02. Peternak yang Kasmaran

Peternak itu bak pejuang, apalagi kalau sedang kasmaran.

Hiduplah seorang pemuda di sebuah pedesaan sepi penghuni. Hidup sendiri, pagi dia memberi makan, siang dia mengisi perut. Sore dihabiskannya untuk membersihkan diri.

Tak pernah sekali pun Toni mengeluh. Baginya, hidupnya sudah sangat cukup. Walau tidak bergelimpangan harta, tetapi dia sangat bahagia bersama ayam-ayamnya yang bagai sahabat.

Namun, beberapa hari belakangan, dia merasakan ada sesuatu yang berdebar di dadanya. Sebuah keinginan untuk menuntut lebih dari kehidupan yang dianggapnya cukup. Perasaan yang seakan tidak bisa digugat, tidak bisa ditolak. Sampai hari-harinya hilang dalam lamunan kagum.

Tak lain sebabnya adalah si Putri, gadis seberang desa. Semenjak perempuan itu pulang dari mencuci baju di sungai pada sore hari, Toni terpesona dengan senyuman ramahnya setiap kali melihat Toni yang tengah asyik bersama ayam.

Ada kalanya Toni tersenyum sangat lebar, tidak sabar melihat si gadis itu. Ayam-ayam ikut bersorak karena diberi makan lebih banyak. Kadang kala, ketika matahari sudah mulai turun, Budi membasuh muka dan rambutnya, berias seadanya khas anak kampung. Rambut disisir rapi bergaya, senyum terbaik dipersiapkan berjam-jam.

Hingga hari-hari penuh cinta itu terus berlalu, yang awalnya hanya sekadar senyum berbalas senyum, kini naik pangkat berubah jadi sapaan ringan. Tingkatannya terus naik sampai si gadis kadang mampir sebentar untuk melihat ayam. Bukan lagi senyum seperti dulu, kini yang Toni dapatkan adalah tawa. Membuatnya semakin tergila-gila.

Waktunya telah tiba. Toni sudah berpikir bulat-bulat, sampai mata membengkak karena tidak tidur. Menyusun bagaimana dia akan menyatakan perasaannya kepada Putri. Dada meledak berkali-kali, mukanya memanas, badan berkeringat tanpa sebab. Ayam bersorak karena kelaparan.

Ternak sudah dibersihkannya pagi-pagi sekali, ayam diberinya makanan hingga kenyang. Telur sudah dia amankan, kandang sudah terkunci. Semua kerjanya selesai, tidak akan ada lagi bahasan tentang ayam sore ini. Niatnya sudah mantap. Mati atau hidup; gila atau bahagia, Toni sudah siap akan itu semua.

Sebab peternak adalah pejuang, apalagi kalau sedang kasmaran.

Awan memerah, memberi efek indah kepada muka seorang gadis yang berjalan pelan-pelan sekali dengan membawa sebuah ember berisi sedikit baju. Toni berdiri melihatnya, dengan senyum yang diusahakan untuk lebar—bahkan seperti tidak tulus.

Putri pun melangkah ke arahnya, seperti biasa berniat mampir.

"Sudah tidur semua, ya," ucap Putri dengan nada yang santai, sambil tersenyum. Menyinggung tentang ayam yang sudah tidak lagi di luar kandang. Dia menaruh embernya ke tanah.

"I-iya ...." Toni mengangguk sambil tersenyum canggung, dengan muka yang cemas dan berkeringat.

"Kamu sakit, Ton?" tanya Putri penuh kekhawatiran.

"Bukan, bukan ...." Toni menarik napasnya dalam-dalam. "Put, aku mau ngomong."

Putri yang tadinya tersenyum santai kini terdiam. Dia mendekat sedikit ke arah Toni. "Ada apa toh?" tanyanya serius.

"Aku suka sama kamu, Put," kata Toni. Membuat lawan bicaranya hanya membeku, sama sekali tidak bergerak air mukanya karena terkejut. "Apa kamu mau kalau kuajak nikah?"

...

Setelah agak lama, akhirnya Putri tersadar. Dia menundukkan kepalanya, mengambil embernya.

"Ada syaratnya, Ton," kata Putri, masih dengan kepala yang menunduk.

"Pasti akan aku penuhi." Dengan cepat Toni merespon.

"Kamu ternakkan dua ratus ekor ayam. Setelah itu, lamar aku, datangi Bapak dan Emak."

"Ba-baik," kata Toni agak sedikit terkejut walau masih penuh dengan keyakinan. Sembari melihat Putri yang berbalik dan pulang membawa embernya.

