17. Mandat Penjaga Sejarah
Begitu aku terbangun, yang kulihat adalah langit-langit kotak-kotak berwarna putih, kipas angin yang berputar pelan, dan lampu bohlam yang tidak menyala. Seketika bau seperti kamar rumah sakit menyeruak hidungku. Perlahan, setelah kukumpulkan kesadaranku, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bangsal rumah sakit yang ... tidak biasa.
"Yang benar saja ...."
Tidak kutemui pasien lain. Hanya diriku. Tetapi yang membuatku sedikit bergidik ngeri, bahwa ada ranjang kosong di mana spreinya bekas bercak darah yang cukup banyak. Aku bertanya-tanya apakah ada pasien yang kena kecelakaan lalu lintas?
"Ah, kau sudah bangun rupanya. Sudah dua hari kau tidak sadarkan diri."
Seseorang berkata menyapaku yang sudah terbangun. Aku menengok ke arah asal suara. Seorang dokter-bukan, tentara? Seragamnya bukan putih-putih, tetapi khaki layaknya tentara. Apakah aku sedang berada di RSAD? Tetapi, RSAD pun, hampir tidak ada yang mengenakan seragam dokter seperti itu. Selalu pakai jas.
"Di mana diriku?" rintihku, berusaha menggapai seluruh kesadaranku seutuhnya.
"Rumah sakit militer, Barak Kyoudo Bouei Giyuugun Batalyon II Surabaya."
Jantungku mencelus.
"Huh? Apa? Gimana?"
Aku harap ini bukan sulapan Astral atau semacamnya. Aku menanyakan lagi kepada orang yang menyambutku, menghasilkan jawaban yang sama.
Juga, Kyoudo Bouei Giyuugun? Tentara Pembela Tanah Air?? PETA??
Tunggu. Ada yang tidak beres di sini.
"Kau tidak sadarkan diri selama dua hari setelah kau diterima oleh serdadu kami di pelabuhan. Mereka bilang, penanganan medis di Jawa jauh lebih baik."
Surabaya? Bagaimana aku bisa tiba-tiba teleportasi ke Surabaya? Aku berusaha mengingat-ngingat lagi apa yang telah terjadi. Bayangan loji Belanda yang ditinggalkan, diriku dan Mas Danang yang memasuki tempat itu, kemudian aku terjatuh dari lantai tiga.
Apakah aku kena isekai??
"Hey? Kau baik-baik saja?" Dokter yang menyapaku, mengibas-ngibaskan tangannya di depan mukaku.
"Kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa tubuh ini sakit semua?" Aku masih menerka-nerka, di mana diriku. Apakah diriku masih di dunia? Ataukah ini adalah ilusi Astral, seperti Jajang Sujajang dengan Taman Segala Jiwa-nya?
"Sudah kubilang, kau perlu mendapatkan penanganan medis serius paska perang. Pertempuran di Borneo memang benar-benar brutal."
Dokter itu bicara seolah ngawur lagi. Namun, aku tidak menyalahkannya. Ada diskrepansi informasi dan memori yang terjadi padaku. Dokter itu tidak salah. Ada yang salah dengan keberadaanku di tempat asing tanpa ada petunjuk ini.
"B-Borneo katamu?"
"Kau ... kauingat siapa namamu?"
Aku masih mengingat namaku. Bahkan, aku masih ingat apa saja yang terjadi beberapa hari yang lalu. Yang pasti, aku tidak sedang menderita Amnesia. Namun, bagi dokter yang kini menemuiku, aku dianggapnya kena hilang ingatan. Aku pun berusaha menjawab sekenanya.
"Ah ... iya. Aku ingat, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa ada di sini dan apa yang terjadi sebelumnya."
"Hmm ... gawat. Sepertinya kepalamu kena. Sekutu menyerang Tarakan dan mereka melakukan serangkaian operasi penyerangan di seluruh Kalimantan. Sepertinya Militer Jepang sengaja menarik mundur garis perang hingga ke Jawa."
Tunggu, ini semakin aneh. Mendadak, ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam diriku.
"Tanggal berapa sekarang?"
"Hmm ... 6 Agustus 1945"
Aku melongo, kemudian terkejut setengah mati.
