5. Rentenir Memori
Bagaimana Astral berutang?
Tante-tante berusia kira-kira tiga puluh tahunan itu menanti kami. Derasnya aliran sungai di daerah Jodipan, membuatku mempertanyakan mengapa ada kampung wisata di daerah rawan seperti ini. Namun, aku terkejut ketika melihat sebuah bianglala berdiri di tengah derasnya aliran sungai. Aku haqqul yaqin, itu bianglala bukan sembarang bianglala.
Ya. Setelah Perang Dingin Astral meletus, kampung wisata ini menjadi terbengkalai. Lalu, entah bagaimana, tempat ini kini jadi taman bermain bagi para Astral. Orang awam hanya melihat sungai biasa, tetapi kami dapat melihat taman bermain tepat di tengah-tengah sungai. Mungkin, manusia yang penasaran ketika melihat penampakan bianglala di tengah sungai, pada akhirnya hanya akan tenggelam terseret arus sungai.
Lalu, kenapa aku bisa di taman bermain para Astral ini? Tante yang menungguku-lah penyebabnya. Ia bernama Nona Anara, satu dari tiga kriminal Tindak Penyalahgunaan Astral paling berbahaya di Tanah Singasari. Dibandingkan dengan tante-tante itu, Jajang Nurjajang tidak ada apa-apanya. Nona Anara memiliki kekejian yang begitu abu-abu, daripada Teroris Damaskus terkejam di muka bumi.
"Mereka menyebutnya dengan sebutan ... Rentenir Memori," bisik Mas Danang.
"Aha ... siapa sangka aku akan bertemu dengan Araya." Nona Anara menyeringai ketika melihatku dan Mas Danang.
"Kaukenal dia?" Mas Danang bertanya padaku.
"Siapa sangka, satu dari tiga raja kriminal astral ternyata adalah Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis," ujarku malas. Entah mengapa, Mas Danang sedikit terkejut dengan fakta yang kubeberkan.
"Pengawas Perang mencoba menggerebekku. Ada apa gerangan?" Nona Anara menatap kami dengan hawa penuh muslihat.
"Kami menangkapmu karena mengganggu ketertiban publik—ah tidak—kau telah melakukan penyalahgunaan wewenang," tegas Mas Danang. Namun, Nona Anara malah tertawa begitu menyeramkan. Ah, ia sudah seperti nenek sihir. Penampilannya bahkan bisa membuatmu mengira kalau dirinya adalah mahasiswi tingkat akhir.
"Ketertiban publik? Penyalahgunaan wewenang? Hei-hei-hei, yang benar saja. Aku hanya melakukan bisnis seperti biasanya."
Bisnis. Bisnis lintah darat. Bedanya, ia melakukan bisnis itu kepada Astral.
Astral termanifestasi dari memori, emosi, afeksi, dan persepsi orang orang di sekitarnya. Ketika manusia mati, mereka meninggalkan 'jejak psikologis' mereka. Jejak itulah yang kemudian termanifestasi menjadi Astral, apabila persepsi orang yang ditinggal mati masih kuat. Sebelum Perang Dingin Astral berlangsung, Biro-lah yang menangani astral-astral yang termanifestasi dari orang meninggal. Termasuk mereka yang masih belum selesai urusannya di dunia.
"Hey, Araya ... kautahu unfinished bussines?" Nona Anara menanyaiku.
Kujawab, "Mereka yang meninggal, meninggalkan 'utang' saat mereka di dunia."
Nona Anara menggelengkan kepalanya. "Nuh-uh, kurang tepat. B minus untukmu."
"Mereka yang meninggalkan dunia, akan terikat dengan mereka yang masih memikirkannya. Segala masalah yang ditinggalkannya, akan menjadi belenggu yang menjeratnya. Utang di sini tidak hanya berbentuk hal-hal finansial saja. Utang budi, janji manis, ikrar yang tidak tertepati, tujuan hidup yang belum tercapai ... semua yang masih mengikat mereka yang telah mati adalah utang hidup." Mas Danang mencoba menyusul arah percakapan.
