbalik, Harry sudah mendapati Taylor yang duduk di atas ranjang dengan Fluffy yang ada di pangkuannya. Harry bahkan tak pernah menyadari keberadaan kucing itu.

“Aku baik-baik saja. Kau bisa menginap dan menjaga Gemma di kamarnya. Biar Fluffy yang menemaniku,” ujar Taylor, dengan senyum merekah di bibirnya.

Harry balas tersenyum dan mendekati Taylor. Harry naik ke atas ranjang dan duduk di samping Taylor. Tangannya mengelus puncak kepala Fluffy, membuat kucing itu menggeliat manja dan Taylor tertawa kecil.

“Kau adalah hal terbaik yang pernah kumiliki. Aku mencintaimu,” Harry mengecup kening Taylor, cukup lama sebelum turun dari ranjang dan berjalan ke luar kamar, membawa bantal beserta selimut.

Sebelum benar-benar ke luar kamar, Harry sempat tersenyum kepada Taylor sambil mengucapkan kalimat, “Aku mencintaimu,” sekali lagi.

Kalimat itu memang sudah seperti keharusan untuk Harry dan Taylor.

*****

Harry melangkah memasuki kamar Gemma, sambil membawa bantal dan selimutnya. Saat baru memasuki kamar, Harry mendapati tatapan tajam Gemma yang terarah kepadanya. Harry mengabaikan tatapan itu dan segera melemparkan bantal beserta selimut di sebuah sofa panjang yang berada di dalam kamar.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?” tanya Gemma, ketus.

“Mom memintaku untuk menemanimu karena kau akhir-akhir suka mengigau.” Jawab Harry santai, mulai membaringkan tubuhnya di sofa. Mata Gemma masih tertuju pada adiknya tersebut.

“Bagaimana dengan Taylor?” tanya Gemma, menggigit bibir bawahnya.

Harry diam sejenak. Gemma menanyakan Taylor? Apa ini bisa disebut dengan keajaiban? Pasalnya, selama beberapa bulan belakangan, Gemma jarang sekali bicara. Bahkan, pada Taylor pun tidak.

“Taylor di kamar. Tidur sendiri.” Harry berusaha menormalkan suaranya, walaupun sejujurnya dia sangat senang mendengar pertanyaan itu mengalir dari mulut Gemma.

Gemma membaringkan tubuhnya lagi di ranjang. Dengan tatapan kosong, dia berkata, “Lebih baik kau temani Taylor. Dia istrimu. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

Harry tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Terakhir kali kau bilang padaku jika kau bisa menjaga dirimu sendiri, kau berakhir di rumah sakit selama beberapa hari. Jadi, aku tak akan mengulang kesalahan yang sama.”

“Harry...”

Harry mengangkat satu alisnya saat Gemma menyebutkan namanya tersebut. Sudah sangat lama sekali sejak Gemma tak menyebut nama adik kesayangannya itu.

“Ya?”

“Jangan tinggalkan Taylor. Temani dia.” pinta Gemma yang membuat Harry mengernyit sebelum menggelengkan kepala. “Dia akan baik-baik saja, Gem. Yang penting saat ini adalah kau. Kau jauh lebih membutuhkan aku daripada Taylor. Taylor sudah memahami semua ini.”

Gemma menggeleng. “Kau tidak mengerti perasaan wanita. Kau harus lebih banyak mempunyai waktu untuknya daripada aku.” ujar Gemma. Harry diam sejenak, membenarkan ucapan Gemma. Akhir-akhir ini, waktunya bersama Taylor memang semakin berkurang.

*****

“Aku tak tahu apa yang harus kukatakan tapi, aku sangat berterima kasih karena kau mau bekerja di Chesire, kembali menjadi asistenku.” Harry berujar seraya tersenyum tipis kepada gadis yang duduk di hadapannya saat ini. Sahabat lamanya, sekaligus asisten pribadinya saat di Styles Enterprise London. Emily Thompson.

