2. Taman Segala Jiwa
"Taman bunga. Ayah ingin berlibur bersamamu dan ibumu ke taman bunga."
Begitulah kiranya janji Ayah padaku kala itu. Di saat diriku merengek padanya, menginginkan sebuah cerita liburan yang dapat dibagi ke teman-teman sekelasku.
Keluarga kami tidak pernah ke mana-mana. Ibu mengurus rumah dan ayah pergi banting tulang untuk menghidupi keluarga. Liburan bersama keluarga yang pernah kujalani bersama keluargaku, hanyalah pergi ke rumah nenek setiap hari ketiga setelah lebaran. Pergi ke rumah nenek, silaturahmi ke tetangga, menginap selama tiga hari dua malam, lalu pagi esoknya kami kembali pulang. Setelah itu, kami kembali pada rutinitas masing-masing kami.
Seperti rutinitas yang sudah sangat kukenal, tidak ada yang spesial. Jajanan yang disuguhkan oleh nenek, aku selalu hapal. Seluruh anak-anak di kampung nenek, semua aku kenal. Hingga pada satu titik dalam masa kami tidak pernah lagi pulang kampung, setelah nenek meninggal. Entah mengapa, aku sedikit rindu dengan rutinitas 'tidak spesial' itu. Namun, kami hanyalah manusia-manusia yang terjebak dalam skema ekonomi kapitalis, mengharuskan kami untuk 'mengurangi healing'.
Tidak kusangka Ayah memiliki preferensi destinasi wisatanya. Ibu pun tidak berkeberatan, tetapi lain halnya denganku. Akan lebih mengasyikan kalau kami liburan ke taman wisata atau pantai. Yah, aku tidak dapat memilih-milih. Lebih baik liburan sejenak, daripada tidak liburan sama sekali. Aku menantikan janji liburan itu.
Sayangnya, aku tidak menagih batas waktu. Aku ingat bahwa Ayah menjanjikan liburan itu tatkala diriku masih di bangku sekolah dasar. Kini, aku berada di semester tiga perkuliahan.
Ayah tidak menepati janjinya.
Ketika aku ingin menagih janji itu, ia telah menghilangkan keberadaannya. Bisa saja aku mencarinya, tetapi hanya akan terasa seperti layaknya anjing yang mengejar ekornya sendiri.
Hingga di suatu hari-aku lupa tepatnya kapan-di mana Tanah Singasari telah menjadi medan palagan semu bagi mereka yang bermain-main di alam kefanaan, Ayah tiba dengan janji itu. Ia bahkan mengajak Ibu bertemu denganku. Entah mengapa, amarahku terpelatuk ketika aku melihat wajah Ayah.
Wajah pria yang tidak menepati janjinya. Wajah pria yang meninggalkan anak dan istrinya untuk mengejar sebuah kefanaan yang sia-sia. Bahkan kefanaan itu tidak dapat membantu kami mendaki naik dari jurang kesusahan.
"Tiga belas tahun. Tiga belas tahun akhirnya kau kembali dengan janjimu," ucapku tanpa minat, merendah sedatar mungkin sembari melihat Ayah dengan dingin.
"Seorang pria harus menepati janjinya," ujar pria paruh baya di depanku.
"Kenapa bawa-bawa ibu?"
"Bukankah aku bilang, bahwa aku akan menepati janji, Araya." Ayah tersenyum. Aku berdecak kesal tiap kali ia menunjukkan wajah pamer itu.
"Tiga belas tahun kemudian, huh?" sengakku.
"Daripada tidak sama sekali."
Tsk! Pamer.
Hingga sampailah pada hari ini, aku bersama Ayah dan Ibu berada di taman bunga yang Ayah janjikan. Janji untuk mengajak kami berdua berlibur bersama. Taman bunga yang kini kami kunjungi, tiada ubahnya seperti taman bunga yang ada di Selecta, Batu. Jenis bunga, susunan penanaman, wahana yang tersedia, semuanya sama. Ini benar-benar seperti taman bunga di Selecta, Batu. Aku sudah pernah liburan ke sana berkali-kali dengan teman kampusku.
