Sekar
Selarik suluk pathêt nêm ageng mengalun syahdu seiras cahaya blencong yang mencetak siluet wayang pada kelir putih gading. Banuwati bergeming ngapurancang, merunduk di istana Hastinapura. Penumbra penuh reka cipta melindap kala sekar meliuk sedih berganti sendon.
Mata seorang bocah turut menyaksikan di gigir anjungan. Pagelaran wayang, juga aura yang lahir dari kenisbian matra. Mungkin, hanya dirinya seorang kemudian yang melihat cakra merah berpusar di belakang latar. Makin pekat, cakra itu maujud dalam sosok makhluk lantas melangkah ke luar pelataran. Suluk menukik berkejaran selagi dalang berkonsentrasi bermain irama gagrag. Wayang-wayang saling menyabet bertarung sengit. Diam-diam, sang bocah mengendap membuntuti menyisir pendopo sang penanggap wayang yang luas, melompati pagar pembatas, lalu raib tanpa bekas.
Makhluk tak kasatmata itu unik dan khas, tak mungkin bocah itu keliru mengenali. Patungnya biasa ditaruh bersama sekeranjang telur ayam di pasar dugderan; gelar acara rakyat menjelang Ramadan di Kota Semarang. Keempat tungkai kambingnya mengayuh awang-awang sehingga ia mengejar membabi buta menabrak segala rintang. Makhluk itu harus ia miliki! Sang bocah tak sadar dirinya telah lama berpindah ke lain alam dan makhluk itu sama sekali tidak mau berhenti. Dirinya dibawa semakin jauh, dan jauh. Aneh ... kakinya seakan tak dirundung letih.
Merasa ada yang membuntuti, si kepala naga yang sedang mencoba kabur itu menoleh. Makhluk itu menyeringai, dan ... itu dia! Ada sebongkah telur emas besar terapit di antara sepasang bibir besar. Si bocah makin terbakar melecut diri, hingga sebuah jurang lebar menganga bak kawah candradimuka memisahkan antara dirinya dan makhluk itu. Usai sudah. Sempat membubung tinggi, asanya lantas jatuh ke bumi. Ia pun berbalik kembali.
Sejenak, ia hilang akal melihat pemandangan di sekitarnya. Dirinya berada di suatu tempat yang bukan bagian dari bumi saja. Bumantara, tanah, serta jalan yang ia tempuh tadi tampak asing. Ia terdampar di negeri antah berantah rupanya. Meski sedikit gundah, bocah itu terus melangkah ke arah tempat ia berasal.
Tiba-tiba saja, dia ada di ruangan serba putih. Sudut matanya menangkap sebuah tiang besi dengan botol bergelantungan. Slang plastik keluar dari sana dan tersambung dengan sebuah plester di punggung tangannya. Ia tahu ini namanya apa. Infus. Kenapa ia tiba-tiba berada di rumah sakit? Bocah itu pun bangun dengan rasa lemas menguasai seluruh tubuh dan indra perasa yang kebas.
"Kusuma!" Ada perempuan di hadapannya. Awalnya, perempuan itu memanggil namanya dengan khawatir. Raut wajah itu lantas berubah lega, sekaligus memprihatinkan bagai tak disentuh tidur bermalam-malam. Segera saja perempuan itu berteriak memanggil paramedis dan segalanya seperti ada di dalam mimpi.
***
"Sungguh, Ayah! Aku melihat Warak Ngendhog!" Susah payah Kusuma kecil berusaha meyakinkan sang dalang. Seminggu yang lalu, ayahnya ditanggap untuk mengadakan dalang ruwat seorang anak pejabat. Itulah yang terjadi. Putra sang dalang malah tak kunjung sadarkan diri selama beberapa hari. Karawitan geger tatkala Kusuma jatuh menimpa gending dan ambyarlah pagelaran songgo buwono yang semestinya berlangsung sakral. Bukan akibat karahinan ataupun kebogelan. Sang dalang pun tak habis pikir, padahal ia telah puasa mutih dan merapalkan mantra-mantra pengusir danyang. Lagipula, kejadian di luar nalar ini baru pertama kali ia temui sepanjang perjalanan karir pedalangannya.
Kusuma melanjutkan kisah dengan berapi-api. "Badannya lurus dan panjang seperti unta, kakinya gesit seperti kambing, kepalanya naga berambut keriting, persis seperti patung-patung Warak Ngendhog di dugderan! Dan di mulutnya ada sebutir telur emas, Ayah!"
