36. Firasat

Hari ini sudah masuk hari ketiga. Enam-hari yang ditentukan Queen sudah berkurang, tinggal tersisa tiga hari lagi, dan bahkan mereka belum melakukan pergerakan apapun.

Kemarin, benar-benar hari yang terasa panjang. Sakura sebenarnya berniat mengatur rencana dengan Shikamaru, tapi sayangnya, Shikamaru tidak bisa ditelpon, Temari pun sama. Sakura menghela napasnya pelan, lagi pula, sebenarnya Sakura tidak bisa meninggalkan Tenten dan Neji begitu saja dirumah sakit, untuk berjaga-jaga takutnya Queen datang dan menyerang keduanya.

Sakura duduk diam dikoridor rumah sakit sekarang, ia menggumam sendiri, "Tidak ada yang bisa kuhubungi sekarang. Dengan siapa aku harus berdiskusi? Waktunya tinggal tiga hari lagi."

Puk

"Ukh!"

"Ada kami Sakura, kita berempat bisa berdiskusi untuk langkah selanjutnya." Tiba-tiba saja Karin muncul bersama Suigetsu dan Sasuke.

"Apa ini?" Tanya Sakura sebari melihat barang yang dilempar Karin barusan.

"Kau buta? Itu roti untukmu, baka!"

Sakura berdecak pelan, tanpa banyak bicara dia langsung memakan roti itu.

Suigetsu duduk tepat disebelah kiri Sakura, "Aku sebenarnya tidak mengerti dan bingung dengan apa yang kalian lakukan. Aku benar-benar tidak mengerti. Hanya saja aku punya firasat buruk tentang kalian."

Sasuke yang duduk disebelah kanan Sakura mengernyitkan dahinya, "Firasat apa?"

Suigetsu mengendikkan bahunya, "Entahlah, tapi kurasa, ini ada hubungannya dengan... Shion, akhir-akhir ini aku sering melihatnya gelisah, dan benar saja, Karin bilang kalau Shion punya hubungan dengan musuh mu itu."

Sakura membelakkan matanya, "Apa? Shion?! Dia beruhubungan dengan Queen?!"

Karin mengangguk, "Bisa jadi dia ikut andil dalam hal ini."

"Tapi, bukan itu yang ku maksudkan, bukan itu, aku merasakan kalau diantara kalian semua, ada satu penghianat... dan dia sudah bergerak."

***

"H-hmmmph hmmmphh"

"DIAM!"

"HMMMPH HMMMPH!"

"KUBILANG DIAM!"

Suasana di Mansion Hyuuga benar-benar kacau, sungguh, Shikamaru dan Temari tidak bisa menyangka ini semua.

"Haaah seharusnya aku tidak perlu melakukan ini, terlalu mudah melawan otak dari Sasuke dan teman-temannya yang bodoh itu. Karena biasanya, yang memiliki otak jenius itu lemah terhadap fisiknya, dan boom! Benar saja."

Lelaki itu terkekeh lalu menatap dua orang didepannya, sambil meminum teh.

"Bagaimana? Terkejut bukan?" Ucap lelaki itu. Shikamaru ingin sekali memukul orang didepannya itu lalu menyadarkannya tentang apa yang telah ia perbuat.

Lelaki itu terkekeh melihat ekspresi Shikamaru dan Temari, tapi dia ingin Shikamaru terkejut lebih jauh, kemudia dia keluar dari Mansion Hyuuga.

Shikamaru menatap Temari yang sedang kesakitan, tadi malam, terjadi hal-hal yang begitu mengejutkan.

Shikamaru tiba-tiba saja diserang dan Temari dipukul dibagian bahu kanannya hingga patah.

Bruk

"Hmmphh-" Shikamaru dan Temari membelakkan matanya.

"HMMMPHH!!"

"HMMPPH HMPPH!!!"

"HAHAHA bagaimana? Pertemuan yang manis bukan?" Ucap lelaki itu lalu menyeret rambut gadis yang dilemparnya dihadapan Shikamaru dan Temari.

