18. Sinnerman
'Mengetahui sisi gelapmu sendiri adalah metode terbaik dalam menangani sisi gelap orang lain.'
-Carl Gustav Jung, Surat kepada Kendig B. Cully, 25 September 1931
****
Notifikasi muncul di depan wajahku.
Identifikasi siapa penjahatnya di desa itu.
Kurasa, ujian kali ini cukup mudah. Hanya mencari tahu siapa penjahatnya, selayaknya permainan who's the killer atau werewolf. Hanya saja, aku tahu, kali ini adalah ujian yang asli. Begitu notifikasi itu hilang, kurasakan tubuhku seperti memendek.
Tidak.
Aku kini memang 'sedang' bertubuh seperti ... anak kecil. Seluruh tangan dan kakiku terasa mengecil. Sepertinya aku dikirim ke tempat ini dalam bentuk serupa anak kecil. Namun, di mana ini? Aku memandang ke arah sekeliling. Sebuah ruangan yang cukup luas, di mana ruangan itu tampaknya seperti ruang pertemuan dengan dinding yang hanya disemen halus. Ukurannya jauh lebih luas daripada ukuran ruang kelas di sebuah sekolah menengah.
Juga, tiba-tiba saja aku dikirim di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Orang-orang tersebut masing-masing duduk di sebuah kursi plastik berwarna putih. Ada sekitar tiga puluh orang lebih, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Beberapa orang tampak sedang mengatakan sesuatu dan tampak saling berdebat satu sama lain.
Aku pun mengaktifkan mode penerjemah untuk mengetahui apa yang mereka diskusikan.
"Tidak mungkin dia mati begitu saja, pasti ada seseorang yang membunuhnya?" ujar seorang pemuda berkumis tipis, sembari menuding-nuding ke arah pintu ruang pertemuan.
"Membunuhnya? Siapa? Siapa yang memiliki nyali untuk membunuh seseorang dan menyembunyikan tindak-tanduknya di desa yang hampir tiada terjamah peradaban ini?" lalu, seorang bapak paruh baya dengan kacamata pun mempertanyakan pemuda tadi. Wajahnya sama seperti kebanyakan wajah para warga yang lainnya.
Tiba-tiba, suara gebrakan meja yang diulang-ulang, menggema ke seluruh ruangan. Tampak dari kejauhan, sosok kakek-kakek sepuh berjenggot putih lebat sepanjang lengan anak kecil, sedang menggebrak-gebrak meja.
"Harap tenang semua warga! Mari kita diskusikan hal ini satu per satu, penyebab dari kematian Bapak Pengepul Getah Karet."
Sepertinya ada yang mati di desa ini. Dari informasi terbatas ini, aku menduga kematian si Bapak Pengepul Getah Karet begitu misterius, hingga satu desa berkumpul untuk mendiskusikannya.
Si pemuda berkumis tipis kembali berargumen, "Tidak ada yang datang dan pergi dari desa ini di hari kematiannya. Sudah tentu satu di antara penduduk desa ini lah pelakunya."
"Bagaimana ... bagaimana jika ia tidak mati dibunuh manusia?" Kemudian, terdengar celetukkan dari seorang wanita muda.
"Apa maksudmu?"
Seluruh warga yang ada di ruangan itu pun menoleh dan memandang si wanita muda.
"M-mungkin saja karena serangan hewan buas?"
"Mayat Bapak Pengepul Getah Karet hampir tidak bisa dikenali lagi jika bukan karena peralatan yang sehari-hari dirinya bawa. Tiap hari beliau berangkat dengan membawa alat itu untuk mengumpulkan getah karet," celetuk salah satu ibu-ibu.
"Mungkinkah dia jatuh dari atas pohon?"
"Kenapa, bodoh! Pohon karet tidak perlu dipanjat untuk mendapat getah!"
Memang benar, kau tidak harus selalu memanjat untuk mendapatkan getah karet. Hanya pada saat-saat tertentu saja kau harus memanjatnya, seperti jika ada dahan yang menghalangi sesuatu. Rupa-rupanya desa ini adalah desa penghasil getah karet, tetapi baru kusadari bahwa warga yang ada di ruangan ini ... tidak sebanyak yang kukira. Mungkinkah mereka ada yang tidak ikut? Namun, sepertinya desa ini memang segini saja penduduknya. Namun, ruangan ini masih cukup penuh dengan para warga. Bahkan tadi aku dapat menengok, ada yang tidak kebagian tempat duduk dan memilih untuk berdiri di pinggiran ruangan.
"B-berarti ... memang dibunuh."
Suara kekhawatiran mulai tercipta dari kerumunan. Sepertinya desa ini baik-baik saja dan tiada ada masalah, hingga ... Si Bapak Pengepul mati secara misterius.
