16. Auman di Kanjuruhan
[Peringatan dari Tembok Keempat : Kekerasan dan bahasa yang cukup eksplisit digunakan dalam cerita ini. Bacalah dengan bijak!]
*****
Hari itu, Panji tidak menyangka akan kembali merasakan sakitnya kehilangan. Ketika ia melihat tubuh bapaknya telah tergeletak bersimbah darah, maka saat itu juga seluruh rasa sakit kehilangan itu kembali. Dihantui oleh kawanan hewan buas yang kini tengah mengintainya.
Ketika Panji melihat bapaknya yang tergeletak tiada gerak, Panji segera berlari ke arah tubuh bapaknya. Ia goyang-goyangkan tubuh orang yang dipanggilnya bapak itu, hanya untuk tiada respon yang berarti. Tubuh bapaknya beku tiada gerakan selain usaha yang diberikan Panji. Simbahan darah dari tubuh bapaknya, berasal dari kulit yang tercabik-cabik seperti cakaran hewan buas. Lebih besar dari cabikan beruang madu.
Tidak ada beruang madu di Tanah Singasari. Hanya ada satu 'makhluk hidup' yang mampu melakukan ini pada bapaknya. Binatang buas itu turun seperti dikirim turun ke Tanah Singasari oleh Tuhan, untuk memberikan pengadilan kepada mereka yang telah bergelimang dosa. Namun, Panji hanya mengetahui bahwa bapaknya adalah orang yang baik, taat kepada hukum dan agama, serta disegani oleh banyak orang. Bagaimana bisa, bapaknya berakhir dengan tragis seperti ini?
"Pak ... Bapak ...." Panji menggoyang-goyang tubuh bapaknya yang telah lama tiada bernyawa. Dengan jasad yang telah terkoyak, Panji merasakan bahwa tragedi yang menimpanya begitu menyakitkan. Di antara tangis ia berduka, di antara sedih ia tersakiti.
"Pak! Bapak! Panji takut, Pak! Bangun, Pak!" Bocah berusia sepuluh tahun itu berusaha membangunkan bapaknya yang kini tergeletak di tanah. Panji diberitahu ayahnya, tidak elok bagi seseorang untuk tidur di lantai seperti yang kini terjadi. Namun, kembali bapaknya tidak menjawab. Beliau tidak dapat lagi menjawab kesedihan anaknya.
Kemunculan sesosok makhluk berkaki empat dengan bulu berwarna cokelat, mata merah menyala dan gigi taring yang tampak dari mulutnya, telah membuat siapa pun bergidik ngeri melihatnya. Kepalanya dihiasi dengan rambut-rambut berwarna senada. Buntutnya mengibas-ngibas sembari mengeluarkan asap berwarna hijau kemerahan. Makhluk berkaki empat itu menggeram ketika melihat Panji.
Panji dapat mengira-ngira, warna merah yang belepotan di mulut dan kedua kaki sesosok makhluk yang kini menghampirinya, adalah bagian dari darah manusia. Makhluk itulah yang mengejar-ngejar Panji layaknya mangsa yang siap untuk diterkam. Memutarbalikkan dominasi rantai ekosistem, di mana manusia kini terbalik menjadi layaknya 'buruan'.
Panji mengambil sebongkah batu di dekatnya, kemudian dilemparkannya batu itu ke arah makhluk itu. Namun, makhluk itu bergeming pada tempatnya, menatap Panji dengan tatapan menusuk tajam. Sedikit saja gerakan tiba-tiba dari Panji, akan sangat fatal untuk bocah itu. Makhluk itu menunggu momen yang tepat untuk memangsa buruannya.
"Pergi! Pergi!" raung Panji sembari terus mengais-ngais ke arah lantai, meraih apa pun yang dapat dilempar. Baginya, ia telah lelah untuk berlari, seiring dengan makhuk berkaki empat itu, mendekatinya.
Hari itu, Panji tidak menyangka akan kembali merasakan sakitnya kehilangan.
****
"Dek, bapakmu ada?" Dua orang dewasa menghampiri Panji yang kini asyik menggambar di teras rumah. Panji melihat kedua orang itu dan seperti dirinya pernah melihat mereka berdua. Panji berpikir, temannya tidak mungkin ada yang sebesar orang-orang itu. Maka dari itu, Panji pasti berpikir, kalau itu adalah salah satu teman bapaknya.
"Ada!" jawab Panji.
Salah seorang di antara mereka—berambut gondrong dan bermulut sedikit monyong seperti komedian Komeng—pun meminta tolong pada Panji. "Bisakah kami bertemu dengan bapakmu?"
