Niskala 7 : Mahluk Jahil

Grasak-grusuk dedaunan yang terinjak semakin lama semakin dekat. Terdengar orang itu berjalan dari arah samping mendekati mulut gua. Laxio menatapku seolah meminta konfirmasi jika telinganya tak salah dengar. Aku yang juga meyakini ada gemeresak, mengangguk pelan. Seseorang ada di luar sana dan entah apakah dia tahu jika kami di sini.

Kumatikan ponsel kemudian menyandar ke meja batu. Menghirup udara dalam-dalam, aku berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan debuman jantungku yang berpacu. Kulirik ke sebelah, Laxio sedang merunduk. Ia menempelkan telinganya ke tanah sembari memejamkan mata. Jemarinya mengetuk-ketuk setiap kali terdengar suara gemeresak.

Aku mencoba mengintip ke luar, keadaan yang terlalu gelap menyebabkan mataku sulit mengenali sosok yang kini berdiri di mulut gua. Yang kutahu dia mengenakan sebuah jubah besar bertudung dan keranjang berisi bunga sejenis dengan yang ada di cawan. Dilihat dari perawakannya, kurasa dia adalah orang dewasa. Mau apa dia kemari?

"Hanya ada satu orang, kita berdua bisa menangkapnya!" Laxio kembali bangkit dan berbisik kepadaku.

"Bagaimana kau tau jika hanya ada satu orang?"

"Suara langkah kakinya terdengar tunggal."

Aku tidak mengerti, namun ia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.

"Dia pasti tau soal gua ini, mungkin juga soal lendir hitam. Tapi pastinya apapun yang dia puja itu adalah entitas yang berhubungan dengan kegiatan terlarang."

"Kegiatan terlarang?"

"Di Lumia, tidak ada yang boleh melakukan ritual pemujaan di kawasan hutan. Jika ada yang melakukannya, maka dia dianggap telah menyembah entitas terlarang," Laxio memberi jeda sesaat. "Dia ada pada posisi yang salah dan kita berdua bisa menangkapnya! Tidak, kita berdua harus menangkapnya!"

Aku meneguk ludah. Laxio tampak tak main-main dengan perkataannya. Ia bahkan tak memberi giliran untukku berpendapat. Kini dia telah berpindah ke sisi lain meja dengan gelagat seolah siap untuk menyergap bagai komandan pasukan elit, sedangkan aku berperan sebagai bawahannya yang ringkih. Walaupun masih terpikir jika ini ide gila, tapi aku tetap berjongkok di belakangnya, menunggu perintah.

Laxio mencondongkan badan sedikit, berusaha meminimalisir bagian tubuhnya yang terekspose ketika dia sedang mengintip. Sebelah matanya menangkap sosok itu, sosok tinggi yang tampaknya telah curiga jika ada orang lain di dalam gua.

Laxio menarik diri saat orang itu sedang merogoh sesuatu di balik jubah. Ketika hendak kembali mengintip, tiba-tiba sosok itu melempar sesuatu ke udara. Benda itu memantul beberapa kali sebelum akhirnya jatuh dan berhenti tepat di hadapan kami. Tampak seperti sebuah batu yang aneh. Tak lama setelah jatuh, ia bercahaya dengan nuansa hijau terang membuat kami tersentak mundur.

Sontak reflek tersebut menyebabkan suara gemeresak janggal. Kecurigaannya terjawab. Sosok yang sedari tadi tampak tenang di mulut gua langsung berlari meninggalkan tempatnya.

"Sial! Dia kabur!"

Tanpa ba-bi-bu, Laxio melompat keluar dan bergegas mengejar. Aku yang masih terkena shock ringan, mematung sesaat. Tubuhku cukup lama merespon perintah untuk segera berlari menyusul hingga kulihat Laxio sudah sampai di mulut gua, meninggalkanku.

"Laxio!" aku berteriak sembari berlari menyusul.

Tampak usahaku untuk menarik perhatiannya gagal, Laxio tetap berlari seolah mengejar orang itu adalah tujuan hidupnya. Aku berhenti di mulut gua dengan pijakan yang lebih tinggi, kulihat sosok berjubah itu telah mencapai tengah hutan. Ia tampak susah payah menerobos cabang pohon yang mencuat dengan jubah panjangnya. Laxio terlihat agak jauh di belakang, namun dia bergerak begitu gesit melompati batu dan akar pohon seolah sudah menghafal wilayah ini dengan sempurna. Dengan kecepatan itu kuyakin ia akan segera menyusul.