"A-apakah ... Bapak Pengepul ... sakit?" Refleks aku mengangkat tangan dan berceletuk, membuat seluruh pandangan kini tertuju padaku.
Oke, ini sedikit tidak nyaman.
"Ah-uh, anu ... aku hanya bertanya," sahutku sedikit gugup.
Seperti biasa, si pemuda berkumis yang serba tahu menjawabnya, "Dia adalah orang yang paling sehat di desa ini, walaupun usianya sudah masuk pada saat-saat dirinya seharusnya sudah kena penyakit macam-macam."
Mungkinkah dirinya adalah penjahatnya?
"Mungkinkah dia diracun?"
"Mana mungkin? Jasadnya ada bekas sayatan sesuatu yang tajam dan hantaman benda tumpul."
Spekulasi terus bermunculan, hingga pada akhirnya, seluruh forum kembali mengajukan keputusan kepada si kakek berjenggot panjang.
"Bagaimana, Tetua?"
Si kakek pun bersabda, "Sepertinya ... Bapak Pengepul Getah Karet memang diserang oleh binatang buas ... kemudian ia terjatuh dan sesuatu menghantam kepalanya hingga ia mampus."
"Begitu yah ... sayang sekali."
Oi oi oi mana bisa begitu??
"Seluruh keluarganya meninggalkan dirinya ... meninggalkan desa ini untuk pergi ke luar."
"Ia kesepian, mungkin ia butuh teman."
"Tapi, aku pernah bertemu dengan beliau, Bapak itu benar-benar tidak ramah ...."
"Sejak anak paling kecilnya meninggal, bukan?"
Berbagai penyesalan yang menggantung keluar dari mulut para warga. Memutuskan untuk mengakhiri identifikasi ini begitu awal benar-benar tidak dapat kuterima. Mana bisa seperti itu? Mana bisa orang yang matinya tidak teridentifikasi itu dibiarkan saja tanpa diketahui sebab-musababnya? Mengapa ada manusia-manusia yang tidak mau repot seperti ini?
Apakah ini efek dari penyakit Slacker? Kalau memang benar, maka satu-satunya cara, adalah dengan mencari tahu penjahat yang sebenarnya. Namun, siapa? Tiada petunjuk apa pun. Semuanya serba instan dan serba tiba-tiba. Tentu saja aku tidak dapat mengidentifikasikannya.
Tunggu.
Bagaimana kalau memang benar warga di desa ini hanya seruangan ini? Bagaimana jika kini pembunuhnya sedang mencoba untuk memanipulasi forum untuk melakukan penyelewengan terhadap hasil vonis kematian si Bapak Pengepul?
Mungkin ... mungkin cara itu bisa dipakai.
"Yah ...."
Dengan refleks aku berdiri sembari mengangkat tanganku.
"Ya, anakku?" sahut si kakek tetua.
"Aku tahu siapa pelakunya ...."
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Tembakkan sudah dilempar, waktunya untuk melakukan inkuiri.
"Apa kaubilang?" Orang-orang desa tidak percaya denganku mulai mempertanyakanku.
"Katakan siapa!? Siapa yang merusak kedamaian di desa ini!?" Sebagian lagi memaksaku untuk mengaku pelaku dari pembunuhan si Bapak Pengepul.
Seorang ilmuwan psikologi pernah berkata, bahwa untuk dapat menangani sisi gelap orang lain, kau harus mengenali sisi gelapmu sendiri. Samar-samar aku teringat wajah ayah. Lalu, dengan mantap aku berkata, "Pelakunya ... adalah aku."
Tembakan kedua sudah terlontar.
Seluruh ruangan hening, beberapa detik kemudian meledak menjadi riuh tiada terkendali. Ada yang langsung mencaciku, ada yang mengolok-olokku layaknya diriku seorang filibuster, ada yang menertawakan diriku lantaran penampilanku sebagai anak kecil, ada pula yang bertanya-tanya siapa diriku.
"Omong kosong apa lagi ini!" Orang-orang mulai menudingku.
"Hei, nak. Jangan bercanda kamu!"
"Aku ... bertemu lalu pergi bersama Bapak Pengepul Getah Karet kala itu," tukasku.
"Apa!?"
Semua kembali dalam keterkejutannya. Berada dalam ketidakpastian, terbelenggu oleh ketidaktahuan membuat seluruh warga di ruangan itu menjadi lebih agresif dalam menentukan sikap. Mereka bahkan ada yang sudah ancang-ancang ingin menghabisiku.
"Katakan! Katakan bagaimana kau membunuhnya!? Bocah setan!?"