Sang dalang berdecak. Duh, Gusti. Cobaan apakah ini? Semenjak itu, Kusuma terlarang menghadiri aktivitas kala sang ayah mendalang. Bahkan, surjan dan benda seni dari kulit lembu itu tak boleh lagi ia sentuh. Ia dikirim jauh ke tempat sanak keluarga sang ayah yang berdomisili di Palembang. Alangkah sayang, sang dalang lalai akan satu hal ....
Kini ia bukan bocah kecil lagi yang hanya bisa memprotes kesal aturan ketat sang ayah pada dirinya dulu. Ingatan fotografisnya mampu mengingat semua bait suluk yang pernah dilantunkan oleh sang dalang. Sebuah sekar berkumandang lirih berbisik sementara ia memijit-mijit sebuah benda di jarinya. "Umyang swaraning wadya wus samapta munya."
Ada-ada girisa yang terlontar dari bibirnya bagai undangan kepada para makhluk yang ia kumpulkan susah payah bertahun-tahun. Makin lama, makin banyak saja koleksi buruannya seiring kesaktiannya yang melejit tinggi. Ilmu warisan sang ayah yang seharusnya dilakoni dengan hati-hati, ia pelintir ke jalan penuh onak bahaya. Bukannya mengusir danyang, Kusuma malah menantang mereka. Ia pun tersenyum simpul tatkala satu demi satu kehadiran makhluk-makhluk itu terdeteksi oleh indra.
Pemuda itu bertitah kepada sesosok bayangan hitam yang sekilas tersembunyi dalam kegelapan. "Begu ganjang, temukan dia." Ia menebarkan beberapa helai rambut yang diperoleh dari Banaspati ke depan hidung makhluk legam tersebut. Si begu pun dengan rakus menyesap aromanya. Sekejap kemudian tubuhnya meliuk dan memanjang seperti bayangan yang ditarik dari rembang cakrawala. Kaki-kakinya panjangnya melangkah cepat menembus malam. Kini, Kusuma tinggal menunggu kabar berita dari sang mata-mata dengan seekor Lembuswana siaga di sisinya.
***
"Waktumu tinggal sedikit."
Kendra berdecak kesal membaca sebuah pesan singkat, lantas ia lempar kasar ke balik celana. Jatuh sana ke dimensi kegelapan! Ia dituntut untuk menyingkap sebuah misteri sekelam petala bumantara di musim berbadai. Andai mampu memindahkan Gunung Kerinci, cindaku itu butuh sepeleton pasukan. Dukun yang mengirim banaspati, siapa pun dia, bukanlah orang sembarangan yang sudah-sudah ia hadapi. Dalang di balik kekacauan Dempo, juga arboretum UNSRI, pastilah orang yang sama. Tinggal masalah waktu saja hingga mereka saling menemukan.
Lalu, ada satu masalah lagi. Gerak-geriknya diawasi dari suatu tempat tak tersentuh. Dialah yang tak ingin melangkaui dinding penyekat di antara mereka. Pekat muslihat sehalus sutra laba-laba milik perempuan itu, tabu untuk ia jamah. Wajahnya memang manis menipu, persis seindah nama yang tersemat sejak kelahirannya. Namun, bayi perempuan merah tak bernoda itu membawa serta kutukan sepanjang kehidupannya. Butuh menghimpun keberanian sepenuh dunia agar Kendra bersedia mengakui Mawar Hitam sebagai saudarinya-itu pun sudah mencoreng darah yang mengalir dalam keluarga mereka. Meski ditahbis durhaka, Kendra rela. Seorang palasik tetaplah palasik hingga mereka mati. Tak pantas dirinya tersentuh darah hina itu.
Kendra masuk ke dalam sebuah taksi yang berhenti di pelipir. "Sushi Tei," perintahnya pada sopir. Roda mobil melaju menggilas aspal basah seusai langit puas memadu rindu kepada bumi. Peraduan yang diakhiri oleh curah cinta, mengaliri ceruk-ceruk kehidupan tersembunyi di segenap pelosok Palembang. Cinta menumbuhkan pohon serta puspa-puspa berkelopak indah mekar dari kuncup jelita. Musim yang sempurna untuk menghidupkan rumah-rumah mati tanpa penghuni. Meski sirna, terdayuh seawal mula, punca-punca bergelora, lalu berjaya hingga puncak masa.
Gawainya kembali meretih, lancang mengusik pemuda berwajah bak kemilau sitakara itu. Semakin abai, semakin benda itu bergetar kencang hingga kantong celana Kendra digelitik gempa bumi lokal. Sial, siapa yang telah keras kepala menghubunginya?!
"Hei, cowok. Kamu bolos?"