Panji segera berdiri, kemudian lari menghambur ke dalam rumah untuk mencari bapaknya. Ia ingat, biasanya sore-sore seperti ini, bapaknya selalu berada di halaman belakang untuk berkebun. Segera Panji dapat menemui bapaknya, yang ketika ditemui, telah selesai menyiram pot-pot kembang Anthurium dan Kuping Gajah yang ditaruh di pinggiran tembok belakang.
"Pak, ada tamu!" ujar Panji sedikit berteriak.
Bapaknya menoleh, kemudian bertanya, "Sopo?"
"Dua orang. Dua-duanya pakai kaos Arema."
Panji sedikit menangkap ada gurat kecewa dari bapaknya. Mungkin saja bapaknya tidak mau aktivitas sore harinya diganggu oleh teman bapaknya itu. Panji sedikit banyak mengetahui dari keluhan bapaknya saban hari, 'teman-teman' bapaknya itu kadangkala suka usil.
Bapak pun tersenyum, seraya berkata sembari mengelus rambut Panji.
"Wes, Le. Awakmu dolano meneh."
Maka berangkatlah si bapak, segera setelah membereskan peralatan berkebunnya. Keluarlah ia dari pintu botolan belakang untuk menghampiri dua tamu itu. Sedangkan Panji pun kembali masuk ke dalam rumah. Pada mulanya, ia menyalakan televisi untuk mencari-cari apakah ada channel televisi yang menyiarkan kartun di sore hari. Namun, ia tidak menemukannya.
Hanya ada berita, berita, dan berita. Beritanya pun kebanyakan tentang Tanah Singasari dan segala tetek bengek geger gedhen-nya. Pun, ketika Panji menemukan salah satu channel yang menayangkan kartun, pasti baru bermain tiga menit sudah iklan selama lima menit. Kalau lagi apes, Panji terkadang mendapati acara kartunnya sudah selesai. Setelah beberapa menit tanpa ada hasil kepuasan menonton televisi yang berarti, Panji merasa bosan.
Teringat kembali Panji yang sempat asyik menggambar, ketika kedua tamu itu mengganggu sebentar aktivitasnya. Panji teringat, buku gambar dan pensil warnanya tertinggal di teras depan. Ia pun segera mematikan televisi, kemudian berjalan ke arah teras untuk mengambil peralatan menggambarnya. Namun, ketika ia hampir sampai, dirinya mendengar bapaknya teriak-teriak seperti sedang marah.
"Tidak bisa! Tanah Singasari sedang geger gedhen! Apakah kalian sudah di luar nalar?" dengar Panji akan bentakkan bapaknya.
"Pak Sucipto, Federasi mendesak manajemen tim untuk melakukan pertandingan atau kita akan kena sanksi, Pak." Panji mendengar suara tamu yang mirip Komeng tadi. Penasaran, ia pun melirik ke arah teras, di mana kedua tamu sedang duduk berhadapan dengan bapaknya. Ia bisa melihat peralatan gambarnya sudah tertata rapi di atas meja teras. Namun, kini menggambar bukanlah hal yang menarik lagi baginya, melainkan bapak yang bertengkar dengan 'teman-temannya' itu.
Pak Sucipto bapaknya Panji, berkata dengan nada tinggi, "Kenapa tidak dilaksanakan di tempat lain. Ada banyak stadion di Tanah Jawa. Sak tekruk! Kenapa kalian malah memilih main di Kanjuruhan!?"
"Tuan I yang minta, Pak To. Ia bilang, kalau gak main di Kanjuruhan, supporter tidak bisa berikan full dukungan. Apalagi, ini derby Jawa Timur."
"Aku tidak bisa ambil risiko para staff kepelatihan dan para pemain, Sentot! Kau tidak dengar rumor yang beredar?" Pak Sucipto pun menunjuk-nunjuk tamu yang mirip Komeng—yang ternyata bernama Sentot—itu.
"Singa jadi-jadian yang memangsa warga ... kami tahu, Pak. Untuk itu, kita akan semaksimal mungkin untuk melakukan pengamanan," kilah Sentot.
Mendengar 'singa jadi-jadian', Panji seketika teringat dengan pembicaraan teman-temannya di sekolah. Menurut kabar yang beredar, ada 'singa jadi-jadian' muncul di setiap malam di jalanan dekat Stadion Kanjuruhan. Dengan nada yang hiperbola, teman-teman Panji menggambarkan bahwa singa itu telah memburu dan memakan manusia. Mayat-mayat mereka ditemukan di pinggiran sawah atau parit-parit warga keesokan harinya. Tubuh mayat itu tercabik seperti habis dicakar, dan tubuh mereka kerowak seperti digigit dalam satu gigitan.
"Itu bukan singa biasa. Mereka memangsa warga layaknya singo edan. Belum lagi kalau ada pertempuran antara Biro dengan Pengadil Bidat di dekat stadion. Event seperti ini adalah sasaran empuk para pencari kerusuhan, Mas Sentot!" Pak Sucipto masih terdengar bersikeras.
