1.
BAB 1. GOdara
Sang Utusan
Desa Ngrajek, dulu terkenal sebagai desa yang subur. Setiap tahun hasil panen mereka selalu melimpah. Bukan cuma padi, tapi juga palawija dan berbagai macam sayur-sayuran. Karena hasil panen yang selalu melimpah, Desa Ngrajek sempat dijadikan sebagai salah satu lumbung pangan utama di Majapahit.
Namun, dalam dua tahun terakhir, Desa Ngrajek justru mengalami bencana kelaparan parah. Paceklik pangan melanda desa tersebut akibat gagal panen yang selalu terjadi pada dua tahun belakang. Bukan kekeringan atau ada bencana alam, penyebab utama gagalnya panen di Ngrajek karena serangan hama belalang.
Selain jumlahnya yang banyak, hama belalang yang menyerang Desa Ngrajek juga terbilang ganas. Tak ada satu tumbuhan di Ngrajek yang selamat dari serangan hama belalang. Mulai dari pepohonan sampa rumput sekalipun tidak luput. Hanya dalam semalam segala jenis tanaman dapat mereka buat meranggas.
Melihat kondisi Ngrajek yang seperti itu, pihak Majapahit pun tak tinggal diam. Mereka telah mengirimkan sejumlah utusan untuk mengatasi hama belalang yang menyerang desa dulu sempat jadi salah satu lumbung pangan kerajaan itu. Namun, sampai saat ini tak satupun dari utusan-utusan tersebut yang berhasil.
"Ki, kira-kira kapan utusan itu akan datang?" tanya Nyai Sadean pada suaminya.
"Entahlah, Nyi, tapi menurut surat yang aku terima harusnya hari ini," sahut suaminya Ki Lurah Ngrajek, yang merupakan seorang kepala desa di Ngrajek.
Setelah sebulan utusan terakhir meninggalkan desa Ngrajek, tiba-tiba tiga hari lalu Ki Lurah Ngrajek mendapat surat dari Majapahit. Dikatakan dalam surat tersebut bahwa seorang utusan baru akan kembali di datangkan ke Ngrajek untuk mengatasi masalah hama belalang.
Maka dari itulah sejak pagi tadi Ki Lurah Ngrajek bersama istrinya telah berpakaian rapi guna menyambut utusan tersebut. Namun, sampai hari menjelang siang utusan yang dimaksud belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Ki, jangan-jangan utusan kali ini adalah orang yang suka makan gaji buta," ujar Nyi Sadean yang sudah jengkel.
"Hus! ngomong apa kamu, Nyi. Kita tak boleh berprasangka buruk pada utusan kerajaan," sembur suaminya.
"Secara, Ki, sudah banyak utusan yang datang ke desa ini, tapi mereka semua mengalami kegagalan. Tentu utusan baru ini sudah tahu kesulitan di desa ini dari utusan-utusan lainnya. Maka dari itu utusan ini tidak mau repot-repot datang ke sini karena sudah tahu pasti akan gagal juga!" kata Nyai Sadean makin sengak.
"Ki Lurah, kulo nuwun!" seru seseorang dari luar rumah tiba-tiba ketika Ki Lurah baru mau membuka mulut untuk menyanggah istrinya.
"Nggih," sahut Ki Lurah lalu segera berjalan menuju pintu mengabaikan sang istri yang cemberut.
Begitu Ki Lurah membuka pintu, seorang pria paruh baya menyambutnya.
"Ternyata kamu, Marto. Ada perlu apa?" tanya Ki Lurah pada pria paruh baya yang ternyata bernama Marto itu.
"Bukan saya, Ki, yang punya keperluan, tapi Kangmas ini," jawab Marto sambil menunjuk ke pria di sebelahnya.
Ternyata Marto tidak datang sendiri, dia datang bersama seorang pemuda asing. Seorang pemuda berambut panjang dengan pakaian serba putih.
