#14 : Clear

Taylor terbangun keesokan paginya. Taylor terkejut saat melihat Harry yang sudah terbangun dan meletakkan sarapan di atas meja di samping ranjang tidur mereka. Taylor bergerak dan duduk di atas ranjang. Harry menyadari pergerakan Taylor dan tersenyum kepada sang istri.

"Selamat pagi, Beautiful."

Harry bergerak mendekat dan mengecup singkat kening Taylor sebelum duduk di tepi ranjang. Taylor memicingkan mata. "Kau tidak berangkat ke kantor? Maafkan aku, aku bangun terlambat." Ujar Taylor, merasa bersalah.

Harry menggeleng. "Bukan salahmu. Aku mengambil libur untuk hari ini. Aku ingin menyelidiki masalah Gemma. Selain itu, aku juga ingin menghabiskan waktu bersamamu." Taylor hanya diam mendengar ucapan Harry tersebut. Harry menggerakkan tangannya, menyentuh dahi Taylor.

"Tubuhmu tidak sepanas semalam. Aku pikir, kau sakit. Ternyata, efek calon anak kita yang ada di perutmu benar-benar membuatku khawatir." Taylor tersenyum tipis mendengar Harry mengucapkan 'calon anak kita' tadi. "Jangan salahkan dia. Salahkan aku. Aku yang terlalu lemah sepertinya."

"Kau tidak lemah, Taylor. Mungkin kau hanya lelah dan mulai besok, aku akan mempekerjakan pelayan di rumah ini jadi, kau tidak perlu melakukan banyak pekerjaan rumah." Taylor membulatkan matanya. "Tapi, apa yang akan kulakukan di rumah kalau begitu? Kau tahu sendiri aku tak bisa diam saja tanpa melakukan apapun."

"Tugasmu hanya satu. Pastikan anak kita baik-baik saja. Begitupun dengan Ibunya." Ujar Harry tegas. Taylor mengangguk. Senyuman kembali muncul di bibir Harry. Harry kembali mengecup kening Taylor, kali ini lebih lama dari sebelumnya.

"Jika saja hanya kau yang saat ini tengah mengandung, aku pasti akan menjadi orang paling bahagia saat ini. Hanya saja, kau tahu? Gemma benar-benar membuatku kecewa berat. Maaf jika fokusku akan terbagi antara kau dan Gemma."

*****

Taylor tak mengerti, apa susahnya memaafkan Gemma dan menerima kehadiran bayi di dalam perutnya. Maksud Taylor, bayi itu bisa saja menjadi pewaris dari Styles Enterprise, kan? Sama seperti bayi yang ada di dalam perutnya saat ini. Lagipula, Gemma juga tak tahu menahu tentang keberadaan bayi itu. Taylor menyimpulkan jika mungkin saja itu kecelakaan. Gemma melakukan 'sesuatu' secara tak sadar dengan Samuel. Walaupun, Samuel sama sekali tak mengakui hal itu.

"Serius, Gemma. Dengan siapa kau melakukannya? Bagaimana bisa kau hamil di saat kau belum menikah?" Mom Anne bertanya dengan nada serius kepada Gemma yang sengaja diperintahkan untuk duduk sendiri, di hadapkan dengan Mom Anne, Grandma dan Harry. Taylor berdiri di belakang ketiga Styles itu.

Gemma menggeleng. "Aku tak tahu. Sungguh, aku benar-benar tak tahu. Aku bersumpah, aku tak pernah ingat pernah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan sebelum aku menikah! Apa kalian lupa? Aku bahkan masih mengenakan purity ringku!"

Gemma benar. Cincin yang diberikan gereja itu masih ada di jari manis tangan kanannya. Masih melingkar dengan sempurna.

"Lepaskan cincin itu. Kau tak pantas mengenakannya lagi," perintah Grandma. Taylor bergidik ngeri. Dia belum pernah mendengar Grandma berujar sedingin itu. Apalagi kepada cucunya sendiri.