"HAH!?"
****
Aku terbangun sebagai salah satu prajurit yang berlaga di perang dunia kedua. Luar biasa. Aku menampar-nampar diriku, hanya untuk mengetahui sakitnya nyata. Aku berusaha untuk mencari adanya jejak Astral, tetapi tiada bisa kutemukan. Yah ... butuh waktu 20 tahun hingga Revelasi Agung terjadi.
"Namaku Sumansoro, dokter militer di rumah sakit ini," ujarnya sembari mencoba untuk mendudukkan tubuhku di ranjang.
"Namaku ...." Sejenak aku berpikir, apakah memberikan identitasku memiliki dampak signifikan terhadap lajunya sejarah? Secara praktis, aku kini terlempar ke masa lalu. Masalahnya, apakah aku memang benar-benar terlempar ke masa lalu, atau ini hanya mimpi, atau ilusi yang diciptakan oleh Astral?
Kalau ini adalah ilusi, maka ini adalah ilusi yang lebih licik daripada ilusi daripada setan itu sendiri.
"Araya," jawabku pada akhirnya.
"Menarik ... kau bukan orang Jepang, tetapi namamu seperti itu?" komentar Sumansoro. Sepertinya usianya jauh lebih tua dariku, tetapi dia berkata bahwa dirinya seumuranku.
"Uh ... yah, Ibuku yang memberikanku nama seperti itu."
Lantas, aku pun bertanya, "Jadi ... kenapa aku bisa dipindah ke Jawa?"
Sumansoro memberikanku segelas air.
"Kaubelum tahu? Sekutu telah menguasai satu Kalimantan. Dalam waktu dekat, mereka akan mendarat di Pantura."
Sepertinya aku terlempar di masa lalu, di penghujung Perang Dunia Kedua. Menurut penuturan Sumansoro, dirinya mendapatkan beberapa pasien lungsuran dari Balikpapan untuk menjalani perawatan intensif di Jawa. Mengingat seluruh fasilitas kesehatan lebih memadai di pulau itu, serta Borneo yang sudah jatuh ke tangan Sekutu. Yah, itu menurut penuturannya, meski yang sebenarnya bukan seperti itu.
Terakhir yang kutahu, selepas Insiden Dinosaurus di Terminal Arjosari, seorang penumpang bis malam kemudian mendatangi aku dan Mas Danang untuk meminta bantuanku. Penumpang itu bilang kalau ada gangguan Astral yang terjadi di dekat rumahnya. Kami berdua segera merespons permintaan itu dengan mendatangi asal 'gangguan' tersebut. Sebuah gedung loji Belanda yang mangkrak tidak terurus. Aku masih ingat, jejak Astral yang ada di tempat itu sangat kuat sekali.
Ketika aku masuk baru beberapa langkah, tiba-tiba saja aku seperti terjatuh ke kekosongan tiada ujung. Akhirnya aku menabrak lantai dan kesadaranku menghilang. Bangun-bangun, diriku terlempar ke masa lalu. Baju yang kukenakan juga berubah. Aku berpikir bahwa ini adalah ilusi astral tergila yang pernah kualami. Namun, anehnya, aku tidak dapat merasakan jejak Astral di sekitarku.
Seolah ... dunia manusia dan dunia ghaib terbentengi oleh sebuah dinding yang tebal. Dinding pemisah yang membuat manusia menganggap Astral adalah hal-hal yang ghaib dan supranatrual. Hal itu mungkin saja bisa terjadi, karena aku terlempar pada waktu Revelasi Agung belum terjadi.
Tidak ada petunjuk apapun lebih lanjut, sehingga aku pun mencoba untuk menyesuaikan diri.
"Tanggal 6 yah? Ah, berarti Hiroshima sudah diledakkan ...," celetukku.
"Hiroshima? Apa maksudmu?" tanya Bung Suman kebingungan.
"Hiroshima dijatuhi bom atom."
Bung Suman terdiam, kemudian menatapku dengan tatapan khawatir. Tiba-tiba ia tertawa terpingkal-pingkal.
"Otakmu masih belum sembuh betul rupa-rupanya. Omong kosong. Tiada kabar seperti itu."
