#10 : I Love You So

Emily tak tahu apa yang dia lakukan di dalam ruangan. Sudah lima menit berlalu sejak Harry ke luar ruangan untuk menyusul seseorang bernama Taylor yang akhirnya, Emily ketahui sebagai istri Harry. Emily memang tidak—atau belum—mengenal Taylor secara dekat tapi, melihat bagaimana cemasnya Harry terhadap Taylor tadi, Emily hanya dapat mendesah pasrah. Harry bukan orang yang sering menunjukkan perasaannya seperti itu. Harry orang yang selalu menjaga image baiknya. Tapi, tadi dia berlari untuk Taylor, sambil meneriaki namanya. Seakan tak peduli jika dia menjadi tontonan karyawan-karyawannya.

Tak lama kemudian, perhatian Emily teralihkan oleh bunyi decitan pintu. Emily segera bangkit dari duduknya dan mendapati Harry yang berjalan masuk, dengan wajah kusut yang benar-benar terlihat menyedihkan. Harry berjalan sempoyongan menuju ke kursinya dan duduk di sana.

Harry menumpukan sikunya di meja, telapak tangan merangkup kepalanya sendiri, seakan ingin menyambak dirinya sendiri. Emily menggigit bibir bawahnya. Seumur-umur, dia belum pernah melihat Harry sekacau ini. Jadi, benar apa yang pernah Gemma ceritakan pada Emily tentang Harry yang benar-benar jatuh cinta pada wanita itu?

Emily mengambil langkah ke depan meja Harry. Harry menundukkan kepala dengan tangan yang masih berada di rambutnya. Dia terlihat sangat stress dan depresi.

“Harry,” panggil Emily ragu-ragu. Harry tak mengangkat wajahnya sedikitpun. Harry diam dengan perasaan yang masih tidak tenang. Tadi, Harry berusaha mengejar Taylor dan nyatanya, Taylor lebih cepat darinya. Taylor sudah masuk ke dalam mobil dan meminta sang supir untuk mengendarai mobil menjauh, di saat Harry baru sampai di luar Styles Enterprise. Tentu saja Harry terlambat dan Harry menyerah untuk mengejarnya. Mungkin Taylor butuh waktu sendiri dan Harry akan menunggu sampai istrinya itu siap menemuinya lagi.

“Aku minta maaf atas ucapanku tadi. Aku sama sekali tak bermaksud seperti itu. Aku hanya...” Emily menahan nafas. Matanya masih menatap lirih ke arah Harry, “Aku hanya tak tahu apa yang terjadi padamu. Ya, mungkin kita sudah lama tak bersama. Tapi, walaupun begitu, aku benci saat kau menjauhiku. Aku selalu berusaha untuk dapat menggapaimu dan kau terus menjauhiku.”

Harry masih diam, tanpa kata. Emily menggigit bibir bawahnya sekilas sebelum kembali berkata, “Aku tahu, kejadian beberapa tahun lalu memang tidak disengaja. Saat kau datang dalam kondisi mabuk dan melakukan hal di luar kesadaranmu padaku. Aku tahu itu dan Harry, sungguh, aku...aku hanya ingin berjalan berdampingan denganmu. Aku benci saat kau menjauhiku karena kebodohanmu itu.”

Harry mengangkat wajahnya, menatap Emily. Emily masih menatap Harry. Matanya mulai berkaca-kaca. “Walaupun, mungkin kita tak bisa bersama sebagai pasangan, setidaknya, perlakukanlah aku seperti dulu, Harry. Saat kita masih bersama. Sebagai sahabat dekat.”

“Maaf.” Harry menahan nafas, sebelum kembali berkata, “Aku hanya...kau tahu sendiri bagaimana aku saat kehilangan kontrol. Selama ini, aku selalu mencari orang yang dapat mengontrolku dengan baik. Aku sudah menemukannya. Aku sudah mendapatkannya. Aku sudah memilikinya. Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku benar-benar membutuhkannya.”

Emily mengangguk. “Aku mengerti.”

“Aku tak bermaksud meninggalkanmu begitu saja, Em. Kejadian beberapa tahun lalu, antara kau dan aku, benar-benar berada di luar kendaliku. Aku mabuk dan kau menemukanku, setelah sekian lama kita tak bertemu satu sama lain. Aku tahu itu bukan pertemuan kembali yang baik. Itu sangat buruk. Aku sangat menyesal. Aku minta maaf atas kebodohanku. Saat itu, aku tak tahu apa yang merasuki diriku.” Kali ini, giliran Harry yang berkata panjang lebar.

