21. Di Bawah Cahaya Illahi, Kami Antarkan Pengadilan Tuhan


"Wahai Emisaris, katakan bagaimana arus palagan di Tanah Singasari kini?"

"Mereka yang menyalahkan keajaiban Tuhan, menumpahkan darah di Tanah Singasari. Rakyat di Kanjuruhan telah menjadi korban, makhluk asing telah mati di tanah yang baginya asing."

"Bilamana Pengadil Bidat memutuskan untuk menegakkan keadilan di Tanah ini, akankah mendapat perlawanan?"

"Wahai Sang Pemersatu, Pengadil Bidat telah menjadi pusat perhatian para penguasa Tanah Jawa. Biro telah bersumpah untuk menumpasmu, Raja-raja berkeraton tinggi mengawasi tindak tandukmu, Militer dan Pemerintah Pusat memperhatikan pergerakanmu, Antek-antek asing menunggu kesalahanmu."

"Sungguh, manusia-manusia itu telah lancang dan lancung, wahai Emisaris. Telah lancang mereka melangkahi hukum Tuhan, telah lancung mereka dalam setiap perbuatan!"

"Wahai Sang Pemersatu, apakah engkau raja, ataukah engkau hanya hamba sahaya?"

"Tiada berhak diriku mengenakan mahkota raja. Tiada satupun pula yang berhak mengenakan belenggu hamba sahaya padaku, wahai Emisaris."

"Pengadil Bidat berjanji pada rakyat. Hanya saja, mengapa engkau diam ketika yang dibantai di Kanjuruhan adalah rakyat!!?"

"Jaga bicaramu, Wahai Emisaris!"

"Tahan dirimu, saudaraku! Sekarang, berkatalah, Wahai Emisaris."

"Tiada yang lebih berkuasa dari Tuhan, Wahai Sang Pemersatu! Kukatakan agar engkau tidak berada di jalan yang celaka! Tanah Singasari butuh keadilan atau rakyat akan terus-terusan menjadi korban!"

"Telah kupertimbangkan hal itu, Wahai Emisaris! Tragedi itu tiada yang dapat memperkirakan! Penjahat-penjahat itu telah bersekutu dengan tipu daya setan! Apabila aku dapat melakukan, akan kuhantamkan palu penghukuman pada siapa pun yang mengeksploitasi keajaiban Tuhan! Akan kubuat Tanah Singasari rata seperti Alengka! Namun, hal itu tidak kulakukan! Akan jatuh lebih banyak korban! Itu yang kauinginkan!?"

"Tidak, Sang Pemersatu. Namun, kau yang kini memegang kekuatan di Tanah Singasari, hendaklah kau turunkan kebijaksanaanmu. Perlihatkan bagaimana Pengadil Bidatmu memberikan harmoni pada rakyat Tanah Singasari! Iblis tidak binasa sepenuhnya dari Tanah Tak Bertuan, Sang Pemersatu."

"Apa maksudmu, Emisaris?"

"Dialah dalang di balik Kanjuruhan. Dia pulalah dalang dibalik pembunuhan Para Pengembara Bintang."

"Apa ...."

"Ia mati ... Sang Pemersatu. Teman kami telah mati. Iblis yang selamat dari Kekejian Tanah Tak Bertuan, menggunakan Tanah Singasari yang lemah sebagai ladang kejahatannya. Bersama tentara-tentara asing, ia perlahan menggerogoti Tanah Singasari menjadi tiada daya. Ia ... telah ... mati ... WAHAI SANG PEMERSATU!"

"DI MANA DIA! Pemanis Kuat! Di mana I-BLIS itu!"

"Tiada perlu kaucari, Sang Pemersatu! Ia telah mendapatkan kutukannya. Ia telah mendapatkan kutukan yang setimpal. Seperti layaknya Bangsa yang telah mengkhianati Hari Sabat, kutukan Tuhan turun pada mereka!"

"Harusnya ia terbakar api keadilan!"

"Tiada yang lebih adil selain hukuman Tuhan, Wahai Sang Pemersatu."

"Bagaimana teman-temanmu?"

