38. Permainan

Aku tahu beberapa (atau bahkan mayoritas) pembaca cerita ini ada anak kecil kisaran 10 - 16 tahun.

Jadi bijaklah dalam membaca cerita ini.

WARN!
Terdapat kata-kata yang sedikitugh.
Jadi kalau tidak nyaman, bisa di skip bagian yang tidak menyenangkan untuk dibaca oleh kalian.

Long Chapter!

Happy reading!

Shion menghela napasnya, mungkin kali ini ia benar-benar akan tamat oleh Queen. Ia sudah mengetahui apa saja yang ia lakukan, itu artinya ia akan selesai. 

Gaara yang ada di sebelah Shion hanya mampu menatapnya, tidak bertanya sama sekali apa yang ada di pikiran Shion. Gaara juga merasa semua ini akan selesai, mungkin dibunuh oleh Queen terasa lebih baik daripada ia harus menjadi salah satu koleksi kulit wajah atau pun organ milik Queen.

"Hai, saudaraku." Shion mendongakkan kepalanya, meihat seseorang menyapanya. Orang itu berdiri didekat pintu ruangan Queen dengan wajah pongah yang sombng.

Shion membelakkan matanya, 

"Sudah lama tidak bertemu, membolos sekolah terus sih." ucapnya. 

"Sara..." gumam Shion. Matanya terus menatap Sara dengan sengit. 

Sara yang memperhatikan itu hanya tertawa pelan. "Ups, sepertinya panggilanmu harus di ganti, Shion-chan. Panggil aku Sara-nee, aku kakak mu asal kau tahu."

"Kenapa kau ada disini?" Sengit Shion.

"Bukannya sudah jelas? Aku anak Mei Kaa-sama. Aku sudah lelah berpura-pura dihadapan kalian, jadi aku keluar dari topengku dan—tadaa, aku disini. Aku juga sudah muak melihat sikapmu yang sok superior itu, jadi kuputuskan untuk bertemu Kaa-sama." Jelas Sara. Gaara mengernyitkan dahinya, ada yang tidak beres disini.

"Ah iya, Gaara-kun, bisakah aku meminta bantuanmu? Aku membutuhkan sesuatu untuk melihat perkembangan pekerjaan kalian." Sara berjalan mendekat, merangkul Gaara dan membawanya pergi dari sana.

"Kau dalam masalah, Shion." Bisik Sara pada Shion sebelum ia benar-benar pergi dengan Gaara.

****

"Halo anakku."

Shion menahan napasnya saat melihat Mei duduk di kursi kebanggannya dengan memegang sebuah pisau ditangannya.

Mei terkekeh melihat wajah anak angkatnya. Ia menatap sinis dan angkuh kearah Shion.

Mei berdiri dari kursinya dan mulai jalan menghampiri lemari yang ada disebelah mejanya sebari mengelus pisau yang tengah di pegangnya.

"Kabur selama satu-minggu, hampir membongkar identitasku, berteman dengan mereka, bahkan menginap di hotel dengan salah satu anak Uchiha."

Shion dengan susah payah menarik napasnya. Nyawanya benar-benar ada di ujung tanduk sekarang.

"Betapa jalangnya anakku yang satu ini. Melakukan apa saja kau dengan Itachi, huh?" Mei menatap Shion tajam.

"A-aku t-tidak melak-melakukan apapun." Kilah Shion.

Mei terkekeh lagi. Dengan keras ia menaruh pisau di meja, membuat Shion terperanjat kaget.

Brak!

"Baiklah, aku pun tidak peduli apa yang kau lakukan dengan Itachi sekalipun kau menjual tubuhmu pada orang lain, aku tidak peduli. Tapi kau sudah tahu apa konsekuensi yang kau dapatkan jika melanggar aturanku, bukan?"

Mei mengambil kunci yang ada di mejanya dan melemparnya tepat pada wajah Shion dengan keras, membuat Shion meringis sakit. Tak lama setelah itu Sara muncul dari balik pintu lalu menjambak rambut Shion, menyeretnya kedalam ruangan khusus.

Mengabaikan teriakan ampun dan rintihan kesakitan Shion, Mei malah tertawa. Ia lalu berjalan menuju ruangan komputernya. Di lihatnya satu layar besar dengan layar-layar kecil yang mengelilingi dinding.