Aku tak berencana menjadi pemain figuran dalam aksi kejar mengejar ini, maka kucoba memperkirakan kemana orang itu akan pergi.

Tampaknya dia hendak ke sisi lain hutan yang berseberangan dengan lokasi Desa Lumia. Aku menghafal jalur menuju ke sana kemudian berlari untuk memotong jalan. Memperkirakan jaraknya, jika aku bisa bergerak tanpa hambatan maka aku bisa menghadang orang itu pada sebuah batu besar yang terletak sekitar dua ratus meter di depan.

Rencana hebat, pikirku sebelum memulai eksekusi.

Aku berlari sekuat tenaga selama kurang lebih sepuluh menit dan sepertinya tubuhku telah memberikan protes terhadap apa yang kulakukan. Paru-paruku terasa begitu panas seolah hampir meledak. Aku ingin berhenti sejenak mengambil napas, namun jika kulakukan maka aku akan kehilangan jejaknya. Sedikit pengorbanan untuk hasil yang lebih besar, aku harus bertahan.

Kulihat samar-samar bayangan orang itu tampak dari arah barat, begitupula dengan penampakan batu yang kutuju sudah semakin dekat. Batu yang sangat besar hingga dapat menutupi seekor gajah. Tinggal sedikit dan aku akan mencapainya.

Semua berjalan lancar sampai tiba-tiba kakiku menginjak sebuah lubang di tanah. Lubang itu tak terlalu dalam, namun sudah cukup untuk membuatku limbung. Aku berguling jatuh hanya beberapa meter dari titik penyergapan.

Kakiku terasa nyeri luar biasa, sensasi ini membawa kembali ingatan rasa sakit bertahun-tahun lalu pada peristiwa patah tulang yang kualami. Aku menahan diri untuk tidak berteriak, orang itu tak boleh sampai tahu aku berada di depannya.

Tampak sosok berjubah itu semakin dekat namun tidak ada tanda-tanda dari Laxio. Aku harus memperlambatnya.

Kudekati tumpukan batu-batu yang lebih kecil tak jauh dari tempatku jatuh, mengambil sebanyak yang bisa kugenggam, lantas menunggu. Menunggu hingga orang itu sampai pada jangkauan lempar. Aku tak tahu apakah tindakanku ini dapat berakibat fatal, namun seperti kata Laxio, dia harus tertangkap!

Dengan tenaga yang tersisa, kulempar semuanya itu ke udara. Sosok itu terkejut mendapati reruntuhan batu-batu mulai berjatuhan menimpa dirinya terutama bagian kepala. Benaknya terasa pening, ia melambat sembari mencari-cari dari arah mana batu itu berasal.

Usahaku untuk bersembunyi gagal. Hanya butuh beberapa detik, sosok itu berhasil menemukanku yang berbaring tak jauh dari sana. Tampak emosinya menggebu-gebu untuk berlari dan menerjangku. Aku yang tak bisa kemana-mana hanya pasrah. Kupejamkan kedua mata, menyerah pada saat-saat terakhir diriku akan ditendang dengan keras. Mungkin sangat keras sampai tulang rusukku patah. Mungkin rasa sakit ini akan melebihi rasa sakit yang pernah kualami sebelumnya.

Pada menit-menit mendebarkan yang kunanti, terdengar suara jatuh disusul dengan teriakan sakit yang memilukan. Aku membuka mata dan terkejut mendapati sosok berjubah itu kini tersungkur di tanah dengan Laxio menimpa punggungnya.

Aku tak bohong ketika mengatakan jika bocah itu tampak sangat keren sekarang, seperti plot pada film superhero yang menyelamatkan tawanannya. Jika aku perempuan, aku pasti sudah sangat jatuh cinta.

"Laxio?"

"Kerja bagus Mike! Kita menangkapnya!"

Aku tersenyum, tanpa sadar gerakan kecil ototku memicu rasa nyeri yang sempat terlupakan. Bagian patahnya kembali menusukku dengan hebat. Aku mengerang, tak dapat menahan nyeri yang semakin menjadi-jadi.

"Mike!? Kau baik-baik saja?"

Laxio hendak mendekat, tanpa sengaja ia melonggarkan pijakan yang disadari oleh sang sandera. Melihat kesempatan, sosok itu langsung berguling membuat Laxio kehilangan keseimbangan.

