9. Intermezzi : Nasi Goreng Paradoks
Kalau ditanya, di mana tempat Nasi Goreng yang terenak sekaligus yang tidak terenak? Maka Jawabku adalah Kertosentono. Gang yang menyandang titel sebagai 'jalur pantura-nya' Kampung Mahasiswa di Tanah Singasari itu, memiliki deretan penjaja nasi goreng. Yah, bayangkan saja kau bertemu dengan penjual nasi goreng, setiap berjalan beberapa langkah. Jalan sedikit, nasi goreng. Melangkah sedikit, tercium bau nasi goreng. Berjalan di tengah-tengah Kampung Mahasiswa, dua warung nasi goreng saling beradu wajan seperti simponi kekacauan yang terstruktur.
Semua kekacauan itu, keriuhan itu, bau harum nasi goreng itu, orkestra wajan yang saling beradu itu, semua memberikan identitas tersendiri bagi Kertosentono. Meski perang turun di Tanah Singasari, tempat ini kini masih sama seperti dulu. Riuh mahasiswa yang cari makan malam. Asap masakan yang saling bercampur di udara. Dinginnya Tanah Singasari yang tidak dingin lagi karena bumi sudah kena pemanasan global.
Sepertinya, diriku telah terjangkiti oleh wabah merindu.
Aku bahkan masih hapal, tempat-tempat yang menjual nasi goreng di Kertosentono. Kini tempat-tempat itu masih tetap berdiri, di tengah geger gedhen yang membuat bulu kuduk berdiri. Ketika kau keluar dari Gerbang Teknik, disambut oleh Nasi Goreng Gerobak Kuning dan di seberang Watugong, Gerobak Putih Mbah Joyo masih tegak berdiri. Aku menengok gerobak nasi goreng warna putih itu, kini lain orang yang memegang wajan. Sepertinya anaknya—atau mungkin putu-nya—yang mengambil alih usaha.
Berjalan diriku ke Barat sedikit, gerobak nasi goreng yang bersandingan dengan tukang sate, kini masih sering beradu-aduan bau masakan. Aku sudah lupa, kapan diriku makan nasi goreng dengan campuran bumbu sate. Aku selalu diprotes karena rasanya akan bertabrakan, beradu perang rasa di lidah layaknya Perang Astral ini.
Terus menelusuri jalan, aku menemukan gerobak kosong di depan Kos-Kosan Biru. Beberapa waktu lalu aku mendengar kabar, bahwa Pak Draw sudah tiada menyusul Ning Nani. Kena darah tinggi. Aku masih ingat diriku pernah menasihati Ning Nani, karena mengkhawatirkan tingkat konsumsi garamnya yang gila-gilaan.
"Kalo nggak pake garem, nggak kerasa nanti ...," begitu jawabnya.
Sepertinya aku mengkhawatirkan pasangan suami istri itu. Masih muda mereka, penyakit mengalahkannya. Aku mengkhawatirkan bagaimana masyarakat di sekitarku terancam kesehatannya hanya karena permasalahan perut. Konsumsi natrium dan gula yang gila-gilaan di akar rumput masyarakat negeri ini, telah menciptakan pembunuh manusia secara perlahan.
Namun, yang paling sering kuingat adalah, Ketika Ning Nani berjualan ayam geprek pada pagi hari, maka di malam harinya, giliran Pak Draw yang jualan nasi goreng di gerobak yang sama. Pak Draw adalah satu-satunya yang menjual Nasi Goreng Kambing di Tanah Singasari. Ciri khasnya adalah, gerobak biru yang terparkir di depan Kos-Kosan Biru. Aku berjalan terus menyusuri gang, tukang nasi goreng yang berada di depan minimarket warga terlihat sedang menyiapkan dagangannya.
Aku pun menyapanya.
Si tukang nasi goreng terkejut, langsung memberondongku dengan pertanyaan, "Lho! Suwi gak ketok neng ndi!? Rabi to!?"
"Bisa dibilang gitu mas!" sahutku pada beliau.
"Weh, karo sopo!?"
"Cowok yang ngekos di Pak Ansor dulu, mas!"
