03. Laki-Laki Tak Bermuka
Laki-laki tak bermuka. Tak pernah sekali pun orang melihat pemuda itu mempunyai wajah, mulut, mata, hidung ataupun giginya. Jaka namanya, pemuda berumur dua puluh satu tahun itu hidup tak bermuka.
Dia berjualan jeruk di pasar buah, tetapi sepi tak ada pembeli. Padahal pasar itu ramai tiap-tiap harinya.
Berbeda dengan seorang penjual jeruk yang berada tepat di seberang tempatnya berjualan. Setiap hari perempuan itu selalu ramai pembeli, tak pernah menganggur menunggu uang.
Walau tahu seperti itu, tak pernah sekali pun Jaka merasa iri, apalagi benci. Dia malah merasa bersyukur.
Dibanding kekurangan yang seringkali melandanya, baginya apa yang dia lihat tiap hari lebih patut disyukuri daripada menyesalkan kemiskinan. Wanita di seberang itu, sudah lama Jaka mengaguminya. Gemuruh pasar tak terdengar, kadang ada pembeli yang tak jadi membeli karena Jaka yang hilang dalam lamunan. Dipekakkan oleh bisikan-bisikan kekagumannya terhadap wanita seberang.
Hidungnya mancung, kulitnya mulus, wajahnya bulat, cocok sekali dengan rambut mulusnya yang dikuncir kuda. Wajar saja jualannya ramai pembeli. Jaka percaya, kalau saja jualannya hari ini dirampok, satu senyuman dari wanita itu dapat menyembuhkan sakit hatinya seketika.
Hari, minggu, bulan demi bulan tak terasa. Jaka berpikir kalau perasaannya yang selama ini terpendam haruslah diungkapkan. Dia malu-malu menulis surat, tetapi saat terkadang terbayang olehnya kemungkinan wanita itu akan menerima cintanya, Jaka seketika menulis surat sambil tersenyum seolah cintanya itu sudah diterima bahkan tanpa perlu mengirim surat.
Surat itu dikirimkan, Jaka beralibi menitipkan amplop untuk membayar iuran pasar, Jaka bilang ingin pulang lebih pagi dari biasanya—sebelum penagih iuran datang.
Sehari berlalu, surat itu berbalas. Jaka tak menyangka suratnya dibalas secepat itu, pastilah ia diterima, pastilah wanita itu mau cepat-cepat menikah dengannya, pikir Jaka. Maka bagai anak kecil membuka kado, Jaka merobek amplop yang diberikan oleh wanita itu dengan cepat. Terdapat selembar kertas di dalamnya.
Aku tidak mau, kau tidak bermuka.
Jaka langsung menutup tokonya, menangis dari pagi sampai malam. Sampai-sampai para tetangga resah, mengira itu adalah tangisan setan.
***
Beberapa minggu Jaka menangis, berhenti berjualan, persediaan makanannya habis. Dia lapar. Sakit hatinya itu tidak terasa apa-apa dibandingkan dengan perut yang melilit. Maka dia kuatkan dirinya untuk mencari makan, kembali fokus berjualan.
Dia kembali berjualan jeruk, masih di tempat yang sama. Kali ini pikirannya tak lagi hilang karena wanita seberang, sekali Jaka terpikir tentang wanita itu, dia langsung mencari sesuatu untuk dikerjakan. Entah itu menyusun jeruk, menghias, apa pun itu asal pikirannya teralih.
Sebab pekerjaan yang tak henti-henti demi mengalihkan pikiran itu, tempatnya berjualan kini sungguh menarik. Jeruk-jeruknya disusun rapi sekali bagai tentara yang sedang berbaris, ditambah ukiran-ukiran di kayu yang menambah nilai seni di tokonya. Kayunya mengkilap karena selalu dibersihkan.
Karena itu, dagangannya laris manis. Dia mendadak kaya. Semakin ramai pembeli, semakin sibuk Jaka. Semakin sibuk Jaka, semakin tidak terpikir wanita di seberang itu.
Kini Jaka dikenal sebagai pengusaha paling bersih dan unik di seluruh pasar. Belum sampai sore, dagangannya sudah habis. Jaka pun pulang dengan tenang, menikmati hidupnya yang sekarang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tak lama, Jaka menerima sebuah amplop yang diberikan langsung oleh wanita seberang. Dengan gemetar Jaka membuka amplop itu, tak siap akan kata-kata menyakitkan yang akan dibacanya.
Betapa terkejutnya Jaka, amplop itu berisi surat pernyataan cinta. Wanita seberang itu menyukai dirinya, wanita itu mengaku mengagumi dirinya.
Tak perlu pikir panjang, Jaka langsung mengambil pena, langsung menulis di kertas yang sama.
Aku tidak mau, kau tidak bermuka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top