Emily tersenyum seraya menyingkap rambutnya kecokelatannya ke belakang telinga. “Tidak, bukan masalah besar. Hampir sebagian besar keluargaku juga tinggal di Chesire. Jadi, aku justru merasa sangat senang saat kau memintaku untuk membantumu di sini.”

Harry mengangguk. “Sebenarnya ini saran Ibuku. Tapi, ya, sarannya memang tidak buruk. Untuk sekarang, aku akan memberitahu apa saja tugasmu.” Harry meraih map yang ada di atas mejanya dan membuka map tersebut.

“Ada beberapa email masuk untuk perusahaan. Bisakah kau mengeceknya satu per satu dan mempelajari tiap email dengan baik? Jika sudah, tandai email-email yang sekiranya penting dan langsung forward ke emailku. Mengerti?” Emily menganggukkan kepala dengan cepat.

Harry tersenyum kembali. “Waktumu sampai jam makan siang. Setelah itu, kau bisa makan siang dan beristirahat.” Harry menambahkan. Emily kembali menganggukkan kepala.

“Satu lagi, Em. Mengingat kantor ini tidak sebesar kantor di London, jadi, mau tak mau, kau bekerja di ruangan yang sama denganku. Kau bisa memakai meja tamu dan sofa untuk bekerja. Apa tak apa?” tanya Harry.

Emily menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tak apa. Aku bisa bekerja di manapun.

Harry mengangguk puas. “Kau bisa bekerja mulai sekarang.”

*****

“Hey!”

Taylor terlonjak terkejut saat mendengar suara mengejutkan itu. Taylor menoleh dan mendapati Adam yang berdiri di dekat pintu dapur, tangan di depan dada dan tengah tertawa kecil. Taylor yang tengah memasak untuk makan malam memutar bola matanya sebelum fokus ke masakan yang dia buat.

“Kau mengagetkanku, Adam.” Ujar Taylor sarkastik.

Adam menghentikan tawanya dan berjalan mendekati Taylor. “Maaf, maaf. Tak kusangka kau akan seterkejut itu. Tapi, harusnya aku mengabadikan wajah terkejutmu tadi. Sangat lucu.” Adam terkekeh. Taylor memberinya tatapan tajam, Adam berhenti terkekeh.

“Apa yang kau lakukan, Tay?” tanya Adam, melirik ke arah panci yang berisikan sayuran tersebut.

“Memasak, tentu saja. Menurutmu apa yang aku lakukan di dapur?” ketus Taylor. Adam kembali terkekeh. Taylor mendengus dan mulai kembali sibuk mengaduk masakannya tersebut.

“Sebenarnya ada beberapa hal penting yang ingin kutanyakan padamu.” ujar Adam. Taylor mengangkat satu alisnya. “Apa?” tanya Taylor, penasaran.

Adam diam sejenak sebelum menghela nafas. “Baiklah. Begini, kudengar, Harry menghubungi Emily kemarin dan meminta Emily untuk tetap menjadi asistennya. Harry menyewakan dan membelikan apartemen beserta tiket ke Chesire untuk Emily. Apa kau tahu?”

Taylor tampak terkejut mendengar perkataan Adam tersebut. Taylor menahan nafas selama beberapa detik sebelum berkata dengan nada tercekat. “Aku...tak tahu apapun. Kau...kau pasti bercanda, kan?”

Adam menggeleng. “Aku tidak bercanda. Aku mendengarnya dengan sangat baik saat Harry bertelepon dengan Emily kemarin. Terserah kau mau percaya atau tidak tapi,...” Adam berjalan kembali menuju ke pintu dapur.

Adam menoleh ke arah Taylor, tersenyum manis seraya meneruskan ucapannya, “Aku hanya ingin memperingatkanmu soal Emily.”

Taylor mengangkat satu alisnya. Wajahnya terlihat cemas saat Adam mengucapkan nama ‘Emily’. Pikiran Taylor melayang ke kejadian beberapa bulan lalu, saat Emily berteriak di dalam ruangan Harry tentang apa yang telah Harry dan dia lakukan dulu. Rasanya memilukan.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top