Laxio limbung, namun tak langsung kalah. Ia menopang berat tubuh pada satu tangan, kemudian tangan lain membantunya untuk berpijak agar dapat melakukan manuver tendangan di udara. Laxio berhasil menendang kepala orang itu hingga jubahnya tersingkap. Sosok itu menahan sisi kepalanya yang berdenyut, kini kami tahu jika dia benar-benar seorang pria dewasa semasa ia menoleh dengan wajah garang.

Kupikir dia akan bersumpah serapah kemudian menerjang kami dengan tinju. Namun aku salah. Lelaki itu hanya diam, entah bagaimana ia justru tampak takut mengetahui siapa para pengejar-pengejarnya. Dua bocah usil yang kini terduduk di tanah, sama linglungnya dengan apa yang ia alami.

Tanpa sepatah kata sosok itu kembali membenarkan tudung kemudian berlari menjauh meninggalkan kami begitu saja. Membiarkan segala misteri mengambang di udara, seolah memang tak pernah terjadi apa-apa.

***

"Kau baik-baik saja?"

Aku melirik Laxio yang kini memapahku pulang ke rumah. Tak jauh beda, ia juga mengalami cidera di bagian telapak kaki karena berlari tanpa alas dengan begitu cepat menerobos berbagai macam hal di hutan. Walau ia bilang jika sudah terbiasa, Laxio tetap manusia. Mungkin ia masih bisa menahan untuk beberapa goresan namun tentu tidak semuanya. Kakinya terasa goyah tiap kali ia melangkah.

"Tentu."

"Maaf aku tidak bisa menangkapnya."

Laxio menggeleng kemudian tersenyum. "Tidak masalah, merasakan adrenalinku berpacu ketika mengejarnya sudah cukup menyenangkan."

Dia menganggap semua tadi hanya permainan? Dasar gila.

"Lagipula kita sudah melihat wajahnya. Dia salah satu warga sini." Laxio meneruskan.

"Kita tinggal menunggu ia pulang ke rumah dan menyergapnya kembali."

"Tepat sekali."

Sembari melangkah, aku memandangi kakiku yang kini terasa lebih baik. Laxio ternyata mengerti soal cidera yang kualami. Setelah kami ditinggalkan, ia langsung memegang kakiku dan meluruskannya. Semua berjalan begitu cepat sampai aku tidak terlalu ingat. Aku memejamkan mata ketika Laxio menahan sebelah tangannya pada pusat rasa sakit di kakiku kemudian menekan kuat-kuat. Terdengar bunyi krek dengan sensasi patah yang kualami kembali menjadi-jadi.

Aku berteriak, bocah ini mematahkan kakiku dua kali! Aku hampir memukuli kepalanya sebelum ia melepas pegangan dan seketika rasa nyeri itu mereda. Laxio kemudian mengambil sebuah kayu dan mengikatkan ke kakiku dengan tanaman rambat. Aku terpaku di tempat, mengagumi eksistensi lelaki ini sebagai manusia serba bisa di dunia.

"Dari mana kau belajar soal cidera tulang?"

"Dari Gwen."

"Siapa Gwen?"

"Dia induk semangku. Aku sering mengalami cidera ketika bermain di hutan dan dia yang merawatku. Aku belajar darinya."

Aku ber-ooh pelan, "jadi selama ini kau tinggal bersamanya?"

"Sejak umurku 4 tahun."

"Bagaimana rasanya tinggal bersama Gwen?"

"Menyenangkan. Gwen adalah wanita yang baik, ramah, dan lembut dengan masakan yang sangat enak. Aku menyayanginya dan kurasa dia juga menyayangiku."

"Dia jelas menyayangimu."

"Mungkin. Tapi kadang Gwen juga sangat cerewet. Memarahiku soal ini dan itu. Membuatku memakan sesuatu yang tidak kusuka. Memusingkan tentang hal-hal remeh yang sebenarnya tidak perlu."

"Dia jelas mirip dengan ibuku," tanggapku.

"Benarkah? Semua ibu begitu?"

"Kurasa begitu," aku memberi jeda. "Semakin sering kau dimarahi oleh seseorang, itu artinya dia sangat peduli padamu. Setidaknya itu yang dikatakan ibuku."

Laxio terkekeh, ia mengangguk setuju terhadap quote yang kuberikan.

