Niskala 5 : Para Orang Sakit

Aku menghembuskan napas, entah sudah berapa jam sejak interogasi kulakukan namun tak ada hasil memuaskan. Empat target yang kurasa sangat pas dengan kriteria sahabat Kakek Albert ternyata melenceng jauh, mereka sama sekali tidak mengenalnya.

Menurut kabar terakhir, kakekku hidup di desa sampai beberapa tahun lalu sebelum ia meninggal. Lantas bagaimana bisa para orang tua itu tidak mengenali namanya? Atau setidaknya pernah melihat laki-laki tua yang tinggal di rumah ujung jalan? Tapi entah kenapa mereka semua kompak menjawab tidak tahu dan tidak pernah mendengar nama Albert Orion di sekitar sini.

Aku ingin terus mendesak untuk menggali informasi lebih jauh, namun dilihat dari bagaimana mereka menatapku tampaknya mustahil.

Mereka semua menunjukkan gelagat serupa. Gestur tubuhnya sedikit mundur dengan meminimalisir kontak mata diantara kami. Mereka semua juga tidak menjawab dengan suara lantang hingga aku perlu mendekat untuk mendengarnya berbicara. Mereka begitu was was, pandangannya tak fokus. Baru kusadari gejala-gejala itu ketika selesai menanyai orang keempat, ia bahkan tidak mau menjabat tanganku dan langsung melenggang masuk ke rumah.

Aku hampir merasa tersinggung jika tak menyadari bahwa mereka semua memberikan reaksi yang sama.

Mereka takut.

Pertanyaan berikutnya adalah : apa yang mereka takuti?

Aku menatap laki-laki yang kini tengah berbaring di sebuah dahan pohon besar. Sebelah kakinya berayun-ayun bagaikan metronom menyesuaikan tempo dari musik yang ia dengar. Surai putihnya mengambang diterpa angin. Laxio tampak khusyuk mendengar lantunan mozart yang kuputar dari playlist ponselku. Bahkan kurasa ia tidak mengetahui bagaimana kegagalan total yang kualami dengan orang-orang ini.

"Hei Laxio."

"Hmm?"

"Menurutmu, bagaimana diriku ini?"

"Bagus."

"Kenapa orang-orang takut kepadaku?"

"Entah."

"Kenapa mereka begitu?"

"Entahlah."

Aku menatap Laxio yang sejak tadi tidak menggubris pertanyaanku dengan serius. Ia masih bertengger santai menikmati irama di telinganya.

"Kau tidak mendengarku, ya kan?"

"Yap."

"Jadi kau setuju jika aku berencana untuk menculik para gadis dan membakar seluruh rumah di desa?"

Laxio mengangkat jempolnya.

Aku mengambil ponsel, menekan tombol volume, memaksimalkan suara hingga Laxio terkejut hampir terjungkal dari posisinya. Ia membuka kedua earphone sembari menatapku garang. Sebelah alisnya berkedut. Aku mengendikkan bahu.

"Apa yang kau inginkan, Mike?"

"Rencanaku gagal total dengan empat orang yang kusebutkan. Mereka tidak mau berinteraksi denganku dan entah bagaimana mereka tampak begitu takut. Apa yang salah?"

"Tidak ada yang salah, mereka memang begitu dengan orang asing."

"Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Coba saja dengan yang lain." Laxio kembali merebahkan punggung ke dahan pohon. "Mungkin kau akan lebih beruntung."

"Orang yang tersisa hanyalah pak tua dengan kursi roda di ujung desa."

Laxio melirik skeptis. "Kenapa harus dia?"

"Karena hanya dia yang tersisa, yang mungkin seumuran dengan kakekku di desa ini."

"Sebenarnya untuk apa kau mencari tahu soal orang-orang ini? Kupikir kau hanya ingin mengenalkan diri?"

"Itu tidak penting, yang lebih penting bisakah kau turun dari sana dan membantuku membujuk mereka bicara?"

Laxio menggeleng pelan. "Percuma saja, banyak orang yang tidak menyukaiku dan para orang tua adalah salah satunya."