Sejenak perasaan repetitif itu kembali kurasakan. Perasaan yang sama ketika aku pulang kampung ke rumah nenek.
"Aku tahu kau pasti marah denganku, tapi setidaknya ... kita nikmati liburan bersama ini, Araya." Ayah berjongkok, kemudian mendongak dan memohon padaku. Sepertinya ia masih tidak memahami, kalau aku bukanlah lagi anak kecil yang bisa diajak bicara dengan cara seperti itu.
"Heh ... terserah. Setidaknya, kau tepati janji pada Ibu." Aku membuang pandanganku ke arah Ibu.
"Hey, Araya."
"Kenapa?"
"Dari dulu Ayah pensaran ... apa yang membuatmu membenci Ayahmu?"
"Kau meninggalkan kami ketika kami berada di titik nadir." Aku 'dakwa' Ayah, tanpa tedeng aling-aling.
Ayah terkekeh dengan nada yang terdengar seperti menahan penyesalan. Ia pun berdiri, kemudian menatapku.
"Araya, jika saja aku mengajak dia juga ... apakah kau akan memaafkan Ayahmu?" tanyanya.
Spontan aku tertawa sengak. Pernyataan Ayah sudah seperti orang yang kena pola pikir. Aku tahu siapa yang Ayah maksud.
"Heh, jangan bercanda. Bagaimana ...."
Jantungku mencelus.
Aku menoleh ke arah Ibu. Ia menatapku seraya tersenyum padaku. Aku menyaksikan sosok di balik Ibu, seperti ada seorang anak yang menyembunyikan dirinya. Seorang anak perempuan, kalau diukur tingginya kira-kira sedadaku. Ia berambut hitam kecoklatan, seperti dirinya yang terbiasa bermain di bawah terik matahari. Ia sesekali melirik dari balik punggung Ibu, malu-malu mengintipku.
Entah mengapa dadaku tidak pernah terasa sesak. Gelombang emosi menelanku dalam kebimbangan. Aku menampar-nampar pipiku sebagai bentuk ketidakpercayaan, hanya untuk merasakan sakit yang tak kunjung usai. Semua hanya karena aku melihat anak perempuan di balik tubuh Ibu.
"Araya ...."
Suara lirih nan rendah Ibu memanggilku.
"Ayahmu sudah menepati janjinya. Kau bisa maafkan ayahmu, ya?" ujar Ibu.
Sesak.
Sakit.
Terasa tubuhku dikuliti oleh rindu secara perlahan. Sebuah rindu yang mustahil untuk disembuhkan. Rindu yang tiada kuasa tertahan. Dalam sepersekian detik berlalu, emosi itu akhirnya lepas bersama air mataku yang terjun ke tanah. Aku berusaha untuk mengelak, tetapi aku hanya terisak.
"A-Ayah curang ...."
Anak perempuan yang bersembunyi di balik Ibu kemudian berlari menghambur ke arahku. Kemudian, ia menggamit tanganku, menyeretku, memerintahku untuk ikut dengannya.
"Alaya." Aku memanggil lirih nama anak kecil itu.
"Bang Raya, ayo main! Ayah dan Ibu sudah nungguin!"
Aku pun menuruti Alaya, mengikutinya dari belakang, berjalan ke arah di mana Ayah dan Ibu telah berdiri menunggu. Aku berpikir bahwa Ayah telah menepati janjinya. Siapa sangka, taman bunga yang sering kukunjungi, menjadi saksi aku memaafkan pria yang kubenci selama hidupku.
"Araya."
Tiba-tiba saja, tangan kiriku tergamit seseorang. Bersamaan dengan itu, suara pria memanggilku.
Suara yang kukenal. Aku menengok ke belakang, di mana Mas Danang menarik tangan kiriku.
Aku tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan keterkejutanku. Hanya ribuan keheranan yang memenuhi kepalaku.