"Terima kasih, Mister Gubermann. Kalau ini ujian, mungkin kau sudah dapat nilai A."
"Nona Anara, membantu Astral untuk menyelesaikan masalahnya adalah sebuah pekerjaan sakral. Biro terbentuk untuk menjembatani antara dunia manusia dengan dunia astral. Kau ... jelas-jelas memprofitisasinya untuk kepentingan bisnis—"
"—Wahai Mister Gubermann, bisnis adalah bisnis. Di dunia ini tiada yang gratis—"
"Kukira manusia harus menolong tanpa pamrih," sahutku. Nona Anara kembali menggeleng tidak setuju.
"Sukarela sudah punah dari dunia ini, Ara. Ia telah dibunuh oleh para kapitalis."
Rentenir Memori. Ia bekerja untuk menuntaskan urusan dunia para Astral yang belum selesai, dengan bayaran memori dan persepsi dari Astral tersebut. Ketika Astral dilupakan, serta persepsi mereka hilang dari publik, akan ada dua kemungkinan. Pertama, musnah. Kedua, apabila mereka yang ditinggal masih mengikatkan afeksi mereka pada sang Astral, hasilnya adalah Astral yang tersesat. Mereka merepotkan sampai pada titik di mana mereka membutuhkan 'jangkar' untuk tetap eksis di dunia, sebelum masalah mereka benar-benar selesai atau mereka yang ditinggal 'tidak rela'. Hal seperti ini yang kadang-kadang membuat fenomena kesurupan acak terjadi.
"Astral menggadaikan sumber mereka untuk bersandar di dunia pada dirimu. Ketika mereka tidak dapat eksis, mereka hanyalah konsep kosong tanpa imaji yang konkrit. Mereka akan menjadi irasionalitas yang bergentayangan mencari imaji yang konkrit. Hentikan praktik ini, Nona Anara. Kau mengganggu ketertiban publik." Mas Danang bersiap dengan kuda-kudanya. Lawan kami adalah manusia, hal tidak terduga bisa saja terjadi.
"Sudah kubilang, ini adalah bisnis yang fair, Mister Gubermann. Jangan coba-coba mengganggu pekerjaanku!" Nona Anara melantang marah. Volume aliran sungai yang begitu deras, tidak sepadan dengan sungai itu sendiri. Kami mendengar gemuruh dari kejauhan. Akan ada banjir bandang di Jodipan.
"Mau kauapakan dengan memori-memori para Astral itu, Nona Anara!" sengakku, seraya mencabut pistol dari sarung di pinggangku.
"Coba kalian pikir ... kenapa bisa ada bianglala di tengah sungai seperti itu? Kenapa taman bermain gaib bisa muncul di kampung yang telah terlantar ini?"
Manifestasi Astral Artifisial.
"Kau!"
"Salah satu cara untuk membuat agar sisa-sisa fenomena Astal yang tercecer akibat perang, adalah membuatkan kandang untuk mereka, Mister Gubermann!" Nona Anara melompat memasuki bianglala di tengah sungai itu. Tiba-tiba, bianglala itu seperti terseret arus sungai. Sebuah jembatan kaca yang melintangi sungai, terbelah karena ditabrak bianglala. Aku memuntahkan pistolku ke arah bianglala itu, tetapi sia-sia belaka.
"Taman Segala Jiwa yang dimiliki Jajang, kau yang buat, bukan!?" teriakku. Nona Anara muncul dari salah satu kereta bianglala. Ia menyeringai ke arah kami. Ketika aku belum sempat selesai dengan keterkejutan atas bianglala yang hanyut, bianglala gaib itu pun melayang ke angkasa, ditarik oleh puluhan kuda ajaib yang dapat terbang ke angkasa. Kuda-kuda itu menyeret bianglala seperti kereta kencana.
"Waktu habis. Sesi kelas sudah selesai, Tuan-tuan!"
Bianglala itu pun memelesat jauh ke langit malam nan mendung Tanah Singasari. Sementara itu, aku dan Mas Danang bergegas untuk keluar dari kampung terlantar, sebelum banjir bandang menghancurkan semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top