"Dua anak telah mati, Sang Pemersatu. Anak yang menjaga Wartel Terakhir di bumi ini telah wafat dua hari lalu. Anak Pengembara Bintang telah kembali pada bintangnya, di angkasa jauh sana, demi melindungi teman yang baru ia kenal selama seminggu. Sungguh tragedi, Sang Pemersatu. Sungguh tragedi yang bisa dihindari."

"Ini adalah kesalahanku. Kematian temanmu adalah kelalaianku. Pembantaian itu adalah kelengahanku."

"Sebagai Emisaris, aku kabarkan engkau warta tentang arus palagan ini, wahai Sang Pemersatu."

"Maka berkatalah, wahai Emisaris."

"Ada lima pertanda Tanah Singasari akan menjadi palagan penuh dengan pertempuran."

"Berkatalah, wahai Emisaris."

"Pertama. Banaspati Kata telah kembali dari pengasingannya."

"Siapa yang memberinya petunjuk? Siapa yang memberinya perizinan?"

"Tetua Kajineman Watugong, atasanku, Wahai Sang Pemersatu."

"Baiklah. Katakanlah hal kedua, wahai Emisaris."

"Pusaka Keraton telah menghunuskan pusakanya. Kini, Catur Sagotra akan mempertimbangkan setiap perkembangan yang terjadi di Tanah Singasari."

"Bukankah Pusaka Keraton telah lama mundur dari Tanah Singasari?"

"Dia adalah Pusaka Keraton yang terasingkan, Sang Pemersatu. Tiada lagi ikatan dirinya dengan sang penguasa Keraton, tetapi legitimasi Mataram masih mengikuti setiap langkahnya."

"Maka aku tiada urusan dengan Pusaka Keraton. Namun, apabila ia menghalangi jalan kami, maka saat itulah kita akan saling beradu senjata. Tiada yang dapat menghentikan Pengadil Bidat dalam melakukan tugasnya."

"Maka, akan aku katakan pertanda ketiga dan keempat padamu, wahai Sang Pemersatu."

"Maka berkatalah, wahai Emisaris."

"Kegelapan perlahan turun di Tanah Singasari. Tiada hakim yang menjadi pengadil, tiada pecalang yang menjadi penegak. Tanah Singasari telah gersang dari keadilan Tuhan dan rakyat menjadi buta akan penghakiman. Di satu sisi, kegelapan telah membawa ancaman. Para tentara-tentara asing telah dikerahkan untuk membuat kekacauan, sementara mereka memantau dari seberang lautan. Sisa dari para penjahat terkuat telah menanti di saat yang tepat. Para Pengamat Perang telah sampai pada titik di mana kami terpaksa turun untuk membuat keseimbangan. Maka persiapkanlah semua yang bertikai, untuk berhadapan dengan pengadilan dari rakyat yang terabaikan. Untuk rakyat, kami melakukan pengadilan, Di bawah cahaya illahi, kami mengantarkan pengadilan Tuhan."

"Berikan waktu pada diriku untuk merenungkan!"

"Silakan, wahai Sang Pemersatu."

"Lalu ... apa pertanda kelima?"

"Pertanda kelima, adalah keputusanmu hari ini. Arah gerakmu, arah gerak Pengadil Bidat."

"Maka dari itu Emisaris, apakah ada yang ingin kautanyakan?"

"Ke mana arah gerak Pengadil Bidat? Apakah ia akan menjadi mercusuar yang muncul di era yang baru bagi rakyat negeri ini? Ataukah ia akan menjadi jalan kegelapan sama seperti pendahulu mereka?"

"Apa visimu mengenai Astral, Emisaris?"

"Astral adalah nyata, sebagaimana sabda Tuhan yang mengatakan bahwa hantu adalah illusi, maka Astral adalah hasil daripada ilusi yang tercipta dari manusia."

"Lantas, mengapa manusia semakin jauh dari jalan yang ditempuhnya? Mengapa mereka terobsesi dengan jalan yang dicapai melalui ilusi yang mereka ciptakan sendiri?"

"Umat manusia ... mungkin mencari sebuah kebenaran."

"Tidakkah sabda Tuhan merupakan kebenaran?"

"Bagi mereka yang berinisiasi untuk mencarinya, Sang Pemersatu."