Ah iya, tentunya berita seperti itu tidak disiarkan di Indonesia. Pada kala itu, masyarakat hanya menerima kabar yang baik-baik saja dari otoritas Pendudukan Jepang. Mendadak punggungku masih terasa nyeri sehingga aku harus duduk sembari merintih menahan sakit. Kemungkinan besar nyeri ini kudapatkan ketika aku menabrak lantai sewaktu di loji Belanda.
"Nah, 'kan? Istirahatlah." Bung Suman membaringkanku lagi.
Sepanjang hari, aku terus berpikir cara untuk kembali ke dunia-ke lini masa asal-di mana diriku berasal. Tidak bisa aku terus-terusan terjebak di masa lalu seperti ini. Diriku masih bertanya-tanya, apakah ini ilusi yang tercipta dari fenomena Astral? Bahkan, Proyeksi Astral tidak akan kurasakan senyata ini. Ini seperti terkirim ke masa lalu.
****
Tengah malam itu, tiba-tiba Bung Sumansoro membangunkanku di tengah kegelapan. Dirinya terdengar terengah dan suaranya terdengar begitu waspada.
"Bung Suman?"
Ia segera membungkam mulutku dengan telunjuknya. Ia berdesis menyuruhku diam.
"Jangan ke mana-mana dan jangan berisik! Ada Kempetai!"
Ada-ada saja hal yang membuatku kerepotan.
"Kempetai?"
"Mereka mencari seseorang. Kemungkinannya kau."
Kalau intel Jepang mencari suatu keganjilan yang terjadi di sekitar, besar kemungkinan aku yang pertama kali ditarget. Diriku bukanlah prajurit terluka yang dikirim dari front di Borneo. Tidak ada ceritanya begitu. Sesuatu yang terdengar meencurigakan seperti itu, hanya akan membuat Kempetai curiga.
"Mereka mencari apa?"
Dengan wajah yang ketakutan, Bung Suman berkata, "Entahlah, sepertinya mereka ingin mencari orang-orang yang selamat dari penyerangan Borneo."
Nah, 'kan?
"Araya, kau harus kabur dari sini! Ke mana saja!"
Mendengar kata ke mana saja, entah mengapa yang kupikir adalah Batavia. Jakarta.
Aku bertaruh, apakah diriku di sini ada karena suatu 'tugas' yang harus diselesaikan? Kabur dari kejaran Kempetai adalah 'kehidupan' sehari-hari para pendamba subversif. Kalau aku terdampar ke masa lalu dan mendarat tepat di hari di mana bom atom mendisintegrasikan Hirosima, maka ada satu tugas yang mungkin masuk akal bagiku. Bagi para orang-orang yang tidak seharusnya berada di dimensi yang berbeda dengan dimensi asalnya.
Memastikan semua yang terjadi ... benar-benar terjadi.
"Bung Suman, aku mau ke Jakarta," celetukku.
Berusaha menurunkan nada bicaranya, Bung Suman mengata-ngataiku sinting. "Ke Jakarta!? Kau gila!? Di sana, Kempetai di mana-mana!"
"Sepertinya aku tahu harus ke mana, Bung Suman. Maaf apabila diriku merepotkan, tetapi ada seseorang yang harus kutemui di Jakarta. Ia akan membantuku."
Aku tidak berbohong. Ada satu kemungkinan bahwa diriku harus memastikan seseorang mengerjakan hal yang harus dikerjakan pada hari itu.
"... Baiklah. Ada kereta malam terakhir yang berangkat via Jalur Pantura. Kau akan sampai di Jakarta besok lusa," ujar Bung Suman seraya merogoh sesuatu di kantong celananya.
"Ini ... ambillah."
Beberapa lembar uang gulden kuterima darinya.
"Bung ... aku tidak bisa menerimanya-"
"Tidak usah dipikirkan! Yang penting, kamu bisa kabur dari kejaran Jepang!"
Malam itu, Bung Sumansoro membantuku untuk kabur ke Jakarta
****
Di malam aku kabur, aku sempat merasakannya.
Jejak Astral.