Aku menggeram frustasi. Kutinggalkan Laxio menggantung di pohon kemudian bergegas menuju lokasi rumah yang terakhir. Orang ini harus menjadi jawabannya, dia harus jadi sahabat kakek, atau jika tidak, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Hari kian terik kurasakan sinar mentari menyengat kulitku. Letak rumah terakhir begitu jauh dan sebaiknya ini setimpal dengan pengorbananku. Aku mengambil jalur termudah walau akan terasa tidak menyenangkan melaluinya, jalur utama desa.

Kurasakan sensasi canggung yang aneh dari tatapan warga desa. Beberapa memilih untuk berhenti sejenak dari kesibukan, beberapa melangkah mundur memberi jalan, beberapa lain mulai berkumpul dan berbisik. Mereka tampak curiga, seperti yang kuduga. Lagipula aku tidak berharap apapun dari orang-orang ini. Paling tidak mereka tak berniat untuk menghentikanku. Maka aku melangkah, dengan rasa takut yang kututupi, melaluinya.

Setelah cukup lama, Laxio baru sadar sambungan earphone-nya terputus akibat terlalu jauh dari ponselku. Ia segera bangkit dan berlari menyusul. Hanya dalam hitungan detik, ia telah menyamai langkahku yang sudah puluhan meter berada di depannya. Jujur saja aku terkejut.

Aku mulai curiga terdapat DNA babi hutan yang tercampur di tubuh Laxio, menyebabkan ia dapat bergerak begitu lincah, cepat dan liar. Dan selayaknya babi hutan, mereka sulit dijinakkan. Persis seperti bocah ini.

"Tenang dulu Mike! Kau benar-benar mau menemui dia?"

"Jika kau tidak mau membantu, kembali ke pohon itu dan tidur."

"Bukan itu masalahnya, kau tidak mengerti."

"Kau diam dan lihat saja," ucapku ketus.

Tiba-tiba kurasa sepasang tangan menahan bahuku. Buku-buku jarinya mencengkeram erat, seperti kaki burung elang. Dengan sebuah manuver sederhana ia memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya. Aku terdiam, antara takut dan kaget. Jika ia menambah sedikit lagi tekanan, maka bahuku pasti berubah jadi agar-agar.

"Dengar, aku minta maaf soal tadi tapi kali ini kau harus mendengarkanku."

Ia menatapku lurus dengan kedua iris hijaunya yang berkilauan. Aku masih diam.

"Orang tua di ujung jalan itu, jangan mendekatinya."

"Kenapa?"

Kini ganti Laxio yang terdiam, ia menunjukkan gestur agar aku mengikutinya.

Tak ada pilihan maka aku menurutinya keluar dari jalan utama. Laxio menyusuri sebuah jalur setapak kecil, hampir-hampir hilang dengan banyaknya rumput dan ilalang, cukup panjang hingga menjauhi desa. Jalanan ini persis melewati belakang rumah warga, tak akan nampak dari jalan utama, juga dari jendela lantai dua rumah kakek. Sejauh mata memandang tidak ada orang lain yang melalui jalur ini, mungkin ini jalur temuan Laxio sendiri.

Seperti sebuah jalan pintas, hanya dalam beberapa menit saja rumah yang begitu jauh sebelumnya kini tampak di depan mata.

Laxio menempelkan telunjuk ke depan bibir, isyarat untuk tidak berisik. Aku mengangguk. Kami berdua merunduk, mengendap-endap mendekati sebuah pondok tua yang dihuni oleh target terakhirku.

Pak tua yang sering kuamati, ia memang sedikit aneh karena kegiatan sehari-harinya hanya duduk di kursi roda sembari melihat orang-orang dari teras rumah. Aku hampir-hampir merasa jika dia tidak bergerak. Dia begitu betah untuk bertahan dalam satu posisi, pagi sampai petang, duduk diam di kursi rodanya. Kemudian pada pukul 5 sore ia akan dibawa masuk oleh seseorang, kurasa itu tetangganya karena beberapa saat kemudian orang itu keluar sembari menutup pintu.

