Irisan

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang paling baik perbuatannya." (QS. Al Kahfi: 7)

 

Sepasang tapak kaki berbulu menapak lembut nyaris tanpa suara, keahlian khusus yang telah mengalir dalam darah makhluk pemiliknya sejak lahir. Garis-garis cantik di tubuhnya tersamar sempurna di antara semak dan batang pohon yang menjadi vegetasi penghuni arboretum seluas ratusan hektar. Hanya pupil mengilapnya sekilas bergerak dalam hening.

"Penyergap sunyi"— itulah julukannya. "Datuk", begitu orang-orang memanggilnya.

Dua orang lelaki yang tak waspada melangkah tanpa sadar ke arah makhluk itu. Mereka bersenda gurau dengan asyik sampai ia menggeram mengeluarkan auman peringatan. Serentak jejak dua orang itu menggantung di udara bersamaan dengan membekunya tungkai mereka yang sesaat lumpuh tak mampu bergerak. Mata keduanya mengerjap cepat sebelum akhirnya teriakan saling beresonansi di udara menembus kanopi lalu melengking tinggi ke awang-awang; "HARIMAU!!!"

Dua orang itu lari pontang-panting tersaruk ranting dan ilalang sepanjang jalur pelolosan. Tergesa-gesa mereka mengambil motor yang terparkir dalam jarak puluhan meter. Sementara makhluk bergaris itu menyaksikan diam-diam seraya meringis, puas karena gertakannya langsung menebarkan efek luar biasa.

Siang itu, segenap civitas akademika UNSRI— Universitas Sriwijaya Indralaya sontak geger oleh trending topic yang membanjiri media sosial mereka: "Boyot Oyen turun gunung dan masuk kampus! Hari gini?"

***

"Gila lu, Ndro, bikin paranoid massal satu Unsri. Kembang tidur jangan dibawa bangun. Dasar halu!"

Fikri meringis membaca komentar yang masuk di Instagram miliknya. Sejak ia dan Nizar melaporkan apa yang mereka dengar dan lihat di arboretum, serbuan caci maki dan hujatan diterima oleh keduanya. Pada dasarnya, semua orang menyalahkan mereka yang dianggap sebagai tukang sensasi penebar hoaks. Tak sedikit tatap mata penuh cercaan tertuju ke mana saja mereka pergi. Yang pasti, ia dan Nizar telah berhasil membuat panik jajaran Dekan Fakultas Pertanian yang kemudian langsung mengirim satpam dan dibantu oleh penjaga hutan. Orang-orang berwenang itu menyisir sepanjang tepi arboretum untuk melacak keberadaan si Boyot Oyen yang menjadi buah bibir satu kampus.

Hasilnya? Ada satu orang warga sekitar yang mengaku melihat seekor makhluk serupa di arboretum dan dilaporkan ukurannya lebih besar dari kambing. Harimau muda. Nah, siapa yang halu sekarang?

"Orang-orang ini kagak tahu diri banget sudah dikasih peringatan malah menyalahkan kita!" gerutunya pada Nizar yang kini pelipisnya pening ditempeli koyo cabe.

"Udah jangan ngomong lagi, aku pusing! Masa Fatma langsung minta putus sama aku gara-gara melihat si Loreng?"

"Ah, alasan saja. Cewek kau itu pasti sudah bosan sama kau!" komentar Fikri sinis.

"Teman laknat! Ini gara-gara kamu ajak aku segala ke arboretum."

Fikri kena lempar gelas plastik yang sudah kosong.

"Woi, sekalian saja sawer aku koin receh, lumayan buat sumbat kuping ...!" Kesal, sahabatnya.

"Nih, tusuk gigi. Buat mengganjal kelopak mata baca komen "cinta" para penggemar di Instagram malam-malam."

"Sialan."

Kret.

Pintu gudang perlengkapan yang menjadi tempat persembunyian mereka berdua terbuka. Orang ketiga muncul menampilkan sebaris senyumnya yang semringah bak surya pengusir mendung. Kendra. Di tangannya tertenteng dua bibit pohon damar yang mereka cari-cari semula di arboretum. Si sumber petaka.

"Dari mana saja kamu?" Pandangan mereka tertuju pada bibit di tangan Kendra.