Panji berpikir, bapaknya pernah mengeluh tidak ingin bekerja lagi bersama klub bola kebanggan Tanah Singasari itu. Panji suatu saat bertanya-tanya kenapa, bapaknya hanya menjawab bahwa itu semua salah Federasi. Maka dari itu, bapaknya terlihat menjauh dari rekan-rekan kerjanya di klub bola.
"Mohon dipertimbangkan, Pak. Kita harus pertahankan klasemen dengan melakukan pertandingan atau kita akan disalip Tanah Pajajaran dan Tanah Sunda. Kita kurang satu pertandingan dan kita harus menang, Pak." Teman Pak Sucipto yang lain memohon dengan menangkupkan kedua tangan.
Pak Sucipto menggeleng.
"Ini berat ...."
Lalu, tiba-tiba Sentot mencopot tas ranselnya. Dari tas ransel itu, dikeluarkannya segepok uang berwarna merah. Dikeluarkannya lagi oleh Sentot hingga gepokan uang itu memenuhi meja teras.
"Mohon dipertimbangkan, Pak. Untuk keberlangsungan kesejahteraan bapak dan keluarga bapak juga."
Pak Sucipto menghela napas begitu keras. Didorongnya tumpukkan uang itu menjauh dari dirinya.
*****
Sepulang sekolah, Panji mendapati di depan teras rumahnya sudah banyak orang berkumpul. Di antara perkumpulan itu, bapaknya tampak menjadi pusat perhatian. Pun juga Sentot dan satu teman bapak yang kemarin datang bertamu. Hanya saja, kini Panji menemui orang-orang baru. Kebanyakan tamu memakai kaos salah satu klub sepak bola ternama di Tanah Singasari. Sudah pasti itu adalah para perwakilan suporter, yang tiap hari berkunjung ke rumah bapaknya untuk 'sowan'.
Namun, kali ini Panji mendapati suasana di teras rumahnya sudah diwarnai ketegangan. Ketegangan itu Panji temui, ketika ia sampai di ambang gerbang depan rumah. Tampak seorang pemuda yang perawakannya seperti anak-anak mahasiswa, sedang marah-marah kepada orang-orang yang berkumpul itu. Ia tampak kesal bukan main. Di belakangnya ada dua orang yang menurut Panji adalah teman dari pemuda yang marah-marah itu. Satu tampak seperti om-om yang punya istri anak tiga, serta satu lagi layaknya Mbah Kyai yang saban hari memimpin salat Jumat.
"Kalian ingin memainkan pertandingan bola ketika Tanah Singasari lumpuh karena Perang Dingin Astral!? Apa kalian gila!?" Pemuda itu membentak dengan suara yang berlaung-laung.
"Kita juga sudah capek pertandingan kita ditunda lama terus, Mas! Gara-gara perang konyol itu, kita jadi tidak boleh ngapa-ngapain! Orang-orang butuh spirit football mereka kembali, Mas Kajineman Watugong yang terhormat!" kata Sentot melawan bentakan pemuda berisik itu.
"Omong-kosong! Kalian tahu, pertandingan itu hanya akan memantik konflik untuk membesar. Kalian seperti menyiram api yang hampir padam dengan bensin!"
"Pikirkanlah masyarakat Tanah Singasari, Mas Araya! Kita butuh menang lawan Tanah Dahanapura, Mas! Kalau tidak, mau ditaruh di mana muka saya sebagai pimpinan manajemen kalau tahun ini Tanah Singasari gagal juara liga lagi!?" Berkatalah salah satu orang, memakai baju polo berwarna sama dengan baju yang dikenakan gerombolan pemakai kaos bola. Panji mengenalnya sebagai 'Bos-nya Bapak', Tuan I.
"Iya pak. Ini kesempatan kita untuk jadi juara liga setelah belasan tahun puasa gelar! Kita bisa tingkatkan keamanan di dalam dan di luar stadion, Pak." Sentot menambahkan.
"Tidak federasi, tidak pengurus klub, tidak suporter, kalian ini benar-benar sudah bebal kalau urusan sama bola. Kami tidak akan bisa jamin, Pak. Mau dipakai keamanan seketat apa pun." Pemuda bernama Mas Araya pun tiada sependapat dengan para rombongan. Panji melihat mereka seperti debat kusir, tetapi ia hanya melihat ayahnya yang masih duduk terdiam, sembari memantau perdebatan.
"Kami tahu, ada konflik di Tanah Singasari. Namun, hendaklah kita jadikan pertandingan ini sebagai momentum, bahwa warga Tanah Singasari ... terlepas dari konflik yang terjadi, kita masih bisa bangkit!" Tuan I mencoba untuk mempersuasi Mas Araya.
"Yak betul!!" Riuh seluruh suporter bola Tanah Singasari mengiringi persuasi Mas Araya.