Tak terasa hari mulai petang, begitu pula dengan kami yang telah sampai di pekarangan. Laxio melepaskan pegangannya kemudian berpamitan, namun sebelum ia pergi aku memintanya untuk menunggu. Ia berdiri sembari menatapku yang sedang merunduk melakukan sesuatu. Sebenarnya cukup sulit melakukan ini dengan cidera kaki yang kualami, setelah beberapa saat aku akhirnya berhasil. Kuambil kedua sepatuku kemudian menyerahkannya pada Laxio. Tak mengerti, ia masih diam di tempat sembari menatapku bingung.

"Kau meminjamkannya padaku?"

"Untuk yang ini, kau boleh menyimpannya."

"Apa? Kenapa?"

"Kau punya bakat untuk berlari. Aku ingin kau menggunakan sepatu ini untuk melindugi kakimu. Lagipula kau sudah banyak membantu, hanya ini yang bisa kulakukan."

Aku meraih tangannya kemudian menyerahkan sepatu itu. Laxio masih terdiam menatapku lekat. Tampak kedua matanya berkaca-kaca dengan penuh rasa bahagia. Aku yang kini canggung merasa aneh dibuatnya. Dia harus berhenti menatapku seperti itu atau kami akan mulai berkencan sekarang.

"Kau tidak suka dengan sepatunya ya? Tak apa, aku bisa meminta ayah untuk membeli-"

"-aku suka. Sangat suka!"

Kini giliran Laxio yang tersenyum. Ia tersenyum sangat lebar hingga kedua matanya menyipit, terhimpit tulang pipinya yang tinggi.

"Terima kasih Mike!"

"Terima kasih, Laxio."

"Kalau begitu, sampai jumpa besok?"

"Tentu. Sampai jumpa besok!"

Laxio memeluk sepatu itu seolah merupakan harta dari hidupnya. Ia berjalan, melompat-lompat, melupakan rasa sakit di telapak kakinya karena sekarang ia telah dipenuhi dengan perasaan gembira. Laxio melambaikan tangan kepadaku sebelum pergi, aku membalas lambaiannya. Aku menunggu hingga lelaki itu menghilang sebelum beranjak masuk ke rumah.

Marrie yang membukakan pintu ketika aku tiba. Tampak jelas tatapan ngeri ketika ia melihat kondisiku yang begitu berantakan bertelanjang kaki. Marrie memeluk boneka kelincinya kemudian melangkah mundur, tak mau terkontaminasi denganku yang berlumuran tanah.

"Kau dari mana saja Mike? Kenapa sangat kotor? Kemana sepatumu?"

"Dari luar. Habis jatuh. Kuberikan kepada temanku," aku hendak beranjak untuk naik, namun Marrie yang masih penasaran menghadang jalan.

"Kau punya teman? Siapa namanya?"

"Laxio."

"Kau selalu bermain dengan temanmu tapi tidak mau bermain denganku!"

"Aku tidak bermain dengannya, kami hanya-"

"Hanya apa!"

Aku salah bicara, Marrie menatapku sengit. Bibir mungilnya mengerucut menunjukkan tanda ketidaksukaan. Aku mencari-cari alasan, sesuatu yang dapat kuucap untuk menjawab rasa penasaran Marrie.

"Melakukan sesuatu yang hanya dilakukan oleh para laki-laki."

"Apa itu?"

"Memangnya kau laki-laki?"

"Bukan."

"Kalau begitu kau tidak boleh tahu."

Aku menjulurkan lidah kemudian beranjak meninggalkannya. Dengan kaki terpincang, langkahku masih lebih cepat dibandingkan dengan Marrie yang mengejar dari belakang. Marrie terus berteriak untuk memintaku berhenti tapi aku tidak mendengarkan.

Aku mempercepat langkah sampai di depan kamar, Marrie melempar boneka kelincinya tepat ketika daun pintu tertutup. Aku bersandar pada pintu yang terus ditendang-tendang oleh kaki mungil Marrie. Tak mendapat tanggapan, akhirnya gadis itu pergi dengan rengekan yang mengelu-elu.

Aku tertawa pelan. Rasanya menyenangkan dapat mengusili bocah itu sekali-kali. Namun tak lama lagi ibu pasti akan segera naik dan memintaku bertanggung jawab telah membuat Marrie menangis. Yah, bisa dipikirkan nanti.

Aku mendekati ranjang di dekat jendela. Kurebahkan punggungku yang terasa nyeri setelah jatuh berguling di hutan. Rasanya begitu lega dapat beristirahat. Besok kami akan pergi untuk menangkap lelaki itu dan kali ini tidak boleh gagal.