"Anak-anak bodoh." Gumam Mei. Ia menatap remeh kearah dua layar yang memperlihatkan keadaan mansion Hyuuga dan juga tempat dimana Naruto dan Sasuke berada.

"Aku tidak akan menunggu lama, bocah. Waktu kalian tinggal 50 jam, selebihnya, Dor! Mati—oh! Aku punya ide yang lebih baik! Malam ini akan ada pesta. Bagaimana jika bungsu Hyuuga itu ikut bergabung?" Mei tertawa, matanya bergulir melihat layar disebelah kanan.

Menampakkan seorang gadis kecil bermata khas itu sedang meringkuk disisi tembok kotor.

Sejak awal ia membawa anak itu, Mei sama sekali tidak memberikan makan. Ia hanya memberikan anak itu satu botol air mineral dalam sehari.

"Menyedihkan sekali anak-anakmu, Hiashi."

****

Sai menatap sekeliling mansion Hyuuga. Ia hendak memastikan bahwa semua camera yang terpasang itu sudah bisa dilihat oleh Queen.

Dimana Ino? Batin Sai. Ia tidak melihat keberadaan Ino disana.

"Ino?" Sai memanggil. Tapi tetap tidak ada yang menyahut.

Sai memasuki tempat dimana ia menyekap Ino disana, dan lagi-lagi hasilnya tidak ada.

Sai menghela napas pelan. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Ino pasti akan kabur, mengingat Ino merupakan gadis bar-bar yang tidak suka dikendalikan siapapun.

"MATI KAU!" Sai terperanjat kaget, ia membalikkan badannya.

Namun, belum sampai ia membalikkan badan sepenuhnya. Seseorang sudah menerjangnya dari belakang.

"Beraninya kau menyekapku! Sialan!"

Bugh

Ah, ternyata Ino.

Sai sedikit meringis, pukulan Ino pada wajahnya bukan main-main.

"Dasar sialan! Pengkhianat!"

Bugh

Bugh

"Sakit, bodoh!" Sai meringis lagi.

"Siapa yang kau bilang bodoh, bajingan?!"

Sai meringis sakit, rambutnya dijambak keras oleh Ino. Sebelum Ino semakin menjadi-jadi, dengan segera ia memnempelkan airbuds pada telinga Ino.

"Hei, Sai. Apa yang terjadi dengan Ino?"

Ino terdiam, ia bisa mendengar suara Hinata dari airbuds itu.

"Hinata?" Gumam Ino.

"Oh—Hai Ino."

Ino mengernyitkan dahinya. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa ia tidak bisa memahami situasi ini?!

"Tunggu, apa ini maksudnya?"

Sai menghela napasnya lalu mengambil alih  yang dipakai Ino.

"Tipuan."

"Huh?" Ino kebingungan. Ia menatap Sai yang sedang merapikan rambutnya. Sai sedikit mengacaknya lalu ia sisir asal dengan tangan kirinya.

Ino terdiam melihatnya.

Sial dia tampan sekali. Batin Ino, tidak berselang lama, ia menggelengkan kepalanya.

Apa yang kau pikir kan bodoh?! Ini bukan saatnya untuk berpikir seperti itu. Teriak Ino, yang tentunya didalam hati.

Sai menatap Ino lalu mengarahkan sudut ruangan menggunakan matanya. Ino yang mengerti langsung melihat kearah yang sama.

Ino terdiam, sejak kapan ada kamera disini?

"Mengertikan maksudnya?" Tanya Sai.

Ino mendengus lalu mengangguk. "Hari ini ya?"

Sai tersenyum seperti biasa lalu matanya mengarah kearah salah satu sudut yang berlawanan dengan kamera yang sebelumnya di tunjukan.

Disudut itu ada kamera kecil yang tertutup hiasan dinding, kamera itu terdapat gantungan lambang clan Hyuuga.

"Ini sengaja, kita sudah selesai mengerjakan tugas. Kita tinggal mengambil Hanabi." Kata Sai.

Ino mengumpat dalam hati, kenapa ia baru menyadarinya?

"Lalu, apa urusannya dengan kau menyekapku dan memperlakukan ku dengan kasar, huh? Dasar bedebah!" Omel Ino dengan tangannya yang melayangkan pukulan cinta pada kepala Sai.