Karena sebelumnya jarak kami begitu jauh, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Dan kini, Laxio mengantarku untuk memperhatikan orang itu lebih dekat. Ia menunjukkan sebuah fakta mengejutkan yang hampir membuatku muntah di tempat.

Orang tua itu duduk di kursi roda dengan mulut menganga, giginya menghitam dan keropos. Kulit kepalanya mengelupas di beberapa sisi hingga menyebabkan kebotakan yang sangat buruk. Kepalanya hanya berupa tulang tengkorak berlapis kulit tipis yang gosong. Rongga matanya cekung namun justru membuat bola matanya yang terbuka seakan hampir melompat keluar. Ia tidak berkedip bahkan ketika ada lalat yang hinggap. Aku benar jika orang itu tidak bergerak, ia tidak bereaksi bahkan dengan kumpulan serangga yang mengelilinginya.

Hal yang paling mengejutkanku adalah kulit orang itu. Kupikir selama ini ia adalah pria dengan kulit cokelat terbakar sinar matahari seperti kebanyakan orang lainnya, namun ternyata aku salah besar. Itu bukan kulit, itu adalah luka bernanah dengan ratusan lalat menyelubungi hingga menjadi gelap. Luka sobek menyebar di setiap bagian tubuhnya, begitu banyak dan lebar, hampir-hampir menunjukkan bagian tulang dalam ke luar.

Tak dapat kutahan diriku untuk muntah di tempat. Tenggorokanku perih merasakan hangatnya sarapan pagi tadi kini keluar melalui jalur yang salah. Mata dan hidungku berair, aku seperti hampir tersedak dan tak bisa bernapas. Jariku gemetaran, aku jatuh terduduk diatas tanah basah.

Laxio tak berkata apa-apa, ia menuntunku untuk menjauh dari sana.

Walaupun kami berusaha untuk tidak membuat gaduh, tampaknya usaha itu gagal. Dari balik punggung, kulihat ekspresi kosong itu kini menoleh tajam. Menatap kearah kami. Menatap kearahku. Seperti tengah menghapal lekuk wajah sang penyusup yang dengan sembrono masuk ke wilayahnya.

****

Ekspedisi hari ini berakhir dengan Laxio memapahku sampai ke sungai kecil di pinggir desa. Alirannya begitu deras namun tidak dalam, aku dapat melihat penampakan batu-batu di bawah lapisan air, begitu indah dengan pantulan sinar senja pada ombak-ombak kecil bergemericik. Seperti potret lukisan naturalis yang terpajang di dinding museum kota.

Kami berdua merosot bersamaan. Laxio terlentang di atas rerumputan hijau, sedangkan aku segera mengambil air sungai untuk membasuh wajah dan berkumur. Jujur ini adalah air terbaik yang pernah kurasakan seumur hidup. Begitu jernih dan segar. Aku menangkupkan tangan sekali lagi, menyekop air, kemudian meminumnya. Tenggorokanku yang kering terasa lembab dan jauh lebih baik.

Suaraku telah kembali setelah shock ringan membuatku bisu, kini aku siap menghujani Laxio dengan pertanyaan yang sedaritadi mencokol di dalam kepala.

"Apa itu tadi?"

Laxio, masih pada posisi terlentang mencoba mengatur napas.

"Namanya Tuan Ringo. Dia mengalami sakit yang aneh, menyebabkannya lumpuh dengan banyak luka seperti itu."

"Bagaimana bisa terjadi?"

"Tidak ada yang tahu. Lagipula dia sudah seperti itu sejak lama sekali."

"Siapa yang mengurusnya dengan kondisi seperti itu?"

"Tidak ada rumah sakit atau layanan kesehatan di sekitar sini jadi semua orang secara bergantian merawatnya. Setiap warga adalah saudara dari warga yang lain. Kami harus saling menjaga."

Aku berhenti sejenak. Entah berapa kali kucelupkan kepalaku ke dalam air, tetap saja rasa panasnya tak hilang.