Tiba-tiba kembali terlintas wajah Laxio yang tampak girang setelah mendapat sepatuku. Aku tersenyum kecil, mungkin seharusnya memang kuberi dia sepatu yang baru. Mana tau suatu saat nanti dia benar-benar dapat menjadi atlet lari nasional, aku akan mendapat banyak keuntungan sebagai penyumbang sepatu pertama yang ia gunakan.

Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Itu pasti ibu dan Marrie, mereka datang lebih cepat dari yang kuduga. Aku mengabaikannya dengan memejamkan mata, lagipula jika itu memang mereka maka tak lama lagi mereka akan membuka pintunya sendiri.

Tak ada respon, ketukan berikutnya terdengar lebih keras seolah memaksaku untuk bertindak. Aku yang mencoba memejamkan mata mulai terganggu. Mengesalkan, Marrie memang tak pernah membuat sesuatu terasa jauh lebih mudah untukku.

Dengan satu hentakan, aku berdiri dari ranjang menatap kearah suara ketukan pintu berasal.

Tampak sosok lelaki kerdil tengah berdiri tepat di hadapanku. Topinya yang mengrucut tinggi menyita perhatianku. Tangannya mengetuk-ketuk daun pintu dari dalam kamar. Aku yakin tak ada siapapun ketika masuk kemari dan kini lelaki itu sudah di sini, menyelinap dengan cara yang paling menakutkan. Ia tersenyum dengan gigi-giginya yang runcing dan menghitam seolah sangat puas dengan ekspresi ketakutan yang kutunjukkan.

"Halo Michael, atau boleh kupanggil Mike saja?"

Aku tak bernyali untuk menjawab. Tanpa sadar tubuhku memberikan reaksi defensif yang begitu kentaran. Lelaki itu berjalan mendekat, bebarengan denganku yang melangkah mundur.

"Kenapa? Kau takut denganku?"

"Mau apa kemari?"

"Mengunjungimu, berkenalan denganmu," lelaki itu kembali tersenyum, namun senyumnya begitu buruk hingga membuatku bergidik ngeri. "Aku tidak punya nama jadi kau bebas memanggilku apa saja, aku akan menerimanya."

"Bagaimana caramu masuk kemari?"

"Masuk kemari itu soal mudah, namun cukup rumit jika aku harus menjelaskan prosesnya."

"Mahluk apa sebenarnya kau ini?"

"Menurutmu, mahluk apa aku ini?"

Tiba-tiba kedua tangannya terangkat ke udara, diikuti oleh beberapa barang di kamarku ikut bergetar. Aku semakin ketakutan. Lelaki itu menggerakkan jari telunjuk ke berbagai sisi, barang-barangku beterbangan mengikuti arah gerakannya. Ia memindahkan meja dan kursi ke tengah ruangan dengan begitu mudah, membuat sebuah tempat santai untuk kami dapat mengobrol berdua.

Sekujur tubuhku menggigil, otakku beku tak dapat memikirkan jenis mahluk apa dia. Pastinya dia adalah entitas yang sangat berbahaya, melihat dari hal-hal yang bisa ia lakukan. Seolah memperlihatkan dia benar-benar dapat menghancurkanku jika berani macam-macam.

Lelaki itu beranjak untuk duduk di satu kursi kemudian mempersilakanku untuk duduk di seberangnya. Aku menolak, kurasa tetap menjaga jarak adalah hal bijak untuk dilakukan. Satu-satunya yang membatasi kami hanyalah keberadaan sebuah meja kecil yang sebelumnya kugunakan untuk meletakkan foto masa kecil Marrie. Lelaki itu menyentuhnya dengan jari-jari yang begitu panjang dan runcing, seolah terdapat jarum-jarum besar yang menempel di ujungnya.

"Ini adikmu? Siapa namanya?"

"Marriebelle."

"Marriebelle jelas akan menjadi gadis yang cantik dan baik hati ketika besar nanti."

Aku diam saja. Ia kembali menatapku sembari meletakkan kakinya di atas meja.

"Kau benar-benar tidak mau duduk? Kita akan mengobrol cukup lama lho."

"Kenapa kau melakukan semua ini? Aku tidak memiliki salah padamu."

"Kenapa kau berkata seolah aku adalah orang jahat di sini?"

"Karena kau memang berniat untuk melakukan sesuatu yang buruk."