Karena penasaran dengan semua sumpah serampah yang akan dia dapat dari Shikamaru, lelaki itu dengan senyumnya membuka penutup mulu Shikamaru.

"APA YANG KAU LAKUKAN!!"

"Uh? Baru dibuka langsung berteriak? Seperti dugaan ku, hehe"

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA TEMANMU SENDIRI, SIALAN?!" Shikamaru terngah-engah.

"Memangnya apa yang kulakukan, hm? Aku melakukan hal yang seharusnya saja. Bukan begitu, Ino-chan?"

Ino hanya terdiam menangis, kaki, mulut dan tangannya terasa kebas. Karena semalaman Ino diikat. Karena kesal Ino tidak merespon apapun dari ucapannya, ia menjambak rambut Ino lalu menarik dagunya keras.

"Kau tidak menjawabku, hm?" Ino lagi-lagi diam.

Ia tahu ini, dia bukan orang yang Ino kenal, dia... orang lain!

Sreeet

"Akhh!!" Lelaki itu membuka paksa lakban yang dijadikan penutup mulut Ino.

"Bukankah sekarang kau bisa bicara, bunny?" Ucap lelaki itu sambil tersenyum kosong.

"S-sai... he-hentikan,"

Sai tertawa keras, hentikan? Itu tidak ada dalam kamus hidupnya.

"Maaf Ino, kali ini aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu. Karena ada hal-hal yang harus kulakukan pada dua temanmu ini," ucap Sai sambil tersenyum jahat.

Ino membelakan matanya, "Tidak! Jangan!!"

"Huh? Kenapa? Oh apa kau takut setelah kedua temanmu ini mati, lalu menjadi giliranmu? Tenang saja, Ino. Aku tidak akan membunuhmu, karena aku... menyukaimu."

"Ck! Dalam keadaan ini kau masih saja menyatakan cintamu pada Ino?!" Kesal seseorang.

Sai yang menangkap suara itu hanya diam, dia tidak berminat menjawab.

"Kau berlebihan, Sai! Bagaimana kalau mereka bertiga mati huh?! Kau memukulnya terlalu kuat! Lihat tangan temanku, patah!"

Sai berdecak lalu menggumam pelan, "bisa kau diam, Hinata?"

"Sampai kau melukai mereka kuhajar kau, Shimura-san!"

Sai tidak menghiraukan suara temannya. Yang terpenting sekarang adalah rencana Itachi terlaksanakan terlebih dahulu.

"KENAPA KAU SEPERTI INI, SAI?!"

"Bisakah kau tidak berteriak? Aku pusing mendengar teriakan bodohmu itu!"

"Kau tidak menjawab pertanyaanku sialan! Kenapa kau melakukan ini pada kami! Kami ini temanmu sedari kecil! Kenapa kau malah memperlakukan kami seperti ini!"

Sai hanya diam, sedari tadi dia ingin tertawa, tentunya dia berlagak seperti orang jahat seperti sekarang itu pura-pura.

Saat kemarin Sai mengantar Ino kerumahnya, Sai tidak sengaja bertemu dengan Hinata disebuah taman dekat rumah Ino. Tak lama, Ino datang dan menanyakan kunci mobilnya.

"Sai!" Ino memanggil Sai.

"Hm? Ada apa?"

"Mana kunci mobilku yang kau simpan? Aku membutuhkannya segera."

"Ada dirumahku, tapi kau kan belum 2 bulan menjadi servantku, jadi tidak akan aku berikan."

"Aku tidak peduli, yang jelas aku meminta kunci mobilku dan aku akan kembalikan lagi padamu. Lagi pula aku tidak membutuhkan kuncinya, yang aku butuh adalah gantungannya."

"Hm? Ada apa dengan gantungan dikunci mobilmu?"