Gemma menunduk dan menuruti perintah Grandma. Gemma melepaskan cincin tersebut dan meletakkannya di atas meja. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia benar-benar kecewa atas tingkah berlebihan keluarganya saat ini. Ya, Gemma memang melakukan kesalahan besar tapi, tetap saja. Tidak seharusnya Gemma dipojokkan seperti ini.

"Kau tidak punya waktu banyak untuk mencari calon suami, Gem. Samuel secara terang-terangan tidak mau menjadi ayah dari anakmu itu walaupun, kita tahu hanya dia yang sangat dekat denganmu selama beberapa tahun belakangan." Harry melipat tangan di depan dada. Dia menghela nafas. Taylor meletakkan tangannya di pundak Harry. Harry menggerakkan tangannya, menyentuh lembut tangan Taylor di pundaknya.

"Aku...aku...."

"Tidak ada waktu. Mau tak mau, aku yang akan turun tangan dalam hal ini. Aku yang akan mencari pemuda untukmu." ujar Anne seraya bangkit berdiri. Gemma masih menunduk. "Tapi, bagaimana dengan Sam...?" Gemma bertanya dengan nada putus asa.

"Lupakan dia. Dia bukan pria yang baik untukmu."

*****

Gara-gara masalah yang dihadapi Gemma, lagi-lagi Harry harus mengambil cuti dari kantornya. Harry harus meninggalkan pekerjaannya selama beberapa hari lagi. Itu berarti, sesampainya mereka kembali di London, Harry akan sangat sibuk.

Harry menemani Anne pergi menemui seseorang saat ini. Hanya berdua. Gemma mengurung diri di kamar dan sepertinya, Grandma tidak sedang dalam perasaan yang baik untuk bicara dengan siapapun.

Jadi, di sinilah Taylor. Duduk di ruang tengah rumah keluarga Styles. Tak tahu apa yang harus dia lakukan, sampai akhirnya mata kucing itu mendapati sebuah piano di sudut ruangan. Taylor sudah melihat piano itu sejak lama.

Taylor berjalan mendekati piano tersebut dan mengangkat satu alisnya saat sadar jika piano itu terlihat mulus. Tidak berdebu. Pasti ada yang sangat rutin membersihkan piano ini.

Taylor menarik kursi yang ada di bawah piano dan duduk di sana. Taylor masih menatap piano tersebut dengan takjub. Memang bukan rahasia lagi, kan, jika Taylor memang menyukai musik. Bukankah piano termasuk ke dalamnya?

Belum sempat Taylor membuka penutup piano tersebut, sebuah suara membuatnya terkejut.

"Hei, apa yang kau lakukan?"

Taylor menoleh dan mendapati sosok Adam yang tengah berdiri tak jauh darinya. Taylor menahan nafas sebelum menjauhkan tangannya dari piano tersebut. "Ma-maaf. Aku tak bermaksud lancang. Aku hanya..." ucapan Taylor terhenti saat Adam berjalan ke arahnya dan membuka penutup piano tersebut dengan perlahan.

Kemudian, Adam duduk di bagian kursi kosong di samping Taylor. Adam tersenyum kepada Taylor. "Santai saja. Maaf jika aku mengejutkanmu. Apa kau bisa bermain piano?" tanya Adam lembut. Taylor mengangguk. "Nenekku seorang penyanyi teater. Dia bisa bermain piano."

"Terdengar menakjubkan. Mau memainkan piano ini untukku?" tanya Adam.

Taylor mengangkat satu alisnya. "Bolehkah?"

Adam terkekeh. "Tentu saja. Piano ini milikku. Taylor membulatkan matanya. "Kau bisa bermain piano?" tanya Taylor. Adam mengangguk. "Ya, aku tertarik dengan piano sejak remaja. Orangtuaku membayar seorang guru piano untuk mengajariku tiap minggu. Tapi, sekarang, dia tak mengajarku lagi."

Taylor terkekeh. "Mungkin kau terlalu tua untuk menjadi muridnya." Adam ikut terkekeh. "Ya, bisa jadi."