Panji sedikit banyak tahu, mengapa bapaknya atau pemuda yang bernama Mas Araya itu tidak mau Arema main di Kanjuruhan.
Sudah berbulan-bulan lamanya Tanah Singasari dilanda krisis akibat geger gedhen. Di mana orang-orang saling kirim santet, saling adu qodam, dan para hantu berkeliaran di mana-mana. Panji teringat, bahwa ketika geger gedhen meletus, tiada pernah lagi Panji lagi mendapati Arema main di Kanjuruhan. Mereka selalu main di luar kota dan mereka tiada pernah menang seperti tatkala mereka main di kandang sendiri. Lalu, ditambah lagi rumor mengenai singa edan yang berkembang pesat menjadi gosip sehari-hari teman-temannya di sekolah. Sudah sering Panji menemui rumor mengenai singo edan memakan manusia hidup-hidup. Maka, ia pun memperingatkan kepada gerombolan itu, akan 'singa jadi-jadian' yang menghantui masyarakat di sekitar Kanjuruhan akhir-akhir ini.
"Ada singo edan! Aku dengar kemarin Mbah Kuat dimakan oleh singo edan!" sela Panji seraya menghambur ke arah bapaknya. Pak Sucipto langsung memeluk erat anaknya, tanpa melepas pandangannya dari kerumunan suporter dan manajemen bola.
"Singo edan?" Tuan I mengerutkan keningnya.
"Singa besar, matanya merah menyala! Kalau kita kena sabet buntutnya, darah kita tidak akan bisa sembuh!" seru Panji bercerita. Seketika, rentetan ejekan dan remehan pun terlontar dari mulut-mulut tanpa dosa para fanatik di sekeliling Panji.
"Nyapo kamu ikut-ikutan, Le!"
"Aku cuma mau kasih tahu, Pak. Ada singa gila berkeliaran di sekitaran stadion." Panji berusaha berkilah
"Alah, bocah wae digatekake! Jangan percaya omongan anak kecil, Tuan I!"
"Aku gak ngapusi! Mbah Kuat dipangan singo edan! Salah satu teman sekolahanku kena sabetan ekornya dan kini dia nggak bisa pulang dari Syaiful Anwar!" Suara Panji semakin meninggi, tiada terima karena apa yang ia katakan dibantah. Meskipun tidak melihat secara langsung, tetapi Mbah Kuat yang dimakan singo edan sudah menjadi rahasia umum.
"Minggir, Le! Ra usah melok-melok kowe!" Salah seorang fanatik menunjuk-nunjuk Panji seraya melotot.
Kemudian Pak Sucipto mendehem keras. Semua kerumunan menjadi hening nan senyap.
"Aku percaya anakku. Untuk itulah saya yang memanggil Anda, bapak-bapak dari Kajineman Watugong, untuk membantu kami mengatasi permasalahan ini. Kami butuh solusi dari ahlinya," ujar Pak Sucipto seraya melirik kepada Mas Araya dan kedua temannya.
"Solusinya, main di luar, Pak. Tanah Singasari terlalu berbahaya untuk mengadakan acara umum seperti pertandingan bola," sambut Mas Araya.
"Kita main di luar dan kita sulit sekali dapat poin! Untung saja kita masih bisa mempertahankan puncak klasemen. Namun, selisih poin yang kita bangun lama-lama akan tersusul juga. Kita tidak mau ambil risiko." Tuan I bersabda, tidak terima egonya runtuh oleh anak kecil begitu saja. Sebagai pemilik klub, ia pun mengumandangkan pemberontakannya.
"Kalian ini ... egois sekali." Mbah Kyai di belakang Mas Araya tiba-tiba berbicara, menatap tajam seluruh rombongan fanatik di sekelilingnya.
"Pak Sucipto ... masalah ini bisa diselesaikan secara sipil, kenapa malah bawa-bawa orang-orang Pengawas Perang segala?" Tuan I komplain kepada Pak Sucipto.
"Karena kami mendapat penuturan dari Pak Sucipto, bahwa ada laporan dari warga kalau serangan singo edan sudah memakan banyak korban dan nyawa. Kita tidak bisa mengiyakan pertandingan diselenggarakan di Tanah Kanjuruhan, jika masalah astral yang cukup pelik membuat pertandingan menjadi lebih berisiko." Mbah Kyai di belakang Mas Araya mendebat Tuan I.
"Aku tidak bisa ambil risiko. Kalau ada apa-apa dengan siapa pun yang nanti datang ke Kanjuruhan, nyawa mereka ada di keputusan kalian," tambah Pak Sucipto.
"Kupikir ... kita sudah deal, Sucipto?" Tiba-tiba, Tuan I berkilah dengan licik.
