15. Intermezzi : Semesta Jauh Bersaksi

Ketika aku bertemu dengannya, langit malam di atas pesisir Parangtritis seakan dibuka oleh Penguasa Semesta. Langit malam yang tadinya kelam diserbu oleh pasukan awan gelap, kembali menampakkan kuasanya. Aku tidak menyangka, langit di Parangtritis dapat seindah kala itu. Tumpahan nebula yang mencuri panggung dan menguatkan persepsi manusia, jutaan bintang beradu kerlip untuk menjadi yang paling bersinar, serta momen di mana sebuah bintang mati dalam keadaan yang paling indah di jagat luar.

"Siapa namamu?" tanya bocah laki-laki itu.

"Nama ... aku Zoyi," jawabku pada sosok bocah lelaki yang mendapatiku sedang main-main sendirian di pinggiran Parangtritis tengah malam.

Bocah itu mengerutkan kening. "Nama yang aneh, bukan kayak nama-nama orang Yogya pada umumnya. Kayak nama-nama orang yang kamilondonen."

Aku mengerutkan kening. Aku memang terkadang kurang mengerti beberapa bahasa yang dikembangkan oleh umat manusia. Makhluk yang pada awalnya bicara dengan satu bahasa, karena keangkuhannya, Penguasa Semesta membuat mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda satu sama lain.

"Apa itu keme-london-an?" Aku menelengkan kepala.

"Kayak orang Belanda. Kamu tahu?"

Aku terdiam, tidak tahu maknanya. Toh, aku juga bukan orang asli Jawa. Aku pun dengan lugu menggeleng. Di luar dugaan, si bocah terlihat sedikit sebal. Mungkin, susah juga berkomunikasi dengan manusia yang memiiki bahasa yang berbeda. Toh, aku pun juga bukan orang asli Yogyakarta. Mungkin, ada kalanya tiap bangsa memiiki cara sendiri untuk mengembangkan bahasa mereka.

"Ah, sudahlah, kenapa kamu ke sini malam-malam?"

"Aku ... melihat langit malam." Aku tidak dapat menemukan alasan lain, karena aku memang sedang melihat langit malam. Namun, si bocah tampak terkejut ketika melihat langit telah dibanjiri oleh nebula penuh dengan gemerlap bintang.

"Uuuuooohhh!" teriaknya dengan mata yang melotot dan mulut menganga.

"Indah bukan?" ujarku.

"Aku tidak pernah melihat langit malam bisa seterang ini. Biasanya kalah terang sama lampu-lampu di kota."

Sejenak si bocah menatap langit jauh di atas, sebelum ia berpaling dan menatapku. "Tapi, aku kaget kamu kesini sendirian."

"Memangnya kenapa?" Aku kembali menelenkan kepala.

"Apa kamu nggak takut, nanti diculik Ratu Kidul kamu!" Wajahnya tampak diliputi perasaan takut, setelah ia menyebut kata Ratu Kidul. Namun, aku benar-benar tidak paham dengan apapun yang ada di tempat ini. Parangtritis dan Yogyakarta adalah hal yang asing bagiku, selama ini.

"Siapa itu Ratu Kidul?"

"Itu ... ah, sudahlah."

Sepertinya si bocah itu sudah menyerah dengan ketidaktahuanku. Kemudian ia pun hendak pergi, sejenak ia berpaling ke arah belakang dan berkata, "Pokoknya jangan ke sini sendirian malam-malam!"

Ia berlari beberapa langkah, untuk kemudian berpaling kepadaku kembali untuk mengungkapkan identitasnya sebelum ia pergi.

"Namaku Danang! Danang Putrawijaya!"

Meski hanya sejenak, tetapi pertemuan kami begitu bermakna. Untuk pertama kalinya, aku bisa berbicara dengan orang lain tanpa diliputi perasaan takut. Senang sekali rasanya, tetapi sedih juga rasanya. Sayangnya, bocah bernama Danang itu tidak pernah menyebutkan di mana ia tinggal. Sehingga, kami pun tidak pernah bertemu lagi sejak hari itu.

*****

Ketika aku bertemu dengannya, seolah langit malam telah mengorkestrasi agar mempertunjukkan teater langit malam penuh dengan kerlip bintang dan pentas nebula. Langit di atas Parangtritis menampakkan kuasanya.

"Hey, tidak baik gadis sepertimu datang ke Parangtritis malam-malam begini," ujar lelaki yang menghampiriku.

