24. Kongruenitas Irasional
Ketika aku sampai di desa itu, satu peleton rombongan Pengadil Bidat sudah 'menguasai' daerah tersebut. Beberapa Pengadil Bidat tampak sedang berkoordinasi dan berkompromi dengan kepolisian setempat. Satu truk berisi tentara-tentara dari Polisi Militer melewatiku, tanda bahwa militer sudah melepaskan urusan kepada Pengadil Bidat. Aku dipanggil oleh salah satu opsir polisi, menanyakan apakah diriku dari Pengawas Perang. Aku pun mengiyakan, opsir itu langsung mengarahkanku untuk bertemu dengan seseorang. Tidak kusangka, 'dia' juga turun gunung.
Sang Pemersatu dari Tanah Tak Bertuan. Pimpinan tertinggi Pengadil Bidat.
"Emisaris Kajineman Watugong ... tidak. Tidak perlu lagi basa-basi soal formalitas. Aku sudah mengenalmu dan kau sudah mengenalku sejak Hari Kejatuhan," ujarnya menyapaku.
"Hmm ... tentu saja kau akan berkata seperti itu. Seseorang yang dengan beraninya memproklamirkan diri sebagai seorang Erucakra. Sang Pemersatu, Sang Pemimpin Pengadil Bidat," sahutku menyapanya dengan dingin.
"Lalu, kau. Merendah untuk meninggi di balik kesederhanaanmu sebagai mahasiswa biasa. Salah satu dari tiga petinggi Himaroki, mengusahakan aliansi untuk membeking pergerakan Pengadil Bidat di Tanah Singasari. Araya Timur." Dengan senyum dan tatapan sedikit sinis, ia pun kemudian berjalan mengiringiku mendekati tapal batas desa tujuanku. Begitu aku memasuki desa, pagar pembatas dan garis polisi dipasang di mana-mana. Seperti ... satu desa diisolasi. Mendadak, sebuah perasaan tidak enak muncul. Seperti ada tekanan-tekanan astral yang dapat kurasakan. Seolah desa ini diguyur oleh perasaan mistis yang tidak dapat terdefinisikan secara rasional.
"Ini ...."
Aku terkejut ketika melihat beberapa penduduk desa yang tengah berada di depan rumah mereka. Kondisi mereka benar-benar ... memprihatinkan. Tubuh mereka pucat pasi, seperti energi kehidupan mereka diisap habis. Beberapa ada yang terbaring tidak berdaya sembari kejang-kejang. Beberapa ada yang terlamun seperti orang bodoh dengan liur menetes. Ada yang teriak-teriak seperti orang kesakitan. Seperti satu desa kena penyakit sawan.
"Tentu kau familiar dengan dalang di balik Pembantaian Kanjuruhan. Apabila memang benar adanya, maka tentu kau familiar dengan situasi yang terjadi di sini," ujar Erucakra.
Aku menoleh padanya, meminta penjelasan. "Apa yang terjadi?"
"Desa ini ... dikutuk," jawabnya trivial. Aku langsung menghela napas panjang sembari memutar mata.
Dengan kecut, aku bertanya, "Tolong jelaskan secara detail? Aku yakin, kau tahu seluk-beluk mengenai Perastralan dan apa yang terjadi di desa ini. Daerah ini tidak jauh dari Kanjuruhan, pasti sedikit banyak ada kaitannya dengan Pembantaian beberapa hari silam."
"Seperti kutukan, tetapi tidak juga kutukan. Mungkin dalam legenda kau pernah mendengar seorang penyihir yang sangat ditakuti oleh orang-orang, sampai pada satu titik di mana suatu desa dijadikannya sebagai laboratorium eksperimen sihirnya. Satu desa terkena wabah, penyakit aneh yang muncul akibat ilmu hitam yang sukar dijelaskan oleh ilmiah. Orang-orang seperti berubah menjadi gila, dengan macam-macam gejala fisik yang mengiringi seperti gatal-gatal, badan terasa seperti terbakar, kesulitan untuk bergerak, dan tubuh yang bergerak-gerak sendiri seperti ada yang menggerakkan," jelas Erucakra.
"Elaborasinya?"
"Hal itu ... kini terjadi di desa ini."
Aku memandang ke arah sekitar. Desa ini tampak seperti mati, tetapi tidak benar-benar mati.
"Karena itu satu desa mengalami karantina? Apakah mereka terkena sebuah penyakit menular yang belum diketahui sebab-musababnya?" tanyaku mengejar.