Sai meringis, "Tanganmu itu benar-benar kasar sekali ya? Dasar perempuan bar-bar!"

"Sampai kapan kalian ribut? Cepat susul Shikamaru dan Temari!" Sentak Sakura.

Sai mendengus, ini memangnya tidak ada satupun perempuan yang bisa berkata lembut padanya apa? Bisa rusak fungsi telinganya jika seperti ini terus.

"Iya, dasar cerewet!" Gumam Sai.

"Kau mengataiku cerewet, ha?!" Sentak Ino. Sai langsung menggelengkan kepalanya ribut.

"Tidak-tidak, ini untuk Sakura, bukan untukmu!" Elak Sai.

"OH KAU MENGATAIKU CEREWET HA?!" Teriak Sakura yang langsung mengenai gendang telinganya.

Sai menghirup napasnya berat. Sepertinya memang sulit jika harus berurusan dengan para perempuan galak itu.

****

"Gaara-kun~, bagaimana dengan perkembangan rumah keluarga Hyuuga itu hm?" Tanya Sara. Ia datang ketempat Gaara dengan membawa kue kering dan segelas susu ditangannya.

Gaara terdiam sesaat. Ia sangat membeci hidupnya saat ini, menjadi boneka bagi dua perempuan gila itu adalah mimpi terburuk yang ia alami selama ia hidup.

Gaara menatap sinis kearah Sara. Kali ini ia harus berani melakukan sesuatu seperti yang Shion lakukan.

"Tidak ada." Jawab Gaara singkat.

Sara tersenyum. "Aku yakin ada yang berbohong disini, hum?~"

Sara menyimpan nampan berisi kue kering dan susu itu di meja tepat disebelah Gaara. Setelahnya, Sara menarik salah satu kursi dan duduk dengan wajahnya yang tetap tersenyum.

Gaara yang ditatap seperti itu hanya diam memperhatikan. Ia sudah tidak peduli jika kepalanya akan dipenggal seperti koleksi Mei, ia akan melawan kali ini.

"Mau tetap diam?~" Sara mengusap kedua pipi Gaara.

"..."

Sara tersenyum, kali ini berbeda dengan senyuman yang sebelumnya. Terlihat sedikit—errr menyeramkan?

"Ayo, bilang sesuatu. Kau tahu kan hari ini akan ada pesta besar-besaran di pasar gelap penjualan organ? Kau tidak ingin menjadi salah satu dari orang yang dijual seperti adik Hinata kan?" Sara tetap mengusap kedua pipi Gaara.

"Aku tidak peduli. Yang aku mau adalah aku keluar dengan segera dari sini." Kata Gaara.

Sara terdiam, ia melepaskan elusan dipipi Gaara.

"Oh, begitu?" Tanya Sara dengan raut wajah datar. Ia berdiri dan berjalan sedikit jauh dari Gaara, mengambil sesuatu dari laci diujung meja lalu kembali berdiri dihadapan Gaara.

"Mau pergi? Pergilah~" Ucap Sara. Kedua tangannya berada dibelakang tubuhnya untuk menutupi barang yang ia ambil.

"Segera." Balas Gaara dengan dinginnya.

Sara tersenyum senang. "Tapi, sebelum kau pergi, bolehkah aku memberikan oleh-oleh untuk seorang anak cupu disekolah yang sudah berani melawan?"

Gaara mengernyitkan dahinya. Firasatnya buruk saat Sara mengucapkan kalimatnya, ditambah dengan senyumnya yang terasa begitu ambigu untuknya. Namun Gaara tetap berusaha untuk diam, ia tidak ingin salah tindakan.

"Apa?" Tanya Gaara. Sara semakin senang, ia memberikan sebuah flashdisk kecil—yang barusan ia ambil dari laci—kepada Gaara.

"Periksalah, itu akan membantumu agar setelah kau pergi kau akan tahu tujuanmu akan kemana." Katanya. Gaara semakin dibuat bingung oleh Sara, tapi ia tetap menerima flashdisk itu dan segera memeriksa isinya.

Sara masih tetap dalam posisinya saat Gaara mulai memeriksa isi benda kecil itu. Senyumnya semakin mengembang saat melihat wajah keterjutan Gaara.