Aku menoleh, mengingat-ingat bahwa aku pernah bertemu lelaki itu sebelumnya. "Ah ... maaf. Aku hanya menikmati langit malam yang indah ini."

Pemuda itu tersenyum, seraya berkata, "Langit malam yang jauh dari ingar-bingar peradaban manusia memang jauh lebih indah. Lama tidak berjumpa, Zoyi."

Ah, bocah kecil yang pernah kutemui belasan tahun lalu.

"Danang."

"Kau tampak terkejut melihatku, Zoyi?"

"Manusia memiliki kapasitas memori yang terbatas, apalagi untuk mengingat sebuah barisan kalimat seperti nama. Aku terkejut kau masih mengenalku, Danang."

Danang terkekeh, di mana kekehannya terinterupsi oleh gemuruh ombak pasang Laut Selatan.

"Heh ... kau masih saja aneh seperti pada waktu itu," ujarnya.

Kami berdua pun sejenak berdiri berhadapan dengan perbatasan Mataram dengan Kerajaan Kidul. Bahkan, seluas laut yang membentang, Kerajaan Sang Nyi Kidul pun masih terlihat insignifikan di bawah kerajaan semesta jauh.

"Kenapa kau ke sini?" tanya Danang, yang kini telah tumbuh sebagai pemuda dewasa.

"Menikmati langit malam," jawabku.

"Di mana rumahmu?"

"Ah ... aku dan keluargaku tinggal di Wirabrajan."

Danang menaikkaan setengah alisnya. "Perumahan elit ... huh. Aku tinggal di daerah Jogokariyan."

Entah kenapa ketika kami berdua terasa sangat jauh, padahal sebenarnya kami sangatlah dekat.

"Itu orang tuamu?" Danang menunjuk dua orang yang kini sedang memasang teropong bintang di pinggiran pantai.

"Ya," jawabku.

"Apakah keluargamu hobi melihat langit malam seperti ini?" tanya Danang kemudian.

"Hobi?" Sesuai dengan kebiasaanku, ketika aku bingung dengan sesuatu, aku pun menelengkan kepala.

"Kautahu, di tengah ledakan populasi manusia, sulit untuk mendapatkan pemandangan seperti ini." Danang menatap ke arah hamparan langit malam yang kini menampilkan orkestra nebula.

"Yah, aku dan keluargaku memang sering pergi ke daerah pesisir untuk mendapatkan pengamatan langit malam yang lebih baik," jelasku.

"Keluargamu seorang ilmuwan? Astronom?"

"Hmm ... bisa dibilang seperti itu. Kami mempelajari alam semesta ini."

Kami berdua pun duduk di hamparan pasir yang agak jauh dari garis pantai. Kami berdua pun sama-sama memerhatikan langit malam nun cerah ini.

"Hmmm ... Zoyi, menurutmu apakah umat manusia bisa membuat rumah di planet lain?" celetuk Danang tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kurasa tidak. Ah, belum ...," jawabku.

"Umat manusia telah lama berusaha untuk menaklukan semesta jauh. Maka umat manusia adu-aduan untuk meraih apa pun yang ada di semesta jauh secepat mungkin. Namun, aku berpikir ... betapa kecilnya umat manusia di antara semesta jauh yang begitu ... kolosal ini," ujar Danang.

"Mengapa kamu berpikir seperti itu?" tanyaku.

"Ketika Wahyu Agung terjadi ... mendadak seperti terbukalah segala perangai kotor umat manusia."

Oke, aku benar-benar kurang paham.

"Wahyu Agung?" Aku mengernyitkan dahi. Seketika wajah Danang mulai menampakkan keterkejutan.

"Hmm? Kau tidak tahu Wahyu Agung?"

"Apa itu?"

Danang terkejut bukan main.

"Tidak mungkin ... kau? Apakah kau tidak pernah mendengar kisah bahwa pada suatu hari, umat manusia bermimpi mendengar suara Tuhan yang mengatakan bahwa hantu hanyalah sebuah kebohongan?"

Wahyu Agung, Suara Tuhan, mimpi, hantu hanyalah sebuah kebohongan. Aku baru sadar, bahwa ketika aku tiba di Yogyakarta ... seperti ada yang hidup berdampingan dengan umat manusia di sini. Orang-orang menyebutnya dengan sebutan Astral.

"Engkau .... Orang-Orang Malang ... mereka yang tidak mendapat Wahyu Agung. Yah ... probabilitasnya memang sangat kecil." Danang pun berbicara sendiri.

