14. Replikasi Afeksi
"Hmm ... apakah kau akan selalu mengajak gadis manapun ke perpustakaan, untuk diajak kencan?" Itulah komentar Sofia, tatkala tiada angin dan tiada hujan, aku membawanya ke perpustakaan universitas.
Sebenarnya ada perpustakaan kota, tetapi koleksi mereka tidak lengkap. Ada perpustakaan fakultas, tetapi mayoritas isinya skripsi dari zaman baheula. Perpustakaan universitas, adalah tempat di mana kau bisa menemukan segalanya. Termasuk, bagaimana afeksimu tertaut pada sandaran hatimu.
"Apakah salah?" Aku berkacak pinggang sembari menatap Sofia kecut. Sofia hanya merespon dengan tawa.
"Gadis itu akan menganggap kau mengajak mereka kerja kelompok," ujarnya seraya terkekeh.
Aku tidak mengerti, di mana salahnya orang berkencan di perpustakaan? Kenapa orang-orang rela merogoh kocek untuk mengadakan makan malam dengan terpaan cahaya lilin, hanya untuk kencan? Aku juga tidak mengerti dengan orang yang berkencan sembari menonton film. Mereka itu mau bercumbu atau mau menonton sinema? Tentu saja itu sebuah penghinaan bagi sutradara film.
"Dengar, Sofia. Aku berusaha untuk mereplikasi romantis. Maaf, kalau tidak sesuai ekspektasi," ujarku dengan nada sedikit merendah.
Bagaimanapun, Sofia adalah gadis biasa. Baginya, berkencan di perpustakaan adalah ketidaklaziman, meski Sofia suka sekali meminjam beberapa novel dari sastrawan Jepang. Yah, meminjam buku dan berkencan adalah aktivitas yang berbeda.
Tunggu, apakah manusia sudah mereduksi definisi kencan selama belasan tahun terakhir?
Sofia menggeleng, "Hmm ... aku sih tidak masalah, Tuan Gubernur."
"Kenapa?"
"Well, aku selalu penasaran. Apabila diriku mendapatkan hati yang tertaut pada seorang pria, apa yang akan dia lakukan ketika ia berada di perpustakaan? Buku apa yang akan ia baca? Orang pernah berkata, bahwa buku yang seseorang baca, merefleksikan kehidupan dan kepribadiannya."
"Hmm ...."
Aku manggut-manggut saja merespon penjelasan Sofia. Lalu, tertariklah pandanganku pada sebuah buku yang terpajang di rak buku baru. Perpustakaan universitas biasanya meletakan beberapa buku yang baru saja datang atau buku baru yang sedang naik daun di khalayak umum. Aku pun mengambil sebuah buku dengan tebal hampir segenggaman tanganku. Sekilas aku menatap sampul buku itu.
C.G. Jung - Memories, Dreams, Reflections
Sofia melihat aku mengambil buku itu. Ia menatapku, seraya tersenyum mengomentariku.
"Huh, tidak biasa ...."
"Jung pernah berkata dalam memoarnya, bahwa kehidupan seseorang adalah kisah dongeng daripada seseorang itu sendiri. Carl Jung bukanlah seorang pendongeng yang handal, tetapi memoarnya mengatakan hal yang sebaliknya."
"Hee ...."
"Kautahu, bahwa makhluk astral tercipta atas bantuan persepsi manusia dan terbuat dari ingatan kolektif manusia?"
"Kau selalu menceritakan itu bolak-balik."
Lalu kami pun menghabiskan waktu untuk membicarakan tentang buku itu. Sesekali, aku duduk manis sembari mendengarkan cerita Sofia yang mengoceh tentang Rahasia Hati yang ditulis oleh Natsume Soseki. Cara yang efektif untuk menanti senja.
Karena rencana perkencananku tidak berhenti sampai di gedung bibliotik ini saja. Setelah waktu menunjukkan pukul lima sore, aku dan Sofia menaiki tangga menuju atap gedung blibliotik. Di atap, kami sudah disambut oleh pentas drama harian pertarungan langit. Aku memasang tempat duduk membelakangi matahari terbenam, sementara Sofia duduk di sampingku.
"Cara yang tidak biasa untuk menikmati langit senja," ujar Sofia, memandang ke arah langit.
"Pertama, ada satu hari dalam sebulan di mana pintu menuju atap gedung perpustakaan akan dibuka. Para mekanik akan melakukan perawatan pada komponen pendingin eksternal gedung, penangkal petir, dan instalasi listrik lantai atas," jelasku.
"Yang kedua?"
"Aku tidak sedang menikmati langit senja. Aku mengamati bagaimana kerajaan siang dan kerajaan malam saling berperang memperebutkan tahta langit."
Sofia memukul pundakku dengan lembut.
"Halah! Rayuanmu terlalu hiperbolik, Tuan Gubernur!"
Entah mengapa, ada seberkas tusukan jarum seperti menyakiti dadaku.
"Sofia ...." Aku memanggilnya, menatapnya dengan serius.
"Sofia, apakah kau akan tetap memanggilku begitu?"
Sofia hanya tersenyum, tetapi senyum terpaksa itu selalu mengisyaratkan kesakitan yang terepresi.
"Tiada berhak diriku untuk memanggil namamu, Tuan Gubernur."
Aku menghela napas panjang, seraya menatap langit yang sedang bertransformasi. Berkata sendiri aku, "Inikah kutukan yang diturunkan kepada kita berdua?"
"Aku hanyalah replikasi afeksi. Tubuhku hanyalah fragmentasi memori yang tumbuh menjadi entitas independen. Akan sangat keji diriku, apabila kau menautkan hati pada diriku, kepalsuan," jawab Sofia.
Entah mengapa, aku begitu rapuh. Afeksi ini begitu berat untuk kugenggam.
"Hanya untuk satu hari," sahutku.
"Huh?" Sofia menelengkan kepalanya.
"Hanya untuk satu hari, bisakah aku menautkan hati pada dirimu, barang satu kali? Bisakah aku membagi afeksi ini, meski kau hanya replikasi?"
Sofia tidak menjawab. Kami saling memandang langit yang kini telah berada di pungkasan drama. Langit malam telah turun. Tiada kuasa mata ini menahan kesedihan. Mendadak, Sofia merengkuhku dengan tubuh fananya. Dingin, tetapi entah mengapa begitu hangat. Menyesakkan, tetapi entah kenapa begitu ringan.
Tidak tertangguhkan kesedihan ini, atas air mata yang kucurahkan.
"Jangan bebani dirimu dengan dosa yang tidak sepatutnya kautanggung, Araya." Bisikan lembut Sofia semakin membuatku terasa tidak berdaya dalam kubangan kesedihan.
Dalam rengkuhan replikasinya, afeksiku tertaut bersama dengan sejuta kesedihan yang menghunjamku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top