"Kebun Bibit."

"Apa?! Kamu gak tahu di sana sedang ada harimau berkeliaran?"

"Ah, hoaks."

"Semprul!" Kendra kena lempar gelas plastik estafet.

"Kok pergi?" Cowok itu heran karena teman-temannya malah keluar.

"Tanam saja sendiri. Lagi malas."

Huh. Alis tebal Kendra menyatu kesal di tengah kening. Selalu saja ia yang jadi tumbal kemalasan rekan satu kelompoknya. Sudah untung dia bersedia mencarikan bibit ini ke arboretum dengan mempertaruhkan nyawa.

Ia lantas mengambil peralatan dari dalam ruangan lalu membawanya keluar. Dituangkannya beberapa sekop tanah gembur ke dalam media tanam yang baru, lalu memindahkan bibit-bibit itu dan merapikannya. Sebentar lagi malam akan tiba dan ia tak ingin bergelap-gelap di tempat ini.

***

Kawasan Gunung Dempo

Auman terdengar di antara bunyi desis menakutkan bersumber dari kobaran api yang melalap pepohonan. Ranting-ranting berderik saat api merah itu memakan habis tubuh kering mereka serta menghanguskan rerumputan yang berada di bawahnya.

Kebakaran kecil tercipta seketika di area sabana membentuk pola lingkaran sempurna sebesar sepetak rumah. Sementara di dalam kungkungan si jago merah yang panasnya melepuhkan kulit dan menebar aroma gosong bulu terbakar, berdiri terpojok seekor harimau besar loreng. Setiap kali harimau itu bermaksud meloloskan diri dengan melompati cincin api, sesosok makhluk berkobar menyala menghadang siap membakarnya. Celaka, nasib sang harimau berada di ujung tanduk.

"Tak usah kabur, Loreng. Panggilah teman-temanmu kemari sekarang." Makhluk itu mendengkus menantang.

"Terkutuk kau, Banaspati!" Harimau itu berbicara dalam bahasa manusia.

"Kekeraskepalaanmu itu hanya mengantarkanmu pada kematian, cindaku!"

"Aku tak akan pernah sudi mematuhimu, hantu api!"

"Dasar manusia harimau bodoh! Bila kau memang berharap mati, itulah yang akan kaudapat!"

Banaspati mengobarkan nyala apinya hingga cincin yang mengurung si "cindaku" kini membumbung tinggi dengan puncak menyatu dalam lidah api berwarna biru. Auman kepanasan si "cindaku" tertelan desis yang semakin menggila.

Banaspati tertawa, tapi sekejap saja karena kemudian ia terdiam mendengar alunan samar sebuah tembang bernada riang. Rimanya sederhana berdenting pada lapisan tipis gelombang yang menghantarkan luapan perasaan senang sang empunya suara.

"Kaki kecil menari, langkahnya lincah di awang-awang."

"Awan melintas ramai, rianglah hati menyapa lembang."

Begitu berulang-ulang bagai rapal mantra. Ajaib, tembangnya yang riang seolah bak gayung bersambut dengan sendratari alam. Tandanya, kini terjadi perubahan hawa di udara. Tetes-tetes air mata langit berjatuhan, lalu sekejap hujan lebat turun membasahi segala yang ada di permukaan bumi.

Banaspati meraung marah karena kobaran api unggun ciptaannya bernapas sekarat di bawah terpaan rinai yang tumpah ruah dari suatu tempat tak kasatmata. Kemudian alunan tembang tanpa wujud itu melambat bersama padamnya bara api hingga akhirnya berhenti menyisakan gerimis kecil yang menelan sisa asap dalam suapan terakhirnya.

"SIAPA KAU?!" Si jago merah itu telah berganti rupa menjadi sosok bola api yang melayang tangkas di udara. Ia berang mencari orang yang telah lancang mengganggu urusannya. Bara dalam rongga mata kosongnya siap menghabisi siapa saja yang berani bermain-main dengan teluhnya.

Sebuah suara tawa yang renyah memantul di puncak pepohonan dan makhluk ceriwis itu kini menampakkan wujudnya. Seorang gadis kecil bergaun sebetis dan bertudung penuh renda bak sutra mayang menari lincah seraya melompat dari satu ranting ke ranting lainnya, lalu ia hinggap di pohon sebelah.