Walaupun hanya seberkas, aku bisa merasakannya. Mungkin ini hanya terlihat seperti firasat bagi orang di zaman ini. Namun, sensasi merasakan jejak astral memang agak lain. Seperti ada angin dingin menusuk hingga ke tulang dan membuat tubuhmu beku sejenak.
Perjalananku ke Jakarta dengan menggunakan kereta zaman dahulu memang cukup melelahkan. Tidak ada AC di atap kereta, asap kereta di mana-mana, bau yang bermacam-macam hingga membuat mual, serta kereta yang berjalan tidak secepat kereta modern. Bahkan aku sempat melihat ada satu kompartemen kereta yang berisi prajurit-prajurit yang ikut menumpang kereta. Butuh waktu lebih dari satu hari untuk berangkat dari ujung timur Pantura ke ujung barat Pantura. Butuh beberapa kali ganti kereta untuk menyambung perjalanan.
Namun, aku merasakan nostalgia yang ganjil, di mana aku nostalgia terhadap sesuatu yang tidak pernah kualami sebelumnya. Di sepanjang perjalanan, mayoritas kereta memasuki pedalaman hutan atau sawah. Tidak banyak pemukiman warga yang tersebar seperti di era modern.
Hingga pada akhirnya, aku pun sampai di Jakarta. Baru saja turun, aku langsung dapat masalah lagi.
Begitu aku turun dari kereta, aku merasa seseorang menguntitku. Ternyata, langkahku sudah diikuti oleh tentara yang menyamar. Aku berharap mereka bukan Kempetai. Berusaha aku lepas dari mereka, tetapi lihai pula mereka mengejar. Salah satu komandan regu mereka akhirnya menghadangku. Badannya tinggi tegap, berambut agak cepak, ada condet vertikal mengiris mata kirinya dan ia mengenakan seragam seperti layaknya seragam tentara PETA.
"Siapa kau?" tanyanya.
"Uuh ... Araya, Batalyon PETA Malang."
Aku langsung dikepung. Karena tidak mau repot, terpaksa aku pun menuruti kemauan mereka. Dibawalah aku ke suatu tempat. Sepertinya tangsi militer. Di sana, aku didiamkan di sebuah ruangan. Aku melirik ke arah jam. Jika perhitunganku benar, maka hari ini adalah waktunya 'orang itu' menjalankan tugasnya.
Si Komandan itu akhirnya bertemu denganku. Aku mengeja nama di seragamnya.
Kushein.
"Oh, ayolah kawan, biarkan aku keluar dari sini," ujarku pada Kushein.
"Kami harus memastikan kalau kau bukan orang suruhan Kempetai." Khusen mendekatkan wajahnya di depan wajahku, menatapku tajam penuh selidik.
"Aku bahkan berniat lari dari mereka, Bung."
Kushein menggebrak meja di depanku. "Apa?? Kau melakukan sesuatu??"
Aku berpikir, mungkin saja Kushein ini bisa membantuku. Maka, aku pun mencoba memainkan 'Ratu Drama' di sini.
"Aku harus bertemu dengan Sutan Syahrir. Staff pengajar Asrama Indonesia Merdeka"
Kushein mengernyit. "Ada urusan apa kau dengan Bung Syahrir."
Sudah kuduga.
"Jepang sudah kalah. Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur karena bom atom."
Kushein terbelalak tidak percaya. Seolah diriku bohong, digebraknya kembali meja di depanku, mencoba menolak jawabanku.
"Omong kosong, pasti kau suruhan Kempetai-"
Cukup sudah. Aku sudah muak.
Aku pun berdiri dari dudukku. Dengan refleks, beberapa prajurit bawahan Kushein langsung pasang badan di dekatnya.
Aku pun mulai ngomel-ngomel sembari menunjuk Khusein.
"Dengar, jika saja Aku dan Danang tidak masuk ke rumah tua di pinggiran Arjosari, tepat setelah kami mengatasi Dinosaurus jadi-jadian, aku tidak perlu repot-repot kucing-kucingan dengan Kempetai dan tetek-bengeknya itu! Hell nah, bahkan diriku tidak perlu repot-repot harus berpikir keras bagaimana caranya pulang kembali ke Tanah Singasari-"
"Hei ... hei, tenang, Bung." Kushein akhirnya mengalah, mencoba menenangkanku.