Erucakra menjawab, "Bayangkan, kau menemukan penyakit dengan simptom yang aneh, sehingga pemerintah setempat terpakasa mengarantina seluruh desa, agar wabah itu tidak menyebar keluar."
"Tunggu ... ini wabah?" Aku menoleh dengan cepat untuk bertanya, tetapi Erucakra hanya menggeleng.
"Kita belum tahu, tetapi aku dapat merasakannya. Kau pun dapat merasakannya. Betapa kuat teriakan-teriakan Astral yang terdengar ...."
Aku menyahut , "Dengan kata lain, Ini bukan wabah biasa. Ini hasil daripada eksperimen astral secara illegal. Kasarannya, seseorang melakukan klenik ilegal di sini."
Lantas, kini menatap Erucakra. "Jadi ... kau dan Pengadil Bidat datang ke sini ...."
"Setelah Pembantaian Kanjuruhan terjadi, kami tidak dapat tinggal diam. Militer mulai cawe-cawe, tetapi itu bisa dimengerti. Mereka ingin ketertiban publik tetap terjaga. Sementara itu, tentu saja kautahu siapa dalang di balik kontaminasi astral ini, bukan? Araya?"
"Namanya Nona Anara."
"Anara ... huh. Namanya kurasa pernah tercatat dalam salah satu daftar peneliti yang ada di salah satu jurnal expeditioner peneliti di Tanah Tak Bertuan di era 1990-an." Celetukkan Erucakra memang benar-benar menghebohkanku.
"Tunggu, apa kaubilang!?"
"Tidak kusangka ... ada orang yang terobsesi dengan Astral, hingga ia menjadi terlalu dalam menyelam. Tidak dapat kembali ke permukaan, lalu ia tenggelam dalam kegelapan. Orang-orang seperti itu ... nyata keberadaannya," pungkasnya berkata trivial.
"Huh ... itu menjelaskan beberapa hal. Namun, kurasa Nona Anara tidak bekerja sendirian, Erucakra. Aku yakin, Pembantaian Kanjuruhan terjadi karena ada yang membeking Nona Anara."
"Lebih terdengar seperti saling membeking," sahut Erucakra cepat.
Aku kembali menatap ke arah sekeliling. Beberapa orang Pengadil Bidat mulai menyebar untuk memulai 'tugas' mereka. Ada yang terlihat seperti mencari-cari sesuatu. Ada yang pergi ke rumah-rumah warga untuk melakukan perawatan terhadap warga desa. Hampir 90% warga di desa ini terkena dampak dari penyakit aneh ini.
Lalu, sejenak aku melihat seorang Pengadil Bidat yang tampak mengamati sekitar. Ia lebih pendek daripada orang-orang Pengadil Bidat lain. Dirinya mengenakan semacam parka berwarna hijau dengan tudung yang ia kenakan, memakai bawahan seperti rok—tetapi ia juga memakai seperti celana pendek— dan ia ... punya ekor? Aku tidak tahu apakah aku salah lihat atau bagaimana, tetapi jelas aku melihat ada ekor yang menyembul dari bagian belakang tubuhnya.
Aku mempertanyakan tingkat kewarasan masyarakat Tanah Singasari yang makin ke sini, makin cosplay yang aneh-aneh. Yah, Perang Dingin Astral menguras kewarasanmu.
"Hmm ... itu orangmu?" tanyaku seraya menunjuk orang misterius bertudung hijau.
Erucakra menggeleng, "Tidak ... ah, tapi ada yang unik tentang orang itu. Ia meminta untuk bergabung bersama rombongan ketika kami berinisiasi untuk pergi ke desa ini."
Mendadak aku merasakan sesuatu dari tubuh orang misterius itu.
"Perasaan ini ... jejak astral!"
Refleks aku langsung berlari ke arah orang itu. Kucabut pistolku dari sarungnya, jaga-jaga kalau orang misterius itu ternyata komplotan orang yang mencari gara-gara di desa ini.
"Kusarankan padamu untuk tidak terlalu ceroboh, kawan ...." Aku sempat mendengar Erucakra berteriak, tetapi kuabaikan dirinya.
Aku pun menodongkan senjata ke arah orang itu. "Jangan bergerak! Jatuhkan tongkatmu!"
Begitu ia berbalik, aku terkejut. Mendadak memori tidak mengenakkan muncul berkelebat dengan cepat. Ia seorang gadis remaja berambut pirang. Aku tidak menduga ada orang asing di sini. Ia tampak kaget dan takut, seraya meracau dalam bahasa ... entahlah, Spanyol mungkin? Aku pun menanyainya.