Di antara kericuhan itu, sebuah suara menenangkan semuanya.
"Kalau begitu caranya ... maka pelakunya bukan dirimu, Bocah ...."
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Aku tidak dapat melihatnya. Namun, siapa pun itu, aku rasa ia sudah menciptakan momentum bagiku untuk menyetir forum.
"Cara membunuhnya adalah cara yang sangat kompleks," ujarku, untuk kemudian memulai penjelasan.
"Pertama, kau butuh untuk merusak peralatannya, dengan begitu ia tidak akan bisa melawan diri. Kedua, kau harus memberinya sesuatu agar daya tahan tubuhnya lemah atau membuatnya tidak bisa beraktivitas dengan baik. Ketiga, kau harus memancing agar hewan buas datang ke desa ini-"
"Tunggu, hewan buas?" sergah si pemuda berkumis tipis.
Aku mengangguk.
"Tentu saja, hewan buas ikut andil dalam memproses kematiannya. Kemudian, keempat, kau harus mengulur waktu agar si Bapak dan hewan buas yang tadi dipancing dapat bertemu. Kelima, hewan buas adalah makhluk yang sangat sensitif terhadap sesuatu, dalam hal ini, darah. Ada yang sengaja melumuri benda-benda kepunyaan si Bapak dengan darah ... ternak untuk membuat si Bapak terlihat seperti hewan ternak. Keenam-"
"Kau membuat tanah menjadi licin dengan cara menumpahkan semacam pelicin. Bisa saja membuat tanah di kebun karet menjadi licin dengan menyiram air yang banyak," pungkasku.
Semua orang terheran-heran mendengar penjelasanku.
"Sebanyak itu kah caranya? Konyol sekali!? Mana ada yang mau repot-repot melakukan itu untuk membunuh satu orang-"
"Ada," tukasku.
Keheningan tercipta. Semua orang seolah menunggu nama yang keluar dariku untuk melakukan vonis penghukuman.
"Untuk memastikan desa ini tetap tenang tanpa ada kepanikan. Kematian si Bapak dibuat agar tidak jelas apa penyebabnya."
Manusia adalah makhluk sumber dosa. Aku pun menunjuk ke arah forum.
"Kalian semua membunuh Si Bapak Pengepul Getah Karet!"
Dalam sekejap, ruangan yang semula tenang itu berubah menjadi ajang adu cemoohan dan adu tuduhan. Kemudian, ramai riuh kemarahan warga pun bercampur menjadi satu kesatuan orkestra kekacauan yang teratur. Dari adu cemoohan, berkembang menjadi adu dorongan. Dari adu dorongan, berubah menjadi adu pukul. Hingga pada satu titik, adu pukul berubah menjadi pembantaian.
Terbelenggu oleh ketidaktahuan, terkungkung oleh kemalasan. Penyakit Slacker dalam diri manusia memang benar-benar mengerikan. Ruangan itu perlahan berbau anyir karena banyaknya darah yang tertumpah. Dalam waktu tiga puluh menit, semua orang yang ada di situ ... telah binasa.
Kecuali dua orang.
"Osamu Dazai pernah berkata, manusia ... adalah sumber daripada dosa itu sendiri."
Suara yang sama sebelumnya. Aku pun kini berhadap-hadapan dengan seseorang yang tengah duduk di sebuah kursi plastik. Seorang pemuda ... tidak, berbeda dengan pemuda berkumis tipis tadi. Ia seperti ... bukan orang asli desa sini.
"Sudah kuduga," desisku.
"Jadi, kausudah menemukan pelakunya? Siapa?"
Aku menunjuk pemuda itu.
"Kau."
****
_________ CATATAN DARI TEMBOK KEEMPAT _______
_____ PERHATIAN! PROTOKOL DARURAT DIJALANKAN _______
Testing ... testing ... Jadi ... tema hari ke-17 DWC ini adalah di mana kau harus melanjutkan cerita Hari Ke-2 milik peserta DWC lainnya. Nah, cara menentukan 'peserta lainnya' ini ... jadi kan kita punya daftar peserta, nah kita memilih peserta di urutan nomor urut di bawahku. Aku kebetulan dapat punyanya Thingsgotlouder
Seperti kata Fabrizio Romano, here we go!.
Nah, kalau penasaran dengan cerita asli punya beliau, jangan sungkan untuk mampir juga ke works DWC 2024 kepunyaan Thingsgotlouder yang berjudul e p o c h.
Makin ke sini temanya makin ke sana. Anda bingung? Apalagi saya.
Anda sudah mulai gila? Apalagi yang nulis.
Araya nyimeng lagi? Tentu saja.
Selamat menantikan works hari berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top