Si tukang nasi goreng pinggir warung itu hendak mengajakku berbincang. Namun, apa daya aku harus menolak ajakannya. Sayang sekali, nasi goreng full kecapnya terkadang ngangenin.
Fakta bahwa hari ini aku kembali setelah lama pergi, adalah karena undangan dari seseorang yang telah menanti. Meski aku sendiri dan tiada yang menemani, tidak pernah lupa aku pada sejengkal pun pada tempat ini. Memoriku selalu terpatri, meski orang telah menganggapku telah pergi. Pamit kuucapkan pada beliau, kemudian salamnya mengiringiku pergi. Aku pun berjalan kembali hingga sampailah diriku tepat di episentrum Kertosentono. Kalau aku meneruskan berjalan hingga tembus sampai Sumbersari, masih ada sekitar lima hingga enam gerobak atau warung nasi goreng lagi yang mangkal.
Aku berhenti. Lebih tepatnya, seseorang membuatku untuk berhenti melangkah.
"Tidak pernah mengira aku menemukanmu di tengah pusat peradaban seperti ini?"
Suara serak yang sedikit renta itu cukup kukenal. Aku menoleh untuk melihat di hadapanku kini, adalah orang yang mengundangku untuk kembali menapak Tanah Singasari. Aku pun tersenyum.
"Sepertinya Mbah Mualim masih seger waras."
Mbah Mualim tertawa mendengarnya.
"Di mana Kangmasmu sekarang, Nduk?" tanyanya.
"Choibalsan."
"Heeh ... sepertinya jauh, ya?"
"Iya. Hanya aku yang diperbolehkan menginjak kembali Tanah Jawa," jawabku.
"Ah ... begitu, ya? Masih saja aku terkagum dengan pertemuan ini. Tidak kusangka aku bakal bertemu denganmu lagi, Nduk. Perang di Tanah Singasari membuat waktu berjalan terasa lama," komentar Mbah Mualim.
"Sejak kami terasing dari Tanah Jawa ... baru kali ini aku merasa rindu serindu-rindunya dengan tempat ini," balasku berkomentar.
"Jadi ... harus kupanggil siapa kamu sekarang? Perempuan Nirmasa? Penguasa Lidah Manusia? Kritthimukha? Atau ...."
Aku menyergah sejenak Mbah Mualim, "Panggilah diriku sebagaimana diriku meninggalkan jejak pada tanah ini, Mbah Mualim."
"Ah, begitukah, Nduk? Kalau begitu ... selamat kembali, Banaspati Kata."
****
Nasi Goreng Pak Topik masih buka. Dari pukul lima sore hingga sepuluh malam. Kalau ada pertandingan bola, warung Pak Topik ramai dengan orang nonton bareng.
Beliau benar-benar terkejut dan senang bukan main, ketika diriku tiba-tiba muncul lagi setelah lama tidak terdengar kabarnya. Pak Topik selalu memberondongku dengan pertanyaan, ke mana 'Kangmas'-ku? Mungkin ... agak sedikit merepotkan, tetapi aku masih tetap mengerti. Dia juga menorehkan jejak memori di tempat ini. Kertosentono. Tanah rantaunya. Aku pun menjelaskan bahwa ia kini sedang bekerja di suatu tempat dan sedang sibuk. Aku tidak bisa bilang kalau kami 'diasingkan', bisa kena mental Pak Topik nantinya.
Namun, aku mengenal Pak Topik karena satu hal. Nasi goreng paradoks. Tidak enak yang enak. Sebagian besar menganggap sebelah mata. Bahkan snobis nasi goreng menganggap nasi goreng buatan Pak Topik tidak enak. Membuat Asian People melakukan jihad nasi goreng pada beliau. Nasi goreng beliau sedikit berminyak daripada yang lain. Kalau lagi apes, kau terpaksa mengkremus ranjau garam yang menggumpal. Nasinya bukan nasi kemarin, tetapi termasak di pagi hari sehingga yang kaudapat harus gacha apakah nasi gorengnya lembek atau keras. Tergantung berasnya.
