23. Refleksi Konjektur

Sementara itu, aku dan Mas Danang bergegas untuk keluar dari kampung terlantar, sebelum banjir bandang menghancurkan semuanya.

Well, malam itu, luapan sungai berair keruh membawa lumpur dan material dari hulu. Terdistorsi oleh kuantitas yang dikucurkan oleh awan gelap di atas langit Tanah Singasari. Kemudian awan gelap itu seolah menumpahkan segalanya ke bumi. Seperti mencoba untuk menghapus segala pendosa yang sedang berkelayapan di malam hari. Air yang tiada terhitung jumlahnya itu, menyapu sungai yang nirsempedan itu. Puluhan rumah tersapu arus banjir, sebagian aliran meluap ke jalanan. Beberapa orang yang melewati Jembatan Suhat was-was dengan volume air yang terus meluap. Sebagian orang yang berada di hotel di tepi sungai, bersiap siaga, jika aliran deras air menggerus batuan penyangga hotel.

Memandang dari kejauhan malam, aku dan Mas Danang merenungi keharusan yang gagal tercapai malam ini.

"Araya ..." Mas Danang melempar pertanyaan padaku.

"Hmm?"

"Apa yang engkau ketahui tentang Nona Anara?"

Kalau ditanya seperti itu, jelas aku kurang begitu paham. Aku bukanlah anak Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Namun, aku sempat pernah mewawancarainya sebagai bagian dari rutinitasku, kala diriku masih menjadi pers mahasiswa. Sepertinya, anak-anak FEB memandang beliau sebagai diri yang perfeksionis, sarat mengejar sebuah obsesi yang bahkan anak-anak fakultasnya sendiri heran.

"Namun, ada rumor yang mengatakan kalau ini berkaitan dengan apa yang terjadi dengan rekan dekatnya di satu universitas?" celetukku.

"Oh? Seperti apa rumor itu?" Mas Danang menoleh ke arahku. Tubuhnya kini tersandar pada pilar pembatas jembatan.

Aku mengedikkan bahu. "Sesuatu mengenai ... Astral. Aku tidak pernah menyeriusi gosip-gosip pribadi warga kampus. Aku bukan paparazzi."

"Rekannya satu universitas?"

"Sepertinya iya, sepertinya tidak. Yang jelas, mereka berdua dekat di ranah akademia. Bisa jadi waktu mereka masih jadi mahasiswa, atau bertemu di pertemuan dosen atau apalah ...."

"Apakah rekan dari Nona Anara meneliti soal astral?"

Aku menatap Mas Danang dengan sedikit kecut. "Kenapa kau begitu tertarik dengannya? Apakah ada sesuatu?"

Mas Danang menggeleng "Tidak ada."

"Sebenarnya ... ada." Buru-buru ia meralat ucapannya.

"Oh?"

Maka mulailah pembicaraan Mas Danang mengenai Astral.

"Kalau Nona Anara berada dalam satu sirkel dengan peneliti Astral. Besar kemungkinan ia pernah terlibat dengan peneliti-peneliti yang berkontribusi dalam penyingkapan kebenaran di balik astral. Penelitian untuk membuktikan kebenaran di balik Astral sudah mulai ada sejak Revelasi Agung terdengar oleh seluruh umat manusia. Adapun kemunculan peneliti-peneliti itu didukung oleh banyak pihak, seperti organisasi terafiliasi agama tertentu. Banyak gereja dan masjid-masjid menggelontorkan banyak uang untuk menyesponsori penelitian terkait dengan astral. Saking masifnya, sampai-sampai beberapa negara besar mulai ikut-ikutan menaruh sponsor ke mereka."

"Apakah itu problem?"

"Araya, Kautahu kan para peneliti Astral mendapat pertentangan keras oleh peneliti-peneliti lain?"

Aku mengangguk. "Ah, ya. Banyak ilmuwan yang menganggap penelitian terhadap Astral adalah sesuatu yang pseudosaintifik. Mereka dianggap mengolok-olok perkembangan ilmu pengetahuan manusia yang berdasarkan rasionalitas."

"Astral adalah hal yang irasional. Meneliti sesuatu yang irasional adalah rasionalitas itu sendiri. Sampai sekarang, hal-hal irasional di dunia ini masih terus dicari kebenarannya. Tidak terkecuali tentang Astral," sahut Mas Danang. Sesekali kami melirik ke bawah sungai, di mana kini banjir mulai surut.

"Sekarang ... kau membicarakan tentang ini, Mas Danang. Apakah ada, bagian dari Astral yang cukup rasional untuk diteliti oleh konsep penelitian ilmiah manusia?" Seberapa ilmiah ... ketidakilmiahan Astral?" tanyaku. Mas Danang hanya menggeleng.

"Masih diperdebatkan hingga kini."

"Oke ... masih diperdebatkan hingga kini. Namun, ini tidak dapat dipungkiri, sejarah perkembangan peradaban manusia bisa berjalan terpisah. Berjalan terpisah hingga mereka berjalan secara paralel," pungkasku.

Kami pun memandang sungai di bawah kami. Tampak rombongan tim dari Basarnas mulai menyisir daerah sepanjang aliran sungai.

"Mas Danang?" sahutku.

"Hmm ...."

"Menurutmu, apa yang direncanakan Nona Anara?"

"Hmm ... aku tidak tahu."

Buru-buru, Mas Danang meralat jawabannya kembali, "Mungkin ... aku tahu, tetapi ini masih sebatas konjektur. Sebuah praduga."

"Manifestasi Astral Artifisial ...."

"Araya ...."

"Hmm?"

Mas Danang menatapku lamat-lamat.

"Kautahu bahwa Astral dapat dibuat oleh manusia sendiri?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top