"Saya hanya deal untuk membantu kalian mencarikan solusi. Ini solusi terbaik bagi seluruh warga Tanah Kanjuruhan." Pak Sucipto menanggapi tanpa minat.
"Tapi, deal ini tidak seperti yang kami harapkan, Sucipto. Sekarang, takdir kemenangan klub ada di keputusanmu." Kembali Tuan I mengancam halus Pak Sucipto.
"Juga ... tidak ada yang peduli dengan Tanah Singasari sejak awal. Pengawas Perang tidak membantu meredakan Perang Dingin Astral," lanjut Tuan I.
"Kalau begitu, jangan salahkan kami, apabila ada darah tertumpah di Kanjuruhan." Bersama dengan statement itu, Mas Araya, Mbah Kyai dan Om-om pendiam itu pergi dari rumah Panji.
*****
Sejak ditinggal ibunya, beberapa kali sudah Panji mengalami mimpi buruk. Malam itu, Panji tiba-tiba bermimpi bahwa ia bertemu dengan ibunya. Ibu yang telah 'meninggalkannya'. Ia tiada tersenyum dan tiada pula cemberut bertemu dengan Panji. Ibunya hanya menatapnya dingin, kemudian perlahan Ibunya meninggalkan Panji di antara kabut tanpa ujung.
Panji berusaha mengejarnya, tetapi tidak pernah ia menemukan Ibunya. Hanya kabut tanpa ujung yang menabraknya di sepanjang pengejaran. Hingga tiba-tiba, Panji bertemu dengan sosok singo edan itu sendiri.
Nama yang termanifestasi dari julukan tim kebanggan Tanah Singasari. Kini, nama itu menjadi terror bagi warga yang bermukim di sekitar Kanjuruhan. Dua-tiga-empat sudah korban menjadi santapan singo edan itu, seolah menebarkan kutukan kepada warga Tanah Singasari. Panji tidak dapat bergerak atau berlari. Tubuhnya kaku karena ditarik oleh jalinan ikatan ketakutan. Seperti ketika ia melihat mata menyala dari singo edan itu, habis sudah akhir hayatnya.
Ketika ada momentum, Panji berusaha lari, lari, dan lari. Ketika ditinggal ibunya, bapaknya menjadi sedikit depresi. Sampai suatu hari, Panji meminta ayahnya untuk dibelikan sepatu, untuknya berpartisipasi pada lomba lari. Dihadiahkannya juara satu pada bapaknya, membuat bapaknya melihat Panji dengan bangga.
Namun, ia hanya bisa berlari.
Ketika makhluk buas itu mengejar-ngejarnya, Panji berusaha untuk sekuat mungkin berlari. Namun, ketika ia melihat tubuh ayahnya tergeletak di tanah dengan bersimbah darah, seolah Tuhan mencabut kemampuan Panji untuk berlari.
Panji hanya bisa berlari, tidak bisa menghadapi.
Hingga pagi hari pun membangunkan Panji dari mimpi.
*****
Hari pertandingan tiba, Panji melihat bapaknya telah memakai seragam official klub Tanah Singasari. Lengkap dengan atribut, tas berisi lembaran-lembaran yang begitu penting. Tidak lupa bapaknya itu mengenakan topi dengan lambang klub tempat beliau mengabdi. Teringat dengan mimpi, membuat Panji mencoba untuk mempersuasi ayahnya.
"Pak, bapak yakin mau berangkat?"
"Bapak tetap harus kerja, Le,"
"Pak ... Panji semalam mimpi, Pak ...."
Pak Sucipto langsung mengelus kepala Panji. Ia tersenyum pada anaknya itu. Namun, Panji bisa mendengar Pak Sucipto menghela napas panjang. Ada keraguan dan ada kecemasan seperti mencuat dalam diri Pak Sucipto. Panji bisa membatin, bahwa Pak Sucipto juga cemas, jika ada yang terjadi pada pertandingan besar nanti.
"Jangan khawatir, kita serahkan sepenuhnya pada orang-orang dari Kajineman Watugong dan Masjid Jamek ...."
Setelah itu, Pak Sucipto pun bergegas ke ambang pintu, meninggalkan Panji yang kini tertegun diliputi kekalutan. Dirinya ingin menangis, cemas bahwa apa yang dilihatnya dalam mimpi, dapat menjadi kenyataan. Ia tidak ingin kehilangan lagi. Ditinggal ibunya menjadi pukulan yang menyakitkan menjadi Panji. Maka, ia berusaha agar dirinya tidak ditinggal bapak yang telah dibuatnya bangga dengan prestasiprestasinya dalam lomba lari.
Maka Panji pun berlari menyusul bapaknya. Sempat ia dihentikan oleh salah satu anak tetangga, Yoyo namanya.
"Mau ke mana, Ji?" tanya Yoyo.
"Menyusul Bapak, Yo. Aku gak mau terjadi apa-apa sama Bapak," jawab Panji.
