The Engagement
Sebuah novel berjudul ‘Love Matter’ di sampul depannya kini berada di tangan Lisa, buku yang akan dibacanya itu karya Damian Alexander, laki-laki yang sedang berusaha untuk didekati olehnya dan tentu saja, Lisa sedang mengusahakan agar bisa jatuh cinta dengannya.
Sungguh bukan perkara main-main bagi Lisa, terlebih lagi dia mengetahui kalau Damian lahir di tanggal 9, bukan hanya tanggal yang menjadi alasan Lisa untuk mengejar laki-laki itu, karena sesuai dengan prinsip percintaanya kalau dia akan jatuh cinta dengan pria yang lahir di tanggal 9 —angka kesukaannya, tapi 9 Juli adalah tanggal lahirnya juga dan ini semakin menguatkan keyakinan Lisa atas prinsip percintaannya itu kalau Damian Alexander adalah miliknya.
Memang terdengar menggelikan dan berlebihan, tapi bagi Lisa adalah hal yang wajar untuk menentukan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Menepis sebuah fakta kalau jatuh cinta tidak bisa kita prediksikan atau kendalikan, akan tetapi Lisa yakin akan prinsipnya, terlepas selama 20 tahun hidupnya memang belum pernah merasakan jatuh cinta. Prinsip yang sangat tidak logis menurut kebanyakan orang ini bukan hanya satu atau dua yang dimiliki Lisa terkait penyimpangan perilakunya yang tergila-gila dengan angka sembilan.
Sebuat saja untuk saat ini, ketika Lisa hendak memulai baca novel yang dipinjam dari sahabatnya itu, dengan santai dia merebahkan diri di atas kasur, kedua kaki dia selonjorkan ke atas menghadap dinding, Lisa langsung memulai ritualnya membaca buku.
Apa mungkin dia memiliki sebuah ritual sebelum membaca buku? Tentu saja Lisa memilikinya!
Dan ritual itu sungguh menggelikan jika saja tidak mengenal seorang Julisa Cancerita yang tergila-gila dengan angka sembilan. Tanpa peduli dengan apa yang tertulis di halaman pertama atau apa yang menjadi awal ceritanya, dengan mantap Lisa membuka halaman sembilan. Begitulah Lisa, dia hanya perlu untuk membaca apa yang tertulis di halaman sembilan sebelum memutuskan apakah tertarik atau tidak membaca novel tersebut.
Begitu dia membuka halaman sembilan, sebuah kalimat berbahasa inggris membuatnya mengernyitkan dahi, merasa tidak setuju dengan kata-kata tersebut dan dia sedikit bingung dengan makna dibalik kalimat tersebut.
“We can avoid the love, but we can’t lie to the heart”
Sebaris kalimat yang membuat Lisa berpikir keras, bagaimana bisa menghindari cinta, jika tidak bisa membohongi hati? Dan dalam sekejap menarik atensi Lisa untuk membuka halaman pertama novel itu dan mulai membacanya.
Di tengah keasikan membaca novel, Lisa tidak menyadari seseorang memasuki kamarnya, dikarenakan posisi tidurnya yang terlentang membelakangi pintu.
“Lis!” Amelia dengan tidak tahu dirinya menabrakkan buku yang sedang dibaca Lisa menghantam wajahnya.
“Ameeeeel!!!!!”
Terdengar tawa membahana. “Serius amat deh lo bacanya!”
“Amel ih!” Lisa melempar sebuah bantal tepat ke wajah Amel. “Sakit tau muka gue ketiban buku!”
Amel langsung menangkap bantal yang dilempar Lisa lalu melemparkannya kembali pada pemiliknya. “Yaelah, Lis! Novel Damian, kan? Anggap aja lo lagi cium wajahnya Damian.”
“Ya kali, Mel!” Lisa pun memberengut. “Lo tau nggak sih, baru kali ini gue tertarik banget baca novel!”
Amel memutar bola matanya malas. “Ya iyalah! Kalau itu novel bukan karyanya Damian, mana mungkin lo mau baca!”