“Aku bukan meninggalkanmu dan menelantarkanmu begitu saja. Aku hanya merasa jika aku adalah orang paling hina. Aku melecehkan sahabatku sendiri. Aku tak tahu harus apa. Aku merasa bersalah denganmu makanya aku menjauhimu. Aku tak mau mengingatkanmu pada kejadian memalukan itu.” Harry tersenyum sinis, “Lalu, kau datang ke kantorku, meminta pekerjaan. Aku masih merasa bersalah denganmu makanya, aku membiarkanmu bekerja di sini. Aku juga berusaha keras mengembalikan semuanya seperti sedia kala tapi, aku masih ragu.”

“Harry, aku tahu itu bukan kesalahanmu. Aku tahu kau memang tak menyadari semua itu. Aku yang bersalah. Kenapa aku diam saja, bukannya melawan? Tapi, sungguh, aku sudah melupakan semuanya hingga hari ini, kau benar-benar membuatku kesal. Kau mendiamkanku dan kau bertingkah sangat dingin padaku. Aku...aku benci diperlakukan seperti itu olehmu. Aku benar-benar hilang kendali saat mengungkit semuanya tadi. Aku juga tak sadar jika istrimu datang dan mendengar semuanya. Maafkan aku. Aku akan melakukan apapun agar kau memaafkanku.” Emily berujar sungguh-sungguh. Dia merasa bersalah atas perginya Taylor tadi.

Harry mengangguk lemas. “Baiklah. Lupakan saja.”

“Aku akan menemui istrimu dan menjelaskan semuanya.” Emily menawarkan. Harry menggeleng. “Tak perlu. Dia tak akan suka mendapat penjelasan dari orang lain, selain aku yang memang bersalah. Aku akan menemuinya dan menjelaskan padanya nanti.”

“Tapi,....”

“Sudahlah, Em. Aku bilang, lupakan. Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi. Sebagai sahabat, seperti dulu.” Harry tersenyum samar-samar. Emily mau tak mau hanya mengangguk, menurut walaupun, rasa bersalah itu tak lenyap dari pikirannya.

*****

Harry memarkirkan mobil di dalam garasi rumah. Setelah itu, Harry ke luar dari mobil dan diam sejenak, berpikir apa yang harus dia katakan pada Taylor. Taylor ada di rumah, ya, itu yang dikatakan penjaga rumah Harry saat membukakan pintu gerbang untuk Harry tadi.

Pria tampan dengan rambut keriting kecokelatan itu mulai memasuki rumah. Harry mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok yang harus mendengar penjelasannya. Namun, Harry tak mendapati Taylor di manapun.

Harry menaiki tangga, menuju ke lantai dua. Harry menghentikan langkah kaki tepat  di depan pintu kamarnya. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum menarik knop untuk membuka pintu. Harry menahan nafas saat melihat Taylor yang berbaling memunggunginya.

Dengan langkah berat, Harry mendekat. Harry duduk di tepi ranjang dan sesekali menatap punggung Taylor tersebut.

“Maafkan aku.” Kalimat itu mengalir ke luar begitu saja dari mulut Harry. Harry menunggu Taylor membalasnya dengan ucapan apapun. Harry bahkan sudah sangat rela jika Taylor akan mengumpat atau memakinya habis-habisan. Itu lebih baik daripada harus didiamkan oleh Taylor.

“Tay, bukankah aku sudah menceritakan masa lalu burukku padamu? Aku memang bukan suami yang baik untukmu tapi, aku sudah berjanji aku akan berubah untukmu. Dulu, aku memang melakukan banyak kesalahan. Aku mabuk, berhubungan seksual dan semacamnya dengan banyak gadis. Tapi, aku sudah menghentikan keburukanku itu karena aku sadar, semuanya salah. Aku mau melakukan hal itu lagi. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.” Harry menjelaskan.

Mata Harry berkaca-kaca. Ini aneh. Harry sangat jarang menangis. Harry selalu dapat menahan diri untuk tidak menangis. Menurut Harry, menangis itu hal yang sangat memalukan untuk seorang pria. Tapi, lihat dia sekarang. Dia benar-benar hampir menangis hanya karena semua ini.

Harry diam dan mulai pasrah. Harry menundukkan kepala, berusaha bersabar dan menahan diri. Harry tak mau kehilangan Taylor tapi, dia tahu, mungkin Taylor butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Salah Harry pula, dia tidak pernah menjelaskan secara detail tentang masa lalu buruknya, termasuk tentang hubungannya dengan Emily.

