26. Retrospeksi Duka
Karangan bunga banyak berdatangan di petak kecil rumah itu. Kebanyakan karangan bunga itu berwarna dominasi biru. Biru yang sembilu mengantarkannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sebagaimana duka yang telah turun di langit Tanah Singasari.
Peristiwa yang terjadi dengan Zoyi, rasa-rasanya akan meninggalkan bekas yang cukup mendalam bagi mereka yang ditinggalkan. Sebagaimana jiwa-jiwa yang telah tiada, mereka yang telah meninggalkan dunia, akan pergi ke hadapan-Nya. Sebagaimana hukum di dunia ini, mereka yang telah pergi, tidak dapat kembali. Lebih seperti pergi untuk pulang ke tempat asal manusia.
Ke hadapan-Nya.
"Selanjutnya, apa?" Aku menoleh kepada Mas Danang, yang kini tengah mengamati petak ruang yang hampir kosong di dalamnya. Hanya tersisa sebuah meja tamu, kursi sofa, dan bilik wartel yang kosong melompong. Sejak penyerbuan komplotan mafia Pemanis Kuat, Wartel Terakhir Zaman Kiwari tidak lagi beroperasi.
"Entahlah. Wartel ini akan jadi tempat kosong. Seluruh perangkat wartel telah dihancurkan, agar tidak ada yang menyalahgunakannya lagi. Kudengar kabar kalau Pengadil Bidat telah melakukan permohonan akuisisi tempat ini untuk dijadikan safehouse," ujar Mas Danang.
"Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa. Rinan tinggal sendirian dan tiada ahli waris. Saudara-saudaranya tidak menginginkan petak kecil rumah ini lagi. Kami mencoba mengontak keluarga besar, tetapi mereka bilang semua sudah deal."
"Deal?"
"Pengadil Bidat menghubungi mereka dan menawarkan mereka sejumlah uang. Saudara-saudara Rinan pun setuju."
Pada akhirnya, Pengadil Bidat-lah yang memenangkan pertempuran. Bukannya aku skeptis dengan gerakan itu. Hanya saja lebih ke bagaimana Pengadil Bidat memanfaatkan momen kejatuhan Biro Bawah Tanah, untuk memenangkan opini publik. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi Perang Dingin ini sebenarnya telah selesai ketika Pengadil Bidat memreteli pengaruh Biro seantero Tanah Singasari.
"Pada akhirnya, Wartel Terakhir Zaman Kiwari harus usai," celetuk Mas Danang.
"Bagaimana dengan pemakaman Rinan?" tanyaku.
Mas Danang pun menjawab, "Pengadil Bidat dan Departemen Pangkruti Layon telah mengatur semuanya. Pemakaman akan dilangsungkan pagi ini jam sembilan."
Tiba-tiba saja, kami mendengar lantunan nada harmonika. Aku berpaling untuk mencari ke arah sumber suara, hanya untuk menemukan seorang pria berjas hitam sedang duduk di pinggir jalan. Ia tengah memainkan sebuah harmonika yang nadanya sudah jarang sekali terdengar secara nyata.
"Hmm ... itu ...."
Aku dan Mas Danang pun menghampiri pria berjas hitam itu. Ketika ia mengetahui kehadiran kami, ia pun menghentikan permainan harmonikanya. Ia kantongi alat musik itu di kantong jasnya, kemudian menyalamiku dan Mas Danang bergantian. Sekilas, wajahnya terlihat mirip dengan Rinan.
"Selamat pagi. Saya kakak tengah Rinan, Shu Ling," ujarnya memperkenalkan diri.
"Araya Timur dan ini kolega kerja saya, Danang Putrawijaya," sahutku, seraya menunjuk Mas Danang untuk mengenalkan dirinya.
"Terima kasih telah membantu Rinan selama ini. Aku tahu, mungkin berat bagi Rinan untuk mengatur segala kehidupannya di sini sendirian. Namun, itu adalah pilihannya sebagai anak bungsu."
"Hmm ... apakah Anda datang bersama rombongan keluarga?" sahut Mas Danang. Mendadak raut muka Shu Ling berubah masam.
Ia menggeleng. "Tidak. Hanya saya seorang yang hadir di acara pemakaman ini."
Aku terkejut. Melihat reaksiku, Shu Ling kemudian mengajak kami berdua untuk masuk kembali ke dalam petak wartel yang sudah kosong itu.
"Mari kita bicarakan di dalam."
Singkat cerita, Shu Ling menceritakan, mengapa tiada saudara-saudara Rinan yang datang di pemakamannya. Hanya kakak tengahnya seorang diri. Seluruh pemakaman ditangani oleh Departemen Pangkruti Layon. Aku yakin, Shu Ling seorang diri-lah yang menangani pemakaman dan segala administrasi Rinan. Shu Ling bercerita bahwa seluruh saudara-saudara Rinan merupakan keluarga dengan karir yang cemerlang. Shu Ling sendiri memiliki sebuah bisnis kargo dan perkapalan internasional. Kakak-kakak Rinan yang lainnya pun semuanya bahkan tidak lagi berdomisili di negara ini. Hanya Rinan seorang diri yang masih tertaut oleh sisa-sisa ayahnya. Hal itu, membuat sebagian besar kakak Rinan mencampakannya, karena dianggap sebagai anggota keluarga yang gagal.
"Meski terdengar kejam, tetapi melanjutkan bisnis ayahnya adalah keputusan Rinan. Tidak ada yang mau menyentuh bisnis ayah kita lagi. Hanya Rinan yang mau. Namun, saudara-saudaranya begitu angkuh ketika melihat sang bungsu sebagai seorang yang ... gagal."
Entah mengapa ada peraasaan marah berkecamuk di dalam diriku.
"Rinan tidak gagal. Ia berkontribusi besar untuk membantu kami, Pengawas Perang, sekaligus Kajineman Watugong," tukasku. Shu Ling hanya menghela napas. Sepertinya hanya dirinya yang dapat melihat jelas, bahwa Rinan juga memiliki karirnya sendiri.
"Setiap keluarga kami memiliki kesuksesan masing-masing, saya mengerti. Namun, berat untuk meyakinkan saudara-saudara lainnya yang telah berada di puncak kehidupan. Sejak Rinan memutuskan untuk hidup apa adanya, keluarga lainnya hanya menganggapnya sebagai saudara yang gagal. Rinan dianggap mencederai sejarah keluarga yang terus melahirkan orang-orang sukses."
Rinan tidak gagal. Tanpa dirinya, Pengawas Perang akan kesusahan berkomunikasi satu sama lain. Tanpa dirinya, akan banyak warga yang kebingungan harus melapor ke mana apabila ada anomali astral. Tanpa dirinya, kami tidak akan terkoneksi dengan Zoyi. Tanpa dirinya, kami bahkan tidak tahu, bahwa ada orang yang masih merawat relik peradaban masa lalu.
Saudara yang gagal?
Jangan bercanda! Omong kosong belaka orang yang telah berkata-kata hina terhadapnya!? Ia jatuhkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina!
"Namun, Anda tidak melihat demikian, bukan? Tuan Shu?" sahutku sembari menatap tajam Shu Ling. Shu Ling tersenyum.
"Rinan telah melahirkan sejarahnya sendiri dan saya menghormati itu. Ia adalah sebijak-bijaknya bungsu di saudara kami."
Kemudian kami berdua terdiam dalam hening. Aku melihat dari arah jendela, beberapa orang berjas hitam telah berdatangan untuk melayat dia yang merawat masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top