“No! Lo ‘kan tau gue! Sekalipun ini karya orang yang gue suka juga belum tentu gue baca kalau menurut gue nggak menarik!” Amel mendelik sambil mencebikkan bibirnya seakan mengejek Lisa. “Seriusan, Mel! Gue tadi langsung buka halaman sembilan dan lo tau nggak? Ada kalimat yang langsung menarik perhatian gue buat baca novel ini!”
“Seriusan lo?” Lisa mengangguk. Baru saja dia hendak memberitahukan kata-kata yang dimaksud, tapi Amel langsung menginterupsi. “Maksud gue, lo seriusan langsung baca halaman sembilan? Bukannya dari halaman pertama lo baca?” Sebuah anggukan diikuti wajah polos bak anak kecil ditampilkan Lisa kemudian diakhiri dengan cengiran yang membuat Amel menoyor jidatnya. “Dasar kelakuan!”
“Lo kayak nggak kenal gue aja, Mel!”
“Kenal sih kenal, tapi nggak nyangka lo udah segila ini.” Amel menggelengkan kepalanya. “Ngomong-ngomong, pesta pertunangan lo kapan diadain?”
“Tanggal sembilan," jawab Lisa cuek.
“Tanggal sembilan? Kapan? Bulan ini atau bulan depan?”
“Ya menurut lo?”
“Jangan bilang kalau bulan ini?” Lisa mendesah lalu mengangguk. “Hah? Bulan ini? Berarti besok dong?”
“Ya iya besok, Ameeeel! Terus kenapa?”
“Terus kenapa? Lis! Pesta pertunangan lo besok, tapi lo santai aja udah kayak monyet gelantungan di pohon!”
“Monyet gelantungan di pohon emang kayak gimana, dah?” Lisa mengernyitkan dahi dan sungguh membayangkan bagaimana monyet sedang bergelantungan di pohon.
“Lisa! Please, deh!” Amel mendecak berkali-kali. “Acaranya besok jam berapa?”
“Ya jam sembilan.” Sekali lagi Lisa menjawab dengan cuek.
“Jam sembilan malam?” Lisa menggeleng tanpa memutuskan kontak matanya dengan buku yang sedang dibacanya. “Lisaaaaaa! Seriusan jam sembilan pagi!?” Dan seketika saat itu juga Amel mengambil paksa novel yang sedang dibaca Lisa lalu mengultimatum kalau akan dipinjamkan kembali setelah acara pertunangan.
● ● ●
Hentakan kakinya yang sama sekali tidak terlihat anggun dan tidak sesuai dengan gaun yang dikenakannya tengah melangkah memasuki aula di sebuah gedung di mana pesta pertunangannya akan diadakan. Lisa tampak sedikit kesal, bukan karena dia terlambat, terlebih lagi jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi karena niatannya tadi mau berangkat jam sembilan malah harus dari subuh dibawa ibunya ke salon untuk mempercantik diri. Sunguh, bagi Lisa mempercantik diri sangat tidak perlukan! Kecuali dia tahu kalau Damian juga akan datang menghadiri acara pertunangannya.
Tapi apa iya Damian dipastikan datang? Mengingat bagaimana Arga jelas-jelas mengatakan di acara makan malam keluarga kalau yang bertunangan itu dia bukannya Damian, Lisa yakin sekali kalau Arga pasti melarang Damian untuk hadir.
Namun, meskipun Lisa mengira akan seperti itu, dia tetap berharap Damian hadir di acara pertunangannya. Setidaknya ini akan menjadi kesempatannya untuk pendekatan lagi.
Lisa! Lisa! Di hari pertunangan malah mau pendekatan sama laki-laki lain!