"Itu adalah Raspberry Pi Zero W (Mini Komputer) aku tahu ini akan terdengar sangat lebay karena aku hanyalah anak SMA. Tapi tidak satu-dua orang yang mengincarku untuk di bunuh, terlebih kau tahu siapa musuhku sekarang. RaPiZe ku itu adalah alat pelacakku."

"Untuk apa kau melacak?"

"Tentunya untuk sesuatu yang baru saja aku ingat."

"Ingat apa?"

"Aku selalu merekam setiap kali Queen menghubungi kami. Untuk berjaga-jaga dan mengawasi ciri-cirinya, jikalau kita bertemu dengannya di suatu tempat."

Sai menyeringai mengingat itu. Ia harus segera menyelesaikan ini dan meminta maaf pada Shikamaru, Temari dan tentunya juga Ino.

Ah ya, untuk menjelaskan saja. Saat Sai bertemu dengan Ino waktu itu, ia tidak menyerahkan kunci mobil Ino begitu saja. Ada hal yang mengganjal di hati Sai. Dan entah kebetulan atau bukan, Sai bertemu dengan Hinata saat ia hendak pulang.

Ia menghampiri Hinata karena ia ingin menawarkan pulang bersama. Tapi di lihatnya saat Hinata sedang menangis seperti itu, Sai mengurungkan niatnya.

Mendadak, ia menjadi tempat curahan hati Hinata.

"Yak! Baka! Jangan melamun!" Pekik Hinata dalam walkie-talkie yang terpasang di telinga Sai. Sai sedikit meringis, Hinata berteriak terlalu kencang.

"S-sai... k-kita teman dari kecil... k-kenapa?"

"Hm, baiklah, aku sudah melakukan hal yang baik untuk kalian kan?"

Sai tersenyum palsu, lalu menatap Shikamaru yang sedang menatapnya tajam. "Aish, Shikamaru, tatapanmu itu mengganggu."

Sai melangkah menjauh dari mereka. Lalu menatap ke sebuah koridor mansion tersebut.

"Diam disitu, aku akan menganalisa dulu sebentar."  Sai akhirnya diam mendengar ucapan Naruto, dia berdiri didekat koridor sebari terus berpura-pura sebagai pengkhianat. Sai mengedarkan pandangannya untuk memastikan sesuatu.

***

"Ada apa Naruto?" Tanya Hinata. Kini Hinata dan Naruto berada tepat diruang komputer tempat mereka meretas sebelumnya.

Naruto merasa ada yang aneh, ia baru saja meretas CCTV di mansion Hinata. Saat Naruto mengontrol Sai untuk berdiri dikoridor itu--tepatnya Koridor tempat ia dan Suigetsu bertemu sebelum kejadian penculikan hanabi.

Naruto menyalakan CCTV di daerah tersebut. Dilihatnya lamat-lamat keadaan sebelum ia berada ditaman belakang itu.

"Ck, ada apa Naruto? Kita harus bergerak cepat. Sai sudah menunggu." Kata Hinata. Tapi Naruto tudak mengacuhkannya. Ia merasa aneh. Terlebih saat itu Suigetsu memberinya sebuah chip di tempat itu.

Ah! Iya! Chip itu!

Untung saja Naruto ingat dan selalu membawa chip itu.

"Hinata, bisa mengecek chip ini?" Tanya Naruto tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

"Untuk apa?" Tanya Hinata.

"Aku tidak tahu, tapi sepertinya ini ada hubungannya. Tepat beberapa saat lalu, aku bertemu Suigetsu di rumahmu, dan tidak tahu juga kenapa ia memberikan itu padaku. Coba kau cek terlebih dahulu."

Hinata mengambil chip itu lalu. Memperhatikan benda itu lamat-lamat. "Aku tidak yakin akan berjalan cepat. Aku tidak sehebat kau ataupun anak laki-laki yang lain. Ini akan memakan waktu."

Naruto menatap Hinata. Lalu tersenyum. "Tidak apa, gunakan waktumu sebaik mungkin. Lagipula, ini hanya dugaanku saja."