"Mas Danang, ngapain di sini??"
"Ayo pulang," ujarnya datar, seperti tanpa minat. Namun, ia menatapku tajam. Entah mengapa, melihatnya membuatku kesal, bahkan lebih kesal ketika aku bertemu dengan ayahku kembali.
Aku baru saja menemukan momen reuni keluarga yang tepat, dan pria konyol ini menyuruhku pulang? Yang benar saja!?
"Pulang? Kau gila? Aku sedang liburan dengan keluargaku-"
Aku tidak memperhitungkannya. Belum selesai aku memprotes, tiba-tiba saja seluruh wajahku sudah sakit bukan main. Hidung, mulut, lapisan kulit. Aku tidak mengira Mas Danang akan meninju wajahku telak. Sekali pukulan dan segala rasa sakit terasa menyeruak.
Ditinju, tepat di wajah. Tulang hidungku terasa retak.
"Adikmu sudah mati, Araya."
****
Taman Segala Jiwa.
Begitulah namanya.
Tercipta dari seorang mantri bernama Jajang Sujajang. Penciptaannya berkaitan erat dengan persekutuannya dengan makhluk dari Alam Astral. Kalau dalam terminologi Pemburu Biro Bawah Tanah, ia telah melakukan 'Tindakan Kriminal Terafiliasi Fenomena Astral'. Fakta yang lebih membuatku kesal adalah, dia sendiri mantan Pegawai Biro di Tanah Singasari. Ketika awal Perang Dingin Astral, ia masuk Daftar Pencarian Orang Pengadil Bidat.
"Jajang Sujajang, kau ditangkap atas tuduhan penipuan dan penculikan dengan melibatkan Fenomena Astral. Tindakanmu sudah dianggap sebagai penyalahgunaan Astral untuk tindakan illegal." Mas Danang terpaksa membacakan vonis penangkapan kepada pria yang sudah seperti tua bangka itu. Yah, seharusnya aku yang melakukannya, tetapi wajahku masih kebas karena Mas Danang keterlaluan memukuliku.
Kalau tidak kupukul, kamu tidak bisa keluar dari Alam Astral.
Begitu katanya.
Sialan. Aku dipukuli seperti maling saja.
"O Tuan, bagaimana bisa kau menuduhku sebagai pendosa? Bagaimana kau memfitnahku sebagai seorang penculik!?" Jajang Sujajang mengelak dari tuduhan Mas Danang. Aku memelototinya. Baru kali ini ada orang yang wajahnya lebih memuakkan daripada wajah Ayahku.
"Kau memberikanku tiket taman bermain di depan stasiun, hanya untuk kuketahui bahwa diriku telah tersesat di tengah kuburan," sengakku.
Aku mengingat-ingat kembali, seketika aku keluar dari Stasiun Tanah Singasari, Jajang menghampiriku, memberiku sebuah tiket taman bermain bernama Taman Segala Jiwa. Gratis, dalam rangka Grand Opening.
Orang kaya mana yang menggelar pembukaan taman bermain dengan bagi-bagi tiket masuk gratis?
Penasaran dengan tempatnya, aku pun mengunjungi taman bermain yang terlihat seperti taman bermain betulan. Beberapa wahana bisa dimainkan secara gratis, sampai pada titik ada satu wahana yang membuatku harus merogoh kantong untuk membayar.
Wahana bioskop tiga dimensi.
"Jajang Sujajang, katakan di mana 36 orang yang telah kautipu?" Mas Danang menginterogasi Jajang kembali, hanya membuat tua bangka itu kembali mengelak dengan radikal.
"Tenanglah, mereka semua ada di Bioskop Tiga Dimensi. Namun, demi Tuhan, mereka tidak kutipu! Mereka datang ke Taman Segala Jiwa, taman bermain untuk liburan keluarga! Mereka akan segera pulang!"