"Apa yang kaulakukan di sini, Senorita!?"
"A-anu. Tidak. Aku hanya ikut rombongan orang-orang bertudung itu ke tempat ini. Kabarnya di sini ada wabah aneh," jawab gadis itu dengan aksen latin yang cukup kental. Ia pun meletakkan tongkat yang mirip seperti tongkat penyihir dengan desain futuristik itu. Aku melihat ada tabung reaksi yang terpasang di tongkat itu.
Aku pun menyarungkan pistolku kembali, kemudian berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
"Mohon maaf, Senorita. Di sini tengah terjadi Perang Dingin Astral dan baru-baru ini, terjadi sebuah konflik yang memakan banyak korban sipil. Kami harus mengidentifikasi siapapun yang mencurigakan di tanah ini."
"Eh ... umm ... bagaimana?" Gadis itu kebingungan sembari sesekari menelengkan kepalanya.
"Uuh ... anda punya paspor atau tanda pengenal apapun?"
"Tanda pengenal? Uuh ... aku hanya punya ini."
Gadis itu pun menyerahkan kalung tanda pengenalnya padaku. Aku pun mencoba mengeja apa yang tertera di tanda pengenalnya. Diriku jadi bingung sendiri.
"Convalescence Garden? Rhodes Island? Amerika atau Yunani?" Aku pun menatap si gadis, tetapi ia masih kebingungan.
"Umm ... aku tidak mengerti."
"Mohon maaf, Nona ... err ... Poden ... co? Itu nama Anda?"
Gadis itu mengangguk. Bagiku, tidak masuk akal, nama spesies anjing dijadikan nama seseorang.
"Anda ... anjing?" tanyaku setengah bercanda, seraya mengembalikan tanda pengenal milik gadis itu.
"Hmm ... memang benar, sih ...." Gadis itu membuka tudung parkanya dan aku langsung refleks terlonjak ke belakang.
Dia anjing. Benar-benar anjing. Ah, tidak, bukan begitu maksudnya. Manusia, tetapi ia punya telinga anjing dan ekor anjing!
"A-Apa?" Bolak-balik aku mengucek mataku, memastikan kalau yang di depanku bukan ilusi astral. Gadis itu tampak melongo melihat tingkahku. Apalagi, ia mengibas-ngibaskan ekornya, membuatku jadi berpikir ke mana-mana.
Kalau astral sudah mulai mencoba cosplay, akan pecah sudah dunia.
"Sudah kubilang, Tuan Emisaris. Jangan terlalu ceroboh." Erucakra menepuk pundakku. Ia tersenyum mengejek diriku yang kebingungan.
"Tetek bengek apa lagi ini, Erucakra??" sengakku.
Ia terkekeh, kemudian menjawab, "Tiba-tiba Nona Podenco ini sudah muncul dari sebuah lemari kosong di salah satu safehouse kami. Pada awalnya, kami kira dia adalah seorang mata-mata asing. Namun, entah kenapa ... situasinya menjadi tambah menarik."
Aku pun kembali mendekati gadis itu.
"Permisi, mohon maaf dengan sangat, tetapi izinkan aku untuk memegang tanganmu sebentar."
Buru-buru aku menggamit tangan gadis itu. Si gadis masih terlihat bertanya-tanya, apa yang makhluk di depannya ini lakukan.
Buru-buru aku melepasnya, kemudian menyimpulkan, "Nyata seperti makhluk hidup. Namun, jejak astral terasa cukup kuat dari tubuhnya. Apakah ini salah satu dari Banaspati Kata versi lain?"
Erucakra menggeleng, "Kurasa tidak. Ia bisa makan dengan normal. Namun, memang benar dia dan benda-benda yang ia bawa cukup aneh. Namun, aku rasa ... nona itu seorang tukang kebun."
"Tukang kebun mana yang bawa tongkat mirip dengan tongkat amplifikasi yang dipakai orang-orang Pengadil Bidat!?" sungutku kecut, seraya menuding tongkat yang kini tergeletak di dekat kaki gadis itu.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Nona Podenco." Aku pun buru-buru mengangguk takzim pada gadis itu.
"Umm ... apakah ini ... daerah Laterano?" tanya Nona Podenco, sembari mengambil kembali tongkatnya yang tergeletak di aspal desa. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
Aku menggeleng, "Huh? Uhh ... bukan. Ini Tanah Singasari?"
"Hmm ... Rim Billiton, tapi banyak Sankta di sini?" Gadis itu kembali meracau tidak jelas apa maksudnya.