Hinata yang kebetulan berdiri disebelah Naruto langsung tersentak kala tangan pria berkulit tan itu mengusak pelan kepalanya sebari tersenyum tipis.

"Sial, ini tidak baik untuk jantungku." Umpat Hinata dalam hati.

Tanpa menunggu lama, Hinata berbalik dan mengarah kepada komputernya. Mungkin benar, memeriksa chip itu sendiri pasti akan memakan waktu banyak.

"Ah iya, Hinata." Panggil Naruto.

"Huh? Kenapa?"

"Ayahmu sudah pulang?" Tanya Naruto. Hinata mengangguk sebagai jawabannya.

"Sudah, Ayahku sudah pulang. Hanya saja bukan ke mansiom utama, ada mansion Hyuuga yang lain di perbatasan. Mungkin ayahku berada disana. Memangnya kenapa?"

"Tidak, hanya bertanya. Saat sebelum kejadian Hanabi diculik, aku sedang berbicara dengan Suigetsu. Lalu tidak lama Ayah mertua muncul, meleraiku dan Suigetsu yang sedang adu mulut." Ucap Naruto sambil terkekeh. Mengingat wajah tegas dan mengerikan Hiashi benar-benar membuatnya menciut saat itu.

"Lalu? Kau bicara apa pada Otou-sama ku?"

Naruto kembali memperhatikan komputernya.

"Aku belum sempat bicara pada Ayah mertua bahwa aku menyukai putrinya. Sudah lama, sejak saat aku masih kecil. Entahlah, itu benar cinta sungguhan atau hanya sekedar cinta anak-anak. Tapi, sungguh aku masih merasakannya sampai sekarang. Bahkan, sampai saat ini. Saat ia berada di sekelilingku atau tidak, rasanya sangat terasa."

Naruto mengucapkan itu dengan tersenyum. Walaupun wajahnya tidak menatap kearah Hinata.

Hinata diam membeku. Mendadak semua yang ada di kepalanya menjadi putih, ia tidak bisa berpikir apapun. Matanya yang indah itu sama sekali tidak mengalihkan pandangannua dari Naruto.

"A-apa itu aku?"

Naruto masih tersenyum. Lalu pandangannya kini ia alihkan apda Hinata sepenuunya.

"Jadi menurutmu, itu cinta sungguhan atau bukan?"

****

"Sakura?"

Sakura yang tengah melamun tersentak kaget saat Sasuke berdiri dihadapannya.

Entah kenapa, hawa diantara keduanya jadi secanggung ini.

"Tenten sudah sadar, sedaritadi ia menanyakan Neji. Kau tahu sendiri kalau Neji masih dalam kondisi kritis, dan kau juga tahu kalau aku buruk dalam menyampaikan perasaan, aku takut kalau kata-kataku akan menyakitinya. Lebih baik kau yang menemuinya." Ucap Sasuke dengan sedikit penekanan pada kalimat tengahnya.

Sakura kembali tertegun.

"Kalau tidak salah, ini kalimat terpanjang yang dia ucapkan kepadaku." Batinnya.

"Sakura?" Panggil Sasuke.

"A-ah iya, tapi Karin dan Suigetsu dimana?" Tanya Sakura.

Sasuke mengendikkan bahunya tidak acuh. "Mungkin mereka sedang berpacaran, entah dimana."

Sakura menganggukkan kepalanya. Oh iya, kini Sakura dan Sasuke berada di taman rumah sakit. Selama seharian penuh mereka berada disana. Dan juga, Sakura merasa sedikit aneh, tidak ada yang menghubunginya satu pun. Entah itu orang tuanya sendiri atau pun teman-temannya.

"Ayo, kurasa Tenten akan semakin kebingungan jika kita terlalu lama disini." Ucap Sasuke sebari menarik tangan Sakura.

Mereka berjalan beriringan. Entah sadar atau tidak, sedaritadi selama mereka berjalan menuju ruangan Tenten. Tangan mereka--atau lebih tepatnya tangan Sasuke bertaut kencang dengan tangan Sakura, seperti tidak ingin saling kehilangan.