Namun, satu hal yang membuat enak adalah bumbunya. Entah mengapa—selain micin dan bumbu nasi goreng yang diulek asli—masakan Pak Topik sangat spesifik membuat 'candu' para mahasiswa, terutama mahasiswa rantau. Bahkan, mahasiswa asli Tanah Singasari merasa nasi goreng Pak Topik biasa-biasa saja. Pada awalnya, aku sempat curiga Pak Topik 'bersekutu' dengan iblis yang pintar memasak sebagai 'aji-ajian' warungnya. Setelah aku mencobanya sendiri, bisa kuanggap kalau rumor itu hanyalah fitnah belaka.
Pak Topik adalah seorang duda ditinggal mati istrinya, untuk kedua kalinya. Di samping membuka warung nasi goreng, beliau juga membuka kos-kosan putri di Kertosentono. Setiap seminggu sekali, beliau sering memasakkan nasi goreng untuk anak-anak yang ngekos di tempatnya. Kadang, dua kali seminggu jika akhir bulan.
Aku masih teringat akan kisah Pak Topik yang dibeberkan oleh pria yang kini sedang ada di Choibalsan. Hal itu semakin membuatku yakin, bahwa nasi goreng Pak Topik adalah paradoks yang benar-benar nikmat. Paradoks yang membuat nasi goreng beliau menjadi tidak enak yang paling enak. Tidak ada bumbu yang mengalahkan rasa kasih seseorang yang ditinggal mati istrinya dua kali, mendamba seorang anak yang tidak pernah diberi.
Tapi, yang kusuka dari Pak Topik, adalah kaubisa meracik acarmu sendiri. Apapun acarnya, makannya Nasi Goreng Pak Topik. Bisa dibilang, Pak Topik menjual 'acar-nya Nasi Goreng'.
"Jadi ... sudah berapa warung nasi goreng yang kaudatangi, Nduk?" tanya Pak Topik padaku.
"Empat. Satu mengusirku karena keadaanku kini yang ... sedikit berbeda. Tapi, Pak Topik yang paling joss dah."
Pak Topik tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Alhamdulillah beliau masih diberi panjang umur, di tengah Niskalaydha yang bergejolak di Tanah Singasari.
"Mau gimana lagi? Perang ga perang, geger ga geger, kita masih harus tetap berjuang cari nafkah. Selama masih ada Mbah Mualim mah ... aman," ujar Pak Topik sembari menggorengkan nasi pesananku.
"Ojok lali acarku yo, Pak Pik," sahutku. Pak Topik menghentikan tangannya yang sedang memasak. Beliau langsung mengomentariku dengan cara bicaranya yang khas bercanda, tiada pernah terlupa untuk memberi gelak tawa.
"Orang gila mana yang makan nasi goreng pakai acar dari nanas!"
****
"Jadi ... mengapa engkau memintaku untuk kembali ke Tanah Singasari, Mbah Mualim?"
"Nduk, Niskalayudha memasuki babak baru. Salah satu dari tiga kriminal Astral paling berbahaya di Tanah Singasari telah menyiapkan diri untuk mengacau di tengah Perang."
"Tiga Kriminal Astral? Kupikir Pemuja Iblis telah mati."
"Niskalayudha adalah babak kedua dari konflik Astral di tanah ini, Nduk. Pemuja Iblis mati, giliran Niskalayudha turun di Tanah ini."
"Jadi ... aku diterima lagi di Tanah Jawa?"
Mbah Mualim menggeleng.
"Ini adalah situasi pelik, Nduk. Bahkan, kami, Pengawas Perang, tidak tahu harus bagaimana."
"Kenapa tidak minta bantuan Keraton?"
"Keraton tidak akan menurunkan Pusaka-nya kalau Tanah Singasari belum separuh hancur. Juga, apabila Catur Sagotra kembali ikut campur dalam perang ini, aku tidak bisa membayangkan katastrofi yang akan ditimbulkan. Biro dan Pengadil Bidat saling bertarung satu sama lain."
Aku menghela napas.
"Mbah Mualim, aku bersedia intervensi, jika Anda dapat memenuhi satu syarat."
"Sudah kuduga kau akan mengatakannya, Nduk."
"Izinkan Kangmasku pulang ke tanah kelahirannya."
Pak Topik pun mengintervensi percakapan kami. Ketegangan kami buyar ketika kami memutuskan untuk menyantap nasi goreng spesial buatan Pak Topik.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top