Tubuh Gaara bergetar, matanya mengeluarkan air mata tanpa disuruh. Ia tidak bia mempercayai apa yang ia lihat dan baca. Sungguh, rasanya seperti ditimpa ribuan beton tepat di kepalanya.

Gaara menunduk, ia terisak hebat melihat sebuah fakta yang ia dapat.

"Bagaimana? Oleh-olehku bagus bukan?"

Gaara spontan melihat kearah Sara. Tatapan Gaara menjadi bengis kala melihat perempuan itu tersenyum sok manis.

Gaara berdiri dari kursinya. Menatap bengis Sara, "Kau—kalian semua sialan!" Geram Gaara.

Sara tertawa keras. Namun beberapa detik kemudian, ia mengubah raut wajahnya menjadi sedih. Tentunya pura-pura.

Sara yang asli itu adalah manusia licik penuh drama. Ia akan bermain menjadi seribu wajah untuk kesenangannya. Dan sialnya, Gaara ditarik paksa dalam drama sialan Sara.

"Sialan? Oh ayolah, aku berbaik hati mencuri itu dari Mei Kaa-sama untukmu dan kau mengataiku sialan? Haduh~ sedihnya diriku~ padahal aku tahu konsekuensi yang aku dapatkan dari Mei Kaa-sama jika aku membongkar ini padamu"

Sara berjalan menuju Gaara. Kedua tangannya tetap berada dibalik punggungnya sendiri. Ia berhenti tepat didepan Gaara dan tersenyum.

"Itu baru awal, Gaara—ah apa aku harus menyebutmu Sabaku-sama?"

Sara tersenyum kemenangan.

"Tapi kau tahu? Kau terlalu bodoh untuk menyadarinya, sekarang mari kita bersiap untuk pesta malam ini." Ucap Sara.

Dan setelahnya tubuh Gaara mengejang. Ia terjatuh dengan kepala yang menghantam ujung meja.

Sara menatap Gaara datar.

"Katanya mau kabur, tapi baru disengat sedikit saja sudah lemah. Dasar bodoh." Ucap Sara. Ia menggenggam sebuah benda berbentuk kotak yang barusan ia gunakan untuk menyetrum Gaara dengan skala tinggi.

Tanpa membuang waktu, ia menjambak keras rambut merah Gaara dan menyeretnya kesebuah ruangan.

****

"Temari, cepat kemari dan lihat ini!" Seru Shikamaru. Temari langsung menghampiri Shikamaru.

"Ada apa?"

"Lihat ini." Shikamaru menyentuh benda yang tampak tidak asing di salah satu sudut ruangan.

"Sialan, sedari awal kita diawasi!" Geram Temari. Ia dengan segera melihat keseluruh penjuru ruangan.

"Satu—dua—ti—sialan! Banyak sekali!" Temari menghitung beberapa kamera yang baru ia sadari keberadaannya.

"Si sialan Sai itu mengawasi kita!" Ucap Temari. Shikamaru hanya terdiam dan memperhatikan sudut ruangan dengan seksama.

Shikamaru merasa ada yang janggal disini. Ia memutuskan untuk mengambil kamera pertama yang ia temukan dan ia mengambil kamera kedua yang tidak jauh dari kamera pertama yang ia temukan.

Shikamaru mengamati bentuk kedua kamera yang ia pegang. Keduanya tampak berbeda dalam segi bentuk, Shikamaru tahu jelas milik siapa kamera kedua yang ia temukan.

"Sepertinya bukan."

Temari yang sedang mencak-mencak mengumpati Sai langsung berhenti dan menoleh keradah Shimamaru.

"Apanya yang bukan?"

"Lihat ini, ada dua tipe kamera dalam satu ruangan dan kedua kamera ini mengawasi dari titik yang sama."  Temari menukikkan sebelah alisnya. Tampaknya Temari belum paham maksud Shikamaru.

"Maksudnya apa?"

"Coba kau perhatikan, ini kamera pertama yang kutemukan barusan dan ini kamera kedua. Kedua kamera ini jaraknya tidak berjauhan. Itu artinya ada dua orang yang mengawasi kita." Jelas Shikamaru.

Temari langsung memeriksa kedua kamera itu. Benar juga, bisa jadi ada dua orang yang mengawasi mereka karena tidak mungkin penguntit sialan itu menggunakan tipe kamera yang berbeda.