"Yang hilang tak kembali, yang tinggal enggan pergi, yang diam pun tenggelam." Gadis itu kini menyanyikan sebuah elegi.

"Gadis celaka, akan kubuat kau menderita!" Ledakan amarah Banaspati mengobarkan nyala api di tubuhnya yang kini meletup membara. Ia berusaha menangkap si pengacau tapi sosok mungil itu lincah sekali berpindah tempat dalam sekejap mata. Hingga gadis itu meluncur tinggi ke atas langit, Banaspati lupa pada tujuannya semula dan mengejar secepat kilat bak meriam terlontar. Ia meninggalkan si "cindaku" yang kini terkapar nyaris hilang kesadaran di atas tanah.

Sosok lainlah yang menghampiri si "cindaku". Orang itu bersimpuh di sisi harimau belang yang tak berdaya lalu mengusap kepala makhluk itu sehingga siuman.

"Kau!" Si "cindaku" bagai tersengat dan bangkit waspada di atas keempat kakinya dalam hitungan waktu tak berjeda. Taringnya berkilat di bawah sinar rembulan ketika ia menggeram penuh peringatan agar sosok itu tidak mendekat.

"Mau apa kau ke sini?" desis si "cindaku" tak suka.

"Kendra, izinkan aku membantumu kali ini ...," tatap sosok dari balik topeng yang menyembunyikan separuh wajahnya.

"Menjauhlah seperti selama ini kau tak pernah ada! Aku tak butuh kekuatanmu!"

"Tapi aku adalah keluargamu." Sosok itu memelas asa.

"Simpan air matamu makhluk setengah! Aku tak sudi melihatnya."

"Kenapa kau jahat sekali, Kendra? Bukankah kau juga siluman?"

"Aku tak sama sepertimu! Aku berbeda! Jangan berbicara denganku lagi dan jangan pernah memanggil namaku dengan mulutmu yang hina itu!"

"GGRRRR." Si "cindaku" menggeram penuh gertakan lalu berlari ke arah Gunung Dempo yang mengerucut landai di bawah sinar rembulan .... Tempat persembunyian Kendra di salah satu bentang alam favoritnya di daerah ini, Sumatera Selatan.

Ilmu halimun melenyapkan raganya seketika dari pandangan. Mungkin "cindaku" itu sekarang muncul di suatu tempat di sisi lain gunung yang tentunya tak tergapai oleh si pengganggu.

Sosok yang ia tinggal kini terisak sedih mereguk nestapa. Perlahan, topeng terlepas dari wajahnya mengungkap rupa jelita yang tersembunyi. Kulitnya berkilau bagai rembulan dan matanya seteduh biru malam. Tanpa memedulikan air mata yang berlinang mengaburkan pandangan, ia genggam benda berhias kelopak mawar hitam di tangannya erat.

***

"Sial!" Kendra mengumpat kesal dalam hati sambil menjilati separuh tubuh hangus terbakar yang sanggup dijangkau oleh lidahnya dengan melengkungkan punggung sejauh mungkin. Seharusnya ia terima saja tawaran kebaikan dari Mawar Hitam tadi untuk mengobati luka-lukanya, tapi ia terlalu jijik pada gadis itu. Sampai kapan pun, ia tak sudi untuk mengakui Mawar Hitam sebagai keluarganya.

Ia hanya butuh tempat istirahat sekarang untuk memberi waktu pada tubuhnya memulihkan diri. Kendra tak bisa pulang dalam kondisi kacau begini, ia masih harus berada dalam wujud harimau lebih lama lagi. Mungkin sepanjang sisa malam yang berharga.

Sampai matahari terbit di ufuk timur, barulah ia tersadar. Luka-luka bakarnya nyaris pulih sempurna lalu terdengar bunyi "klik" gagang pintu diputar. Kendra berhasil mengubah wujudnya pada saat yang tepat. Naas, tampaklah kemudian wajah Nizar melongok dari daun pintu dan terheran-heran memandang dirinya yang terbangun di lantai dalam kondisi polos tanpa busana.

"Ah, sial ... pagi-pagi aku melihat beginian! Kamu gak waras apa, Ndra?" Nizar terjengkit jijik bercampur geli.