"Saya bertemu Kangmas ini di jalan, dia katanya mencari rumah Ki Lurah." Usai menjelaskan perihal kedatangannya Marto pun langsung meminta pamit dan pergi.
Sekarang perhatian Ki Lurah tertuju pada pemuda asing yang dibawa Marto. Ki Lurah melihat sekilas pemuda itu dari bawah sampai bawah lalu sekejap dahinya mengerut karena menemukan sedikit kejanggalan pada si pemuda. Kejanggalan itu terletak pada mata si pemuda yang keduanya ditutupi oleh kain putih.
"Maaf, Kangmas ini siapa? Dan ada keperluan apa mencari saya?" tanya Ki Lurah kemudian pada si pemuda asing.
"Nama saya Godara, Ki. Saya adalah utusan dari Majapahit," sahut pemuda bernama Godara tersebut.
Mendengar kata 'utusan' keluar dari mulut si pemuda membuat Ki Lurah kembali melihat si pemuda alias Godara dari atas sampai bawah. Pria tua itu merasa keheranan pasalnya penampilan pemuda itu sangat sederhana bila dibandingkan utusan-utusan yang datang sebelumnya.
Biasanya utusan yang datang dari Majapahit selalu berpenampilan mewah. Pakaian mereka biasanya berbahan sutra dan di leher mereka pun melingkar kalung besar dari emas. Selain itu, pada pinggang para utusan ini juga selalu terselip keris dengan warangka berlapis emas atau perak. Memang pada masa itu, selain sebagai senjata, keris juga digunakan sebagai penanda status. Semakin bagus kerisnya, semakin tinggi pula kedudukan pemiliknya. Namun, barang-barang bernilai 'wah' itu tak satupun melekat pada pria bernama
Godara tersebut sehingga membuat Ki Lurah sangsi.
Meski kedua matanya di tutup kain, akan tetapi Godara seakan tahu keraguan yang dimiliki Ki Lurah. Pria itu pun merogoh kantong di bajunya, lalu mengeluarkan sebuah gelang emas yang memiliki sayap dari kantong tersebut.
"Kalau Ki Lurah tak percaya, benda ini mungkin bisa meyakinkan, Ki Lurah," kata Godara seraya menyodorkan gelang bersayap ke Ki Lurah.
Seketika Ki Lurah terkesiap. Gelang bersayap bukanlah benda biasa. Benda tersebut merupakan benda yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki jabatan di Majapahit. Para utusan sebelumnya juga memiliki benda itu dan biasanya mereka memasangnya di lengan atas, guna menunjukkan kedudukan mereka.
"Hamba minta maaf karena telah lancang. Saya telah menunggu kedatangan, Tuan," ucap Ki Lurah yang seketika bersikap rendah.
"Sebenarnya aku yang harus minta maaf pada Ki Lurah soalnya aku datang kesiangan," kata Godara seraya menyimpan kembali gelangnya.
"Ah, itu bisa dimaklumi. Tuan, kan baru pertama kali ke desa ini pasti kesulitan untuk mencari rumah hamba yang kecil ini. Ah, mana kesopanan hamba. Tuan, silakan masuk."
Ki Lurah lekas membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan mempersilahkan Godara masuk. Ki Lurah sempat heran saat Godara memasuki rumah. Meski kedua mata utusan tersebut ditutupi kain ia dapat berjalan layaknya orang normal. Namun, dengan segera Ki Lurah menghapus rasa herannya, lalu berseru pada Nyai Sadean, "Nyai, utusan dari Majapahit sudah datang!"
Mendengar sang utusan telah datang, Nyai Sadean pun bergegas pergi ke dapur. Dengan cekatan istri Ki Lurah tersebut menyiapkan wedang panas serta sedikit suguhan, berupa beberapa potong ubi kacel (ubi yang alot ketika dimasak dan rasanya pahit). Nyai Sadean tahu ubi kacel tidaklah pantas dijadikan suguhan bagi seorang utusan kerajaan. Namun, apalah daya, gara-gara hama belalang tak banyak tumbuhan yang bisa tumbuh di Ngajek, kalau pun bisa tumbuh buah yang dihasilkan pun juga berkualitas buruk.