Kemudian Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan. Taylor mulai meletakkan jari-jari tangannya di atas tuts piano dan menekannya, sehingga menghasilkan alunan musik yang sangat indah. Adam menatapnya kagum dan Taylor tersenyum.

Sepertinya Taylor lupa akan peringatan Harry beberapa hari lalu.

*****

"Hey,"

Harry menyapa Taylor yang duduk di atas ranjang, dengan sebuah buku yang ada di tangannya. Taylor melirik sekilas Harry sebelum tersenyum dan balas menyapa, "Hey."

Harry beranjak duduk di samping Taylor. "Apa yang kau baca?" tanya Harry, melirik ke arah buku yang Taylor baca. Tanpa menoleh ke suaminya tersebut, Taylor menjawab, "Novel." Tak puas dengan jawaban sangat singkat Taylor, Harry menggerakkan kepala, melihat ke sisi depan buku tersebut. Memang novel. Novel picisan berjudul Stars.

"Apa kau akan tetap membaca novel itu walaupun, aku ada di sampingmu?" tanya

Harry, menatap serius sang istri. Taylor memutar bola matanya. "Harry, aku sedang sibuk sekarang. Novel ini sangat bagus dan satu hal yang harus kau tahu, jika tidak ada novel ini, aku akan mati bosan di sini. Semua orang bersikap sangat menyebalkan."

"Dari mana kau mendapatkan novel itu?" tanya Harry tiba-tiba. Taylor mendesah, "Aku meminjamnya dari..." Adam. Taylor menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, tidak. Jika dia bilang bahwa dia meminjam novel ini dari Adam, Harry pasti akan marah besar padanya.

"...kamar Gemma. Ya, kamar Gemma. Aku menemukan novel ini di kamar Gemma. Aku meminjamnya tadi." Taylor berbohong. Harry masih menatap Taylor tajam, seakan belum yakin akan ucapan sang istri tersebut.

"Aku tak pernah ingat jika Gemma suka membaca dan mempunyai novel itu," Harry menyentuh dagunya sendiri. Tatapannya tetap fokus kepada Taylor. Taylor menarik nafas dan berusaha untuk tenang, hingga akhirnya, tatapan Harry menghangat. Harry tersenyum. "Ya, mungkin saja itu novel milik Samuel yang tertinggal di kamar Gemma. Samuel sangat suka membaca."

Taylor menghela nafas lega saat Harry mulai membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Taylor tersenyum tipis, menutup novel pinjamannya itu, sebelum mulai berbaring di samping Harry. Keduanya sama-sama menatap langit kamar mereka yang sebenarnya polos, tanpa hiasan apapun.

"Bagaimana tadi? Menemukan apa yang kau dan Mom cari?" tanya Taylor, membuka percakapan. Harry memejamkan matanya dan mengangguk singkat. "Ya. Aku dan Mom menemui salah seorang rekan kerja Mom yang anaknya nanti, akan menikahi Gemma."

Taylor mengernyit. "Dia tidak melakukan perlawanan sama sekali atau bertanya tentang sesuatu?" tanya Taylor penasaran, Harry menggeleng. "Tidak. Dia benar-benar anak yang penurut. Namanya Steven. Steven Hunt. Dia berusia tiga tahun lebih tua dari Gemma. Dia memang sedang mencari pasangan hidup jadi, dia sama sekali tak keberatan saat Mom mengatakan semua yang terjadi pada Gemma."

"Bagaimana dengan Samuel?"

Harry mengedikkan bahu. "Aku tak peduli dengannya. Dia datang padaku, menceritakan semuanya dan lenyap begitu saja. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali tapi dia tak kunjung menjawab panggilanku. Kupikir, dia cukup dewasa dan mau mempertanggung jawabkan apapun yang dia lakukan tapi, aku salah. Dia bajingan. Aku menyesal telah mengizinkan Gemma jadi dengannya."

Taylor menghela nafas mendengar cerita Harry.

Samuel.

Taylor tak mengerti apa yang ada dalam pikiran pemuda itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top