Aku mundur kemudian ikut merebahkan diri di samping Laxio, menatap langit jingga keunguan dengan beberapa bintang yang mulai muncul. Untuk beberapa saat hanya suara gemericik air sungai yang menemani kami, bagaimana tiap tetes darinya melompati batu-batu, ditambah dengan harmoni musik menenangkan yang dibawakan oleh para jangkrik, burung, juga serangga lain pinggir hutan. Berbaring di sini terasa seperti tidur di sebuah negeri dongeng, di sebuah hutan yang rindang, damai dan menyenangkan.

"Bagaimana desa ini dapat menjadi tempat yang luar biasa indah tapi juga mengerikan di waktu bersamaan?"

Laxio melirik, kemudian ikut menatap langit.

"Semakin sedikit yang kau tau, semakin baik."

"Tapi aku ingin tau."

"Berbahaya."

"Apanya yang berbahaya?"

"Rasa ingin tahumu itu, itu berbahaya."

"Iya kurasa kau benar."

Hening. Atmosfer canggung kembali terisi oleh suara bulat bersahutan, berasal dari para katak yang berjongkok di tepi sungai. Menyambut datangnya malam.

Percobaan pertama dan tidak kusangka akan separah ini. Semua rencanaku gagal, mulai dari pengamatan, bertanya soal kakek, menemukan sahabatnya, petunjukku buntu tak menghasilkan apa-apa. Mungkin sebaiknya aku perlu mengabaikan segala anomali yang terjadi hingga kami kembali ke kota. Walau jujur saja, sampai saat ini perasaanku masih resah memikirkan keberadaan lelaki kerdil. Dia memicu petaka dan entah kenapa ia mengincarku, mengincar keluargaku.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Pada akhirnya aku hanya seorang bocah amatir yang tak berdaya.

"Sekarang bolehkah kutahu kenapa kau hanya ingin bicara dengan para orang tua di desa?"

Laxio mengakhiri keheningan kami dengan angkat bicara, walau sebenarnya aku lebih suka terjebak dengan kesunyian tadi daripada terjebak dengan pertanyaannya. Aku beringsut duduk, menatap Laxio yang menyilangkan tangan sebagai bantalan kepala.

"Laxio, jika aku memilihmu untuk menjadi orang yang kupercaya, akankah kau melakukan hal yang sebaliknya?"

Laki-laki itu terdiam sesaat, ia tampak memikirkan kata-kataku sebelum kemudian mengendikkan bahu seolah menutupinya dengan sikap tidak peduli.

"Kakekku bernama Albert Orion. Aku sedang mencoba mencari sahabatnya. Dia mungkin mengetahui sesuatu yang dapat membantu dengan masalahku. Kakek berusia cukup tua jadi aku mengelompokkan orang-orang yang seumuran dengannya. Tapi tak ada satupun yang mengenal dia, kesempatan terakhirku ada pada lelaki berkusi roda tapi kau tau sendiri."

Kuhentikan kalimat itu sebelum bayangan si lelaki tua kembali muncul. Aku takut muntah lagi.

Pandangan Laxio menerawang. "Bahkan jika kau tanya aku, aku sama sekali tak pernah mendengar nama kakekmu di Desa Lumia. Aneh kan?"

"Jika dia tidak pernah ada di sini, lantas rumah siapa yang kuhuni?"

"Siapa yang tahu? Rumah itu selalu kosong sampai keluargamu datang."

Entah kenapa rasa merinding menjalari kaki dan tanganku ketika mendengar hal itu. Aku menggosoknya pelan untuk menjaga ketenangan.

"Lantas bagaimana kau bisa mendapat ide untuk mencari sahabat kakekmu di sini?"

"Aku menemukan buku catatannya."

"Di sana tidak tertulis nama atau ciri-ciri lain dari sahabatnya?"

"Tidak, hanya ada selembar catatan."

"Sayang sekali."

Membicarakan soal itu, kukeluarkan Niskala yang sedaritadi tersimpan di balik kemeja. Buku ini tidak terlalu besar, jadi mudah membawanya kemana saja. Laxio yang sedaritadi menyandar, kini bangkit, tampaknya ia tertarik dengan buku itu. Atau lebih tepatnya ia selalu tertarik dengan semua benda yang kumiliki. Aku membiarkannya melihat sembari membalik satu per satu halaman dengan teliti.