Sebenarnya Sakura ingin sekali menarik tangannya. Tapi, genggaman Sasuke terasa besar dan hangat, hawa malam ini sangat dingin, dan entah kenapa Sakura meradakan hangat menjalar diseluruh tubuhnya saat tangan Sasuke yang lebih besar dari tangannya menggenggam tangannya erat.

"Cuaca malam ini sedang buruk, akan ada hujan besar nanti malam. Makanya cuacanya dingin." Ucap Sasuke tiba-tiba. Sakura hanya memiringkan kepalanya. Bertanda bahwa dia bingung dengan ucapan Sasuke.

"Maksudnya, malam ini akan ada badai?"

"Tidak ada badai, hanya cuaca buruk. Maka dari itu, ku pegang tanganmu agar tidak kedinginan." Ucap Sasuke.

"Sialan, ada apa dengan jantungku?" Sakura terus mengumpati jantungnya yang berdentum dengan keras.

"Jangan sampai si Chiken Butt itu mendengar suara detak jantungku. Please, jantung kumohon berdetaklah dengan normal."

Sakura menundukkan kepalanya. Sial, ini benar-benar sial, tangan Sasuke yang besar dan hangat itu benar-benar menjalarkan kehangatan sampai ke wajahnya.

Sasuke yang sedaritadi memperhatikan gerak-gerik Sakura yang terlihat gelisah, langsung memberhentikan jalannya. "Sakura, kau kenapa? Masih kedinginan?"

Sialan. Harus berapa kali Sakura mengumpat hari ini?

Kenapa Sasuke harus berpindah menjadi dihadapannya?

"Jantung! Diam! Kau ini berisik sekali, astaga!"

"Sakura?"

Sakura tidak menjawab. Sakura terus menunduk, sibuk mengurusi jantungnya yang berdetak tak karuan itu.

Tapi, Sasuke menganggapnya dengan hal yang lain.

"Apa Sakura marah, tangannya aku pegang?" Batin Sasuke.

Tanpa banyak bicara, Sasuke menyentuh kedua pipi menggemaskan Sakura dengan kedua tangannya. Memperhatikan lamat-lamat wajah Sakura.

"YAK! BAKA! APA YANG KAU LAKUKAN?! AH SIAL JANTUNGKUUU." Jerit Sakura, tentunya didalam hati. Tidak mungkin ia berteriak seperti itu di lorong rumah sakit, kan?

Walaupun rasanya ingin sekali ia berteriak dan berguling-guling dil lantai rumah sakit ini sekarang juga.

Sasuke mengusap pelan kedua pipi sakura yang terasa hangat ditangannya. Seketika, mata Sasuke menyiratkan sedikit kepanikkan.

Atau mungkin ia memang panik.

"Astaga Sakura? Kau sakit? Pipimu hangat dan merah. Kenapa tidak bilang kalau kau sakit? Astaga, kita harus segera menemui dokter, jangan sampai kau sakit. Pasti cuacanya sangat dingin ya? Ah begini saja, kaku pegang kedua tanganmu dan kumasukkan ke saku jaketku agar kau tidak kedinginan lagi." Ucap Sasuke sebari memadukkan kedua tangan Sakura kedalam saku jaketnya.

"Kalimat terpanjang kedua.... dan isinya dia mengkhawatirkanku."

Sakura langsung menarik tangannya dari saku jaket Sasuke lalu menjauhkan tubuhnya dari Sasuke.

"A-ah tidak, hahaha aku ini kuat, tidak mungkin hawa dingin bisa membuatku sakit." Tawa Sakura dengan canggung.

"Tapi, wajahmu memera--"

"Sudahlah aku tidak apa! Ayo cepat, tadi kau bilang Tenten-nee akan kebingungan kalau kita terlalu lama." Ucap Sakura sebari melangkah langgang mendahului Sasuke.