"Nggak takut kamu, Ji ada makhluk jadi-jadian itu?"
"Aku semalam mimpi, Yo. Bapakku dimakan Singo Edan."
Yoy pun terkejut dengan hiperbolik. "Wah, itu pertanda buruk!"
"Aku gak mau kehilangan Bapak setelah aku sudah kehilangan Ibuk," tegas Panji.
"Lalu, kalau sudah kesusul, selanjutnya apa?"
Pertanyaan Yoyo membuat Panji tidak segera menjawab. Ia bertanya-tanya sendiri, untuk apa ia menyusul bapaknya ke Stadion? Satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah melakukan apa saja agar bapaknya cepat pulang. Bahkan jika merengek, bahkan jika harus sujud di depan Tuan I.
"Minta bapak pulang. Pokoknya, Panji minta bapak pulang."
Panji pun berlari. Jarak dari rumahnya ke Stadion Kanjuruhan tidaklah terlalu jauh. Jaraknya tidak seberapa melelahkan dibandingkan dengan jarak tempuh lomba lari. Hingga sampai pada akhirnya, Panji melihat megahnya Kanjuruhan yang tampak telah berumur senja. Ia berpikir, bagaimana cara dirinya masuk? Selama ini, kalau klub bapaknya sedang ada pertandingan dan Panji diajak, Panji selalu masuk tanpa tiket.
Kesalahan berpikir, Panji tidak memperhitungkan itu, sampai pada akhirnya seseorang memanggilnya. Seorang perempuan dengan usai kira-kira setua Pak Sucipto. Bahkan, Panji menilai perempuan itu lebih muda daripada bapaknya.
"S-siapa kamu?" tanya Panji.
Tante misterius itu hanya tersenyum. Namun, Panji merasa senyuman tante itu begitu menakutkan. "Dek, tidak seharusnya kamu ada di sini."
"Lalu, kenapa tante ada di sini? Bukankah tante-tante tidak suka nonton bola?"
Tante misterius itu terkekeh. "Hmm ... Derby Jawa Timur adalah pertandingan dengan tinggi tensi dan emosi. Penuh dengan semangat tribalisme dan hooliganisme yang begitu primitif. Manusia ... memang selalu menarik."
Panji tidak mengerti perkataan tante itu. Panji menduga-nduga kalau tante ini sudah selayaknya dosen yang ngekos di dekat rumahnya. Dilihat dari cara bicaranya, memang kelihatannya Panji berpikir demikian.
"Tante ngomong apa?"
"Kamu sendiri, kenapa tidak masuk? Apa kamu tidak kebagian tiket?"
"Uhh ...."
Tebakan tante misterius itu pun benar. Panji kebingungan cara untuk masuk ke dalam.
"Tante punya tiket satu, ambillah kau mau." Tante misterius itu kemudian menyuguhkan selembar tiket VVIP kepada Panji. Panji terkejut karena tante di depannya mampu untuk membeli tiket yang mahalnya minta ampun itu.
"Tapi ... itu punya tante," ujar Panji sungkan. Namun, tante itu memberi paksa tiket itu kepada Panji, di mana bocah itu sendiri pun tidak menolaknya.
"Biarlah tiada mengapa. Toh, tante juga tidak terlalu suka sepak bola. Lagipula, sudah terlalu lama federasi olahraga negara ini penuh dengan para raja-raja kecil nirprestasi. Federasi sepak bola negeri ini butuh sebuah tamparan keras, kalau mereka telah gagal sebagai manusia."
Kembali si Tante berkata dengan tinggi. Tatkala ia akan pergi, dia pun mengucapkan kalimat perpisahan pada Panji.
"Hei, Dik. Satu hal yang bisa kusampaikan padamu."
"Apa itu?"
Si Tante tersenyum.
"Singo edan yang meneror warga di sekitar Kanjuruhan ... adalah sebuah peringatan. Saranku, jangan melawan makhluk itu sembarangan."
****
Pertandingan berlangsung sengit. Tim Tanah Singasari tidak pernah merasa begitu bersemangat, ketika mereka kembali bermain di stadion kebanggan mereka. Stadion yang menjadi markas mereka di tuan rumah. Pertandingan telah berlangsung setengah babak dan Tim Tanah Singasari unggul dua angka dari lawannya. Sebuah pertanda bagus meski dibayang-bayangi oleh teror yang menghantui Tanah Singasari.
Menghantui.
Bukankah Tuhan telah berkata pada umat manusia, bahwa hantu adalah ilusi? Hantu adalah sebuah kebohongan? Maka, bisa jadi singa jadi-jadian itu hanyalah sebuah ilusi semata, benar begitu?
Tidak.