"Kupikir ini akan menjadi sebuah petunjuk yang dapat membantu kesulitanku namun harapan itu pupus ketika hanya ada satu catatan yang—"

Jemariku berhenti membalik. Aku bersumpah kepada siapapun yang bisa mendengar sumpah ini, terakhir kali kuperiksa Niskala adalah pagi tadi dan sampai saat itu tak ada yang berubah selain satu catatan pertama Kakek Albert. Namun kini, secara ajaib atau mungkin aneh, catatan itu berubah. Tidak, lebih tepatnya bertambah.

Ada sebuah catatan lain dengan tanggal berbeda yang tertera di balik halaman pertama. Aku meneguk ludah, terkejut sampai gemetaran. Laxio tak tampak mengerti dengan apa yang terjadi kemudian menggoyangkan bahuku agar aku kembali sadar.

"Kau baik?"

"Tidak, aku gila."

"Syukurlah, kukira kau kenapa."

"Astaga! Aku bersumpah hanya ada satu catatan terakhir pagi ini dan entah bagaimana kini catatannya bertambah!"

Aku mencengkeram bahunya dengan penuh tenaga, menatapnya seperti seorang maniak gila yang berhasil menemukan obat paling mujarab di dunia. Aku benar jika Niskala istimewa. Aku benar dengan mempercayai instingku untuk menyelidiki hal ini. Laxio tak mengerti namun ia ikut merayakan kesenanganku dengan tersenyum dan mencoba membawa topik ini ke percakapan.

"Yeah! Jadi apa yang kita temukan?" Ia bersorak ragu.

"Catatan ini bertambah, lihat!"

Aku menghadapkan buku itu di depan wajahnya, sedangkan bocah itu menahan dengan satu tangan.

"Aku tidak bisa membaca." Laxio mengaku.

Aku bahkan tak ambil pusing dan langsung membacakan catatan itu kepadanya. Kami memperpendek jarak agar Laxio dapat memperhatikan dengan lebih seksama.

[ 27 Agustus 1965 ]

Aku memutuskan untuk tidak egois dan mulai bersosialisasi. Aku membantu seorang tukang kayu yang terkenal sinting. Dia bercerita soal Sang Pembisik, mahluk yang mengetahui segala rahasia di dunia. Pada awalnya aku hanya menganggap itu bualan orang tidak waras, hingga aku sendiri menemukan jejaknya.

[ -Albert- ]

"Hah?"

Itu adalah tanggapan Laxio pertama kali setelah mendengar apa yang kukatakan. Dan sejujurnya, aku juga memiliki reaksi yang sama.

"Catatan lain, kau kenal tukang kayu di sekitar sini?"

"Ada beberapa, tapi tidak ada yang sinting."

"Bagaimana dengan Sang Pembisik?"

"Kau pasti sudah gila jika berpikir semua tulisan itu nyata?"

"Dan kau sendiri?"

Aku balas menatap Laxio yang tampak kehabisan kata-kata. Mulutnya terbuka tanpa suara, bingung, namun sekaligus tersirat sepercik rasa penasaran di wajahnya ketika melihat apa yang kutemukan. Ia mengusap surai putihnya kebelakang, menatap sekeliling sebelum kembali kepadaku.

"Entahlah Mike, firasatku tidak enak."

"Ada sebuah entitas di sini, entitas yang buruk. Ia mengincarku dan sebelum dia menjadikanku sasaran aku perlu memburunya duluan."

"Apa maksudmu?"

Nada suara Laxio mulai berubah. Aku merasakan kecemasan merambat di wajahnya seolah ia sudah tau apa yang kumaksud bahkan hanya dengan deskripsi sederhana. Karena dia sudah tau, kupikir tidak ada salahnya jika aku bercerita. Lagipula aku perlu partner dalam ekspedisi ini, aku perlu rekan yang kuandalkan, dan kupikir Laxio, dengan tingkah tengil dan kadang menyebalkan, cukup terampil dan dapat dipercaya dibanding siapapun yang ada di desa.