"Maka haruskah manusia yang bertaut kepada Astral itu binasa?"

"Tuhan adalah pengadil seadil-adilnya. Hendaknya tidak menumpahkan darah manusia yang tersesat. Karena mereka membutuhkan cahaya, bukan ayunan bilah pedang. Anda dan Pengadil Bidat merevolusi cara memaknai Astral dari perspektif baru. Namun, ketika manusia di negeri ini hanya memiliki satu pegangan, ketika pegangan itu kaucoba untuk binasakan, ke mana rakyat kemudian harus berpegang teguh?"

"Kepercayaan mereka sebelumnya."

"Agama dan kepercayaan hanyalah kompas, Sang Pemersatu. Ia adalah penunjuk jalan, bukan pasak pegangan. Selama ini, manusia memegang kepercayaan mereka dengan cara yang salah. Sehingga terciptalah peperangan dilandaskan ego kepercayaan itu sendiri."

"Lalu, apa pungkasan yang hendak ingin kau sampaikan di penghujung cerita ini, wahai Emisaris?"

"Kembalilah ke Tanah Tak Bertuan, Sang Pemersatu. Engkau pun tiada yang dapat berani mengusik. Biarkan kami bekerja untuk mengadili mereka yang berusaha memutarbalikkan keajaiban Tuhan untuk kepentingan kesesatan."

"Maka, aku telah selesai berpikir, wahai Emisaris."

"Berkatalah, Sang Pemersatu."

"Bilamana diriku dan Pengadil Bidat meninggalkan tanah ini, maka rantai setan akan kembali teruntai secara perlahan. Diriku datang ke tanah ini bukanlah sebagai penakluk, melainkan menawarkan visi yang berbeda. Namun, dalam perjalanannya, kami selalu bertaut dengan keantagonisan cerita. Kami telah dipersekusi selama puluhan tahun, sebelum Pengadil Bidat mengibarkan panjinya di Tanah ini. Kami hanya membutuhkan sebuah pengakuan dosa, atas mereka yang telah merobek-robek Tanah Tak Bertuan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Kami menginginkan pengadilan yang seadil-adilnya."

"Sayang sekali, Sang Pemersatu. Jalanmu akan penuh dengan badai. Turbulensi dari entitas yang memiliki kepentingan akan menghalangi jalanmu."

"Pergilah, lalu beritahu kepada mereka. Selama mereka yang bertanggung-jawab atas penderitaan puluhan tahun kami belum diadili, maka kami akan tetap di sini melakukan pengadilan. Di bawah cahaya illahi, kami akan antarkan pengadilan Tuhan!"

****

_________ CATATAN DARI TEMBOK KEEMPAT _______

DWC hari ke-21 tiada terasa dan tantangan hari ini adalah gacha genre yang diperoleh dari situs web gacha genre generator. Tiap peserta akan dapat 6 paket genre dan harus membuat cerita maksimal 1500 kata dari salah satu genre yang dibaca. Kebetulan, aku dapat genre ini :


Fairy tale ... well, ceritaku terlalu gelap buat fairy tale jadi no-no, Hisfic ... kita sudah pernah eksperimen di challenge day-17 jadinya cari suasana lain, Romcom ... yakali ngelawak ketika dua tokoh barusan meninggoy di LITERALLY chapter sebelumnya (ini kek misalnya buyut nenekmu meninggal, besoknya kamu ketawa-ketawa) so big no, Urban fantasy ... well, ini urban fantasy sih jatohnya wkwkkw, jadi aku mau coba genre yang lain. Western ... no, karena settingnya mostly Alternate History Indonesian. So, akhirnya aku pilih speech genre.

What the heck is speech genre? Singkat kata, dari hasil kontempelasi anak-anak NPC lainnya + sedikit riset, genre ini mostly seperti cerita yang ... full dialog sebagai cara untuk menarasikan ceritanya. Semacam dialog-dialog filosofisnya seperti Plato atau Rumi yang menceritakan perdialogan antara dua insan. Memakai dialog untuk bercerita, hampir tidak ada narasi deskriptif, seolah kita terperangkap dalam memperdebatkan atau memperbincangkan sesuatu.

Anyway ... selamat menikmati~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top