Di Ngrajek ubi kacel sudah termasuk makanan mewah sekarang ini. Sebab, kebanyakan warga Ngrajek saat ini sehari-hari hanya bisa makan, bonggol pisang, ulat serta belalang yang sudah menjadi hama di desa. Sudah tentu lebih tidak sopan lagi kalau ketiga makanan yang Nyai Sadean suguhkan pada sang utusan. Sebenarnya sebulan sekali pihak kerajaan juga selalu mengirimkan bantuan pangan ke Ngrajek. Sayangnya bantuan itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sepuluh hari saja.
Nyai Sadean sungguh terkejut saat menyuguhkan wedang pada sang utusan. Sebab yang dilihatnya hanya seorang pemuda berpakaian putih sederhana. Jauh berbeda dengan utusan-utusan sebelumnya yang pernah ia lihat dan temui. Ditambah lagi mata pemuda itu ditutupi kain. Dengan cepat Nyai Sadean menatap suaminya. Dengan hanya menatap mata sang istri Ki Lurah sudah tahu apa yang ada di pikiran istrinya.
"Ki, apa benar pemuda ini utusan dari Majapahit? Yang benar saja?!" Begitulah kira-kira yang ingin Nyai Sadean ucapkan.
Ki Lurah pun menatap balik istrinya serta memberikan kode mata. "Aku tahu kamu tidak percaya, tapi benar pemuda ini memang utusan Majapahit!" Begitu kiranya yang ingin Ki Lurah sampaikan. Nyai Sadean yang paham kode Ki Lurah tak banyak tingkah lagi, setelah usai meletakkan wedang serta ubi kacel di meja ia segera menarik diri ke dapur.
"Tuan, silahkan dinikmati," ucap Ki Lurah pada Godara sambil memasang senyum.
"Maaf, Tuan, hanya makanan seperti ini yang dapat kami suguhkan. Tuan, harap memaklumi____." Ki Lurah belum selesai bicara, tapi Godara langsung menenggak wedang yang ada di depannya. Kemudian lanjut menyantap ubinya.
Kejadian itu Ki Lurah juga Nyai Sadean, yang mengintip dari pintu dapur, ternganga. Sebab Godara telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh utusan-utusan sebelumnya. Jangankan makan para utusan itu tak pernah sedikitpun menyentuh apa yang Ki Lurah dan istrinya suguhkan di meja, karena memang apa yang keduanya suguhkan rasanya tak menyelerakan bagi seorang berjabatan tinggi.
"Ki, terima kasih makanan ini enak sekali," ucap Godara usai menandaskan segala yang disuguhkan padanya.
"Oh, ya, Ki, kalau bisa bolehkah aku beristirahat sebentar? Soalnya perjalanan ke desa ini cukup melelahkan," tanya Godara yang seketika menyadarkan Ki Lurah yang masih ternganga.
"Oh... boleh... boleh, Tuan," sahut Ki Lurah tergopoh. "Kebetulan saya sudah menyiapkan rumah khusus untuk utusan seperti Tuan. Mari saya antarkan, Tuan." Ki Lurah sudah mau berdiri, tapi cepat-cepat dicegah oleh Godara.
"Tidak perlu repot-repot, Ki," kata Godara seraya menggoyangkan satu tangannya.
"Kalau boleh, Ki, aku mau istirahat di sini saja, di tempat aku duduk sekarang ini," kata Godara lagi yang seketika membuat Ki Lurah bingung.
"Bagaimana, Ki? Boleh tidak?"
"Bo... boleh saja, tapi___,"
"Bagus, kalau begitu aku istirahat dulu." Tanpa menunggu Ki Lurah selesai berkata, Godara langsung berbaring di kursi tempatnya duduk.
"Oh, ya, Ki, nanti tolong bangunkan aku ketika sore hari sudah tiba."
"Ba.. baik, Tuan."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top