Ah, cuma Fikri ternyata. Najis sekali ia mendengar tebar sapa dari mulut sang sahabat,
"Mager. Darurat nasional, jangan telepon hari ini!"
"Ah, nekat,kau! Absen bolong punyamu sudah saatnya ditambal dan dipertanggungjawabkan, Can."
Sekali lagi, sungguh sial. Tak tahukah cowok kepo itu bahwa dirinya sedang men(yel)amatkan isi dunia?
"Berapa kamu sanggup bayar aku?"
"Edan, nih, anak! Kamu kuliah apa tengkulak, sih?"
"Nah, sadar diri kalau kismin, jangan telepon aku lagi. Kalau tidak, aku kirim tagihan indekos ke rekeningmu."
Mungkin, dirinyalah yang tak tahu diri. Cowok sepelit Fikri hanya bisa diancam dengan penodongan semacam ini. Peduli ubur-ubur dia tak naik tingkat. Fikri bukan orang tua atau pula saudaranya.
"Tabrak, Pak!" Kendra mengumpat di pertigaan. Si sopir hanya mampu mendesah karena dirinya kali ini bertemu penumpang nekat yang main perintah terobos lampu lalin kuning ke merah.
***
"Kamu muka polos diam-diam punya simpanan,ya?"
Kendra nyaris tersedak mendengar ocehan Fikri di samping. Untung tak ada Nizar. Mampus dia kena fitnah pagi buta.
"Bini aja belum punya, apalagi simpanan ...!" Alih-alih menggebrak meja kantin, ia lebih memilih menendang kaki Fikri di bawah meja.
"Ish .... Kamu salah minum obat apa kesambit, sih? Pagi-pagi udah KDRT."
Kopi bermerek Nestape tersembur keluar meninggalkan mulut Kendra.
"Aso."
"Kekejaman Dalam Riwayat Teman. Satu pelanggaran didenda satu mangkuk bakso Mang Ujang."
"Dasar kompeni. Susah-susah cari duit, aku masih kena pemalakan. Boro-boro mau punya simpanan."
Fikri meledak termehek-mehek. Perutnya yang penuh nasi goreng terguncang-guncang. Entah ketempelan apa sahabatnya hari ini, Kendra merasa sedang tidak melawak. Kalau iya, berarti Fikri harus membayar honornya untuk satu jam terhitung sejak dua jam yang lalu.
"Tapi serius, nih. Kemarin ada cewek cari muka-kamu."
Firasat Kendra langsung tidak enak. "Siapa?"
"Tahu!" Fikri mengedik. "Yang jelas pakai cadar, tapi matanya cantik, warna biru. Keren ...."
Kendra tak terkejut. Justru dia merasa geram. Perempuan itu lagi ...! Dia bahkan kena fitnah.
"Kalau ketemu dia lagi, bilang ... aku sudah mati rasa!"
Fikri pun terpana. Ia tidak salah dengar tadi. Kendra memang penuh rahasia.
"Buat aku aja, ya?" Fikri seolah sedang meminta sumbangan barang.
"Jangan! Hidupmu bakal menderita!" Kendra akhirnya menggebrak meja juga. Duh, tadi ia tak berhati-hati bicara.
"Aku penasaran. Cewek mana yang tahan sama kamu ...." Fikri mencela.
"Permisi, boleh saya duduk di sini?"
Seseorang menyela obrolan mereka berdua. Tanpa menunggu izin dari yang empunya meja, orang itu menaruh baki berisi pesanannya. Sungguh tak biasa. Semangkuk bubur polos, secangkir kopi hitam pekat, dan secangkir teh hangat dengan uap mengepul. Dedemit? Apalagi aroma semerbak kayu gaharu lantas menggelitik hidung mereka. Orang aneh ....
"Kenalkan, anak baru. Ardacandra." Ia bahkan memperkenalkan diri tanpa diminta.
"Wow. Sama kayak kamu, Kendra. Kalian berdua dari dinasti Syailendra." Fikri berkomentar nyinyir bin asal. Lawak! Andai ia boleh mendatangi Fikri dalam bentuk cindaku lalu membuat sahabatnya kencing di celana ....
"Maaf, saya tidak ingin mengenal Anda. Bicara pada teman saya saja." Kendra beranjak mundur dari perhelatan. Daripada menyia-nyiakan waktu demi temu wicara dengan orang asing, lebih baik ia "mojok" ke suatu tempat dan menulis puisi yang sempat tertunda.
Si orang aneh berulah. Tangannya tangkas mencekal Kendra. Orang itu kemudian meneleng mengintip genuk di mata Kendra. "Mawar Hitam. Indah sekali, bukan?"
Nah, ini mulai tidak lucu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top