"Orang-orang memang terkadang membahasnya. Namun, aku tidak mengerti apa maksudnya. Kutanya ayah dan ibu, tetapi mereka berdua juga kurang paham," ujarku.

Lalu Danang pun bercerita tentang kisah manusia yang mendapatkan 'revelasi' dari Tuhan. Bahwa hantu adalah kebohongan dan ghaib adalah ilusi dari persepsi manusia. Seiring dengan hal itu terjadi, umat manusia pun mulai berlomba-lomba untuk mengungkap kebenaran di balik alam ghaib dan semesta yang begitu dekat dengan mereka. Sepanjang perjalanannya, tidak jarang umat manusia menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah sesama spesies mereka. Obsesi akan revelasi itu telah mengubah arah gerak sejarah manusia. Bahkan, sejarah relevasi di negara ini pun jauh lebih kelam daripada di negara lain. Orang Indonesia menerima Wahyu Agung ketika pada suatu malam, negara ini mengalami tragedi yang mengakibatkan tujuh orang mati di dalam sebuah sumur.

"Hmm ... umat manusia memang menarik. Mereka merasa memiliki signifikansi yang sangat luar biasa besar, ketika mereka sebenarnya sangat insignifikan di antara luasnya semesta jauh," komentarku.

Kemudian, kami pun merenungkan nasib umat manusia di bawah langit semesta. Ayah dan Ibu tampak berhasil memasang teropong bintang, kini pun mereka mencoba mengamati langit jauh di atas sana.

"Danang," ujarku memecah keheningan.

"Hmm?"

"Aku senang, berkatmu, aku jadi tidak takut lagi berbicara dengan manusia lain."

"Zoyi ...."

"Hmm?"

"Aku baru mengerti satu hal. Mengenai kau dan keluargamu yang terobsesi dengan melihat langit jauh, dirimu sebagai Orang-Orang Malang, keanehan dan keabsurdan dirimu yang melebih manusia paling absurd ... apakah kau ingin pulang?"

Ah ....

Aku selalu diliputi ketakutan selama ini, ketika berinteraksi dengan orang lain. Bahwa diriku yang sebenarnya pun akan ketahuan. Akhirnya aku pun tidak dapat menyembunyikannya dari Danang lagi.

Di depan Danang, aku pun menunjukkan wujudku yang sebenarnya. Sama seperti manusia, hanya saja tubuhku yang mampu bersinar dalam gelap dan kami bisa mengubah-ubah telinga kami menjadi bentuk apa saja, mata kami bisa berubah warna dan dapat menyala seperti lampu disko.

Namun, entah kenapa Danang malah terperangah takjub.

"Wow ...."

"Sebenarnya ... aku dan keluargaku bukan berasal dari kota bernama Yogyakarta. Bukan pula berasal dari negara bernama Indonesia, atau planet yang disebut Bumi. Seperti yang kaulihat, Danang ... kami bukan makhluk sini."

"Tidak kusangka kau adalah makhluk luar," ujar Danang.

"Aku dan keluargaku merupakan makhluk yang berasal dari semesta jauh di sana. Ketika umat manusia menerbangkan Voyager-1, kami menangkap rekaman emas miliknya dan kami berusaha untuk mencari tahu dari mana asal rekaman emas itu," jelasku.

Danang pun terkekeh. "Heh ... kau penasaran dengan makhluk paling sombong se-alam semesta ini, Zoyi?"

"Aku penasaran dengan peradaban kalian sepertinya tiada bedanya dengan kami, hanya saja .... penuh dengan pertumpahan darah," jawabku.

"Sejarah manusia selalu diiringi dengan pertumpahan darah, Zoyi."

"Aku dan keluargaku berasal dari planet jauh nun di luar sana yang bernama Zamblok. Planet itu berada di kawasan nebula Zubeikydah. Kami berusaha mencari jalan pulang, setelah kapal kami terdampar di sebuah gunung yang dinamakan Semeru."

Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan nyaman yang sama kurasakan seperti yang kualami sewaktu berada di Zamblok.

"Kau tidak takut denganku?" tanyaku heran.

"Keren sih ini," ujar Danang.

Baru kali ini ada manusia yang tidak takut melihat wujud asliku. Entah mengapa, sebuah perasaan yang menyenangkan tiba-tiba membuncah dalam diriku.

"Hey, Danang, langit malam kali ini benar-benar indah."

"Kau benar."

Sepertinya, aku menemukan tempat untuk pulang. Aku harap begitu.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top