Sasuke mengernyit bingung melihat Sakura yang aneh. Tapi kemudian dia tersenyum tipis.

"Astaga, dia lucu sekali." Gumamnya.

****

Kini Itachi masih bersama dengan gadis rusuh yang hampir ia tabrak waktu itu. Dengan wajah yang cemberut, ia memasukkan makanannya pada mulutnya sendiri.

"Ceritakan sekarang padaku. Sebenarnya ada apa ini, Nona Miko?" Tanya Itachi. Ia menatap gadis cantik didepannya dengan tatapan menusuk.

Kini Shion dan Itachi berada di sebuah hotel.

Ah, jangan berpikir yang macam-macam. Shion meminta Itachi untuk mengantarnya kesini setelah mereka berdebat di mobilnya. Lagipula, kamarnya dengan kamar Shion itu berbeda, hanya saja kamar mereka bersebelahan.

Dan juga, mereka kini berada di restoran hotel, bukan berada dikamar. Jadi jangan salah sangka dulu. Itachi sendiri sebenarnya tidak mau berurusan dengan bocah seumuran adiknya itu.

Itachi sebenarnya sudah ingin pulang setelah mengantar gadis tersebut mencari sebuah hotel. Tapi entah kenapa, ucapannya mengenai 'banyak nyawa' yang kemarin benar-benar menganggunya.

Dan, siapa sebenarnya Mei sialan yang sedari awal di bicarakan oleh Shion? Apa semua ini ada hubungannya dengan Sasuke?

"Cepat, Nona Miko. Kita sudah berada di sini hampir empat hari dan kau masih tidak mau mengatakan apapun?" Erang Itachi frustasi.

Shion masih enggan untuk menjawab. Itachi mengacak rambutnya kasar, tidak peduli bila rambutnya menjadi berantakan. Itachi sedang kesal pada gadis diahadapannya ini.

"Oh ayolah, kau punya mulut Nona Miko. Kemana suara cerewetmu yang menyebalkan itu?"

Shion berdecak kesal. Dia menatap nyalang pada Itachi. "Kau ini berbeda sekali ya dengan Sasuke, kau sangat cerewet. Tidak tahu apa kalau aku sedang berpikir?"

Itachi semakin kesal. "Berpikir? Hei, kau sudah menghabiskan waktuku selama hampir empat hari dan kau masih ber-pi-kir? Astaga, jika saja membunuh manusi aitu tidak berdosa, sudah kubunuh kau dari kemarin-kemarin. Seenaknya saja menyuruhku ini-itu dan membawa-bawa nama adikku. Sudahlah, lupakan saja, aku akan pulang. Benar-benar tidak berguna menghabiskan waktu emapat hari."

Saat Itachi hendak meninggalkan tempat duduknya, dengan segera Shion menarik tangan Itachi. Menahan agar laki-laki itu tidak pergi.

"Baik, aku akan cerita. Tapi aku mohon, jaku butuh bantuanmu untuk ini." Ucap Shion dengan matanya yang entah kenapa mulai berkaca-kaca.

Itachi menghela napasnya perlahan. Lalu duduk kembali di kursinya.

"Baik, ceritakan sekarang."

Shion mengangguk. Ia menyimpan alat makannya. Padahal makannya belum selesai sama sekali.

"Tapi, pertama kau tidak boleh menyalahkan aku ataupun adikku. Ok?" Itachi mulai jengah kembali.

"Cepat."

Shion menghela napasnya lagi.

"Kumulai, sejak saat itu..."

Tbc

HALLOW GAIS, GILA 3 TAHUN GAK APDET CERITA WKWKWKWKWKWK

MAAPKAN ACU GAIS.

Nanti deh gue cerita kenapa 3 tahun ini gak update-update.

Gue usahain juga tahun ini cerita ini beres.

Gila masih gak nyangka udah tiga tahun.

Padahal pas nulis ini tuh dulu gue masih kelas 2 SMP.

Sekarang gue udah mau kelas 3 SMA masih belum tamat-tamat wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top