Singa jadi-jadian itu nyata. Dua belas jumlah mereka dan semakin lama mereka semakin berlipat ganda. Dua belas singa jadi-jadian melenggang di atas rumput Kanjuruhan. Teriakan ketakutan akan semua manusia berpadu menjadi simfoni teror. Dua belas singa jadi-jadian lainnya memasuki gerbang barat, semua manusia di situ berada dalam histeria massal. Dua belas singa jadi-jadian lainnya melompat dari atas tribun VVIP, seluruh manusia di dalam Stadion Kanjuruhan pun berebut untuk keluar stadion.
Dua belas singa jadi-jadian lainnya, memasuki tribun utama. Darah pertama, tertumpah di Kanjuruhan. Singa itu berbadan sebesar kerbau, memiliki buntut yang dapat melukaimu hingga lukamu tidak bisa sembuh. Mata singa itu merah menyala, menerawang mangsa yang kini berhamburan panik di dalam stadion. Singa-singa itu memiliki taring dan cakar yang sangat tajam, sangat tajam untuk mengoyak manusia layaknya mainan gabus.
Satu manusia menjadi mangsa, tercabiklah badannya hingga tertumpahlah darahnya. Satu ibu-ibu menjadi mangsa, tubuhnya hilang terganti bekas gigitan singa. Satu bapak-bapak menjadi mangsa, kakinya dikunyah singa seperti mengunyah ceker ayam.
Krauk ... krauk ... krauk.
Suara tulang remuk menggema ke seluruh stadion.
Tragedi terbesar tercipta di Tanah Singasari dan Panji melihat dengan mata kepalanya sendiri. Mengetahui seekor singo edan mengincarnya, Panji pun kabur berlari ke dalam lorong stadion, sembari ia mencari-cari keberadaan bapaknya. Teriakan, tangisan, jeritan mengiringi setiap lari nya. Hingga ia akhirnya bertemu dengan bapaknya. Di antara lautan manusia yang panik.
****
Pak Sucipto kaget bukan kepalang melihat Panji berada di dalam Stadion. Kini ia tepat di depannya.
"Panji, kenapa kamu bisa ke sini!?"
"Pak, ayo pulang, Pak! Ada singo edan, Pak!"
Tiba-tiba saja, auman singa membuat teror di dalam lorong stadion. Manusia saling semburat lari dari teror, hanya untuk menjadi santapan makan malam singa-singa kelaparan itu. Dengan sigap, Pak Sucipto menggendong Panji, kemudian mereka berdua lari searah arus lautan manusia yang panik.
"Ikut bapak!"
Dari belakang, terdengar jeritan pilu manusia yang menjadi mangsa. Situasi di stadion benar-benar di luar kendali, seolah-olah ini adalah tragedi yang maha besar. Meliuk-liuk, Pak Sucipto berusaha membawa Panji menyelamatkan diri.
"Pak Sucipto, ke sini!" Seseorang memanggil Pak Sucipto. Panji mengenalnya sebagai Mas Araya, yang kini bersembunyi di balik meja pantry kantin stadion.
"Mas Araya!"
Bertemulah Pak Sucipto, Mas Araya, dan Panji. Mereka mendiskusikan apa yang telah terjadi.
"Panji, kenapa kamu bisa masuk ke stadion!?" tanya Pak Sucipto masih tidak percaya.
"A-aku ... aku dikasih tiket," jawab Panji sekenanya.
"Sama siapa?"
"Tante-tante aneh ...."
"Dik Panji, apakah tante-tante itu berwajah seperti ini?" Seketika Mas Araya mengambil ponsel dari sakunya, kemudian diperlihatkan sebuah foto pada Panji.
"Ah, iya!" Panji mengangguk. Seketika itu juga, Mas Araya wajahnya menjadi pucat pasi.
"Gawat," celetuk Mas Araya.
"Mas Araya, bagaimana stadion?" Pak Sucipto meminta sitrep.
"Para suporter panik berhamburan berusaha keluar, tetapi karena gerbang stadion terlalu kecil, orang-orang keluar dengan berdesak-desakan. Terjadi penumpukkan di beberapa gerbang. Beberapa orang terinjak, beberapa orang dimangsa singa jadi-jadian itu. Beberapa lainnya berusaha untuk mendobrak gerbang stadion, tetapi ada yang menguncinya dari luar. Aku bertaruh, tante yang memberi Panji tiket-lah pelakunya," jelas Mas Araya.
Pak Sucipto mengumpat. "Sial! Makhluk singa jadi-jadian itu, kenapa ada Astral di saat seperti ini?"
"Mungkin ... ini semua direncanakan."
"Oleh?"
"Orang yang menyiram bensin di api yang sudah mengecil. Orang yang bermain-main api di dekat barang mudah terbakar. Kemungkinan besar, tante misterius yang ditemui Panji."
"Apa itu artinya, Mas?" Panji menyela Mas Araya, menanyakan maksud kalimat yang dilontarkan pemuda itu.