"Apa maumu?" tawarnya kemudian.
"Pertemukan aku dengan Bung Syahrir. Sekarang."
"Kenapa?"
"Seseorang harus mendengar siaran berita hari ini."
Pada akhirnya, Bung Khusein mengantarku ke tempat Sutan Syahrir.
****
"Ada apa ini? Khusein?" Sosok yang cukup familiar di buku-buku sejarah itu muncul dari balik pintu, begitu Khusein mengetuk pintu rumah itu.
"Bung, ada orang mencurigakan yang mengaku dari Batalyon Malang, ingin bertemu denganmu. Dia bilang Jepang sudah kalah." Khusein menunjukku. Tiba-tiba saja, Bung Syahrir langsung mendekatiku, lalu menggoyang-goyang tubuhku. Entah mengapa ada kesan, bahwa diriku berinteraksi dengan tokoh sejarah yang benar-benar terjadi padaku.
"Katakan kalau itu benar, Bung!?"
Aku pun mengangguk, seraya berkata, "Militer Amerika mengebom atom Hiroshima dan Nagasaki."
Mulut Bung Syahrir melongo. Kemudian, beliau menyuruh kami mengikutinya.
"Ikut aku. Lesstusen, bawa pula radio itu!"
Lalu terjadilah sebuah sejarah seperti yang tertuang dalam buku-buku sejarah. Sutan Syahrir yang mendengarkan siaran ilegal BBC, menangkap sinyal siaran berita. Jepang kalah di semua front Pasifik. Angkatan laut Jepang kalah telak di Midway dan Teluk Leyte, Kapal Tempur Yamato yang digadang sebagai monster laut mengerikan dari Jepang itu itu sekarang berada di dasar laut, Saipan dan Iwo Jima jatuh ke tangan Sekutu, dan Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika.
"Tidak mungkin .... Tidak bisa dipercaya ...." Bahkan Bung Khusein pun terbata-bata mendengar berita itu.
"Bung, kalau tidak ada kau, mungkin aku akan melewatkan berita ini!" Sutan Syahrir sepertinya sudah senang menggoyang-goyang tubuhku karena histeris sendiri. Aku melihat beliau yang begitu bersemangat.
"Khusein, siapkan orang-orang kepercayaanmu untuk menyampaikan berita ini kepada yang lainnya! Bung ... err ...."
"Panggil saja Araya," sahutku pada Sutan Syahrir.
"Bung Araya, apakah kau punya info lagi?"
"Bung Karno dan Bung Hatta akan tiba dari Dalat hari ini."
Sutan Syahrir menagguk mantap.
"Baiklah ...."
****
Jalan Meiji Dori. Kediaman Laksamana Tadashi Maeda. Di tempat itulah aku merasakan sebuah anomali astral. Sangat jelas dan sangat kuat. Rumah tempat dirumuskannya naskah proklamasi ini seperti ditarget oleh anomali astral yang mengancam. Entah bagaimana caranya aku merasakan hal itu. Mungkin, orang-orang yang sudah terbiasa atau sudah mendapatkan 'pencerahan' akan Revelasi Agung ... memiliki bakat-bakat seperti ini.
Kini, di rumah itu, kedua golongan saling berembuk untuk merumuskan naskah proklamasi. Mungkin ... jalan takdir membawaku ke sini.
Memastikan hal yang terjadi ... tetap terjadi.
"Bung Khusein."
"Ada apa, Bung Araya?"
"Kempetai mengawasi kita."
Bung Khusein terdiam sejenak, sebelum akhirnya buka bicara.
"Tentu saja kita diawasi, Bung Araya. Kudengar Bung Karno habis marah-marah dengan Mayor Jendral Nishimura karena tidak memberikan izin untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tenang saja, Laksamana Maeda sudah menjamin kita-"
"Tidak, Bung. Ini Satuan yang lain ... mereka ... di pinggiran kota," tukasku.
"Apa? Satuan yang lain? Maksudmu?" Khusein menoleh ke arahku.
"Mereka akan menyerbu rumah Maeda."