Fakta bahwa taman bermain ini telah buka sejak sepekan lalu, bersamaan dengan banyaknya laporan aneh yang masuk ke Balai Pengaduan di Masjid Jamek maupun Katerdal Ijen. Laporan bahwa orang-orang yang habis main dari Taman Segala Jiwa menjadi berubah perilakunya. Kebanyakan menjadi lebih emosional dan tempramental.
Marah-marah entah karena masalah perceraian orang tua lah, atau masalah orang tua yang tidak mengasihi anaknya lah. Bahkan beberapa laporan menyebutkan, anggota keluarga mereka ngotot untuk 'liburan' bersama keluarga mereka yang telah meninggal. Modus operandinya sama seperti yang kualami. Jajang sepertinya mengincar mahasiswa dan pelajar di Tanah Singasari sebagai target operasinya, mengingat korbannya rata-rata adalah mahasiswa rantau.
"Kau mengincar mahasiswa, terutama perantau. Mahasiswa memiliki segudang masalah mereka sendiri, bahkan bagi mereka para perantau. Mereka yang jauh dari ikatan keluarga, mereka yang jarang berinteraksi dengan sanak saudara. Bahkan, anak yang sedang bertengkar dengan orang tua. Kau mengeksploitasi kerinduan mahasiswa dengan keluarga mereka. Lebih kurang ajar lagi, bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga mereka."
Mas Danang kembali membacakan vonis penangkapan, kali ini lebih panjang dengan nada yang semakin lama semakin meninggi. Sesekali ia menuding-nuding Jajang. Entah bagaimana Jajang membuat pengunjung Taman Segala Jiwa tiba-tiba tersesat di Alam Astral. Mungkin saja, letak taman bermain di dekat kompleks pemakaman ini bisa menjadi jawaban.
"Mereka yang membutuhkan kerinduan, haruslah segera diobati. Mereka yang berduka atas hilangnya keluarga mereka, haruslah segera disudahi." Jajang mulai melanturkan pembicaraan.
"Dengan memberi mereka ilusi atas kegembiraan mereka?" sengakku.
Mas Danang menghunuskan sebuah keris, mengacungkannya kepada Jajang.
"Jajang Sujajang, Otoritas Pengawas Perang dari Masjid Jamek dan Katerdal Ijen sudah menggerebek tempat ini. Menyerahlah."
Tanpa ada perlawanan, Jajang pun mengangkat tangannya.
Ia memandang kami sinis, seraya berucap, "Aku hanya membantu mereka yang terluka jiwanya. Terkutuklah kalian yang menghalangi niat baik manusia ...."
Kami berdua sudah tahan dengan bualan dan gertakan melempem orang-orang seperti Jajang. Sok hebat karena mereka sudah bisa sedikit mempermainkan manusia lewat Alam Astral. Jajang memang terlihat mencurigakan, serta penuh dengan tipu muslihat. Namun, kami yakin ilmu 'per-Astral-an' miliknya hanya sedengkul.
Proses penangkapan tampak lancar, sampai Jajang pun mengoceh lagi. Kali ini, dia sudah terlalu rendah sebagai seorang manusia.
"Huh, sepertinya kau anggota Pengadil Bidat, anak muda. Hei, bagaimana rasanya liburan dengan adikmu?"
Dor! Dor! Dor!
Kusarangkan tiga peluru pistol, mengenai kepala dan dadanya. Melihat reaksi spontanku atas agitasi Jajang, Mas Danang hanya bisa menghela napas. Kami tahu, bajingan ini harusnya ditangkap hidup-hidup.
Namun, ia sudah menghinakan dirinya sendiri sebagai manusia. Di hadapanku. Orang yang kehilangan adik perempuannya.
"Hah ... Araya, Biro tidak akan senang melihat ini," keluh Mas Danang.
"Bagus, berarti Kajinoman Watugong sudah melakukan tugasnya dengan baik."
Dor! Dor! Dor!
Tiga tembakan kulepaskan. Aku telah melakukan apa yang harus kulakukan.
"Semoga Tuhan menerangi jalan gelap kami," ujar Mas Danang, seraya menghampiri mayat Jajang Sujajang.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top