"Ada yang ingin berbuat jahat di pertandingan bola kali ini, Panji," ungkap Mas Araya.
"Ah, Satu lagi, Pak Sucipto ... sepertinya, itu bukan singa jadi-jadian," tambahnya kemudian.
"Lalu, apa itu??"
"Sebuah buah dari hasil eksperimen illegal. Singa itu ... sudah bukan lagi singa. Tidak, bahkan aku tidak bisa memastikan apakah itu adalah singa sedari awal. Makhluk yang menjelma menjadi singa itu benar-benar makhluk hidup ... tetapi mereka seperti ... kesurupan."
Wajah Pak Sucipto menampakkan ketakutan. "Kesurupan? K-kenapa?"
"Ada yang ingin memanfaatkan pertandingan bola ini untuk mengekshalasi Perang Dingin Astral."
Pak Sucipto menghela napas panjang. "Aku tahu pasti akan terjadi yang seperti ini ...."
"Bagaimana sekarang, Pak?" tanya Mas Araya.
"Mas Araya, apakah Anda tidak bisa untuk mencoba melawan singa jadi-jadian itu?"
"Aku akan mencobanya. Pak Sucipto."
"Bagaimana dengan para pemain dan official kedua tim?"
"Pengawas Perang dan bosku telah berhasil mengevakuasi mereka. Pak Sucipto, bantu aku untuk mengevakuasi penonton yang masih tertinggal di dalam stadion—"
"Paaaak!" Jeritan Panji membuyarkan semuanya. Singa-singa itu menemukan mereka bertiga. Mereka bertiga pun semburat keluar dan lari dari singa-singa itu.
"Panji, Pak Sucipto, kalian lari duluan! Aku akan mencoba menghalau singa ini!" teriak Mas Araya seraya menghadang singa itu. Panji pun tidak peduli lagi. Yang penting ia lari.
Namun, tidak dengan bapaknya, mereka berdua malah berpisah karena lorong stadion yang tiba-tiba bercabang.
"Lari, Panji! Lari!"
Teriakan bapaknya mengiringi langkah lari Panji yang kini berlari seorang diri.
*****
Panji cukup ahli dalam berlari, tetapi ia tidak dapat menghadapi. Ia hanya bisa berlari. Ketika tahu maut mengejarnya dalam bentuk singa jadi-jadian, Panji berusaha mengeluarkan kekuatan satu-satunya di kakinya.
Lari.
Lari.
Meski tubuh manusia yang bergelimpangan di sepanjang jalan, ia tetap berlari. Meski singa tersebut terus mengejarnya tanpa henti, bahkan sampai singa itu rela lari dengan terseok, Panji terus berlari.
Hingga rasa sakit masa lalu menghentikan larinya.
Hari itu, Panji tidak menyangka akan kembali merasakan sakitnya kehilangan. Ketika ia melihat tubuh bapaknya telah tergeletak bersimbah darah, maka saat itu juga seluruh rasa sakit kehilangan itu kembali.
Maka, ketika Panji mengira dirinya akan berakhir di tempat ini bersama ayahnya, suara seorang gadis muda tiba-tiba memanggilnya.
"Nak ... pergilah dari sini."
Panji kaget dengan kemunculan gadis yang menurut dirinya, seumuran Mas Araya. Orang asing lagi yang bertemu dan membantu Panji.
"S-siapa kamu??"
Sang gadis itu tidak menjawabnya. Ia tetap bersikeras menyuruh Panji pergi.
"Tempat ini berbahaya. Akan aku pastikan jasad bapakmu tetap utuh ...."
Mas Araya tiba di samping Panji.
"M-mas Araya!"
"Tetaplah di belakang kami berdua, Panji."
Mas Araya dan gadis itu pun berdiri membelakangi Panji dan jasad bapaknya. Menjadi pembatas antara kawanan singa kesurupan itu dengan diri Panji. Mas Araya pun mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah pistol. Seraya itu, gadis di sebelah Mas Araya mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke arah kawanan singa yang bersiaga di depan.
"Berikan aku petunjuk, Tuan Gubernur," ucap gadis itu.
"Berikan aku Shamshir E-Zomorrodnegar yang ditempa Kaveh untuk membantai iblis, Sofia," balas Mas Araya.
Peluru ditembakkan dan mengenai seekor singa, bersamaan dengan itu, sang gadis mengucapkan kata-kata. Sebilah pedang panjang menghunjam tubuh singa jadi-jadian itu hingga jatuh tersungkur dan tamat riwayatnya.
Peluru kembali ditembakkan oleh Mas Araya, sang gadis mengiringinya dengan kata-kata, menghunjamkan pedang yang tercipta dari ketiadaan untuk membantai puluhan singo edan yang berlari ke arah Panji.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top