"Siapa yang memberitahumu? Si kepala salju itu?"

Aku kembali diam. Dilihat dari gelagatnya tampak si lelaki kerdil sudah mengetahui tentang Laxio. Ia menggoyang-goyangkan kakinya yang masih bertengger diatas meja, terbalut sepatu berujung runcing, seperti terbuat dari balok kayu yang dipoles dengan halus. Unik, tapi kau pasti akan melukai kakimu jika mengenakan sepasang sepatu seperti itu.

"Kau benar-benar naif Michael, seharian terus bersama dengan bocah itu tapi sama sekali tidak mengetahui intensi dari niat busuknya."

"Kau ini bicara apa?"

"Kau pikir Laxio itu polos seperti kelihatannya? Jika kau tanya aku, maka orang jahat yang sebenarnya adalah dia."

"Aku tidak mau dengar kau menjelek-jelekkan Laxio di sini."

"Kenapa? Karena kau temannya? Atau karena kau tidak mau tau kebenarannya?"

"Kubilang jangan membicarakan Laxio di sini!"

Amarahku tersulut. Emosi yang terbakar dalam dada seketika melelehkan rasa gugup yang membekukan tubuhku. Aku tau dia hanya membual, menantangnya adalah hal yang berbahaya. Namun telingaku tak sanggup terus mendengar ocehannya tentang Laxio. Kini aku terlanjur terjun, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menghadapi konsekuensi.

Namun bukannya marah, lelaki itu justru menatapku dengan decak kagum. Ia bertepuk tangan kecil mengapresiasi keberanianku, walau mungkin setelah ini tubuhku akan hancur pada satu jentikan jarinya.

"Baik, kita tak akan membicarakannya."

Ia menyandarkan punggung sembari melipat tangan. Ajaibnya tubuh itu tak terjungkal ke belakang, ia dapat mempertahankan posisi walaupun hanya bersandar pada ruang hampa.

"Langsung saja, apa maumu?" aku mendesak.

"Kau pasti merasa jika semua masalah tiba-tiba datang sejak kau berada di Lumia. Itu benar. Kau memiliki aura yang mengikat banyak mahluk jahil untuk datang kemari."

"Mahluk jahil?"

"Mahluk yang berasal dari hutan terlarang. Mereka memiliki banyak bentuk dan rupa. Kebanyakan tidak berakal dan hanya ingin memangsa siapapun yang ada di dekatnya. Tidak sepertiku, aku lebih memiliki tujuan."

Aku sama sekali tidak mengerti dengan penjelasannya. "Jadi kau adalah salah satu dari mereka?"

"Merupakan sebuah penghinaan jika kau menyamaratakan aku dengan kasta rendah seperti mereka."

Sial, aku salah bicara. Semoga dia tidak terbesit untuk meledakkan kepalaku sekarang. Namun tampaknya lelaki itu masih santai di tempat.

"Lantas, para mahluk jahil itu. Mereka mengincarku?"

"Untuk saat ini belum, karena ada aku yang melindungimu. Mereka bergerak di malam hari jadi pastikan saja kau tidak keluar rumah saat itu."

"Kenapa kau melindungiku?"

"Karena aku ingin menolongmu Michael Orion, membebaskanmu dari segala anomali ini."

Segala ucapannya adalah dusta. Dia tidak akan memberikan bantuan dengan cuma-cuma. Aku terus meneriakkan kalimat itu di dalam kepala untuk tetap membuatku waras mendengarkannya.

"Semua permasalahanmu adalah pangkal dari keterhubungan antara kau dan desa ini. Jadi, masalahmu akan selesai jika kau bisa kembali ke kota. Aku bisa membantu soal itu, memberikan uang, memberikan apapun yang kau butuhkan."

"Lalu kau meminta apa dariku?"

Lelaki itu kembali tersenyum, kini senyumnya lebih lebar dengan percikan semangat karena ia tampak lebih tertarik dengan topik percakapan ini. Ia menurunkan kedua kakinya, beralih untuk duduk tegap, menunjukkan sikap yang lebih diplomatis.

"Aku hanya meminta satu hal yang sangat kecil, bahkan terlalu kecil sampai kau tidak akan merasa kehilangan."

Aku diam, membiarkannya melanjutkan kalimat.

"Aku ingin kau menyebutkan nama dari pengarang buku yang sedang kau simpan. Sebutkan namanya dengan lantang dan semua masalahmu akan hilang."

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top