Harry terkejut saat mendapati gerakan di ranjang. Saat Harry menoleh, dia semakin terkejut mendapati Taylor yang melingkarkan lengannya di pinggang Harry, memeluk Harry dari belakang. Taylor menyandarkan dagunya di bahu Harry.

“Aku tak peduli dengan masa lalu burukmu itu, hanya saja, aku benci mendengar semuanya ke luar dari mulut gadis itu. Kupikir, tak ada lagi rahasia di antara kita,” ujar Taylor lembut. Harry tersenyum tipis. “Aku tak tahu apakah aku harus menceritakan bagian itu atau tidak. Aku tak mau membahasnya lagi, Taylor. Membahas semua itu hanya membuatku merasa sebagai makhluk paling hina di dunia. Aku semakin merasa tak pantas berada di dekatmu.”

Taylor diam sejenak, sebelum secara tiba-tiba, mengecup singkat pipi Harry. “Aku mencintaimu,” ujar Taylor. Harry hanya dapat diam, masih tak mengerti dengan jalan pikiran Taylor. Harry pikir, Taylor benar-benar marah padanya dan akan mendiamkan Harry berhari-hari.

Taylor melepaskan pelukannya dan merubah posisinya. Taylor beralih duduk di pangkuan Harry, melingkarkan lengannya di leher Harry. Harry menahan nafas. Tak biasanya Taylor seperti ini.

“Aku penasaran apa yang membuatmu dulu sering melakukan hal-hal seperti itu,” Harry merasakan sesuatu yang panas mengalir dalam tubuhnya, saat Taylor dengan jari lentiknya menyentuh leher Harry, sebelum beralih ke kemeja Harry. Taylor melepaskan kancing paling atas kemeja Harry tersebut. Harry lagi-lagi menahan nafas.

Tangan Taylor terus membuka satu per satu kancing kemeja Harry dan di kancing terakhir, Harry menahan tangan Taylor, membuat gadis itu menoleh ke arah Harry dengan penuh tanda tanya di wajahnya. “Tay, jangan lakukan sesuatu hanya karena kau marah padaku. Aku...aku akan menunggumu siap, tak perlu seperti ini.”

“Harry, jika kau terus menerus menungguku siap, jangan berharap akan terjadi dan kau tahu apa yang ada di pikiranku saat ini?” tanya Taylor seraya beranjak dari posisinya, kembali ke atas ranjang. Harry menatap Taylor dengan tatapan tak mengerti.

Taylor tersenyum miris. “Harry Styles, pemuda yang menikahiku dan mengaku sangat mencintaiku, lebih senang berhubungan seks dengan jalang-jalangnya daripada denganku. Malangnya.” Harry memicingkan mata saat Taylor mengucapkan kalimat tersebut. Harry menggeleng sebelum naik ke ranjang dan bergerak mendekati Taylor, “Bukan begitu, hanya saja...”

Harry hendak menyentuh Taylor namun, Taylor menepis tangan Harry. Taylor meraih bantal dan memeluk bantal tersebut erat. Taylor membenamkan wajahnya di bantal tersebut. Harry diam. Taylor pasti menangis dan Harry paling tak bisa menghadapi Taylor saat dia tengah menangis. Rasanya, Harry juga ingin sekali menangis.

Harry memejamkan mata sebelum membukanya kembali. Tangan kekar pemuda itu bergerak menarik bantal yang dipeluk Taylor, membuat Taylor mengangkat wajahnya. Di saat itu pula, Harry bergerak cepat ke arah sang istri. Harry menangkup wajah Taylor sebelum mendaratkan dengan cepat bibirnya di atas bibir Taylor. Taylor tampak sangat terkejut pada awalnya namun, dia tak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya seakan mengikuti ke mana Harry akan membawanya.

Harry melepas ciumannya dan beralih mengecupi tiap bagian wajah Taylor. Lagi-lagi Taylor hanya dapat diam.

“Aku...,” Harry mengecup dahi Taylor.

“Sangat,” Harry mengecup hidung Taylor.

“Mencintaimu,” Ciuman Harry kembali menuju ke bibir Taylor. Taylor mendesah saat lidah Harry seakan memaksa agar Taylor membuka mulut.

Yang terjadi selanjutnya adalah yang seharusnya mereka lakukan sejak mereka resmi menjadi suami-istri.








Ps: adegan di atas di buat sebelum bulan Ramadhan. Wkwk._.v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top