"Aku mengerti." Ucap Temari dengan mata yang belum lepas dari kedua kamera tersebut.

"Dan aku kenal satu tipe kamera dari kedua kamera itu."

"Kau kenal?"

"Ya, hanya ada satu perusahaan yang mengeluarkan kamera bertipe seperti itu."

"Siapa?"

Shikamaru tersenyum. Ia tidak menjawab, ia langsung duduk dengan tenang di kursi tempat mereka terikat sebelumnya.

"Sepertinya kita salah paham dengan kondisi ini." Ucap Shikamaru dengan tenang.

Temari mengerang, "Hei baka! Kau belum menjawabku! Dan jangan berucap dengan kata-kata yang berat seperti itu, aku tidak paham!"

Shikamaru terkekeh. "Sudahlah, kau memang bodoh. Jadi duduk saja disini, sepertinya akan ada yang datang. Hari ini adalah penentuan akhir."

Temari mengerucutkan bibirnya, ia berjalan mendekati Shikamaru dan terduduk dikursi tepat disamping Shikamaru.

"Hei, apa tanganmu masih sakit?" Tanya Shikamaru. Ia memperhatikan tangan Temari yang patah karena Sai.

Temari enggan menjawab, ia malah memunggungi Shikamaru. Ia merajuk rupanya.

Shikamaru yang baru pertama kali melihat Temari merajuk seperti ini langsung tertegun. Sungguh, Shikamaru tidak tahj kalau Temari memeliki sisi yang menggemaskan seperti ini.

Wajah sebal, bibir yang mengerucut, juga suara hump! yang samar-samar terdengar itu berhasil membuat Shikamaru tertegun.

Sialan, kenapa gadis tukang mengomel ini bisa menggemaskan?!

Dan double sialannya, jantung Shikamaru berdetak tak karuan hanya dengan hal sepele seperti itu.

"Hei, kau marah padaku?" Tanya Shikamaru. Ia berusaha mengontrol jantungnya yang berisik.

"Jwanan bicara denan orang bwodoh swepwerti ku, hump!"

Shikamaru membulatkan matanya.

Wwhat?

Ini Temari?

Ini Sabaku no Temari yang kasar, tidak beraturan, dan tukang mengomel itu?

Deg deg deg

Sialan, jantungku semakin berisik! Umpat Shikamaru dalam hati.

"T–Temari, i–ini kau?" Sungguh, Shikamaru agak merinding sebenarnya. Tapi sisi yang seperti ini malah berhasil membuat Shikamaru gemas.

"Tentu saja bodoh, huh!" Dengus Temari yang tetap memunggungi Shikamaru.

Brak!

Pintu terbuka dengan keras, menampakan Sai dan Ino yang terdiam melihat posisi Temari dan Shikamaru.

"Wah, sepertinya aku dan Ino datang disaat ada prahara rumah tangga ya?" Celetuk Sai yang mendapatkan geplakan kepala dari Ino.

"Tolong, ini sedang serius. Jangan dulu bercanda!" Desis Ino. Sai hanya mengusap kepalanya.

Temari yang melihat ada Sai langsung berdiri dengan kuda-kudanya. Dengan segera Shikamaru menahan Temari.

"Kalian sudah tahu?" Pertanyaan ambigu keluar dari mulut Ino—ah, ini terdengar ambigu bagi Temari saja tentunya.

"Sudah. Sialan sekali kalian, memangnya harus sampai mengurungku dan mematahkan tangan Temari, ha?!" Hardik Shikamaru.

"Jangan salahkan aku, salahkan yang membuat rencananya! Lagipula, bagus jika kalian sudah tahu, kita harus cepat membereskan semua ini. Si sialan Queen itu sudah membuat kacau semuanya." Gerutu Sai.

Ino memutar kedua bola matanya dengan malas, tentu saja yang harus disalahkan itu Sai! Jelas-jelas ia yang mematahkan tangan Temari—terlepas itu bagian dari rencana atau bukan.

"Sama saja bodoh! Tetap kau pelaku yang mematahkan tangan sahabatku!" Kesal Ino. Sai melirik Ino yang tepat berada disebelahnya lalu tersenyum sedikit menggoda.