"Apa!? Tidak mungkin!? Kalau angkatan darat melakukan hal itu ketika mereka sedang ketar-ketir di Pasifik, bisa runyam urusan!?"
"Memang itu tujuannya. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Ada yang ingin memanfaatkan momen ini untuk mengacau."
"Hmm? Kudeta? Masalah internal tentara pendudukan Jepang?"
"Ikut aku, aku beri tahu tempat mereka berkumpul. Siapkan pasukan, kemungkinan akan terjadi perlawanan."
"Di mana?"
"Masjid Istiqlal."
"Di mana itu?"
Ah sial, lupa aku, Istiqlal baru berdiri 1978.
"Uuuh ... uuh ... Taman Wilhemina!"
"Aku tahu tempatnya! Ayoh!"
Dibantu oleh Khusein, aku pun bergegas menuju sumber 'Anomali Astral' itu. Benar saja, ketika kami sampai di tempat itu, aku melihat ada beberapa regu tentara Jepang sedang menyisir di sekitar perimeter. Kami semua memutuskan untuk melakukan investigasi, sembari berharap mereka tidak mengetahui perkumpulan di rumah Maeda. Aku, Khusein, dan lima prajurit Batalyon PETA Jakarta. Ketujuh orang itulah yang menahan regu tentara Jepang itu.
"Ketemu juga kau ...."
Sosok tentara Jepang berseragam rapi pun menghampiri kami bertujuh secara tiba-tiba. Dari pakaiannya, ia adalah komandan Kempetai. Di kanan dan kirinya ada ajudannya. Tentara Jepang itu menatap kami nanar. Namun, apa yang kami lihat, jauh di luar dugaan kami.
Beberapa tentara tampak gemetar ketika melihat Sang Komandan. Bukan karena kami ketahuan oleh Kempetai, tetapi karena penampakan Sang Komandan yang telah memutarbalikkan rasionalitas manusia.
Sang Komandan hanya memiliki mata. Tanpa ada mulut, tanpa ada hidung. Kedua ajudannya tampil dengan mulut terjahit.
Sebuah kengerian yang tidak terbayangkan di akhir Perang Pasifik.
"D-dancho Khusein ... Ap-apa itu!" Salah satu prajurit tampak gemetar melihat penampakan itu.
"Tetap siaga! Jangan tunjukkan rasa takut kalian!" Bung Khusein melantang dengan tegas, meski kulihat ia juga gemetar ketakutan. Hanya aku, yang melihat Sang Komandan Kempetai dengan tenang.
Aku menuding Sang Komandan itu. "Kau, tidak seharusnya kau berada di sini"
"Begitu juga denganmu, Tuan Pengawas Perang," tukas Sang Komandan.
"Kasus dinosaurus di Arjosari, bukanlah tanpa alasan. Kau sengaja melakukan pinpoint di boneka dinosaurus itu, memancing kami untuk pergi ke loji tua di daerah sekitar situ. Lalu, kau coba melempar kami di masa lalu."
"Heheh ...tentu saja hal itu akan jauh lebih mudah untuk menghabisimu."
"Revelasi Agung memang baru akan terjadi dua puluh tahun dari sekarang, tetapi maaf saja, aku tidak akan lengah begitu saja. Aku sudah menduga ada yang aneh sejak dari Surabaya. Ternyata memang benar dugaanku bahwa ada Anomali Astral. Lucu sekali, Revelasi Agung belum terjadi di era ini, tetapi entah mengapa aku bisa merasakan Anomali Astral. Yang berarti ... ini memang benar ilusi yang lebih menipu daripada tipuan setan itu sendiri."
"Hmph! Habisi dia!"
Rentetan senjata ditembakkan dan kami berpencar untuk berlindung di balik pohon. Aku bertaruh, kalau tentara-tentara Jepang yang ada di Taman Wilhemmina juga termasuk bagian dari anomali astral. Kami dalam posisi terdesak dan peluru yang ditembakkan sepertinya memang peluru senapan betulan. Sesekali para prajurit berusaha untuk menembak balik, tetapi kami tetap terdesak.
Anomali Astral seperti Komandan itu hanya bisa dilawan dengan konsep yang dibawa setelah Revelasi Agung tergaungkan. Melawan hanya dengan konsep fisik seperti ini ... tentu saja cukup menyulitkan.