***

Mulai keesokan harinya, Toni benar-benar menjadi pejuang yang kasmaran. Dia bekerja sejak subuh, bahkan sebelum orang-orang bangun. Diambilnya kayu-kayu hutan, dipotongnya, dibuatnya kandang-kandang baru. Seluruh ayam diberinya makan yang cukup dan sehat, seolah badannya tidak ada kata lelah. Dia hanya berhenti untuk sarapan, makan siang, makan sore, juga mandi.

Putri masih tetap lewat seperti biasa, hanya saja kali ini mereka sudah tidak terlalu mengobrol panjang seperti dulu. Hanya sekadar sapa dan senyuman dari jauh.

Namun, Toni tahu pasti. Kalau suatu saat dia akan menjadikan gadis itu istrinya. Setiap kali terbayang akan hal, itu semangatnya meningkat menjadi ratusan kali lipat. Kalau saja bisa dia bekerja seratus kali lipat dan ayam itu akan berkembang biak seratus kali lipat pula, maka sudah pasti akan dia lakukan.

Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Ternak yang tadinya hanya berisi beberapa ayam dan anaknya kini seolah sudah berubah menjadi ternak besar yang dikelola oleh sepuluh orang. Maklum, tenaga yang dikeluarkan Toni selama bulan-bulan terakhir memang setara sepuluh orang.

Badannya menegap dan mengekar, kulitnya menghitam. Puluhan kandang terbuat, ayam sudah hampir mencapai hitungannya: dua ratus ekor.

***

Seminggu kemudian, dia dapatkan kalau beberapa ayamnya sakit. Puluhan telur busuk. Tentu saja hatinya gelisah, Toni kelabakan. Ke sana kemari mencari informasi tentang bagaimana cara menyembuhkan ayam, atau cara menyehatkan telur. Sayangnya, tidak ada yang bisa diharapkan dari desa yang sepi dan terpencil dari peradaban.

Kecemasannya itu hanya dapat dia sembunyikan ketika matahari menurun dan langit memerah, yaitu ketika Putri lewat di depan ternaknya. Toni akan tersenyum ramah seolah tidak terjadi apa-apa, seolah dia sudah bekerja keras dan ayamnya pasti akan mencapai hitungan.

Padahal, harapan sudah diujung tanduk. Sebab hari ke hari, ayamnya semakin banyak yang terjangkit sakit.

Tak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain memberi makan dan berdoa, kini dia setiap saat berdoa untuk kesembuhan para ayam. Tak kenal waktu, setiap ada kesempatan, dia panjatkan permohonan sambil menangis. Seolah seorang hamba yang memohon ampun atas dosa-dosanya. Bahkan memang benar, terkadang Toni merasa hal yang menimpanya adalah azab atas kejahatan yang pernah dia lakukan. Dia memohon ampun sambil bersujud-sujud, dengan pipi yang basah.

Sayang pertolongan tak kunjung datang, satu persatu ayam mati. Hari ini mati satu, besok mati dua, tiga, sampai sepuluh sekaligus. Toni menyerah. Dia pasrah, terjatuh tak berdaya.

Bahkan dia tak pernah lagi muncul menemui Putri di kala sore.

Ayamnya tak lagi bersorak karena makanan yang begitu banyak, tapi kini menjerit kelaparan.

Toni menangis, hanya itu yang dia lakukan. Makan tidak terpikir, tidur tidak terpejam. Harapannya hancur.

Setelah hari-hari itu lewat, dia keluar ke peternakannya. Melihat telur-telur ayamnya yang pecah dan busuk, hamparan tanahnya kosong, ayamnya tidak tahu ke mana.

Dia menendang kandang-kandang ayamnya sekuat tenaga. Sampai hancur. Satu, dua, tiga, tak puas-puas dirinya sampai semua hancur. Kakinya berdarah, kayu berserakan di tanah.

Setelah itu, dia memutuskan untuk pergi. Bahkan dirinya tidak berani menatap Putri. Dia pergi dengan harapan dirinya dapat melupakan gadis itu.

***

Putri yang terkejut melihat peternakan yang hancur mencari Toni ke sana kemari, tetapi tak kunjung dapat. Hingga yang bisa dia lakukan hanyalah menyelipkan surat di sebuah kayu yang ditaruhnya di tengah hamparan tanah.

Kembalilah, kumohon. Aku tidak perlu dua ratus ayam. Aku hanya ingin melihat kerja kerasmu.

Putri menangis penuh sesal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top