"Jaket!" bentak Kendra langsung memberi instruksi pada sahabatnya. Tanpa banyak membantah, Nizar melepas jaket hoodie yang ia pakai lalu melemparnya pada Kendra. Kendra lebih membutuhkan benda itu sekarang daripada sang pemilik sah.

"Zar, aku minta tolong—"

"Sama Fikri saja. Aku mau cari Fatma dulu!" Buru-buru Nizar menolak begitu tahu maksud Kendra.

"Hei, lalu ngapain kamu ke sini?" Kendra berang.

"Gak jadi!" Nizar kabur tanpa sempat ia cegah. Uh, dasar tak setia kawan. Maksud hati tadi minta tolong Nizar agar bersedia membawakan sepasang pakaian untuknya. Andai dia pegang gawai sekarang, sudah ia hubungi seseorang. Seharusnya ia langsung pulang sebelum Subuh, tapi proses penyembuhannya ternyata butuh energi dan waktu lama. Jadilah ia terbangun di sini tanpa bisa berbuat apa-apa.

Apa yang bisa ia lakukan hanya dengan sebuah jaket? Sebuah ide pun terlintas dalam benaknya. Terlalu berisiko memang untuk berubah wujud menjadi harimau di area kampusnya sekarang, tapi ia tak punya pilihan.

Kendra meraih botol kecil yang tersampir pada kalung di lehernya lalu membuka sumbatnya. Ia bersiap untuk menumpahkan isi serbuk ke dalam mulut, lalu terdengar derit pintu dibuka.

Kendra mengurungkan niatnya karena mendapati sesosok perempuan berhijab dan bercadar tertutup rapat sedang mengintip ke dalam gudang perlengkapan yang memang tak terkunci. Alih-alih minta izin, perempuan itu langsung masuk ke dalam. Nekat. Kelancangan yang hanya dimiliki oleh perempuan ini seorang sehingga darah Kendra mendidih karenanya. Ah, pagi-pagi ia sudah kesal.

Belum cukup juga, perempuan itu seolah tak tampak sungkan sedikit pun kala mendekatinya. Sebaliknya, Kendra beringsut mundur menjaga jarak. Tatapan matanya lekat mengawasi gerakan si perempuan yang merogoh sesuatu dari balik hijabnya ... sebuah bungkusan plastik. Benda itu diletakkan di samping Kendra sementara sang perempuan tak bicara apa-apa seakan mafhum. Lalu ia beranjak keluar setelah menunaikan misinya.

"Mawar Hitam."

Si perempuan terperanjat karena Kendra berani memanggilnya dengan nama itu di kampus. Ia berbalik penuh tanda tanya pada pemuda tampan di hadapannya. Sayap elang tajam di alis Kendra melekuk sinis kala berujar, "Apa kau terlalu takut memperlihatkan wajah asli di balik cadar itu?"

Perempuan itu terperenyak tanpa sadar membentur daun pintu. Kelihatannya ia sedang berusaha menata emosinya yang membuncah lalu bergegas keluar tanpa menjawab pertanyaan Kendra tadi.

Tanpa merasa bersalah atas ucapannya, Kendra melengos. Tatapannya beralih pada bungkusan yang teronggok di samping. Tanpa perlu dibuka pun ia bisa menebak apa isinya. Perempuan itu pasti menyadari ada masalah ketika tak mendapati dirinya di kos. Perempuan yang ia panggil Mawar Hitam tadi sungguh protektif dan kadang berguna di saat yang tepat. Sayang, ia tak suka darah setengah makhluk itu.

Ah, lupakan. Ada hal yang lebih penting sekarang. Ia harus berganti pakaian walau tanpa mandi. Ia manusia harimau, bukan? Untuk apa mandi? Lagipula wajahnya sudah tampan.

Kendra meringis lantas mengeluarkan isi bungkusan bermaksud mengenakan benda di dalamnya. Sebuah kertas terlipat tercecer jatuh di pangkuannya. Penasaran, ia baca saja.

"Bersikaplah seperti cindaku sejati dan jadilah seorang salik. Kakak khawatir kamu akan kena tulah bila tak menjaga sikap. Kakak peduli kamu."

"Dasar palasik!" Kendra mengutuk marah.

***

FantasiIndonesia


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top