"Aku tidak paham apa yang kaukatakan, Nona. Namun, kenapa kau ada di sini?" tanyaku pada gadis itu.
Nona Podenco menunjuk Erucakra, lantas berkata, "Tuan itu mengatakan bahwa ia akan menginvestigasi wabah misterius yang terjadi di suatu daerah. Jadi ... aku pun ikut. Namun, tidak kusangka ada orang yang mampu melepaskan arts aneh. Kurasa ... ini mantra."
Aku benar-benar tidak menyangka ada perkembangan kasus seperti ini.
"Mantra ... jadi benar ini ada kaitannya dengan Astral."
"Astral?"
"Uhh ... panjang ceritanya."
"Mungkin ada sedikit perbedaan dengan yang ada di Terra, Tuan. Namun, dari diagnosis awal, aku duga warga desa terkena mantra dari sebuah ar ... uuh, sihir. Aku tidak tahu apakah ini disebabkan oleh faktor Originium atau tidak ... tetapi, properti mantra dan sihirnya cukup sama. Aku akan mencoba membantu untuk menghilangkan sihir aneh ini."
Terra. Arts. Originium. Aku benar-benar tidak mengerti, tetapi aku paham kalau mungkin saja anak ini juga sedikit banyak memahami konsep astral.
"Kaubisa?" tanyaku pada gadis itu. Si gadis mengangguk mantap.
"Beruntunglah aku membawa beberapa persediaan bunga dan bahan untuk dekontaminasi sihir. Mohon tunggu sebentar."
"Okee ..."
Aku pun mengamati Nona Podenco mulai mengeluarkan beberapa alat yang kupikir-pikir seperti alat-alat kedokteran modern. Fakta bahwa Nona Podenco berbicara seolah konsep sainsnya adalah berkaitan dengan sihir dan magis, tetapi alat-alat yang dirinya bawa ... sangat-sangat modern. Berbagai macam bunga yang tidak familiar di kehidupanku, blender portabel, kit tabung-tabung reaksi, beberapa cairan dan batuan aneh, serta sebuah alat yang mirip seperti pengocok tabung reaksi yang entah apa namanya. Aku juga melihat Erucakra tampak mengamati pula Nona Podenco dengan serius.
Penasaran, aku mencoba untuk memegang salah satu bungkus berisi cairan kehijauan yang dibawa Nona Podenco, tetapi buru-buru ia mencegahku.
"Tolong jangan dipegang. Itu berbahaya."
"Hmm ... oke."
Aku pun menarik tanganku. Kulihat ekornya mengibas-ngibas.
Mendadak aku dipenuhi rasa penasaran, sekaligus terbersit sebuah kejahilan kecil. Aku sering iseng memegangi ekor kucing-kucing yang berkeliaran di kosku. Apakah ekor Nona Podenco itu betulan? Aku sangat ingin mencoba untuk memegangnya, tetapi aku berpikir itu akan menjadi sebuah tindak pelecehan terhadap perempuan. Kuurungkan niatku.
Setelah beberapa saat menunggu, nona Podenco menghampiriku dan Erucakra dengan membawa kotak berisi berbagai macam tabung dengan isi cairan berwarna hijau dan ungu.
"Persiapan sudah selesai. Sekarang ... aku butuh air dalam baskom, kalau bisa yang banyak, tuan-tuan," ujarnya.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Melarutkan dua jenis larutan dalam botol ini. Yang satu sebagai terapi penyembuhan dan yang satu lagi untuk mengeliminasi faktor-faktor sihir yang ada di area ini," jelas Nona Podenco.
"Hmm ... aromaterapi?"
"Kurang lebih seperti itu."
Pada akhirnya, kami menuruti instruksi Nona Podenco. Baskom-baskom berisi air pun disediakan di masing-masing rumah, kemudian diteteskan beberapa cairan ekstrak yang Nona Podenco buat. Aku sempat mencium bau air tersebut, yang ternyata bau seperti wangi-wangian bunga. Kemudian, gadis itu mengayunkan tongkatnya. Ujung tongkat itu menyala. Perlahan, kami merasakan jejak-jejak astral yang di sekitar desa itu pun memudar. Pun dengan tekanan-tekanan astral yang dirasakan. Beberapa warga desa yang panik karena gejala penyakit aneh pun mulai menenangkan diri. Bahkan diantara mereka, tubuh mereka seakan seperti segar kembali.
Aku rasa ... kami beruntung bertemu dengan Nona Podenco hari itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top