11. Intermezzi : Pertanda Malapetaka

Aku melihatnya.

Bentuknya seperti kain selendang berwarna hijau yang terbentang melayang ke angkasa. Selendang itu begitu panjang, terbentang dari arah jauh dari arah Barat. Selendang yang sama, yang pernah kulihat sewaktu diriku masih sangat kecil. Selendang itu seakan membelah langit di ujung horizon satu ke arah ujung langit lain menjadi dua bagian. Tiada yang tahu akan hal ini. Tiada yang melihat akan fenomena ini, selain diriku. Ketika manusia lain sibuk dalam kehidupannya, mereka tiada mengetahui bahwa di atas mereka, emisaris malapetaka telah memberi pertanda.

Sepertinya diriku memiliki potensi untuk menjadi 'Pewarta Malapetaka', begitulah sebutannya orang-orang yang memiliki takdir berikatan dengan Astral. Namun orang-orang tersebut seperti ... dijauhi. Yah, mereka yang berikatan takdir dengan Astral pun pasti akan mendapatkan 'pandangan komunal' yang berbeda daripada manusia lainnya.

Aneh, berbeda dengan yang lainnya, tidak normal, bersekutu dengan jin, teman jin. Yada ... yada .... Sebelumnya, Tuhan telah sedikit banyak memberikan pertanda bagi umat manusia. Pertanda untuk tidak melangkahi garis batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hanya saja, terkadang manusia lupa, sehingga mereka melangkahi garis batas tersebut. Pada akhirnya, Tuhan menurunkan malapetaka sebagai pertanda keras. Alam pun bekerja sebagaimana mestinya. Inikah harga ketidakpercayaan manusia terhadap pertanda malapetaka? Meski begitu, terkadang beberapa yang terpilih pun menemui 'pertanda' itu. Bisa dalam bentuk apa saja dan dari kasusku, aku dapat melihat 'pertanda' itu dalam bentuk selendang.

Aku melihatnya.

Sebuah suasana yang mengerikan. Sunyi di antara tanah yang telah luluh lantak karena malapetaka. Puing-puing bangunan dari kayu yang terbawa dari kampung nelayan, terseret hingga di dekat pusat kota. Riuh pusat kota yang biasa terdengar, kini seakan lindap ditelan malapetaka. Kayu, puing, sampah, badan mobil, lumpur, ikan, pohon kelapa, tangan manusia yang timbul tenggelam, semua teraduk menjadi satu kesatuan kekacauan. Kesatuan itu seakan melibas apapun yang ada di depannya. Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, beragama atau atheis, tiran atau pemberontak. Semua sama di mata Tuhan, semua sama dalam penghakiman alam.

"Pak ... Pak?" Seseorang memutuskan lamunanku dengan memanggilku. Seorang laki-laki, mengenakan baju takwa berwarna putih telah kotor karena air bah. Mukanya sudah belepotan dengan lumpur. Ia gemetaran sembari memegang kopyah beludru yang sudah basah bercampur air bah.

"Allah telah menurunkan kuasanya. Aku telah melihatnya ...," ujarku. Dari kejahuan, aku dapat melihat sosok-sosok seperti orang bangkit di antara puing-puing. Kemudian beberapa dari mereka memelesat ke langit.

"Melihat apa, Pak?" tanya lelaki itu.

"Selendang. Selendang terbang membelah langit Meulaboh. Allah telah memberi peringatan pada kita," jawabku. Kutengok ke arah langit, selendang itu telah lama tiada. Namun, sosok seperti burung-burung berbentuk layang-layang kini berterbangan di atas langit tempat yang pernah mendapat julukan sebagai Serambi Mekkah.

Kemudian lelaki itu kembali bertanya, dengan nada penuh keraguan, dengan nada penuh ketakutan.

"Malapetaka ini ... Pak—katakanlah—apakah kita termasuk kaum-kaum yang di-azab Allah? Apakah sejarah akan mencatatkan kita seperti itu?"

Aku melihat ke arah tanah yang telah rata dengan kekacauan. Sunyi yang menusuk ini, terkadang kau dapat mendengar suara rintihan, suara lolongan, suara permintaan tolong, semua riuh-rendah bercampur angin laut yang masih menyellinap di antara udara.

"Ini adalah pengingat. Allah menyayangi kaum muslimin. Hanya saja, kini Allah sedang marah," ujarku.

"Apa salah kita, Pak?"

Aku menghela napas, sebelum memberikan jawaban.

"Mungkin ... kita lupa, kalau kita telah melintasi garis yang tidak boleh dilintasi."

Sunyi di antara kekacauan kembali menyeruak ke permukaan, setelah sang laki-laki terdiam sembari memandang horizon penuh dengan kehancuran. Pada kemudian hari, sejarah akan mencatatkan katastropi yang kusaksikan ke dalam salah satu yang terburuk di negeri ini. Ketika aku menengok sekitar, lelaki itu telah menghilang.

Lalu, rombongan tentara tampak datang menghampiriku, jumlahnya ada tiga orang. Mereka adalah yang pertama terjun setelah mendapatkan perintah evakuasi dan mitigasi. Komandan mereka menyapa dengan sebuah himbauan.

"Pak! Jangan berdiri di sini, Pak. Bahaya! Nanti ada gelombang susulan!"

"Hei, kau melihat laki-laki pakai kemeja takwa putih yang sudah kotor karena air bah, berada di sekitar sini? Dia memegangi pecinya dan gemetar kedinginan," ujarku.

"Kami tidak menemuinya, Pak."

Kemudian, satu tentara yang tengah mengais puing-puing, tiba-tiba memanggil komandannya. Mereka menemukan sesosok mayat yang terkubur di antara puing-puing. Aku melirik mereka yang kini tengah mengangkat mayat tersebut dari onggokan puing dan lumpur.

"Innalillahi wa innaillaihi rajiun ...."

Kulihat laki-laki itu kini telah memelesat jauh ke angkasa.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top