Aku menghirup napas sebelum meneruskan.

"Seorang lelaki kerdil dengan topi—"

Aku bungkam ketika Laxio menutup mulutku tiba-tiba. Gesturnya menandakan kepanikan, jemarinya terasa berdenyut ketika menyentuh wajahku. Aku menaikkan alis, menanyakan apa maksud kegilaan yang dia lakukan padaku. Laxio menangkap sinyal itu dan berbisik.

"Jangan sebut dia, terutama di luar sini."

Alisku tertaut tidak mengerti.

"Hari mulai petang, kita harus pulang. Apapun yang akan kau katakan, simpan sampai besok. Dan ingat! Jangan keluar rumah di malam hari apapun alasannya, kau mengerti?"

****

Gelap, bayangan dari kemolekan matahari senja kala itu menutupi sebagian besar ruangan. Menyisakan hanya segaris cahaya, membias tepat pada kaca jendela dari sorot sinar terakhir sebelum petang. Dan dalam gelapnya bayang-bayang, terdapat setapak langkah kaki berjalan dengan tenang, menyusuri barisan buku-buku yang akan melengkapi kepingan teka-tekinya. Atau setidaknya hampir, jika saja dia menemukan kepingan terakhir.

Satu persatu judul ia baca dengan seksama. Ia memiliki sepasang mata yang begitu bagus sampai tidak membutuhkan cahaya untuk menyimak tulisan di sana. Begitu sabar dan teliti, ia meniti, mencari, hingga pada barisan terakhir ia sadar jika tidak ada buku yang benar.

Buku yang dicari tidak di sini.

Ia melangkah menuju sebuah ranjang di ujung ruangan. Ranjang berukuran sedang dengan sebuah bantal dan selimut yang tidak dirapikan. Dengan satu sapuan jari, selimut itu tersibak namun tidak menampakkan apa yang ia cari. Jemarinya menjentik, lalu seluruh perabotan di ruangan terbang bagai awan. Ia memeriksa setiap sudut dan tetap tak menemukannya. Jemarinya dijentikkan lagi dan semua kembali seperti semula.

Di sela-sela pencarian, ia mendengar suara geraman tepat di belakang lehernya. Sebuah entitas dengan kepala yang hanya berupa mulut besar bertaring tampak ganas hendak memangsa. Ia menggeram, kemudian menghilang dan tiba-tiba muncul untuk menggigit leher sang target.

Tepat sedetik sebelum giginya menancap, langkahnya terhenti lantaran sebuah tangan mencengkram wajahnya, atau mulut karena di kepalanya hanya ada sebuah mulut besar. Mahluk itu terdiam kaku merasakan aura membunuh yang begitu menakutkan, bukan dari dirinya melainkan dari entitas kerdil di hadapannya. Ia telah salah memilih target. Kini ia bahkan tidak punya waktu untuk menyesal karena pada detik berikutnya kepalanya telah hancur hanya dalam satu genggaman tangan.

Terciprat cairan hitam kental dari kepalanya yang meledak. Hampir semua sisi kamar itu kini terlapisi oleh lendir dari sang mahluk yang terbunuh dengan hina. Namun tidak ada setetespun yang menetap pada pakaian sang pelaku. Ia berencana untuk mengawasi bocah itu diam-diam namun dengan semua cairan hitam kini jejaknya akan membekas.

Ia hendak melangkah pergi sebelum matanya menangkap sepasang sosok dari balik jendela. Dua orang bocah tengah berjalan menuju pekarangan rumah dengan salah satunya menenteng sebuah buku yang ia cari. Ketika ia memperhatikan lebih seksama, satu diantara mereka membuatnya tersenyum.

Waktunya masih belum tiba. Namun ia rasa ia perlu melakukan rombakan kecil pada rencananya. Maka si lelaki kerdil pun berbalik, mundur dan menghilang di balik gelapnya bayang-bayang.

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top