"Bung, tangkap ini!" Khusein melempar pistol kepadaku.
"Thanks!" ujarku seraya menangkap pistol itu.
"Bung Araya!! Siapa dia!? Sepertinya ... dia bukan Tentara Jepang biasa!"
"Cuma makhluk rendahan kepingin bikin ribut!"
Ya, memang benar makhluk itu adalah makhluk jadi-jadian yang hanya ingin cari ribut.
"Bung ... siapa kau sebenarnya?" tanya Khusein.
"Hanya orang yang kebetulan bertamasya ke masa lalu," jawabku.
Sejenak, aku merasakan kalau aku mengantongi sesuatu di kantong celanaku. Kurogoh celanaku dan kutemukan sebuah kalung.
Kalung yang sangat familiar.
Apakah karena ini aku bisa merasakan jejak astral?
"Bung Sen, aku minta kau tarik regumu dari sini. Perketat penjagaan di sekitar rumah Laksamana! Hubungi Daidancho Kasman Singodimejo! Aku yakin, seluruh tentara Jepang di sekitar perimeter akan mengerubungi tempat ini! Kita tidak mungkin menang!"
"Lalu, apa yang akan kaulakukan, Bung Araya!?"
Aku menyeringai. Sudah cukup pertunjukan sirkus ini berlangsung. Aku pun menggaris tanah di bawahku.
"Menahan mereka agar ... tidak ... maju lebih dari garis ini."
"Kau sinting!? Kau ingin melawan mereka sendirian??"
"Bung Sen, masa depan negara ini ada padamu!"
Baku tembak masih terjadi. Makin banyak prajurit Jepang yang berdatangan. Dengan terpaksa, Bung Khusein menurutiku. Ia memanfaatkan kesempatan begitu tembakan mereda untuk kabur.
"Kau harus balik nanti, Bung Araya!"
Bung Khusein dan lima tentara pengawal pun berhasil mundur. Setelah ini, ia akan menghubungi Kasman Singodimejo untuk meminta pengawalan. Kemudian seluruh Batalyon yang ada di Jakarta akan menyisir daerah di sekitar Imam Bonjol dan Menteng, mengawasi apakah Kempetai yang 'asli' berada dalam perimeter.
"Maaf sudah bikin kau repot ... Pak Puh ...."
"Huh ... kau tidak kabur?" Sang Komandan mencemoohku. Aku berbalik menatap Sang Komandan, kini bersama beberapa 'tentara jadi-jadian', berusaha untuk memojokkanku. Aku pun menggenggam kalung yang kutemukan di kantong celanaku.
Semoga Tuhan menerangi jalan gelap kami.
Seberkas cahaya menyilaukan membuat konfrontasiku dengan Sang Komandan terhenti. Kemudian, sosok perempuan mendatangiku dan berdiri sejajar denganku.
"Ap-pa!? Bagaimana mungkin!" Sang Komandan tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depannya. Fakta bahwa diriku mampu melakukan Proyeksi Astral.
"Araya ... jelaskan." Perempuan di sebelahku menatapku bingung.
"Panjang cerita, nanti kuceritakan," jawabku, tanpa menghentikan tatapanku pada Sang Komandan. Kutodongkan pistol yang kuperoleh dari Khusein ke arahnya.
"Kenapa ada Tentara Jepang?"
"Panjang cerita, nanti kuceritakan."
"Kenapa pakaianmu seperti itu?"
"Terlalu panjang ceritanya, nanti saja."
"Baiklah ... berikan aku petunjuk, Tuan Gubernur." Sofia mengangkat tangan kanannya, sejajar dengan tanganku yang menodongkan pistol, menuding ke arah Sang Komandan dan prajuritnya.
"Berikan aku Pusaka Kyai Plered untuk menjalankan mandat Penjaga Sejarah, Sofia."
Dari bidang kehampaan, sebuah tombak meluncur dan menghunjam Sang Komandan. Erangan kesakitan terdengar begitu memilukan.
"Kau telah melawan pemegang Mandat Penjaga Sejarah. Nah, sekarang, majulah kalian!"
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top