"Yang penting bukan mematahkan hatimu kan?" Gurau Sai, ia menaik turunkan kedua alisnya.

"Sialan, pendengaranku ternodai." Umpat Temari yang melihat tingkah konyol Sai di waktu yang tidak tepat ini.

Ino terdiam, wajahnya sedikit memanas. Ia mengalihkan wajahnya pada arah lain, menghindari tatapan Sai.

"Mati saja kau, brengsek!" Lain di mulut, lain di pipi.

"Permisi, bisakah kita keluar dari sini dan cari dimana Naruto? Aku menemukan kejanggalan disini." Ucap Shikamaru yang berusaha mengalihkan suasana kembali seperti yang seharusnya.

****

Naruto, Hinata, Sakura dan Sasuke sedang mengamati salah satu kamera yang sengaja mereka sadap.

"Ternyata Mei-sensei yang melakukan ini semua. Sialan sekali jalang satu itu!"  Umpat Naruto.

Plak!

"Aduh! Sakit!" Naruto mengaduh kesakitan karena mulutnya yang di pukul oleh Hinata.

"Mulutmu kurang ajar sekali." Kata Hinata tanpa beban.

"Hei, aku tidak salah! Lihat saja kelakuan Mei-sensei! Aku sudah membaca beberapa hal mengenai dirinya dari data yang kudapatkan semalam suntuk! Jelas aku boleh mengatakan hal itu padanya." Naruto menggeram kesal.

"Diam dulu, bodoh! Lihat ini!" Seru Sasuke, ia menunjuk kearah layar komputernya yang menampilkan Shikamaru, Temari, Sai dan Ino yang keluar dari Mansion Hyuuga.

"Bagus, mereka bekerja dengan baik!" Seru Naruto. Ia menatap layar itu lalu menepuk bahu Sakura.

"Giliranmu Sakura-chan. Tugas ini cocok untuk perempuan bar-bar sepertimu." Ucap Naruto.

Sakura memutar bola matanya malad, ia memperhatikan Naruto dengan tatapan pongah miliknya.

"Giliran menghancurkan sesuatu baru kau menggunakanku, Naruto." Ucap Sakura.

"Halah, kau juga menyukai bagian penutup ini kan?"

Sakura menggerling pada Naruto dan mencolek dagu Naruto dengan telunjuknya. "Kau mengenalku dengan baik ternyata."

Pemandangan itu tak luput dari pandangan Sasuke. Sasuke diam melihat Sakura yang menggerling pada Naruto.

"Sabarkan dirimu, Sasuke. Si dobe sialan itu tetap temanmu." Ucapnya dalam hati.

Sedangkan Hinata hanya acuh-tak acuh melihat keduanya.

"Kali ini, aku harus muncul dimana?" Tanya Sakura pada Hinata.

"Kau harus ke bagian utara Konoha. Kau bisa menjadi bagian yang paling diharapkan disini Sakura, kuharap kemampuan karatemu tidak akan menumpul disaat seperti ini." Gurau Hinata.

Sakura terkekeh, "Mana mungkin, aku ini juara nomor 1 di seluruh Jepang. Mana mungkin kemampuanku menumpul."

"Tentu, oh iya. Nanti ambil beberapa senjata untuk antisipasi," ucap Hinata.

Sakura terkejut, "Kau—kau punya persediaan senjata?"

"Apanya yang mau disebut senjata? Hanya 4 buah pisau mana bisa disebut senjata." Sambar Naruto.

Sasuke mengangguk, "Kita akan masuk penjara jika menggunakan senjata api, itu ilegal."

"Walaupun pisau, itu sangat berguna. Terimakasih Hinata." Ucap Sakura.

"Tentu, aku juga sudah menyiapkan 4 pisau untukku. Kita berangkat 15 menit lagi."

"Akan aku kirimkan titik lokasi dimana jalang itu bersembunyi. Mungkin kita juga akan menemukan antek-anteknya disana. Jadi kita harus waspada." Ucap Sasuke.

Yang lain hanya mengangguk setuju dan mulai mempersiapkan semuanya. Setelahnya, mereka meninggalkan ruangan itu.

"Ini akhir untukmu, Queen—oh bukan, tapi Mei-sensei."













Tbc.

Dahlah, makin ngawur:")

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top