Sambil mengendap-endap, Lisa melirik ke sana ke mari untuk melihat keadaan di aula. Dekorasi ruangan yang serba elegan didominasi warna putih membuat Lisa sedikit takjub, tetapi sebuah buffet prasmanan yang di atas ada air mancur cokelat dengan berbagai kue cokelat di sekelilingnya membuat air liur Lisa menetes. Bak semut rang-rang yang sudah sangat kelaparan karena tidak sempat sraapan, Lisa langsung berlari ke arah meja prasmanan tersebut. Satu kue cokelat yang kemudian dicelupkannya ke air mancur cokelat berhasil dilahapnya. Dilanjutkkan yang kedua… yang ketiga… hingga sampai pada yang ke sembilan, Lisa hampir saja tersedak mendengar suara berat nan seksi yang sangat familiar di telinganya tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya.
“Jangan bilang lo udah makan sembilan kue cokelat?”
Lisa menoleh perlahan lalu menyengir memperlihatkan gigi-gigi yang penuh cokelat kemudian memutar bola matanya dengan malas. “Mau?” Sebuah kue cokelat disodorkannya ke Arga.
“Seriusan lo? Pestanya aja belum dimulai, tapi lo udah ngabisin prasmanannya?”
“Apaan sih?” Lisa meletakkan cokelat yang ada di tangannya. “Liat noh! Kuenya masih banyak! Lagian ini kan acara pertunangan gue! Salah emangnya gue makan prasmanannya?”
“Jelas salah!” Arga menoyor jidat Lisa yang kemudian ditepis Lisa dengan kesal. “Prasmanan yang lo makan itu buat acara orang lain!”
Seketika Lisa melotot lalu melihat sekeliling. Dengan ekspresi malu dia melihat orang-orang yang sedang memperhatikannya. “Ga! Lo serius?” Arga malah tertawa terbahak-bahak dan tepat pada saat itu Lisa hampir saja memekik ketika melihat seseorang yang dia kira tidak hadir ke acara pertunangannya. “Ga! Demi apa lo, Ga! Sepupu lo ngapain datang ke sini?”
Arga mendesis. “Bukannya lo ngarep banget seorang Damian Alexander datang hari ini?” Lisa mengangguk dengan cepat yang membuat Arga agak sedikit kesal melihatnya, apalagi dia tersenyum semringah melihat Damian berjalan ke arah mereka. “Yaudah, nanti gue suruh pulang aja si Damian!”
“Ih apaan sih!” Buru-buru Lisa menyerobot Arga lalu berlari menghampiri Damian. Arga tampak semakin kesal melihat tingkah calon istrinya itu yang menurutnya memalukan. Hampir saja dia mengumpat kalau saja tidak ingat sedang berada di mana.
“Hai, Dam! Nggak nyangka kamu mau datang ke acara pertunangan aku,” ucap Lisa tersipu malu.
Damian terkekeh melihat sikap Lisa yang tiba-tiba saja seperti anak kecil minta dibelikan es krim sama oppa-oppa korea. “Aku dipaksa datang sama Arga.”
“Hah? Seriusan Arga maksa kamu datang?”
Damian mengangguk. Lalu melirik Arga yang berjalan mendekati mereka. Kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan dan menyerahkannya kepada Lisa.
“Sapu tangan?” tanya Lisa bimgung.
“Itu… buat bersihin mulut kamu yang belepotan cokelat.”
Tepat pada saat itu terdengar tawa yang tertahan dari Arga dan membuat Lisa meliriknya dengan nyalang. Arga! Awas lo ya! Dia kemudian membersihkan mulutnya dengan sapu tangan abu-abu keunguan yang diberikan Damian.
Acara pertunagan pun berlangsung dengan lancar, berkali-kali Lisa melirik ke arah Damian tanpa dia sadari, Arga pada saat itu mendecak berkali-kali melihat kelakuannya. Entah apa yang sudah merasuki Arga, tapi terlihat sekali dia tidak menyukai betapa Lisa begitu terang-terangan menyukai sepupunya.
Apa salah jika Arga merasa cemburu pada Lisa? Meskipun dia tahu pertunangan dengannya hanyalah sebuah kamuflase?
● ● ●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top